"Ada apa, Pak Zo?" tanya Yuda ketika masuk ruangan. Sebelumnya Yuda telah mengenalkan Zovan dengan Shella. Dia berharap kalau mereka berjodoh. Mengingat Zovan lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Zovan juga seorang pengacara yang memilih kasus yang tidak bertentangan dengan kej4hatan. Ia lebih senang membela yang benar. "Masalah kasus Bu Hesti besok sidang putusannya. Saya mau membicarakan masalah ini pada Pak Daniel gak enak, Pak. Katanya istri Pak Daniel sedang terkena musibah," ujar Zovan mengawali pembicaraan. Yuda menganggukkan kepala. "Iya. Pak Zo harus tetap memberitahu Pak Daniel. Setelah diberitahu, tunggu saja tanggapannya."Zovan menganggukkan kepala. Dia hanya khawatir nantinya akan dianggap tidak melihat waktu ketika orang lain terkena musibah, ia justru menceritakan masalah lain. "Enggak masalah saya kasih tau sekarang, Pak?""Enggak apa-apa. Pak Zo datang aja ke rumah sakit. Tadi kami bertemu di pemakaman salah satu karyawan kami yang meninggal dunia. Pak Daniel
Daniel membuka pintu ruangan, terlihat Namira dan Bianca yang tengah berbicara dengan serius."Papah," pekik Bianca ketika menyadari Daniel masuk ke dalam ruangan. Bianca berdiri, mempersilakan Daniel duduk di kursi yang sebelumnya ia tempati. "Bian, sebaiknya kamu pulang ke rumah. Udah sore, Nak. Kasihan Nida juga. Dia di rumah sendirian, gak ada temannya," ujar Daniel pada anak gadisnya. Bianca tampak ragu mengiyakan perintah Daniel. "Bi, Mamih kamu udah ada Papah. Dia pasti aman. Sudah sana, pulang dulu."Bianca mengangukkan kepala, mengambil tas selempang, mengenakannya. "Oke deh. Aku mau pulang dulu. Mih, aku pulang, ya? Mamih juga cepet sembuh biar dibolehin pulang," ucap Bianca pada ibu sambungnya. "Iya, Bi. Makasih ya, kamu udah perhatian banget sama aku." Namira menanggapi, membiarkan Bianca pulang ke rumah, meninggalkan mereka berdua. Usai kepergian Bianca, Daniel mengajak istrinya berbincang. Kedua telapak tangan Namira diraih Daniel. Menggenggam penuh cinta. "Aku ka
Evan menghampiri Daniel yang takjub melihat penampilan Evan saat ini. Lelaki itu biasanya hanya mengenakan kemeja atau kaos biasa sekarang justru mengenakan jas, dasi dan kemeja serta celana bahan hitam panjang. "Wuish, kayaknya udah cocok nih jadi calon CEO?" Namira menyindiri Evan yang mencium punggun tangan suaminya. Evan memerhatikan dirinya sendiri sambil mengulas senyum lebar."Bisa aja. Belum cocok, kerjanya juga baru sehari," timpal Evan menyeringai. Daniel menepuk pundak Evan, terlihat bangga pada anak sahabatnya itu. "Kalau ada yang enggak kamu mengerti, kamu bisa tanya papahmu atau Shella. Nanti dia yang akan membimbingmu, Van," ujar Daniel pada Evan yang menganggukkan kepala. "Iya, Pak. Alhamdulillah, hari ini saya masih bisa mengatasinya. Masih bisa saya kerjakan sendiri, Pak."Jawaban Evan membuat Bianca menarik napas lega. Dia hanya bisa berharap dan berdoa semoga Evan tidak menyalahgunakan kepercayaan papahnya. "Alhamdulillah. Ya sudah hati-hati. Besok-besok kalau
"Ya Allah, Nida ... jangan nangis. Harusnya kalau ada yang suka sama kamu atau cinta sama kamu, kamu seneng dong. Sekarang tinggal kamu sendiri yang ambil keputusan, mau diterima atau gak cintanya pak Guru?" timpal Namira merangkul pundak keponakan suaminya yang menangis tersedu-sedu. "Aku gak mau pacaran dulu, Kak ... aku juga belum cinta sama dia. Duhhh ...." Nida menghentakkan kedua kaki. Mengusap wajahnya yang penuh air mata. "Eh, eh ... kamu ini ... kalau kamu gak suka, tinggal bilang Nida.""Bilangnya gimana, Kak? Pak Hanif marah gak kalau aku tolak?" Nida semakin bingung menghadapi situasi seperti ini. "Hm, nanti kita pikirkan jawabannya ya? Sekarang jangan terlalu kamu pikirin masalah ini. Lebih baik kamu mandi, makan lalu istirahat. Aku lagi buru-buru, takut Om kamu marah nungguin kelamaan."Nida menganggukkan kepala, membiarkan Namira keluar rumah.Gadis itu menyeka lelehan air matanya. Berjalan ke kamar, dan membersihkan diri. "Mas Ayang maaf ... aku kelamaan ya?" ucap
"Hm, gimana ya? Aku juga bingung sih," tukas Bianca menyerah. Mereka yang berbicara di kamar Nida, saling berpikir. "Nid, gimana kalau masalah ini kamu ceritain ke Papahku? Kali aja Papah bisa bantu. Gimana?"Ide yang tidak bagus menurut Nida. Dia malu jika Daniel mengetahui masalah ini. Mungkin Daniel juga sudah tahu dari Namira."Ya udah deh, nunggu Om Daniel pulang dulu.""Emang Papah sama Mamih kemana, Nid?" tanya Bianca yang tidak tahu kepergian papahnya dan juga Namira. Nida mengedikkan kedua pundak. "Aku juga gak tau. Tadi lupa nanya. Kak, hmm ... aku mau tanya." "Tanya apa?" imbuh Bianca menatap Nida lebih serius lagi. "Mamah Gita udah keluar dari rumah sakit?"Bianca menggelengkan kepala. Dia pikir Nida akan bertanya tentang apa ternyata tentang wanita yang telah melahirkan Evan. "Udah. Kemarin kalau gak salah. Kenapa? Kamu mau jenguk dia lagi?" tanya Bianca. Suaranya terdengar tak suka."Iya, Kak. Aku pengen jenguk lagi. Ya walau gimana pun, tante Gita ibu sambungku. Se
Bianca tertawa terbahak-bahak mendengar keinginan Gauri. Wanita yang tengah duduk di atas kursi roda itu sungguh tak tahu diri. "Hei, mau ngapain ketemu papahku langsung? Mau tebar pesona apa gimana sih? Lagian ya, papahku sekarang lagi gak ada di rumah. Papah sama mamihku lagi keluar rumah," ucap Bianca tak suka dengan keinginan Gauri. Baginya Gauri wanita yang tidak tahu malu. "Kemana?" tanya Gauri berharap dapat bertemu dengan Daniel. "Aku gak tau. Kalaupun aku tau, aku gak akan membertahumu," timpal Bianca menunjukkan raut wajah tak suka. Gauri merunduk, memainkan jari jemarinya. Tina berjongkok di samping kursi roda Gauri. Hatinya tak tega mendengar ucapan Bianca yang pastinya akan menyakiti hati wanita yang telah melahirkan Ferry. "Bu, kita pulang, ya? Pak Daniel-nya gak ada. Ya, Bu?"Sedih hati Tina melihat wanita yang sudah dianggap ibu sendiri cintanya bertepuk sebelah tangan. Akan tetapi, yang dikatakan Bianca tidak salah. Gauri harusnya tahu diri agar tidak memaksa in
Daniel mengambil alih pot tanaman itu dari tangan istrinya. Mereka berdua ke depan lagi, meletakkan tanaman tersebut diantara pot-pot bunga. "Kak Bian, gitu amat nanggepinnya? Orang Kak Namira antusias banget," kata Nida kesal pada sikap Bianca. "Sengaja. Eh, Nida, emang kamu mau ke rumahnya Evan buat ngejenguk tante Gita?""Iya, Kak. Temenin yuk! Aku kasihan tau kalau ingat kondisi Tante Gita.""Sebenarnya aku males banget ke sana. Tapi, okelah. Nanti aku suruh Evan jemput.""Enggak usah kali, Kak. Kita berangkat minta dianter Pak Joko aja. Kalau Kak Evan, nanti malah ngerepotin. Mau kapan ke sana, Kak?"Nida begitu antusias mendengar Bianca mau mengantar Nida ke rumah Evan untuk menjenguk Gita. "Kapan ya? Besok aja deh.""Nanti sore aja gimana, Kak?""Males ah."*** "Mas, makasih banyak ya? udah mau nganterin aku beli itu semua," ungkap Namira menggamit lengan suaminya sambil memerhatikan tiga pot tanaman yang baru saja mereka beli. "Iya, Sayang. Sama-sama. Aku bahagia kalau ka
"Mau, Mas. Tapi, kesehatan Ibu bukannya membaik, kondisi Ibu justru ---'Tak sanggup Tina melanjutkan kalimat. Ia benar-benar merasa kasihan pada Gauri. Sesaat, tidak ada lagi yang bicara. Hanya suara jarum jam yang terdengar. "Sudah malam, Tina. Kamu tidurlah. Tidur di kamarmu, biar aku yang tidur di sini.""Tapi, Mas ... besok kan Mas Ferry harus kerja. Kalau tidur di sini, enggak bisa nyenyak.""Enggak apa-apa. Makasih ya, kamu udah merawat Ibu dengan baik.""Sama-sama, Mas.""Sekarang kamu tidur di kamar. Kamu harus istirahat cukup, Tina.""Iya, Mas."Tanpa membantah lagi, Tina keluar kamar, menuju kamar pribadinya. Ferry memerhatikan wajah ibunya yang semakin tirus. Ia menggenggam telapak tangan wanita yang telah melahirkannya. Ferry sungguh menyayangi ibunya, sangat mengharapkan Gauri sembuh total dari penyakit kanker. Namun, sepertinya harapan itu sulit terwujud melihat kondisi Gauri yang semakin hari semakin memburuk. Apa mungkin, penyakit yang diderita Gauri saat ini bukan
"Dari tadi aku teleponin enggak aktif nomornya, Bang."Alea semakin mencemaskan keadaan kakaknya. Dia tidak tahu lagi kemana mencari keberadaan Axel. "Lea, coba kamu tanya ke temen-temennya. Barang kali aja mereka ada yang tau. Sekarang Abang enggak bisa bantu nyariin Axel. Kamu lihat sendiri, pengunjung lagi banyak.""Iya, Bang. Enggak apa-apa. Ya udah deh, aku pamit dulu."Alea membalikkan badan, menghampiri Nida yang duduk di salah satu kursi cafe. "Tante, Kak Axel enggak ada di sini," ujar Alea menunjukkan raut wajah lesu. "Kemana?""Enggak tau. Handphone-nya juga enggak aktif.""Coba kamu tanyain ke teman-temannya. Kali aja ada yang tau."Nida memberi saran sebab ia juga tidak tahu tempat yang biasa Axel kunjungi. Tempat tongkrongannya. "Aku enggak punya nomor teman-teman Axel," jawab Alea cemberut. Pikirannya mengingat tempat yang biasa Axel kunjungi selain cafe. "Alea, mungkin enggak, kalau Axel udah kembali pulang ke rumah?"Alea mendongak, menatap lekat Nida. "Benar jug
Ibu Ros sangat geram mendengar jawaban anak sulungnya. Tidak menyangka jika Hanif membantah perintahnya. Selama ini, Hanif selalu mengabulkan segala perintah ibu Ros. Tapi sekarang, dengan berani Hanif menolak?"Berani sekali kamu nolak perintah Mama, Hanif?" sentak ibu Ros masih tak terima dengan jawaban Hanif. "Ma, kalau Mama minta uang, minta ini dan itu, aku pasti kabulin. Tapi kalau minta aku nikah lagi atau ceraikan Nida, aku minta maaf, Ma. Aku enggak akan pernah mengabulkannya!" Hanif masih dalam pendiriannya. Tidak akan pernah menceraikan Nida walau ibu Ros sendiri yang mendesak. "Hanif, Nida udah izinin kamu. Dia izinin kamu nikah tapi---""Tapi, aku harus menceraikannya dulu 'kan?" sela Hanif sebelum ibu Ros menyelesaikan ucapannya. "Enggak, Ma. Aku enggak akan menceraikannya."Tanpa berkata apa-apa lagi, Hanif beranjak, meninggalkan wanita yang telah melahirkannya. Ia tak mau berdebat lebih lama lagi. Hanif takut semakin tersulut emosi. Walau bagaimana pun, ibu Ros adal
"Maaf, Tante. Teleponnya nanti lagi, ya? Guruku udah datang. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam."Untung saja guru Kimia datang ke kelas Alea. Kalau tidak? Alea bingung menjawab pertanyaan Nida. Usai menelepon Alea, Nida bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Setelah menemani Shella bertemu dengan klien, Nida berencana akan ke sekolah si kembar. Ingin memastikan apakah Axel masuk sekolah atau tidak? Biar bagaimana pun, Nida lah yang memberitahu tentang kebenaran kedua orang tua Axel dan Alea. Hingga akhirnya sekarang Axel kabur dari rumah. Tiba-tiba Nida teringat Bianca. Apa Bianca akan marah padanya? Tadi sewaktu melewati ruangan Bianca, tampak sepi. Apa mungkin Bianca tidak masuk kantor?*** "Hanif, kamu udah pulang, Nak?" tanya ibu Ros ketika anak kandungnya berdiri di depan pintu rumah. Ia mencium punggung tangan ibu Ros meski sempat kecewa dengan wanita yang telah melahirkannya itu. "Udah, Ma. Aku mau ke kamar dulu," seloroh Hanif yang berusaha menghindar ibu Ros. Ia takut kala
Semenjak kejadian kemarin, rumah Bragastara terasa sepi. Tidak ada lagi keributan antara Axel dan Alea. Bianca tak sanggup jika di rumah terus, mengingat kemarahan Axel padanya. Axel yang selama ini dianggap adik sendiri, kini amat sangat kecewa padanya. "Kamu mau ke kantor?" tanya Evan setelah mengenakan jas. Evan pun sudah memutuskan berangkat ke kantor meski kondisi kesehatannya belum terlalu pulih. "Iya. Aku mau ke kantor saja. Di rumah sepi. Enggak ada anak-anak." Jawaban Bianca membuat kedua pundak Evan menurun. "Bi, berhentilah menganggap mereka anakmu. Axel dan Alea itu adik-adikmu," tandas Evan, sangat kesal setiap kali Bianca ingin dianggap orang tua oleh mereka. "Apa salahnya kalau aku ingin dianggap mamanya? Apa ada yang salah?" tuntut Bianca menatap penuh emosi suaminya. "Enggak salah kalau dari awal kamu bilang yang sebenarnya, Bi ... sekarang lihat mereka. Akibat keputusanmu, Axel membencimu. Apa kamu enggak sadar juga?"Emosi dalam diri Evan sudah tidak dapat dik
"Udah gila ibunya si Hanif. Enak bener dia bilang gitu. Terus kamu bilang apa? Ngizinin Hanif nikah lagi? Mau kamu dipoligami?"Shella tersulut emosi. Sejak dulu, Shella sudah sangat geram melihat tingkah laku keluarga Hanif. Mereka semua benalu dan penjilat. Sering kali meminta uang pada Nida. "Enggaklah, Ma. Aku minta diceraikan kalau Mas Hanif mau poligami. Aku sadar diri, bukan wanita yang ikhlas dan penyabar. Enggak sanggup kalau harus berbagi suami dengan wanita lain." Masih dengan sikap santai, Nida menjawab pertanyaan ibu sambungnya. Shella begitu miris mendengar cerita yang disampaikan Nida. Kasihan Nida. Semasa hidupnya selalu saja ada masalah yang dihadapi."Tapi, Nida ... Kayaknya Hanif enggak mungkin menceraikanmu. Dia sangat mencintaimu. Mama yakin itu."Sebisa mungkin, Shella menghibur Nida. Dibalik sikap tenang dan santainya, Shella yakin sebetulnya Nida pun bersedih. Nida tersenyum miring mendengar tanggapan Shella. "Kalau mamanya yang minta, ada kemungkinan Mas H
"Sudahlah, Ma. Jangan ngomong macam-macam. Aku enggak mungkin menceraikan dia!"Senyum yang sebelumnya terlihat di wajah ibu Ros, seketika lenyap. "Hanif, mau sampai kapan kamu enggak punya anak? Dia itu mandul! Keturunan mandul, Hanif!"Ibu Ros tersulut emosi. Tak menyangka jika anak sulungnya berani melawan perintah padahal sebelumnya tidak pernah."Aku enggak peduli, Ma. Nida mandul atau tidak, aku enggak akan ceraikan dia. Aku sayang Nida, Maaaa ... aku cinta dia ...."Memang, Hanif begitu mencintai Nida. Sejak dulu hingga sekarang cintanya tak pernah berubah. "Halah, cinta, sayang! Kamu itu buta, Hanif! Umurmu udah tua. Tapi, sampai sekarang belum juga punya anak. Kalau kamu udah tua nanti, udah enggak bisa beraktivitas lagi, siapa yang akan menyayangimu? Kamu lihat, Nida. Dia masih muda. Mama yakin, kalau kamu udah sakit-sakitan pasti dia ninggalin kamu! Kalau dia ninggalin kamu, kamu mau sama siapa? Anak enggak punya!"Hanif memejamkan kedua mata, memijat pelipis. Tidak perna
"Apa hubungannya?" Bukannya menjawab, Axel justru balik tanya. Alea manyun, memukul bahu kakaknya. "Pulang ke rumah lagi, Kak. Kasihan mama tau! Nangis terus." Alea mengingat kembali kesedihan yang dialami Bianca. Axel bersikap santai, pandangannya lurus ke depan. "Aku masuk kelas dulu!" Tanpa menanggapi ucapan adiknya, Axel masuk ke dalam kelas. Alea benar-benar dibuat kesal. Rencana mengajak Axel kembali ke rumah gagal lagi. *** "Jam segini baru bangun! Pantas saja asam lambung Hanif sering kumat! Istrinya saja malas menyiapkan sarapan," celetuk ibu Ros saat Nida baru datang ke ruang meja makan. Ibu Ros yang tengah sarapan roti tawar, melirik Nida yang mengacuhkan. "Kamu dengar Mama enggak, Nida?" Sentak ibu Ros. Kedua mata seperti hendak melompat. Amarah terlihat jelas dari raut wajah. "Denger," sahut Nida cuek. Melihat sikap menantunya seperti itu, Ibu Ros semakin marah dan membenci. "Kalau kamu denger, harusnya bangun pagi! Siapin sarapan!" Lagi, Nida te
"Enggak. Mami enggak melakukan kesalahan apapun, Lea. Mami orang yang baik. Namira sahabatku, ibu sambungku yang paling baik bahkan kebaikannya melebihi ibuku sendiri." Bianca langsung menyanggah pertanyaan Alea. Gadis itu tertunduk sesaat, menghela napas berat. "Lalu, kenapa Mama merahasiakan mereka adalah orang tua kandungku?" Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Alea membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak lalu sikap berubah salah tingkah. "Bu-bukan maksud ingin merahasiakan ta-tapi ...."Tak sanggup, Bianca meneruskan kalimat. Teringat kekurangan dalam diri bahwa sebetulnya Bianca tak bisa memberikan keturunan untuk Evan karena ia telah divonis mandul oleh dokter. "Ya udah, Ma. Enggak usah diucapkan kalau memang alasannya akan menyakitiku atau menyakiti hati Mama lagi."Alea mencoba berpikir bijak. Tak ingin wanita yang telah merawatnya penuh kasih sayang itu bersedih dan menangis lagi. "Bukan begitu, Lea. Ma-Mama ....""Kenapa kamu masih saja menyebut diri
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma