Tidak berselang lama, Bianca dan Nida sudah datang ke ruang tamu. Ia diberitahu Bi Rusmi agar segera cepat keluar kamar, Shella sudah datang. "Hai, Tante Shella," sapa Bianca yang berdiri di samping Nida. Wajah gadis itu agak masam. Terlihat sekali kalau Nida terpaksa mau menemani Bianca ke rumah sakit jiwa. Sungguh, ingin rasanya Nida menolak tapi apa daya, dia tak berani. "Hai, Mbak Bian. Kita berangkat sekarang aja, ya?""Iya, Tante. Pah, Mih, kami berangkat sekarang. Doakan kami, moga enggak terjadi hal buruk," ucap Bianca memandang wajah Daniel dan Namira. "Iya, Bianca. Mamih sama Papahmu akan mendoakan. Hati-hati," timpal Namira berlaga sayak seorang ibu pada anak kandungnya. Diam-diam Nida menahan tawa melihat tingkah lucu Namira dan Bianca. "Iya, Mih."Akhirnya Shella, Bianca dan Nida berangkat ke rumah sakit jiwa berbarengan. Ketiganya masuk ke dalam mobil milik Shella. Kendaraan itu dikemudikan oleh Shella sendiri. "Tante, nanti di sana jangan lama-lama, ya?" pinta Bian
"Hah? Cepet amat, dok?" tanya Bianca keceplosan. Nida langsung menyenggol lengan Buanca agar tidak berkata demikian."Cepet apanya ya, Mbak?" tanya dokter tak mengerti. "Enggak cepet apa-apa. Hm, boleh gak, kami ingin melihat Ibu Mutiara dulu?" Kali ini yang bicara Shella. Dia tidak ingin anak bosnya itu bicara sembarangan lagi. "Oh boleh. Tadi waktu saya cek, beliau lagi di dapur, bantuin masak."Kedua mata Bianca membeliak, menoleh pada Shella dan Nida. Dia tidak menyangka kalau Mutiara sangat cepat penyembuhannya padahal Bianca berharap Mutiara lama mengalami gangguan jiwanya. Terkesan jahat memang tapi dari pada adanya Mutiara mengganggu rumah tangga Daniel dan Namira?"Oh begitu, dok.""Mari, saya antar."Bianca sebenarnya sangat malas menemui Mutiara. Akan tetapi, Nida kembali menggamit lengannya, mengajak gadis itu menemui wanita yang bernama Mutiara Indah. "Nah itu dia!" Bianca, Nida dan Shella pandangannya mengikuti dagu dokter Hana. Terlihat jelas, Mutiara sedang memoton
Mobil yang dikemudikan Shella telah memasuki halaman rumah Bragastara. "Tante gak mampir dulu?" tanya Bianca ketika sudah turun dari mobil. Shella yang membuka kaca jendela mobil menggelengkan kepala, "Enggak ya? Tante mau langsung pulang aja." Shella memutuskan tidak singgah lebih dulu di rumah Daniel. Ia teringat anaknya yang di rumah bersama baby sitter. "Oke deh. Makasih ya, Tante," ucap Bianca riang. "Iya, sama-sama."Mobil Shella telah keluar gerbang rumah Daniel. Bianca dan Nida masuk ke dalam rumah, berjalan beriringan. Namira dan suaminya yang tengah menunggu kepulangan mereka di ruang keluarga tersenyum bahagia karena Bianca dan Nida pulang dalam keadaan baik-baik saja. "Alhamdulillah akhirnya kalian sudah pulang," seru Namira saat Bianca dan Nida menyalami mereka. Duduk di sofa lainnya. Daniel tersenyum bahagia melihat anak gadisnya dan keponakannya pulang dalam keadaan selamat. Tidak terjadi hal buruk yang menimpa mereka. "Om Yuda ngerjain kita, Pah," ucap Bianca me
Masuk ke dalam rumah, Mutiara mengitari sekeliling. Rumahnya rapi dan terawat. Dia pikir, selama tinggal di rumah sakit jiwa, rumahnya berantakan. Tidak akan ada orang yang sudi membersihkannya. Pikiran Mutiara langsung tertuju pada Daniel. "Pasti pujaan hatiku itu yang menyuruh orang merawat rumah ini," gumam Mutiara tersenyum bahagia.Tidak hanya rapi dan bersih, rumahnya pun harum. Membuka pintu kamar pribadinya, kedua mata Mutiara terpejam, menghirup wangi yang berasal dari dalam kamar padahal itu hanya wangi yang berasal dari pembersih lantai. Mutiara lantas duduk di sisi ranj4ng. Tangannya yang mulai mengeriput, mengusap lembut spray motif bunga mawar berwarna merah tua. Mutiara menghempaskan tubuh ke atas peraduan itu sembari membayangkan sosok Daniel yang mempesona. Sebenarnya Mutiara sangat kecewa ketika mengetahui yang datang menjemputnya dari rumah sakit jiwa bukan Daniel melainkan Shella dan Bianca. Mengingat Bianca, kedua mata Mutiara terbuka lebar. Sorot matanya beru
"Mas Ayang kok belum berangkat kantor? Bukannya tadi udah mau masuk mobil, kok malah duduk di sini?" tegur Namira ketika Bi Rusmi mengatakan kalau Daniel masih ada di depan rumah. Namira yang sebelumnya sudah mencivm punggung tangan suaminya kembali keluar rumah dan menghampiri. Namira duduk di pegangan kursi yang ditempati Daniel. Sebelah tangannya merangkul pundak sang suami. "Enggak tau. Tiba-tiba aku malas berangkat," jawab Daniel, memindahkan tangan Namira dari pundaknya, lalu ia genggam. "Bianca mana?" "Bianca tadi dijemput Evan. Dia udah berangkat.""Lho, bukanya tante Gita masih di rumah sakit? Evan kenapa masih anter jemput Bianca?" Namira heran, kalau Evan mengantar Bianca ke kampus, berarti Gita sendirian di sana. "Aku juga gak tau. Sayang, kamu ikut ke kantor ya?" Pandangan Daniel menusuk hati Namira. Wanita yang tengah mengandung benihnya itu melipat kening. Tidak mengerti, kenapa tiba-tiba Daniel menginginkan ia pergi ke kantor? "Memangnya kenapa? Mas Ayang, ada ap
Mutiara telah mengenakan pakaian serba hitam. Di depan kaca meja rias, ia tertawa terbahak-bahak. Menertawakan dirinya dan menertawakan aksi yang akan dilakukannya. Mutiara tidak mau membuang waktu lagi. Sudah terlampau lama ia menunggu cinta Daniel. Terlampau sabar ia menginginkan menjadi istri Daniel. Satu persatu akan ia musnahkan penghalangnya. Hari ini, Mutiara berencana ingin melenyapkan ny4wa Namira. Sebilah pisau telah ia masukkan ke dalam tas yang dikenakan. Mutiara yakin, kalau hari ini, Namira hanya berdua dengan Bi Rusmi. Semuanya sudah terencana. Mutiara telah memikirkan rencana j4hat ini sejak di dalam rumah sakit jiwa. Wanita yang telah mengenakan pakaian gamis dan kerudung serba hitam, serta cadar yang menutupi wajahnnya, sudah siap menuju ke rumah Daniel. Ke sana, ia menaiki ojek onlie.Sampai di depan gerbang rumah Daniel, salah satu security bertanya. "Saya teman SMA-nya Namira. Saya ingin bertemu dengannya, ingin mengucapkan selamat menempuh hidup baru karena ..
Blesh! Blesh! "M4ti kau...." Bisik Mutiara tepat di depan telinga Namira. Kedua mata Namira membeliak terkejut, merasakan sakit pada sisi kanan perutnya. Mutiara mendorong tubuh istri Daniel. Namira memegang sisi perut yang terasa nyeri. Darah membasahi tangannya. Pisau yang ada di tangan Mutiara meneteskan darah segar. "Arrghh! Arrgh!" Tubuh Namira terhuyung ke belakang. Merasakan nyeri yang teramat sangat."M4ti kau, Namira! Hahaha...." teriak Mutiara sambil mengangkat pis4u, hendak menghunuskan p1sau ke perut Namira lagi. "Kak Namiraaaa!" Teriakan Nida membuat Mutiara menoleh. Ciaaaatt!Nida menendang tangan Mutiara, hingga pis4u ditangan wanita itu terpelanting. Jatuh ke atas lantai. Prang ...Mutiara terkejut mendapat tendangan mendadak dari Nida. Tak banyak pikir lagi, Nida langsung memvkul wajah Mutiara dengan kemampuan karatenya.Bugh! Satu pukulan mendarat di pipi kiri Mutiara. Tubuh Mutiara terhuyung ke kanan. Tidak sampai disitu, tendangan Nida juga mendarat sempur
"Kamu ada di mana, Van?" Yuda yang masih berada di tengah jalan menuju rumah sakit istrinya, menghubungi Evan. "Lagi di jalan, Pah. Ini mau balik lagi ke rumah sakit.""Papah kan semalam udah larang kamu, jangan anter jemput Bianca dulu. Temenin mamah kamu dulu, Van!" Yuda tak dapat menahan emosi. Ia memarahi anak lelakinya. Bukan tanpa sebab Yuda memarahi Evan. Itu karena Yuda tak ingin Gita mengamuk lagi. Sudah Yuda duga kalau Gita pasti akan mengamuk, dia pasti akan berpikir kalau Evan dan Yuda tidak peduli padanya, tidka perhatian padanya, lebih mementingkan orang lain. "Ya maaf, Pah. Aku bosan ... aku cuma bengong aja. Papah kan tau, aku gak bisa begitu. Lagian kondisi Mamah udah lebih baik. Udah bisa ngomong sepatah atau dua patah kata."Evan beralasan. Terlalu lama sendirian di rumah sakit membuat Evan jenuh. Tidak ada teman ngobrol. Lebih penting lagi, Evan kangen pada Bianca. "Kamu gak boleh gitu, Van. Mamah kamu itu wanita yang telah melahirkanmu. Wanita yang sayang sama
"Dari tadi aku teleponin enggak aktif nomornya, Bang."Alea semakin mencemaskan keadaan kakaknya. Dia tidak tahu lagi kemana mencari keberadaan Axel. "Lea, coba kamu tanya ke temen-temennya. Barang kali aja mereka ada yang tau. Sekarang Abang enggak bisa bantu nyariin Axel. Kamu lihat sendiri, pengunjung lagi banyak.""Iya, Bang. Enggak apa-apa. Ya udah deh, aku pamit dulu."Alea membalikkan badan, menghampiri Nida yang duduk di salah satu kursi cafe. "Tante, Kak Axel enggak ada di sini," ujar Alea menunjukkan raut wajah lesu. "Kemana?""Enggak tau. Handphone-nya juga enggak aktif.""Coba kamu tanyain ke teman-temannya. Kali aja ada yang tau."Nida memberi saran sebab ia juga tidak tahu tempat yang biasa Axel kunjungi. Tempat tongkrongannya. "Aku enggak punya nomor teman-teman Axel," jawab Alea cemberut. Pikirannya mengingat tempat yang biasa Axel kunjungi selain cafe. "Alea, mungkin enggak, kalau Axel udah kembali pulang ke rumah?"Alea mendongak, menatap lekat Nida. "Benar jug
Ibu Ros sangat geram mendengar jawaban anak sulungnya. Tidak menyangka jika Hanif membantah perintahnya. Selama ini, Hanif selalu mengabulkan segala perintah ibu Ros. Tapi sekarang, dengan berani Hanif menolak?"Berani sekali kamu nolak perintah Mama, Hanif?" sentak ibu Ros masih tak terima dengan jawaban Hanif. "Ma, kalau Mama minta uang, minta ini dan itu, aku pasti kabulin. Tapi kalau minta aku nikah lagi atau ceraikan Nida, aku minta maaf, Ma. Aku enggak akan pernah mengabulkannya!" Hanif masih dalam pendiriannya. Tidak akan pernah menceraikan Nida walau ibu Ros sendiri yang mendesak. "Hanif, Nida udah izinin kamu. Dia izinin kamu nikah tapi---""Tapi, aku harus menceraikannya dulu 'kan?" sela Hanif sebelum ibu Ros menyelesaikan ucapannya. "Enggak, Ma. Aku enggak akan menceraikannya."Tanpa berkata apa-apa lagi, Hanif beranjak, meninggalkan wanita yang telah melahirkannya. Ia tak mau berdebat lebih lama lagi. Hanif takut semakin tersulut emosi. Walau bagaimana pun, ibu Ros adal
"Maaf, Tante. Teleponnya nanti lagi, ya? Guruku udah datang. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam."Untung saja guru Kimia datang ke kelas Alea. Kalau tidak? Alea bingung menjawab pertanyaan Nida. Usai menelepon Alea, Nida bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Setelah menemani Shella bertemu dengan klien, Nida berencana akan ke sekolah si kembar. Ingin memastikan apakah Axel masuk sekolah atau tidak? Biar bagaimana pun, Nida lah yang memberitahu tentang kebenaran kedua orang tua Axel dan Alea. Hingga akhirnya sekarang Axel kabur dari rumah. Tiba-tiba Nida teringat Bianca. Apa Bianca akan marah padanya? Tadi sewaktu melewati ruangan Bianca, tampak sepi. Apa mungkin Bianca tidak masuk kantor?*** "Hanif, kamu udah pulang, Nak?" tanya ibu Ros ketika anak kandungnya berdiri di depan pintu rumah. Ia mencium punggung tangan ibu Ros meski sempat kecewa dengan wanita yang telah melahirkannya itu. "Udah, Ma. Aku mau ke kamar dulu," seloroh Hanif yang berusaha menghindar ibu Ros. Ia takut kala
Semenjak kejadian kemarin, rumah Bragastara terasa sepi. Tidak ada lagi keributan antara Axel dan Alea. Bianca tak sanggup jika di rumah terus, mengingat kemarahan Axel padanya. Axel yang selama ini dianggap adik sendiri, kini amat sangat kecewa padanya. "Kamu mau ke kantor?" tanya Evan setelah mengenakan jas. Evan pun sudah memutuskan berangkat ke kantor meski kondisi kesehatannya belum terlalu pulih. "Iya. Aku mau ke kantor saja. Di rumah sepi. Enggak ada anak-anak." Jawaban Bianca membuat kedua pundak Evan menurun. "Bi, berhentilah menganggap mereka anakmu. Axel dan Alea itu adik-adikmu," tandas Evan, sangat kesal setiap kali Bianca ingin dianggap orang tua oleh mereka. "Apa salahnya kalau aku ingin dianggap mamanya? Apa ada yang salah?" tuntut Bianca menatap penuh emosi suaminya. "Enggak salah kalau dari awal kamu bilang yang sebenarnya, Bi ... sekarang lihat mereka. Akibat keputusanmu, Axel membencimu. Apa kamu enggak sadar juga?"Emosi dalam diri Evan sudah tidak dapat dik
"Udah gila ibunya si Hanif. Enak bener dia bilang gitu. Terus kamu bilang apa? Ngizinin Hanif nikah lagi? Mau kamu dipoligami?"Shella tersulut emosi. Sejak dulu, Shella sudah sangat geram melihat tingkah laku keluarga Hanif. Mereka semua benalu dan penjilat. Sering kali meminta uang pada Nida. "Enggaklah, Ma. Aku minta diceraikan kalau Mas Hanif mau poligami. Aku sadar diri, bukan wanita yang ikhlas dan penyabar. Enggak sanggup kalau harus berbagi suami dengan wanita lain." Masih dengan sikap santai, Nida menjawab pertanyaan ibu sambungnya. Shella begitu miris mendengar cerita yang disampaikan Nida. Kasihan Nida. Semasa hidupnya selalu saja ada masalah yang dihadapi."Tapi, Nida ... Kayaknya Hanif enggak mungkin menceraikanmu. Dia sangat mencintaimu. Mama yakin itu."Sebisa mungkin, Shella menghibur Nida. Dibalik sikap tenang dan santainya, Shella yakin sebetulnya Nida pun bersedih. Nida tersenyum miring mendengar tanggapan Shella. "Kalau mamanya yang minta, ada kemungkinan Mas H
"Sudahlah, Ma. Jangan ngomong macam-macam. Aku enggak mungkin menceraikan dia!"Senyum yang sebelumnya terlihat di wajah ibu Ros, seketika lenyap. "Hanif, mau sampai kapan kamu enggak punya anak? Dia itu mandul! Keturunan mandul, Hanif!"Ibu Ros tersulut emosi. Tak menyangka jika anak sulungnya berani melawan perintah padahal sebelumnya tidak pernah."Aku enggak peduli, Ma. Nida mandul atau tidak, aku enggak akan ceraikan dia. Aku sayang Nida, Maaaa ... aku cinta dia ...."Memang, Hanif begitu mencintai Nida. Sejak dulu hingga sekarang cintanya tak pernah berubah. "Halah, cinta, sayang! Kamu itu buta, Hanif! Umurmu udah tua. Tapi, sampai sekarang belum juga punya anak. Kalau kamu udah tua nanti, udah enggak bisa beraktivitas lagi, siapa yang akan menyayangimu? Kamu lihat, Nida. Dia masih muda. Mama yakin, kalau kamu udah sakit-sakitan pasti dia ninggalin kamu! Kalau dia ninggalin kamu, kamu mau sama siapa? Anak enggak punya!"Hanif memejamkan kedua mata, memijat pelipis. Tidak perna
"Apa hubungannya?" Bukannya menjawab, Axel justru balik tanya. Alea manyun, memukul bahu kakaknya. "Pulang ke rumah lagi, Kak. Kasihan mama tau! Nangis terus." Alea mengingat kembali kesedihan yang dialami Bianca. Axel bersikap santai, pandangannya lurus ke depan. "Aku masuk kelas dulu!" Tanpa menanggapi ucapan adiknya, Axel masuk ke dalam kelas. Alea benar-benar dibuat kesal. Rencana mengajak Axel kembali ke rumah gagal lagi. *** "Jam segini baru bangun! Pantas saja asam lambung Hanif sering kumat! Istrinya saja malas menyiapkan sarapan," celetuk ibu Ros saat Nida baru datang ke ruang meja makan. Ibu Ros yang tengah sarapan roti tawar, melirik Nida yang mengacuhkan. "Kamu dengar Mama enggak, Nida?" Sentak ibu Ros. Kedua mata seperti hendak melompat. Amarah terlihat jelas dari raut wajah. "Denger," sahut Nida cuek. Melihat sikap menantunya seperti itu, Ibu Ros semakin marah dan membenci. "Kalau kamu denger, harusnya bangun pagi! Siapin sarapan!" Lagi, Nida te
"Enggak. Mami enggak melakukan kesalahan apapun, Lea. Mami orang yang baik. Namira sahabatku, ibu sambungku yang paling baik bahkan kebaikannya melebihi ibuku sendiri." Bianca langsung menyanggah pertanyaan Alea. Gadis itu tertunduk sesaat, menghela napas berat. "Lalu, kenapa Mama merahasiakan mereka adalah orang tua kandungku?" Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Alea membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak lalu sikap berubah salah tingkah. "Bu-bukan maksud ingin merahasiakan ta-tapi ...."Tak sanggup, Bianca meneruskan kalimat. Teringat kekurangan dalam diri bahwa sebetulnya Bianca tak bisa memberikan keturunan untuk Evan karena ia telah divonis mandul oleh dokter. "Ya udah, Ma. Enggak usah diucapkan kalau memang alasannya akan menyakitiku atau menyakiti hati Mama lagi."Alea mencoba berpikir bijak. Tak ingin wanita yang telah merawatnya penuh kasih sayang itu bersedih dan menangis lagi. "Bukan begitu, Lea. Ma-Mama ....""Kenapa kamu masih saja menyebut diri
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma