Namira meringis, merunduk. Ia benar-benar tak ingin membalas tatapan Gita yang mengarah padanya. Gita ingin bicara tapi bibirnya tak bisa mengeluarkan kata-kata. Kemudian, terdengar jeritan. Gita menghentakan tubuh, seolah kesal dengan keadaannya. Memang benar, hati Gita menyalahkan kejadian yang menimpanya gara-gara Namira dan Nida. Kalau saja Gita tidak merasa pusing dengan dua orang itu, Gita tidak akan minum-minuman sampai ia mengalami kecelakaan. "Gita, kamu harus tenang. Tenang, Gita."Namira takut kedatangannya justru membuat kondisi Gita semakin memburuk. Setelah sedikit tenang, Gita meneteskan air mata. Namira masih tak mengeluarkan kata-kata. Ia diam, menelan saliva memandang Gita yang kepalanya diperban. Juga selang infus yang masih terpasang di punggung tangannya. Tak banyak yang dilakukan Gita. Ia hanya melirik, menangis, dan menjerit tak jelas. "Yuda, sebenarnya apa yang dikatakan dokter tentang kondisi istrimu?" tanya Daniel pada sahabatnya. Yuda melirik pada Gita,
"Aku beneran heran sama tante Gita. Kenapa dia gak sadar-sadar? Udah dikasih musibah, masih saja kayak gitu. Astaghfirullahalazhim ...," gerutu Namira saat mereka sudah berada di dalam mobil menuju pulang ke rumah.Daniel yang duduk di balik kemudi, menoleh. Mengulas senyum tipis lalu menimpali, "Kalau Allah belum membuka hatinya sulit. Kita doakan saja semoga dia segera sadar," timpal Daniel merasa miris dengan sikap istrinya Yuda itu. Daniel juga baru tahu kalau Gita memiliki sifat seperti itu. Mungkin satu sisi Dania salah karena ingin dinikahi Yuda yang statusnya sudah menjadi suami Gita. Tapi, sisi lain, Gita pun salah karena melampiaskan amarahnya pada seorang anak yang tidak tahu-menahu tentang kelakuan kedua orang tuanya. Kini, Daniel sudah putuskan tidak akan membawa masalah kej4hatan Gita ke pengadilan. Ia akan memberi kesempatan pada wanita itu untuk merubah dirinya menjadi lebih baik. Semoga saja Gita bisa. Aamiin.Daniel sampai rumah sudah masuk waktu Magrib. Mereka mela
Melihat siapa yang memanggil, ternyata Evan. "Hallo, Van?""Bi, kamu lagi ngapain?""Lagi di kamar. Mau rebahan," jawab Bianca santai. "Aku lagi di rumah sakit sendirian. Papah pulang dulu," ujar Evan, berharap Bianca mau menemaninya di rumah sakit. "Oh. Ya udah, kamu temenin mamahmu. Kasihan kan kalau tante Gita butuh apa-apa, gak ada orang di sana," timpal Bianca pura-pura tak mengerti maksud ucapan Evan. "Aku pikir kamu mau ke sini nemenin aku, Bi." Akhirnya Evan memperjelas ucapannya. Bianca terdiam sejenak, lalu menimpali, "Sorry ... bukan aku gak mau. Tapi, Papah pasti ngelarang. Lagian besok aku masih ada kuliah. Insya Allah besok aku sama Nida mau jenguk Mamah kamu, Van."Evan agak terkejut mendengar kalau Nida mau menjenguk mamahnya padahal tadi menurut cerita Yuda, Gita tidak ingin Nida datang ke rumah sakit. Evan pikir, mamahnya sangat keterlaluan."Nida mau ke sini? Mau jenguk Mamahku?" Evan meyakinkan apa yang didengarnya. "Iya. Nida sendiri tadi yang bilang setelah
Setelah itu tidak ada yang bicara sampai mereka tiba di rumah sakit. Membuka pintu ruangan, terlihat Gita yang tengah berbaring lemah. "Ayok, masuk!" ajak Evan pada Bianca dan Nida yang masih berdiri di ambang pintu. Keduanya masuk ke dalam. Nida menggamit lengan Bianca. Ia tak bisa menutupi rasa takut akan sikap Gita padanya.Kedua mata Gita membeliak melihat kehadiran Nida di samping calon menantunya. Bibir yang menyon, menghentak-hentak, seolah ingin bicara. Begitu pula badannya, berusaha digerakkan. "Mah, tenang, Mah ... tenang ...." bujuk Evan berdiri di samping r4njang pasien mamahnya. "Hai, Tante. Kabar Tante pasti lagi gak baik, ya?" Pertanyaan Bianca membuat Gita menghentikan gerakannya. Ia menghela napas dalam-dalam. Evan dan Nida menoleh, memandang wajah Bianca yang tersenyum dan tenang. "Kalau keadaan Tante lagi gak baik, baiknya bersikap baik, Tante. Tante gak perlu panik adanya Nida di sini. Kami semua udah tau kok, selama ini Tante kan yang menyembunyikan Nida dar
Sampai rumah, Namira menyambut kedatangan suaminya penuh suka cinta, penuh kebahagiaan dan kerinduan. Bibirnya yang tipis tersenyum manis. "Mana masakannya? Udah matang belum?" tanya Daniel saat Namira bergelayut manja pada lengannya. "Udah dong ... aku udah masak yang spesial. Mau makan dulu atau mandi dulu?" tanya Namira mencondongkan wajah lebih dekat pada suaminya.Daniel tanpa aba-aba, meng3cup kening dan b1bir istrinya. "Dih, Mas Ayang. Main nyosor-nyosor aja. Kalau dilihat Bibi gimana?" Namira cemberut, tersipu malu. Daniel tersenyum lebar, melihat tingkah manja Namira. "Biarin. Aku mau mandi dulu, tapi pengen bareng kamu. Kamu udah mandi?" tanya Daniel menjawil hidung istrinya. "Udah dong. Masa menyambut suaminya pulang masih bau acem?""Hahaha ... perasaanku, kamu gak pernah bau acem. Harum, wangi sepanjang hari!" kata Daniel sambil berjalan menuju pintu kamarnya. "Bisa aja ngegombalnya.""Serius, Sayang. Oh ya, Bianca dan Nida belum pulang? Tumben sepi?" Daniel menghe
Pekan ini, Daniel mengajak Namira ke rumah sakit jiwa menjenguk Mutiara. "Mas Ayang ... aku takut ... takut ketemu pasien lain," ungkap Namira ketika suaminya mengajak ke rumah sakit jiwa. Mereka kini tengah duduk di samping rumah sambil memerhatikan ikan-ikan hias. "Jangan takut. Kan ada aku.""Enggak, ah ... maaf, ya ... aku gak bisa ikut," tolak Namira. Dia tidak bisa membayangkan jika bertemu dengan pasien gangguan jiwa lainnya. Namira memang belum pernah mengunjungi rumah sakit jiwa, tapi dia pernah melihat kondisi pasien di rumah sakit jiwa ketika menonton sinetron. "Sayang, kalau kamu gak ikut, aku gak nyaman berdua sama Shella. Shella juga pasti gak mau," bujuk Daniel. Ingin Namira tetap mau menemaninya. Namira terdiam, merunduk dalam. Daniel juga sebenarnya tidak mau memaksa Namira. "Maaf, Mas Ayang ... aku gak mau ...." Suara Namira sangat pelan tapi masih terdengar oleh Daniel. Lelaki itu merangkul pundak istrinya. "Mas Ayang marah?" tanya Namira mendongak, menatap wa
"Aku gak mau, ah! Males banget ngejenguk si Ulat bulu," tolak Bianca langsung, memalingkan wajah ke arah lain. Sedangkan Nida, dia tampak bingung. "Kak, emangnya tante Mutiara itu siapa?" tanya Nida yang belum mengenal siapa sosok Mutiara. Bianca menoleh, "Ulat bulu. Dulu tuh, dia suka sama papahku. Suka gatel sama papah. Sekarang katanya gara-gara papah udah nikah sama mamih, dia jadi sakit jiwa, enggak waras, jadi gila," jawab Bianca sambil melotot hingga Nida dibuat ngeri. "Hah? serius, Kak?" Nida tak percaya, kedua matanya melebar, pandangannya tertuju pada Namira dan Bianca."Serius, Nida. Mih, kenapa bukan papah aja sih yang jenguk dia? Dia kan karyawannya papah," tukas Bianca masih tak ingin mengabulkan permintaan ibu sambungnya. "Papah kamu mau tapi tante Shella gak mau berduaan sama papahmu. Kalau gak, kamu sama papahmu aja yang ke sana. Bertiga sama tante Shella.""Kenapa bukan sama Mamih?" Bianca bertanya cepat. "Aku kan lagi hamil, Bian."Bianca berpikir, menghela nap
Tidak berselang lama, Bianca dan Nida sudah datang ke ruang tamu. Ia diberitahu Bi Rusmi agar segera cepat keluar kamar, Shella sudah datang. "Hai, Tante Shella," sapa Bianca yang berdiri di samping Nida. Wajah gadis itu agak masam. Terlihat sekali kalau Nida terpaksa mau menemani Bianca ke rumah sakit jiwa. Sungguh, ingin rasanya Nida menolak tapi apa daya, dia tak berani. "Hai, Mbak Bian. Kita berangkat sekarang aja, ya?""Iya, Tante. Pah, Mih, kami berangkat sekarang. Doakan kami, moga enggak terjadi hal buruk," ucap Bianca memandang wajah Daniel dan Namira. "Iya, Bianca. Mamih sama Papahmu akan mendoakan. Hati-hati," timpal Namira berlaga sayak seorang ibu pada anak kandungnya. Diam-diam Nida menahan tawa melihat tingkah lucu Namira dan Bianca. "Iya, Mih."Akhirnya Shella, Bianca dan Nida berangkat ke rumah sakit jiwa berbarengan. Ketiganya masuk ke dalam mobil milik Shella. Kendaraan itu dikemudikan oleh Shella sendiri. "Tante, nanti di sana jangan lama-lama, ya?" pinta Bian
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang