Riana yang mendapat larangan dari sang putra itu terdiam. Tentu saja dia bingung dengan sebab apa yang membuat Daren melarangnya untuk ikut mengantarkan kedua cucunya. “Memangnya kenapa mama tak boleh ikut. Mama mau antar Ara dan Aiden. Mama juga ingin bertemu dengan Danisa. Sudah lama Mama tak jumpa. Tentu Mama juga rindu ingin bertemu dengan dia yang sekarang. Mama juga mau bilang, jika sejak kepergian dia dari hi—”“Ma.” Darren yang tak ingin sang mama melanjutkan kalimatnya itu menjeda segera. Semakin dibiarkan, akan semakin ke mana-mana mamanya itu meluapkan segala keinginannya.“Biar Daren saja ya. Kali ini, biar menjadi urusan Daren dan anak-anak.” Pria yang sudah sangat matang di usianya itu melirik ke arah kedua anaknya secara bergantian. “Biar semuanya berjalan sesuai dengan alurnya. Mama cukup doakan Daren, Daren pastikan akan bawa Danisa bersama dengan kita,” terang Daren dengan keyakinan penuh akan usaha yang dia lakukan. “Daddy benar, Omah. Percayakan pada kami,” Se
Suara Aiden yang sejak tadi diam tak berkata itu berhasil mengalihkan perhatian Daren dan sang mama. Daren mengerti, ia pun kembali menatap sang mama kemudian berpamitan untuk mengantarkan kedua buah hatinya ke sekolah baru mereka. “Daren pergi dulu. Biar Daren juga nanti yang akan jemput. Mama tunggu di rumah saja ya,” pamitnya pada sang amma.“Baiklah, kalian berhati-hatilah di jalan. Semoga apa yang kau lakukan akan membuahkan hasil yang terbaik untuk keluarga kecilmu, Sayang.” Riana memberikan pesan dan doa terbaiknya pada sang putra. Berharap rencana apa pun yang akan dilakukan oleh anaknya itu akan berbuah manis untuk kedua cucunya. Daren mengangguk samar, dia tak menjawab dan segera berlalu dari hadapan sang mama menuju pintu kemudi dan segera melaju meninggalkan kediaman rumah besarnya tersebut. Daren fokus pada kemudi mobilnya, sedangkan Ara yang tampak wajah cerianya berbanding terbalik dengan sikap tenang yang selalu Aiden tunjukkan dalam kesempatan apa pun juga. “Ara
Danisa yang sebelumnya mematung saat mendengar Ara menyebutkan Oma yang ia pikir pasti adalah Riana, nenek dari kedua anak yang menjadi murid baru di yayasannya itu berhasil menyesuaikan diri. Dia pun menatap penuh haru dengan senyum yang terpancar di wajahnya. Danisa pun bertanya pada Ara yang menyampaikan kabar itu kepadanya. “Oma?” Tanya Danisa pada Ara.“Iya. Oma yang sudah siapkan makanan ini khusus buat Bunda. Oma juga sudah buatkan kue yang katanya Oma pernah buat bersama Mommy dulu,” terang Ara menunjukkan kejujurannya pada Danisa.Danisa terdiam, membeku di tempatnya saat Ara semakin memperjelas akan masa lalu yang pernah dia lakukan dulu bersama sang mertua. Dia pun mengulas senyum manisnya dan kembali berkata pada anak tersebut, tentu saja dia pun begitu pandai melakukan sandiwara di antara orang-orang yang saat ini tengah menatapnya. “Wah, seru sekali ya. Pasti enak. Bunda nanti akan coba, pasti sangat menggoda enak masakan omah yang pernah dimasak bersama mommymu,” je
“Sebaiknya Ara dan …” Danisa menggantung kalimatnya, menoleh pada Aiden dia mengulas senyum pada anak lelaki yang menjadi murid barunya. “Aiden masuk ke kelas ya,” ujar Danisa pada kedua anak yang akan belajar bersama di Yayasan miliknya itu. “Iya.”Aiden menjawab singkat, berbeda dengan Ara yang semula terlihat ceria itu menjadi pendiam.“Hai, kamu murid baru kah?” tanya Claudia dengan senyum ramah, menyambut kedatangan teman baru yang akan bermain dan belajar bersama dirinya itu. Ara menoleh, ke arah Claudia. Tatapan yang dia tunjukkan sungguh sangat tidak bersahabat sama sekali. Tetapi, anak itu sama persis dengan Danisa. Meski kesal, dia tetap menyambut sapaan yang dilakukan oleh anak tersebut. “Ya, aku anak baru di sini.”“Wah, kamu pasti akan betah belajar dan bermain di sini. Di sini, selain banyak teman bermain. Bunda Bunda di sini sangat baik dan sangat sayang dengan anak-anak seperti kita. Kamu pasti akan betah di sini,” ujar Claudia memberitahukan situasi di Yayasan t
Keadaan mendadak menjadi hening, saat anak-anak yang sebelumnya mengisi suasana di sekitar itu sudah pergi meninggalkan dua orang dewasa yang memiliki masa lalu yang belum terselesaikan sampai saat ini itu. Lalu, tatapan mata keduanya itu saling bertemu. Danisa yang begitu pandai menguasai diri, memberikan senyum lembut pada Daren yang sejak tadi menatap datar ke arahnya. “Jika begitu, saya pamit dulu ya, Pak,” ujar Danisa ramah selayaknya ia sedang berbicara dengan wali murid dari siswa-siswanya yang lainnya. Tidak ada jawaban apa pun dari Daren, pria itu sepertinya sedang bingung harus menjawab apa. Danisa yang sejujurnya berada dalam keadaan tidak nyaman itu pun memilih untuk meninggalkan Daren yang sedang bergelut dengan pikirannya sendiri antara ingin berbicara hal yang serius dengan Danisa atau memilih untuk diam. “Selamat pagi,” ucap Danisa lagi, wanita yang terlihat sangat anggun dengan penampilannya itu pun mulai berbalik untuk meninggalkan Daren yang sejak tadi tengah me
Darel yang melihat Danisa bergegas dengan kekhawatirannya itu menjadi penasaran. Pria itu kembali teringat, dengan sebab Danusa dulu mau menerima tawaran darinya untuk mengandung anak-anaknya. Apa ini ada hubungannya dengan sakit yang diderita oleh ibunya Danisa dulu? Sebab, kepanikan yang Danisa tunjukkan itu begitu terlihat jelas di mata wanita yang pernah mengandung anak-anaknya tersebut. “Apa yang terjadi sebenarnya?” gumam Daren ikut penasaran menatap punggung Maya yang menyusul kepergian Danisa juga dari hadapannya tersebut. “Apa mungkin sedang terjadi sesuatu pada ibu Danisa?” Rasa penasaran yang terjadi diri Daren semakin tinggi. Pria itu melupakan jika sebelumnya ada seorang pria yang sudah lebih dulu masuk ke rumah sederhana milik Danisa. Apa Daren yang ikut cemas juga yang membuat pria pintar itu melupakan kejadian yang berlalu beberapa saat tadi. Kakinya pun mulai melangkah, meninggalkan tempatnya berdiri. Tanpa izin dari Danisa, sebab rasa penasaran yang sedang terj
Pagi harinya, Daren tetap menunjukkan sikap biasanya di depan anak-anak kesayangannya. Sama sekali tidak menunjukkan sikap tak nyaman atas suasana hati yang tengah di rasakan pagi ini. Semalaman dia sudah untuk memejamkan kedua matanya. Pikirannya menggelayut manja dan kenangan yang pernah terjalin antara dirinya dengan wanita yang pernah hadir dalam kehidupannya dan telah memberikan dua orang anak lucu-lucu seperti apa yang ia pintar dari Danisa.Riana menatap curiga, atas wajah lesu yang terjadi pada sang putra. Hingga Akhirnya dia pun memutuskan untuk bertanya langsung sebab apa yang membuat Daren seperti orang yang kurang beristirahat. Atau jangan … jangan. Putra tunggalnya itu sedang sakit?“Apa kau sedang sakit, Daren? Wajahmu pucat,” tanya Riana tak sabar dan pasti dia mencemaskan Daren sebab tidak mengurusnya. Daren menatap sama mama, tangan besarnya itu menarik kursi dan dia duduk di atasnya. Dia pun memberikan jawaban pada mamanya yang dia tahu sedang mencemaskan diriny.
Danisa yang melihat keseriusan yang Daren tunjukkan padanya itu terdiam memaku di tempatnya berdiri. Hingga tak ada lagi kata yang keluar dari bibirnya, dengan tubuhnya yang sedang mematung di tempatnya. Hingga tubuh tegap pria yang telah meninggalkan Danisa berdiri itu menghilang dari pandangan wanita tersebut, Danisa pun terkesan dengan panggilan Maya, adiknya. “Mbak, aku berangkat dulu ya,” ujar Maya, berpamitan hendak pergi ke toko kue sebab banyak pesanan pagi ini yang harus segera dikirim. “Eh, Iya.” Danisa terkejut dengan kehadiran Maya yang tiba-tiba telah ada di sebelahnya itu. Maya yang mendapati sang Kakak terkejut itu pun menautkan kedua alisnya bingung dan tentu dia penasaran dengan apa yang terjadi. “Mbak kenapa sih? Kok dari tadi bengong seperti orang bingung.” Maya menatap ke arah mobil yang baru saja meninggalkan halaman yayasan. Dan Maya kembali menatap Danisa yang tampak terkejut dengan kehadirannya itu. “Memangnya Mbak kenal dengan orang tadi? Kok kayaknya a
Siang itu, mendadak suasana rumah sakit menjadi mencekam.Darren sudah keluar dari dalam ruang perawatan Rinaldi, ayahnya. Namun belum sempat Riana yang baru saja akan menghampiri putranya dan ingin bertanya tentang apa yang dilakukan Daren di dalam sana sudah dibuat terkejut dengan beberapa perawat yang saling berlari menuju ke ruang Reynaldi dengan tatapan mata yang terlihat panik.Bukan hanya Riana yang terkejut, Danisa pun ikut merasa panik dengan kejadian nyata yang saat ini dilihatnya.Lewat sorot matanya Ia pun bertanya pada Riana dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada Renaldi di dalam kamar perawatannya.Detak janur Riana berpacu kencang saat melihat para petugas medis berlarian yang tak lama diikuti oleh dokter pribadi Renaldi yang menangani langsung pria tua itu.“Apa yang terjadi?” Entah pada siapa Riana bertanya sebab Danisa dan Daren pun tidak mengerti dengan apa yang terjadi.Danisa mendekat ke arah Riana memeluk perempuan itu dengan maksud ingin menguatkan ji
Suasana ruang yang didominasi oleh warna putih itu begitu hening. Sambutan yang kini didapat oleh seorang pengusaha muda yang bernama Daren Raynaldi. Ya, dia sangat membenci nama Reynaldi yang begitu sangat dirinya benci. Daren begitu membenci nama itu. Sebab nama tersebut adalah nama dari pria yang memiliki aliran darah sama dalam tubuhnya. Nama yang begitu sangat dibencinya, sebab pria yang tak lain adalah ayahnya sendiri telah menorehkan luka yang begitu dalam untuk dirinya selama ini. Kini, dia dapat melihat penderitaan dari pria yang tak ingin ditemui olehnya itu. Pria yang sangat dibenci oleh Daren, kini tergeletak lemah tak berdaya. Bahkan, dirinya yakin untuk sekedar membuka mata pria itu tak akan mampu melakukannya. Daren masih berdiri di tempatnya, setelah dirinya usai menutup pintu ruang perawatan khusus yang hanya ada satu ranjang beserta pasien serta seluruh alat yang menempel dalam tubuh pria yang sudah sangat lemah tak berdaya. Ya, pria angkuh dan sombong itu sudah
Seperti yang Darren katakan kepada Danisa yang meminta untuk ditemani. Kini, keduanya sedang berada di dalam mobil menuju ke sebuah tempat yang Danisa sendiri pun belum mengetahui. Iya, Danisa belum bertanya pada sang suami sebab setelah darah mengajak dia harus disibukkan dengan mengurus kedua buah hatinya yang kemudian mengantar Ara dan Aiden menuju ke tempat sang nenek.Setiba di sana, kedua anak kembar itu pun langsung turun dari mobil. Sebab tak sabar untuk bermain bersama nenek dan tantenya.“Mom dan daddy nggak usah anterin arah ke dalam. Nanti biar Ara yang bilang sama nenek jika Mommy dan Deddy akan pergi.”Ara yang sudah tidak sabar itu meminta ayah dan sang ibu untuk segera berlalu dari kediaman sang nenek. Tetapi Danisa tak langsung mengiyakan, sebab dia pun ingin bertemu dengan sang Ibu dan meminta izin untuk menitip kedua buah hatinya di sini.“Mommy mau bertemu nenek dulu, Princess. Nanti setelah ketemu nenek baru Mommy dan Deddy akan berangkat.”Danisa tersenyum lembut
“Apa kamu sibuk hari ini?” tanya Daren tiba-tiba saat subuh dan keduanya sedang berada di atas ranjang saling berpelukan satu sama lain. Danisa yang berada dalam dekapan hangat suaminya itu mendongak. Menatap penuh tanya pada sang suami akan maksud yang hendak Daren katakan kepadanya itu. “Kenapa?” tanya Danisa, balik bertanya ingin memastikan jika Daren ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat. Daren membalas tatapan sang istri. Memberikan usapan lembut ke lengan Danisa setelah aktivitas panas malamnya telah berlangsung. Keduanya tak langsung tidur setelah melakukan ibadah subuhnya. Saling mendekatkan diri, dan Danisa tak ingin banyak tanya atau berbicara kecuali jika itu urusan kedua buah hatinya. “Temani aku,’ ucap Daren singkat, tak langsung memberitahukan tujuannya ke mana akan pergi mengajak wanitanya. “Aku akan temani, jika kamu butuh aku. Tak perlu bertanya,” jawab Danisa, merekahkan senyum manisnya dan kembali mengeratkan dekapan hangat yang Daren berikan untuknya. Daren
“Jangan bicara begitu sama mama,” kata Danisa minta agar Daren mampu meredam emosi pada sang mama.DADanisa tak ingin melihat hubungan ibu dan anak itu menjadi renggang. Sebab, dia tahu seberapa besar rasa sayang dan pengorbanan Riana yang begitu besar dalam membesarkan Daren dulu. Daren tak menjawab, pria itu masih diam merasakan sentuhan lembut dari Danisa yang memeluk dirinya dari belakang tubuh tegapnya itu. “Mama akan sedih, jika kamu berkata kasar padanya. Bukankah selama ini kau selalu memperjuangkan kebahagiaan mama,” lanjut Danisa mengingatkan pada suaminya. Perjuangan yang Daren lakukan untuk mamanya begitu besar. Hingga dia mampu melawan ego menikah demi bisa memberikan cucu yang selalu dituntut oleh mamanya dulu. Daren menarik nafasnya dalam-dalam. Kemudian membuangnya secara kasar sebelum akhirnya membuka suara menjawab setiap kalimat yang terucap dari wanitanya itu. “Kau tak mengerti,” jawab Daren singkat. “Aku tahu, Daren,” bela Danisa untuk dirinya sendiri, yang
Riana menghentikan langkah kakinya saat Daren menyebut kata ‘tua bangka’. Riana berpikir, mengapa Daren bisa mengetahui rahasia yang masih dijaga olehnya dengan begitu baik. Dia pun berpaling, menatap Daren yang sedang berusaha menahan amarah. Riana tahu, jika Daren tidak akan meluapkan amarahnya di hadapan anak-anaknya. Riana sudah menyiapkan segala sesuatu untuk segala kemungkinan yang akan terjadi jika Daren akan marah kepada dirinya. “Kau tak boleh bicara seperti itu Daren,” tegur Riana dengan nada rendahnya sebab tak ingin menunjukkan perdebatan yang akan berlanjut kemarahan putranya tersebut. Daren diam, tak langsung menjawab apa yang dikatakan oleh ibunya itu kepadanya. “Sejak kapan Mama berhubungan lagi dengannya?” tanya Daren dengan suara dinginnya. “Dan untuk apa mama menemui tua bangka itu lagi. Itu sebabnya mama tak mau kembali lagi ke Singapura dan memilih menetap di sini.” Daren masih tak menunjukkan sikap ramahnya. Danisa yang semula bersiap menghidangkan sarapan d
Pagi di kediaman rumah Daren terasa begitu berbeda seperti hari-hari biasanya. Danisa pagi-pagi sudah bangun dari tidurnya membantu pelayan yang bekerja di rumah mewah Daren itu untuk menyiapkan sarapan keluarga kecilnya.Beberapa kali pelayan meminta agar Danisa beristirahat. Tentu saja mereka tahu jika pengantin baru harus memiliki banyak waktu luang dan kebersamaan terlebih rumah tangga mereka yang terpisah lumayan lama.Akan tetapi, larangan yang dilakukan oleh pelayan untuk Danisa itu diabaikan oleh Danisa. Dia ingin sekali menyiapkan sarapan untuk kedua buah hatinya dan juga suaminya, maka dari itulah dia menyempatkan untuk pergi ke dapur dan membuatkan sarapan khusus untuk keluarga kecilnya.“Saya khawatir jika tuan dari nanti bangun akan menegur kami, Bu,” tutur wanita yang usianya jauh lebih tua dari pelayan lain yang bertugas menjadi ketua pelayan di rumah mewah itu.Indonesia menoleh, dia tersenyum hangat kepada wanita paruh baya yang begitu ramah sejak kedatangannya di rum
“Mama pergi dulu ya, kalian lanjutkan dulu sarapannya.” Riana mengakhiri sarapan paginya, di saat anggota keluarganya yang lain pun baru saja akan memulai.Kemudian dia beralih menatap kepada Ara yang sedang menggigit roti di tangannya.“Princess, Oma. Nanti kamu berangkatnya sama Mommy saja ya. Oma minta maaf, sebab tadi sudah janji akan antar Ara ke sekolah pagi ini seperti kemarin,” lanjut Riana berkata kepada Ara sebab dirinya tak bisa mengantarkan sang cucu sebelumnya. Sejak Daren tidak ada di rumah dan tak bisa mengantarkan kedua buah hatinya untuk bersekolah. Sejak saat itulah Riana yang selalu antar jemput bersama suster Ara dan juga sopir yang memang ditugaskan untuk mengantar jemput kedua buah hati Daren dan Danisa tersebut.“Ara nggak mau sekolah. Ara Mau di rumah saja bersama Mommy. Ara rindu sekali dengan Mommy. Hari ini, maka Ara akan menghabiskan waktu bersama Mommy. Dan Ara tak akan membiarkan Daddy mengganggu waktu kami.”Anak perempuan itu seperti sedang balas den
“Mommy!”Suara melengking yang Ara lakukan itu berhasil menusuk indera pendengaran Danisa dan Daren yang baru saja melangkah masuk ke dalam rumah setelah dua hari mereka memutuskan untuk menginap sebab tidak ingin mendapat gangguan dari kedua buah hatinya. Ara berlari, menuju ke arah kedatangan sang Mommy dan Daddy-nya. Anak perempuan itu begitu tak sabar untuk berjumpa dengan sang ibu. Bahkan, saat mobil yang Daren kendarai baru saja berhenti di area halaman rumah dan pelayan yang menyampaikan jika Daren dan Danisa telah kembali itu membuat anak perempuan yang baru saja akan menuju ke meja makan itu tak menunggu lama. Dia langsung berlari menuju ke luar rumah untuk menemui sang Mommy yang sudah sangat dia rindukan beberapa hari ini.Tanpa menunggu, Ara segera memeluk Danisa penuh Kerinduan. Sedangkan Daren hanya menggeleng dengan tingkah yang dilakukan oleh putrinya itu. “Mommy rindu sekali dengan putri mommy yang cantik ini,” kata Danisa memeluk hangat Ara dipekannya. Ara yang m