“Sebaiknya Ara dan …” Danisa menggantung kalimatnya, menoleh pada Aiden dia mengulas senyum pada anak lelaki yang menjadi murid barunya. “Aiden masuk ke kelas ya,” ujar Danisa pada kedua anak yang akan belajar bersama di Yayasan miliknya itu. “Iya.”Aiden menjawab singkat, berbeda dengan Ara yang semula terlihat ceria itu menjadi pendiam.“Hai, kamu murid baru kah?” tanya Claudia dengan senyum ramah, menyambut kedatangan teman baru yang akan bermain dan belajar bersama dirinya itu. Ara menoleh, ke arah Claudia. Tatapan yang dia tunjukkan sungguh sangat tidak bersahabat sama sekali. Tetapi, anak itu sama persis dengan Danisa. Meski kesal, dia tetap menyambut sapaan yang dilakukan oleh anak tersebut. “Ya, aku anak baru di sini.”“Wah, kamu pasti akan betah belajar dan bermain di sini. Di sini, selain banyak teman bermain. Bunda Bunda di sini sangat baik dan sangat sayang dengan anak-anak seperti kita. Kamu pasti akan betah di sini,” ujar Claudia memberitahukan situasi di Yayasan t
Keadaan mendadak menjadi hening, saat anak-anak yang sebelumnya mengisi suasana di sekitar itu sudah pergi meninggalkan dua orang dewasa yang memiliki masa lalu yang belum terselesaikan sampai saat ini itu. Lalu, tatapan mata keduanya itu saling bertemu. Danisa yang begitu pandai menguasai diri, memberikan senyum lembut pada Daren yang sejak tadi menatap datar ke arahnya. “Jika begitu, saya pamit dulu ya, Pak,” ujar Danisa ramah selayaknya ia sedang berbicara dengan wali murid dari siswa-siswanya yang lainnya. Tidak ada jawaban apa pun dari Daren, pria itu sepertinya sedang bingung harus menjawab apa. Danisa yang sejujurnya berada dalam keadaan tidak nyaman itu pun memilih untuk meninggalkan Daren yang sedang bergelut dengan pikirannya sendiri antara ingin berbicara hal yang serius dengan Danisa atau memilih untuk diam. “Selamat pagi,” ucap Danisa lagi, wanita yang terlihat sangat anggun dengan penampilannya itu pun mulai berbalik untuk meninggalkan Daren yang sejak tadi tengah me
Darel yang melihat Danisa bergegas dengan kekhawatirannya itu menjadi penasaran. Pria itu kembali teringat, dengan sebab Danusa dulu mau menerima tawaran darinya untuk mengandung anak-anaknya. Apa ini ada hubungannya dengan sakit yang diderita oleh ibunya Danisa dulu? Sebab, kepanikan yang Danisa tunjukkan itu begitu terlihat jelas di mata wanita yang pernah mengandung anak-anaknya tersebut. “Apa yang terjadi sebenarnya?” gumam Daren ikut penasaran menatap punggung Maya yang menyusul kepergian Danisa juga dari hadapannya tersebut. “Apa mungkin sedang terjadi sesuatu pada ibu Danisa?” Rasa penasaran yang terjadi diri Daren semakin tinggi. Pria itu melupakan jika sebelumnya ada seorang pria yang sudah lebih dulu masuk ke rumah sederhana milik Danisa. Apa Daren yang ikut cemas juga yang membuat pria pintar itu melupakan kejadian yang berlalu beberapa saat tadi. Kakinya pun mulai melangkah, meninggalkan tempatnya berdiri. Tanpa izin dari Danisa, sebab rasa penasaran yang sedang terj
Pagi harinya, Daren tetap menunjukkan sikap biasanya di depan anak-anak kesayangannya. Sama sekali tidak menunjukkan sikap tak nyaman atas suasana hati yang tengah di rasakan pagi ini. Semalaman dia sudah untuk memejamkan kedua matanya. Pikirannya menggelayut manja dan kenangan yang pernah terjalin antara dirinya dengan wanita yang pernah hadir dalam kehidupannya dan telah memberikan dua orang anak lucu-lucu seperti apa yang ia pintar dari Danisa.Riana menatap curiga, atas wajah lesu yang terjadi pada sang putra. Hingga Akhirnya dia pun memutuskan untuk bertanya langsung sebab apa yang membuat Daren seperti orang yang kurang beristirahat. Atau jangan … jangan. Putra tunggalnya itu sedang sakit?“Apa kau sedang sakit, Daren? Wajahmu pucat,” tanya Riana tak sabar dan pasti dia mencemaskan Daren sebab tidak mengurusnya. Daren menatap sama mama, tangan besarnya itu menarik kursi dan dia duduk di atasnya. Dia pun memberikan jawaban pada mamanya yang dia tahu sedang mencemaskan diriny.
Danisa yang melihat keseriusan yang Daren tunjukkan padanya itu terdiam memaku di tempatnya berdiri. Hingga tak ada lagi kata yang keluar dari bibirnya, dengan tubuhnya yang sedang mematung di tempatnya. Hingga tubuh tegap pria yang telah meninggalkan Danisa berdiri itu menghilang dari pandangan wanita tersebut, Danisa pun terkesan dengan panggilan Maya, adiknya. “Mbak, aku berangkat dulu ya,” ujar Maya, berpamitan hendak pergi ke toko kue sebab banyak pesanan pagi ini yang harus segera dikirim. “Eh, Iya.” Danisa terkejut dengan kehadiran Maya yang tiba-tiba telah ada di sebelahnya itu. Maya yang mendapati sang Kakak terkejut itu pun menautkan kedua alisnya bingung dan tentu dia penasaran dengan apa yang terjadi. “Mbak kenapa sih? Kok dari tadi bengong seperti orang bingung.” Maya menatap ke arah mobil yang baru saja meninggalkan halaman yayasan. Dan Maya kembali menatap Danisa yang tampak terkejut dengan kehadirannya itu. “Memangnya Mbak kenal dengan orang tadi? Kok kayaknya a
Sepanjang malam, Danisa begitu sulit untuk terlelap dalam tidurnya. Dia masih kepikiran dengan wajah Ara yang seharian ini ditekuk mukanya. Bingung, apa yang harus dia katakan. Sebab siang tadi dia hanya sedang berusaha memberikan jawaban yang masuk akal menurutnya. Tidak ingin menyakiti perasaan dan hati putih du putri kecil yang sama-sama Danisa sayangi. Dan apa yang Danisa katakan pada Ara tetap tak mampu membuat anak itu kembali ceria seperti sedia kala. “Besok aku harus bicara pada Retu dan Claudia untuk tidak berbicara masalah ini pada orang lain,” gumam Danisa yang hanya mampu didengar oleh dirinya sendiri sebab tak ada orang lain lagi di dalam kamarnya itu. Danisa masih meminta waktu pada Restu dan ibunya. Soal lamaran yang Restu lakukan untuknya kemarin. Sebab, dia masih belum mampu menerima kehadiran pria lain dalam hidupnya. Terlebih saat munculnya kembali Daren dan kedua anak kembarnya yang ia yakin jika mereka itu adalah anak yang telah dikandungnya dulu. Langit pagi y
Siang hari, seorang guru yang bertugas membersamai kelas Ara, Claudia terdengar sedang mengetuk pintu ruangan Danisa yang masih dilanda keresahan yang teramat itu. Danisa mempersilahkan karyawannya tersebut masuk menemui dirinya. “Maaf, saya sudah ganggu waktu Bunda,” kata Bu Sarah yang menjadi karyawan Danisa.Danisa tersenyum manis, dia mengulas senyum tipis diiringi dengan anggukan yang Danisa beri sebagai sapaan hangat yang biasa dia lakukan untuk siapapun. “Tidak apa. Ada apa Bu Sarah?” tanya Danisa ramah pada wanita tersebut. “Bu, ada wanita setengah baya yang jemput Ara dan Aiden ke sekolah. Saya tidak berani memberi izin pada Ara sebab ayahnya sebelumnya telah berpesan hanya dia yang bisa menjemput putri dan putranya.” Bu Sarah memberitahukan jika ada orang lain yang menjemput Ara dan Aiden. Danisa mengernyit bingung, memang Daren lah yang semula telah menyetujui surat perjanjian yang tertulis jika dia sendiri yang akan mengantar jemput anak-anaknya. Bahkan, suster Ara pu
“Mama sangat tak percaya bisa melihat kamu lagi sekarang, Danisa. Mama pikir, Mama tidak akan lagi bisa menemuimu setelah kepergianmu tiba-tiba dalam hidup kami.” Seperti biasa, Riana yang selalu menunjukkan sikap ramahnya pada siapa pun. Ternyata sikap yang selalu Riana tunjukkan padanya selama ini tak berubah. Meski waktu telah terkikis banyak dan Danisa sudah meninggalkan kesan yang begitu buruk pada wanita yang sudah duduk di ruang kerjanya ini. Ara dan Aiden memilih untuk bermain di taman bermain yang ada di halaman bermain yayasan. Tentu saja semua itu atas bujukan Aiden yang mengerti jika Oma dan Bundanya itu membutuhkan waktu untuk bicara berdua yang bersifat privasi tentunya. Danisa yang mendengar setiap kata yang terdengar begitu bahagia dari wanita yang pernah menjadi mertua baginya itu hanya mampu meringis prihatin. Bagaimana bisa, Riana bukannya marah dengannya. Tapi sikap yang ditunjukkan itu malah sebaliknya. “Danisa juga, Ma. Danisa tak pernah menyangka akan bertem