"Hm ... Nida maaf sebelumnya. Bukan ... aku gak setuju kamu minta maaf sama mamahnya Evan. Tapi, apa kamu tau, siapa nama istri pertama papahmu?" Namira balik bertanya. Ia pikir, mungkin ini saatnya mengungkapkan kebenaran. Namira tidak ingin Nida terus-menerus merasa bersalah pada Gita atas sikap Dania dulu. Nida, anak ini tidak tahu apa-apa. Ia tidak boleh menanggung akibat dari kesalahan kedua orang tuanya di masa lalu. Nida harus bahagia, masa depannya harus cerah. Nida tercenung mendengar pertanyaan Namira. Gadis itu menggelengkan kepala. "Enggak, Kak. Yang pasti, aku ... aku belum pernah bertemu dengannya 'kan?"Namira tersenyum miring mendengar pertanyaan Nida. Ia menghela napas panjang, pandangannya lurus ke depan. "Kak, jangan-jangan ... a-aku kenal sama mamahnya Kak Evan?" Suara Nida bergetar. Ia sangat takut akan kenyataan lain yang dihadapinya. Kenyataan yang mungkin saja sangat pahit. Namira tak sanggup menyembunyikan kenyataan itu. Kebenaran yang sesungguhnya. Sekara
"Karena kamu kuat. Karena kamu bisa melewatinya. Nida, kamu harus yakin kalau ... kalau dibalik kesedihan dan penderitaan yang pernah kamu alami, akan ada kebahagiaan, akan ada kesuksesan yang nanti akan kamu gapai. Yang penting, jangan membalas perbuatan yang buruk atau perbuatan yang j4hat dengan perbuatan yang sama. Mereka j4hat, kita jangan. Kamu harus menjadi pribadi Nida yang baik hati. Menjadi Nida yang pemaaf. Oke, Nida?" Kedua tangan Namira menangkup pada wajah Nida. Gadis itu menganggukkan kepala, lalu kembali memeluk Namira. Cukup lama Nida memeluk tubuh Namira. Ia benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana setelah ini. Yang pasti, sekarang Nida sudah mengerti, kenapa papahnya tidak membalas pesannya? Kenapa papahnya tidak merespon teleponnya? Nida sangat yakin, semua itu dilakukan papahnya karena Gita, Gita dan Evan. "Sekarang kamu istirahat, ya? Jangan nangis lagi. Nanti, bilamana kamu ketemu sama Tante Gita, berpura-puralah enggak kenal dia. Pura-pura saja baru
"Aku percaya sama kamu, Mas ....""Tapi kenapa kamu rahasiakan masalah sebesar itu dari aku, Namira?" Suara Daniel mulai meninggi.Degh!Seketika jantung Namira berdetak lebih kencang. Sorot mata Daniel begitu tajam menatapnya. Bahkan baru saja, Daniel berkata dengan intonasi suara tinggi dan menyebut namanya. Namira diam. Air mata sudah menetes tanpa bisa dicegah.Daniel sendiri bingung. Dia tidak menyangkan sedikitpun kalau Namira menyembunyikan si pelaku yang mencvlik Nida sewaktu bayi. Terjadi keheningan lagi. Tenggorokan Namira tercekat. Dia tak bisa mencegah air matanya. Mengalir begitu saja padahal berulang kali, Nida menyekanya dengan kasar. Sedangkan Daniel, justru memalingkan wajah ke arah lain seperti enggan menatap istrinya, ia merasa kecewa."Kenapa kamu tetap diam? Kenapa kamu gak ceritain semua itu ke aku? Kenapa?" tuntut Daniel merasa tak terima Namira menyembunyikan tentang kej4hatan yang dilakukan Gita pada keponakannya. Namira tak menjawab, dia tetap diam."Aku ga
Namira sangat terkejut mendengar ucapan Daniel. Memang sebelumnya Namira sudah menduga kalau Daniel pasti akan marah besar dan akan memberi hukuman atas kej4hatan yang dilakukan Gita tetapi Namira tidak menyangka kalau Daniel sampai mencaci maki Gita. "Mas ... aku mohon, lupakan saja masalah ini. Kita pura-pura enggak tau aja tentang siapa tante Gita. Aku takutnya nanti Bianca patah hati, Mas ...." Namira menggamit lengan suaminya. Masih berusaha membujuk Daniel agar tidak memperkarakan masalah Gita pada waktu dulu."Tadi aku udah bilang, aku enggak akan memisahkan hubungan Evan dan Bianca. Mereka akan tetap menikah kalau memang berjodoh. Aku hanya ingin memberi pelajaran pada Gita supaya dia enggak semena-mena lagi pada keluarga kami apalagi sampai menyakiti Nida."Kedua mata Namira terpejam sejenak. Ia menghela napas panjang. "Mungkin kamu enggak akan memisahkan Bianca dan Evan. Tapi, Tante Gita? Jangankan hanya menjauhkan Evan dengan Bianca, dia mencvlik Nida aja berani, Mas."Da
Sesaat, Namira ragu. Apa Bianca juga harus tahu tentang siapa Gita yang sebenarnya? Kalau Bianca tahu, nanti bagaimana reaksinya? Kalau tidak diberitahu sekarang, lambat laun pasti Bianca akan mengetahuinya. 'Ya Allah, aku bingung harus bagaimana? Apa Bianca mesti mengetahui tentang siapa Gita yang sebenarnya?'"Mih, kamu baik-baik aja? Kamu dan papah kenapa sih? Ada apa, Mih?"Kepala Namira mendadak pusing. Perutnya mulai terasa mual lagi. Tak tahan, Namira sedikit berlari ke toilet, muntah-muntah. Bianca terkejut, ia terpaksa masuk ke dalam kamar papahnya tanpa izin lebih dulu. "Ya Allah, Mih ... ada apa? Kamu kenapa?" Lagi dan lagi Bianca bertanya demikian. Memijat tengkuk Namira yang tengah muntah-muntah. "Aku pengen istirahat dulu, Bi. Kepalaku pusing banget," ucap Namira pelan. "Oh ya udah." Bianca tak bisa memaksa meski hatinya sangat penasaran apa lagi melihat wajah ibu sambungnya sangst pucat. Dengan hati-hati, Bianca memapah tubuh Namira hingga berbaring di atas tempat t
Yuda sangat terkejut mendengar pertanyaan Daniel. Tiba-tiba saja Daniel bertanya seperti itu? Apakah benar, kalau ada orang yang berbuat j4hat pada perusahaan? Siapa? Bukankah Hesti sudah meringkuk ke dalam penjara?"Pak Daniel, kenapa Pak Daniel bertanya seperti itu? Apa benar, ada orang yang berbuat j4hat pada keluarga Bapak?"Daniel memejamkan kedua mata sesaat, berusaha menetralisir amarah yang ingin menguasainya. Daniel yakin, jika Yuda mengetahui dalang pencvlikan Nida adalah istrinya, dia pasti akan marah besar dan kecewa. Tetapi, Daniel juga tidak ingin membiarkan Gita nantinya akan berbuat lebih j4hat lagi pada keluarganya. "Jadi begini, Yuda. Sekarang aku udah tau siapa orang yang mencvlik Nida sewaktu bayi."Yuda terkejut, ia sampai memundurkan kepalanya. "Semudah itu, Pak?" Tampaknya Yuda tidak langsung percaya akan ucapan Daniel."Iya. Apa kamu enggak percaya kalau Allah telah memberitahuku siapa pelaku yang mencvlik keponakanku sewaktu bayi?"Yuda salah tingkah, terlih
"Hari ini Mamah senang ... sekali bisa belanja sama kamu, Van. Nah gitu dong ... kalau Mamah minta dianter belanja, kamu harus mau. Masa antar jemput Bianca mau, nganterin Mamah gak mau?" celoteh Gita ketika mereka baru pulang belanja bulanan. Evan tidak menanggapi hanya tersenyum simpul. Sepanjang menemani mamahnya belanja, Evan tak banyak bicara. Dia bicara kalau Gita bertanya atau meminta pendapatnya. Evan sangat kepikiran Bianca. Khawatir kekasih hatinya itu tersinggung dan marah.Hasil belanjaan Gita sudah disimpan di dapur. Asisten rumah tangganya bergegas merapikan hasil belanjaan Gita. Evan hendak masuk ke dalam kamar, namun dipanggil Gita. "Ada apa lagi, Mah? Mau diantar kemana lagi?" tanya Evan membuat hati Gita tersinggung. "Kamu kok bicaranya begitu, Nak? Mamah cuma pengen ngobrol sama kamu. Sebentar saja kok." Gita masih bisa berbicara lembut meskipun pertanyaan Evan tadi membuatnya tersinggung.Dengan malas, Evan menuruti kemauan mamahnya. Duduk di sofa samping Gita.
"Saya ingin bicara empat mata sama kamu," ujar Daniel. Tatapannya sangat dingin. Dia sudah tidak bisa bersikap baik pada wanita yang berdiri di hadapan. Gita menelan saliva. Perasaannya mulai tak menentu. Dia merasa kalau Daniel sudah mengetahui perbuatannya di masa lalu. "Silakan masuk, Pak Daniel." Gita mempersilakan sambil memaksakan bibir untuk tersenyum. Perasaannya sungguh tak enak. Dia takut sekali kalau Daniel berbuat buruk padanya. "Enggak usah di dalam. Duduk di sana saja." tolak Daniel dengan isyarat dagu mengarah pada kursi teras rumah Yuda. Ia berjalan, duduk di kursi sebelah kiri. Gita salah tingkah, sikapnya berubah gugup. Jantungnya berdegup lebih cepat melihat ekspresi wajah Daniel yang dingin dan datar. Biasanya Daniel sangat ramah, wajahnya tak luput dari senyuman. Tapi, kini ... wajah Daniel sangat dingin dan muram. "Hm, Pak Daniel, saya mau ambilin air minum dulu, ya? Sebentar." Gita ingin menghindar dari Daniel. Ia tak ingin ngobrol dengannya. Gita ke dalam
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang