Bianca menendang pintu kamar Mutiara. Sepasang manusia tanpa ikatan suami istri sedang melakukan perbuatan yang amat menj1jikan. "Ibl111ssssss ... berani sekali berfantasi papahkuuuuu ...." Bianca menarik tubuh Mutiara yang sedang berada di atas tubuh lelaki yang tidak kenalinya. Rambut Mutiara dij4mbak keras Bianca, lalu men4mpar sangat keras. Lelaki yang mel4yani Mutiara berlari pergi setelah memunguti pakaiannya yang berserakan di atas lantai. Mutiara tanpa tahu malu, tubuhnya berdiri tegak. Tidak merasa malu sedikit pun pad Bianca. "Kamu wanita g1la! B3jat! Ibl1s! aku udah tau, kalau kamu yang menvsuk perut Mamihku! B1adab!" Penuh luapan emosi, Bianca menarik lagi rambut Mutiara yang tergerai. Wanita itu bukannya kesakitan justru tertawa terbahak-bahak. Bianca mendorong tubuh keriput itu ke atas tempat tidur. Melemparkan daster pada Mutiara. Wanita tidak w4ras itu mengenakan daster tanpa pakaian d4lam. Lalu, tanpa Bianca duga, Mutiara berlari keluar kamar sambil tertawa lepas
"Oh itu. Emang Papah udah gak mau ke kantor lagi, Mih?" telisik Bianca sambil membuka bungkus biskuit, lalu menyodorkan pada Namira. "Katanya enggak. Dia gak mau ninggalin aku di rumah lagi. Papahmu trauma."Kesedihan kembali terlihat dari raut wajah cantik alami itu. Bianca meraih telapak tangan Namira. "Insya Allah, kejadian itu enggak akan terulang lagi," kata Bianca yakin. Kening Namira mengkerut, mendengar ucapan Bianca yang terdengar sangat meyakinkan."Kamu kok bisa yakin gitu?"Hem, Bianca keceplosan lagi. Sikapnya langsung berubah salah tingkah. Baru saja hendak menjawab, suara dering handphone terdengar. "Sebentar, Mih. Ada telepon."Namira hanya menganggukkan kepala. Bianca merogoh ponsel dari dalam tas selempangnya, terlihat nama Pak Joko. "Hallo, Pak Joko?""Non Bianca di mana sekarang?" suara Pak Joko terdengar cemas. "Saya di rumah sakit. Temenin Mamih. Kenapa, Pak?"Namira memerhatikan anak sambungnya yang tengah menerima telepon dari Pak Joko yang tak lain supir
Evan tak menyangka Daniel menyuruhnya kerja di perusahaan. Tidak tanggung-tanggung, Daniel langsung memberikan posisi cukup tinggi di perusahaan itu. Dia pikir, jika nanti bergabung dengan perusahaan Bragastara, posisi yang dia dapatnya hanya menjadi bagian dari divisi. Tapi, ternyata ... Harusnya Evan senang tapi dia merasa tak enak hati karena Daniel sangat baik padanya sedangkan Gita bersikap buruk pada Nida. Evan membuka pintu ruangan Gita. Terlihat wanita itu melirik, mulutnya masih menyon, seperti sedang berusaha berbicara. "Aku habis dari kantin. Perutku lapar," kata Evan meletakkan cemilan yang dia beli dari kantin. Setelah berbincang dengan Daniel, Evan berinisiatif ke kantin supaya mamahnya tak curiga. Gita mulai tenang. Kedua matanya terpejam. Evan memerhatikan Gita yang tak kunjung mengubah sikapnya menjadi lebih baik. Gita kembali membuka kedua mata, memberi isyarat bertanya, ada apa?Evan menghela napas panjang. Merunduk sebentar, lalu kembali menatap mamahnya."Mah,
Yuda terkekeh, menggelengkan kepala mendengar cerita yang disampaikan Shella. "Makanya, Shella ... kamu nikah lagi. Supaya gak timbul fitnah. Tuh si Bondan udah lama suka sama kamu. Kamunya aja enggak mau membuka hati lagi," kata Yuda yang tahu tentang gelagat Bondan yang diam-diam sering memerhatikan Shella. Namun, tampaknya Shella acuh tak acuh. Sekarang dalam benak Shella, ingin fokus meniti karier dan membesarkan anaknya. Tidak dapat dipungkiri, sebetulnya dalam hati Shella ada pria yang disukainya hanya saja dia merasa tak pantas. "Enggak tau nih, Pak. Saya masih ingat almarhum terus. Gimana ya? Kalau saya memaksakan diri buat nikah lagi sedangkan dalam hati hati masih ada nama suami, saya merasa berdosa dan tak enak pada suami yang baru. Saya cuma ingin, Pak ... ingin punya suami yang membuat saya jatuh cinta lagi. yang mau terima anak kandung saya, Pak," timpal Shella memandang keluar jendela mobil. Tak terasa, sebulir air mata menetes. Shella teringat kembali wajah suaminya.
"Ada apa, Pak Zo?" tanya Yuda ketika masuk ruangan. Sebelumnya Yuda telah mengenalkan Zovan dengan Shella. Dia berharap kalau mereka berjodoh. Mengingat Zovan lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Zovan juga seorang pengacara yang memilih kasus yang tidak bertentangan dengan kej4hatan. Ia lebih senang membela yang benar. "Masalah kasus Bu Hesti besok sidang putusannya. Saya mau membicarakan masalah ini pada Pak Daniel gak enak, Pak. Katanya istri Pak Daniel sedang terkena musibah," ujar Zovan mengawali pembicaraan. Yuda menganggukkan kepala. "Iya. Pak Zo harus tetap memberitahu Pak Daniel. Setelah diberitahu, tunggu saja tanggapannya."Zovan menganggukkan kepala. Dia hanya khawatir nantinya akan dianggap tidak melihat waktu ketika orang lain terkena musibah, ia justru menceritakan masalah lain. "Enggak masalah saya kasih tau sekarang, Pak?""Enggak apa-apa. Pak Zo datang aja ke rumah sakit. Tadi kami bertemu di pemakaman salah satu karyawan kami yang meninggal dunia. Pak Daniel
Daniel membuka pintu ruangan, terlihat Namira dan Bianca yang tengah berbicara dengan serius."Papah," pekik Bianca ketika menyadari Daniel masuk ke dalam ruangan. Bianca berdiri, mempersilakan Daniel duduk di kursi yang sebelumnya ia tempati. "Bian, sebaiknya kamu pulang ke rumah. Udah sore, Nak. Kasihan Nida juga. Dia di rumah sendirian, gak ada temannya," ujar Daniel pada anak gadisnya. Bianca tampak ragu mengiyakan perintah Daniel. "Bi, Mamih kamu udah ada Papah. Dia pasti aman. Sudah sana, pulang dulu."Bianca mengangukkan kepala, mengambil tas selempang, mengenakannya. "Oke deh. Aku mau pulang dulu. Mih, aku pulang, ya? Mamih juga cepet sembuh biar dibolehin pulang," ucap Bianca pada ibu sambungnya. "Iya, Bi. Makasih ya, kamu udah perhatian banget sama aku." Namira menanggapi, membiarkan Bianca pulang ke rumah, meninggalkan mereka berdua. Usai kepergian Bianca, Daniel mengajak istrinya berbincang. Kedua telapak tangan Namira diraih Daniel. Menggenggam penuh cinta. "Aku ka
Evan menghampiri Daniel yang takjub melihat penampilan Evan saat ini. Lelaki itu biasanya hanya mengenakan kemeja atau kaos biasa sekarang justru mengenakan jas, dasi dan kemeja serta celana bahan hitam panjang. "Wuish, kayaknya udah cocok nih jadi calon CEO?" Namira menyindiri Evan yang mencium punggun tangan suaminya. Evan memerhatikan dirinya sendiri sambil mengulas senyum lebar."Bisa aja. Belum cocok, kerjanya juga baru sehari," timpal Evan menyeringai. Daniel menepuk pundak Evan, terlihat bangga pada anak sahabatnya itu. "Kalau ada yang enggak kamu mengerti, kamu bisa tanya papahmu atau Shella. Nanti dia yang akan membimbingmu, Van," ujar Daniel pada Evan yang menganggukkan kepala. "Iya, Pak. Alhamdulillah, hari ini saya masih bisa mengatasinya. Masih bisa saya kerjakan sendiri, Pak."Jawaban Evan membuat Bianca menarik napas lega. Dia hanya bisa berharap dan berdoa semoga Evan tidak menyalahgunakan kepercayaan papahnya. "Alhamdulillah. Ya sudah hati-hati. Besok-besok kalau
"Ya Allah, Nida ... jangan nangis. Harusnya kalau ada yang suka sama kamu atau cinta sama kamu, kamu seneng dong. Sekarang tinggal kamu sendiri yang ambil keputusan, mau diterima atau gak cintanya pak Guru?" timpal Namira merangkul pundak keponakan suaminya yang menangis tersedu-sedu. "Aku gak mau pacaran dulu, Kak ... aku juga belum cinta sama dia. Duhhh ...." Nida menghentakkan kedua kaki. Mengusap wajahnya yang penuh air mata. "Eh, eh ... kamu ini ... kalau kamu gak suka, tinggal bilang Nida.""Bilangnya gimana, Kak? Pak Hanif marah gak kalau aku tolak?" Nida semakin bingung menghadapi situasi seperti ini. "Hm, nanti kita pikirkan jawabannya ya? Sekarang jangan terlalu kamu pikirin masalah ini. Lebih baik kamu mandi, makan lalu istirahat. Aku lagi buru-buru, takut Om kamu marah nungguin kelamaan."Nida menganggukkan kepala, membiarkan Namira keluar rumah.Gadis itu menyeka lelehan air matanya. Berjalan ke kamar, dan membersihkan diri. "Mas Ayang maaf ... aku kelamaan ya?" ucap
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang