Setelah berbincang sejenak dengan sang putra, Daren segera melangkah menuju ke kamar Ariella berada. Tangan besar miliknya itu pun terulur dengan memberikan ketukan pelannya pada daun pintu yang masih tertutup rapat di hadapannya. Daren mengulang kembali ketukan yang dilakukannya itu, bersamaan dengan suara panggilan yang baru dia lakukan untuk memanggil putri kesayangannya. “Princess,” panggil Daren dengan suara pelannya. Kembali dia mengetuk, diiringi dengan panggilannya lagi untuk Ariella. Aiden pun mengikuti langkah sang ayah yang sedang berusaha membujuk saudara perempuannya itu yang sedang merajuk, hingga tak mau makan siang. Entah, sebab apa yang membuat saudaranya seperti itu. Karena, sikap Ariella biasanya yang selalu ceria, cerewet, dan sangat berisik di mana pun gadis kecil itu berada. “Aiden tak tahu sebab Ara bersikap seperti ini, Ded. Maaf, Aiden bukan kakak yang baik,” kata anak lelaki yang sejak tadi menatap usaha yang dilakukan oleh ayahnya itu belum juga membuah
Daren yang mendapati tingkah sang putri seperti ini semakin menjadi gemas dibuatnya. Tingkah random yang selalu Ara lakukan berhasil membuat pikiran jenuhnya itu menguar begitu saja oleh pekerjaan yang sedang ia hadapi beberapa hari terakhir. “Dad minta maaf, jika Dad tak bisa menjadi ayah yang baik. Ara bisa hukum Dad dengan apa pun yang Ara inginkan. Tapi, Dad mohon agar Ara tidak menyiksa diri, Ara harus tetap makan ya,” tutur Pria yang tak ingin menyerah dengan bujuk rayunya pada sang putri kesayangannya. tersebut.Aiden masih bergeming menatap putrinya tersebut. Bisa-bisanya Ara bersikap seperti itu pada sang ayah yang sudah dipastikan dia lelah dengan pekerjaannya saat ini. “Kau tak boleh bersikap seperti itu pada Dad, Ara. Dad pasti lelah bekerja saat ini. Dna itu semua Dad lakuakn untuk kita,” sela Aiden berusahha membujuk adiknay itu agar tidak terlalu berlebih marah pada sang ayah dengan tingkah kekanak-kanakan menurutnya itu. Ara memalingkan tatapannya, menatap pada sa
Keceriaan antara ayah dan kedua anak kembarnya itu pun memenuhi kamar yang bernuansa princess dan Detektif Conan tersebut. Daren mampu meluluhkan amarah sang putri yang baru saja merujuk padanya itu. Tak hanya itu, Aiden sesekali ikut bercanda bersama sang ayah dan Ara. Tetapi yang Aiden lakukan tidaklah secerewet Ara yang sedang mengubah makanan yang Daren siapkan untuknya. “Ara nanti mau beli gaun princess yang bawahnya lebar ya, Dad. Ara kan Tuan putri. Jadi, Ara harus terlihat sangat cantik di rumah ini,” kata Ara sambil tersenyum dan mengedipkan matanya genit lada sang ayah. Daren terkekeh pelan, mencubit gemas hidung putri kesayangannya itu akan tingkah yang Ara lakukan padanya. Aiden yang mendapati tingkah putrinya seperti itu dengan ayahnya hanya menghela nafas berat disertai gelengan kepalanya. “Gaun princess kau sudah banyak, Ara. Bahkan semua warna dan model terbaru kau sudah punya. Dan kau minta beli lagi,” tegur Aiden mengingatkan saudara kembarnya tersebut.
Di IndonesiaDanisa yang mendapat kabar dari sang adik tentang ibunya yang tiba-tiba lemas itu pun menjadi begitu sangat cemas. Bagaimana tidak, Pagi sebelum berangkat menuju ke sekolah untuk berjumpa dengan banyak anak didik di sekolahnya itu, dia tahu jika kondisi ibunya baik-baik saja. Kini, kabar yang dibawa Maya jika ibunya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Danisa segera bergegas menuju ke rumah yang ia bangun dan tidak terlalu besar di area lokasi sekolah yang ia punya. Sengaja membangun rumah yang tak jauh dari sekolah yang dirikan. Danisa berharap bisa sekaligus menjaga sang ibu yang kondisi kesehatannya memang masih membutuhkan perawatan khusus. “Ibu pagi tadi tidak apa-apa loh, Dek. Kok bisa ibu tiba-tiba ngedrop lagi?” tanya Danisa dengan kecemasan yang mengiring langkah menuju ke rumahnya. “Ibu nggak bisa diem, Mbak. Sudah dilarang pun ibu masih ngeyel loh. Mbak tahu sendiri kan bagaimana Ibu,” jawab Maya pada sang Kakak. Keduanya melangkah bersama, menuju
“Mama minta maaf, kau harus cepat-cepat pulang dari kantor untuk menenangkan cucu kesayangan mama,” ujar Riana, sesaat baru kembali dari luar dan dia langsung menghampiri Daren yang sedang berada di ruang kerjanya bersama berkas yang baru Leo antarkan untuknya. Daren menghela nafas beratnya, mengulas senyum tipis pada sang mama yang tengah merasa bersalah padanya tersebut. “Tidak apa, Ma. Mama juga butuh waktu untuk menikmati waktu mama dengan teman-teman mama.”Pria itu berkata dengan begitu tenang. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan mamanya itu yang baru tiba di malam yang sudah beranjak semakin larut. Riana menghela nafas beratnya, tetap saja dia tidak merasa lega. Dulu, dia yang selalu minta Daren agar memberikan penerus untuknya. Tetapi, acara sosial yang ia pikir tidak berlangsung lama ternyata salah. Acara tersebut berlanjut dengan acara makan malam. Riana yang tak nyaman untuk pamit terlebih dulu itu pun memilih menunggu rekannya yang lain. “Seharusnya mama tidak i
“Permisi.”Suara pria yang tak asing bagi Danisa dan ibunya itu pun memecah perbincangan yang terjadi antara ibu dan anak tersebut. Danisa dan sang ibu menoleh ke sumber suara. Mereka tersenyum pada seorang pria yang tak lain adalah Restu, ayah dari anak didik yang begitu dekat dengan Danisa. Ya, dia adalah ayah dari Claudia, anak kecil yang sangat lengket dengannya. Terlebih Restu yang seorang duda, mendapati kedekatan sang putri dengan Danisa pun membuat hati pria yang sudah menduda sejak putrinya terlahir itu kembali menghangat. “Maaf. Claudia sejak tadi merengek untuk ke sini terlebih dulu. Katanya dia bilang jika ibu dari Bunda Nisa–nya sedang tidak baik-baik saja,” terang Restu dengan sedikit canggung, saat harus mengunjungi rumah pemilik sekolah putrinya tersebut. “Eh, Nak Restu.” Ibu Danisa mengulas senyum ramahnya pada pria tersebut. Tatapan matanya beralih pada anak kecil yang usianya belum genap lima tahun. Bisa dibilang, hanya beda beberapa bulan dari anak-anak yang
“Saya menjadi tidak enak hati sama Bunda Nisa. Lagi-lagi, Saya menjadi lebih sering merepotkan bunda dan juga keluarga Bunad di sini,” tutur Restu pada Danisa. Pria tersebut menunjukkan rasa tak nyaman yang terlihat begitu jelas di matanya. Sedangkan Danisa yang melihat itu hanya mengulas senyum ramahnya. “Tidak apa-apa, Pak. Saya tidak merasa keberatan sama sekali, Jika Claudia harus menginap di rumah kami.” Danisa memberikan jawabannya dengan begitu ramah. Dia jujur, memang dirinya sama sekali tidak merasa keberatan jika Claudia, anak yang ceria itu menginap di rumahnya.Danisa senang, karena keberadaan kalau dia bisa menjadi pelipur lara ibunya. Ibunya yang sedang sakit itu pun menjadi lebih ceria dengan keberadaan Danisa yang seperti obat bagi keluarganya tersebut.Restu menghela nafas beratnya, kemudian mengeluarkan kembali secara perlahan. Masih dengan tatapan tak nyamannya, dia pun kembali mengucapkan kalimatnya. “Entah, harus dengan cara apa lagi saya berterima kasih kepa
Aiden yang mendapati Ara menangis dalam keadaan mata yang masih terpejam itu pun menjadi panik. Anak lelaki itu segera keluar dari kamar meninggalkan Ara seorang diri. Dia menggedor pintu kamar ayahnya terlebih dahulu sebelum akhirnya membuka paksa meski belum mendapatkan izin dari sang pemilik kamar.Daren yang baru keluar dari dalam kamar mandi itu dibuat terkejut. Anak lelakinya tiba-tiba masuk dengan wajah yang begitu panik. “Dad, ayo! Ara,” kata Aiden memberikan kabar yang tidak jelas pada sang ayah. “Ara? Ada apa Boy dengan Ara?” Tanya Daren berusaha bersikap tenang. Dia menundukkan diri, mensejajarkan tinggi kepada Sang putra yang sedang menarik tangannya itu.“Ara menangis,” kata Aiden masih dengan memberikan kabar yang belum jelas. Aiden sedang panik, dan anak lelaki itu pun dalam keadaan terkejut dan baru bangun dari tidur lelapnya. Hal itulah yang membuat Aiden tak mampu berpikir jernih. Karena dia sedang merasa cemas dengan kondisi Ara. “Dad, ayo!” Lagi, Aiden menarik
Siang itu, mendadak suasana rumah sakit menjadi mencekam.Darren sudah keluar dari dalam ruang perawatan Rinaldi, ayahnya. Namun belum sempat Riana yang baru saja akan menghampiri putranya dan ingin bertanya tentang apa yang dilakukan Daren di dalam sana sudah dibuat terkejut dengan beberapa perawat yang saling berlari menuju ke ruang Reynaldi dengan tatapan mata yang terlihat panik.Bukan hanya Riana yang terkejut, Danisa pun ikut merasa panik dengan kejadian nyata yang saat ini dilihatnya.Lewat sorot matanya Ia pun bertanya pada Riana dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada Renaldi di dalam kamar perawatannya.Detak janur Riana berpacu kencang saat melihat para petugas medis berlarian yang tak lama diikuti oleh dokter pribadi Renaldi yang menangani langsung pria tua itu.“Apa yang terjadi?” Entah pada siapa Riana bertanya sebab Danisa dan Daren pun tidak mengerti dengan apa yang terjadi.Danisa mendekat ke arah Riana memeluk perempuan itu dengan maksud ingin menguatkan ji
Suasana ruang yang didominasi oleh warna putih itu begitu hening. Sambutan yang kini didapat oleh seorang pengusaha muda yang bernama Daren Raynaldi. Ya, dia sangat membenci nama Reynaldi yang begitu sangat dirinya benci. Daren begitu membenci nama itu. Sebab nama tersebut adalah nama dari pria yang memiliki aliran darah sama dalam tubuhnya. Nama yang begitu sangat dibencinya, sebab pria yang tak lain adalah ayahnya sendiri telah menorehkan luka yang begitu dalam untuk dirinya selama ini. Kini, dia dapat melihat penderitaan dari pria yang tak ingin ditemui olehnya itu. Pria yang sangat dibenci oleh Daren, kini tergeletak lemah tak berdaya. Bahkan, dirinya yakin untuk sekedar membuka mata pria itu tak akan mampu melakukannya. Daren masih berdiri di tempatnya, setelah dirinya usai menutup pintu ruang perawatan khusus yang hanya ada satu ranjang beserta pasien serta seluruh alat yang menempel dalam tubuh pria yang sudah sangat lemah tak berdaya. Ya, pria angkuh dan sombong itu sudah
Seperti yang Darren katakan kepada Danisa yang meminta untuk ditemani. Kini, keduanya sedang berada di dalam mobil menuju ke sebuah tempat yang Danisa sendiri pun belum mengetahui. Iya, Danisa belum bertanya pada sang suami sebab setelah darah mengajak dia harus disibukkan dengan mengurus kedua buah hatinya yang kemudian mengantar Ara dan Aiden menuju ke tempat sang nenek.Setiba di sana, kedua anak kembar itu pun langsung turun dari mobil. Sebab tak sabar untuk bermain bersama nenek dan tantenya.“Mom dan daddy nggak usah anterin arah ke dalam. Nanti biar Ara yang bilang sama nenek jika Mommy dan Deddy akan pergi.”Ara yang sudah tidak sabar itu meminta ayah dan sang ibu untuk segera berlalu dari kediaman sang nenek. Tetapi Danisa tak langsung mengiyakan, sebab dia pun ingin bertemu dengan sang Ibu dan meminta izin untuk menitip kedua buah hatinya di sini.“Mommy mau bertemu nenek dulu, Princess. Nanti setelah ketemu nenek baru Mommy dan Deddy akan berangkat.”Danisa tersenyum lembut
“Apa kamu sibuk hari ini?” tanya Daren tiba-tiba saat subuh dan keduanya sedang berada di atas ranjang saling berpelukan satu sama lain. Danisa yang berada dalam dekapan hangat suaminya itu mendongak. Menatap penuh tanya pada sang suami akan maksud yang hendak Daren katakan kepadanya itu. “Kenapa?” tanya Danisa, balik bertanya ingin memastikan jika Daren ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat. Daren membalas tatapan sang istri. Memberikan usapan lembut ke lengan Danisa setelah aktivitas panas malamnya telah berlangsung. Keduanya tak langsung tidur setelah melakukan ibadah subuhnya. Saling mendekatkan diri, dan Danisa tak ingin banyak tanya atau berbicara kecuali jika itu urusan kedua buah hatinya. “Temani aku,’ ucap Daren singkat, tak langsung memberitahukan tujuannya ke mana akan pergi mengajak wanitanya. “Aku akan temani, jika kamu butuh aku. Tak perlu bertanya,” jawab Danisa, merekahkan senyum manisnya dan kembali mengeratkan dekapan hangat yang Daren berikan untuknya. Daren
“Jangan bicara begitu sama mama,” kata Danisa minta agar Daren mampu meredam emosi pada sang mama.DADanisa tak ingin melihat hubungan ibu dan anak itu menjadi renggang. Sebab, dia tahu seberapa besar rasa sayang dan pengorbanan Riana yang begitu besar dalam membesarkan Daren dulu. Daren tak menjawab, pria itu masih diam merasakan sentuhan lembut dari Danisa yang memeluk dirinya dari belakang tubuh tegapnya itu. “Mama akan sedih, jika kamu berkata kasar padanya. Bukankah selama ini kau selalu memperjuangkan kebahagiaan mama,” lanjut Danisa mengingatkan pada suaminya. Perjuangan yang Daren lakukan untuk mamanya begitu besar. Hingga dia mampu melawan ego menikah demi bisa memberikan cucu yang selalu dituntut oleh mamanya dulu. Daren menarik nafasnya dalam-dalam. Kemudian membuangnya secara kasar sebelum akhirnya membuka suara menjawab setiap kalimat yang terucap dari wanitanya itu. “Kau tak mengerti,” jawab Daren singkat. “Aku tahu, Daren,” bela Danisa untuk dirinya sendiri, yang
Riana menghentikan langkah kakinya saat Daren menyebut kata ‘tua bangka’. Riana berpikir, mengapa Daren bisa mengetahui rahasia yang masih dijaga olehnya dengan begitu baik. Dia pun berpaling, menatap Daren yang sedang berusaha menahan amarah. Riana tahu, jika Daren tidak akan meluapkan amarahnya di hadapan anak-anaknya. Riana sudah menyiapkan segala sesuatu untuk segala kemungkinan yang akan terjadi jika Daren akan marah kepada dirinya. “Kau tak boleh bicara seperti itu Daren,” tegur Riana dengan nada rendahnya sebab tak ingin menunjukkan perdebatan yang akan berlanjut kemarahan putranya tersebut. Daren diam, tak langsung menjawab apa yang dikatakan oleh ibunya itu kepadanya. “Sejak kapan Mama berhubungan lagi dengannya?” tanya Daren dengan suara dinginnya. “Dan untuk apa mama menemui tua bangka itu lagi. Itu sebabnya mama tak mau kembali lagi ke Singapura dan memilih menetap di sini.” Daren masih tak menunjukkan sikap ramahnya. Danisa yang semula bersiap menghidangkan sarapan d
Pagi di kediaman rumah Daren terasa begitu berbeda seperti hari-hari biasanya. Danisa pagi-pagi sudah bangun dari tidurnya membantu pelayan yang bekerja di rumah mewah Daren itu untuk menyiapkan sarapan keluarga kecilnya.Beberapa kali pelayan meminta agar Danisa beristirahat. Tentu saja mereka tahu jika pengantin baru harus memiliki banyak waktu luang dan kebersamaan terlebih rumah tangga mereka yang terpisah lumayan lama.Akan tetapi, larangan yang dilakukan oleh pelayan untuk Danisa itu diabaikan oleh Danisa. Dia ingin sekali menyiapkan sarapan untuk kedua buah hatinya dan juga suaminya, maka dari itulah dia menyempatkan untuk pergi ke dapur dan membuatkan sarapan khusus untuk keluarga kecilnya.“Saya khawatir jika tuan dari nanti bangun akan menegur kami, Bu,” tutur wanita yang usianya jauh lebih tua dari pelayan lain yang bertugas menjadi ketua pelayan di rumah mewah itu.Indonesia menoleh, dia tersenyum hangat kepada wanita paruh baya yang begitu ramah sejak kedatangannya di rum
“Mama pergi dulu ya, kalian lanjutkan dulu sarapannya.” Riana mengakhiri sarapan paginya, di saat anggota keluarganya yang lain pun baru saja akan memulai.Kemudian dia beralih menatap kepada Ara yang sedang menggigit roti di tangannya.“Princess, Oma. Nanti kamu berangkatnya sama Mommy saja ya. Oma minta maaf, sebab tadi sudah janji akan antar Ara ke sekolah pagi ini seperti kemarin,” lanjut Riana berkata kepada Ara sebab dirinya tak bisa mengantarkan sang cucu sebelumnya. Sejak Daren tidak ada di rumah dan tak bisa mengantarkan kedua buah hatinya untuk bersekolah. Sejak saat itulah Riana yang selalu antar jemput bersama suster Ara dan juga sopir yang memang ditugaskan untuk mengantar jemput kedua buah hati Daren dan Danisa tersebut.“Ara nggak mau sekolah. Ara Mau di rumah saja bersama Mommy. Ara rindu sekali dengan Mommy. Hari ini, maka Ara akan menghabiskan waktu bersama Mommy. Dan Ara tak akan membiarkan Daddy mengganggu waktu kami.”Anak perempuan itu seperti sedang balas den
“Mommy!”Suara melengking yang Ara lakukan itu berhasil menusuk indera pendengaran Danisa dan Daren yang baru saja melangkah masuk ke dalam rumah setelah dua hari mereka memutuskan untuk menginap sebab tidak ingin mendapat gangguan dari kedua buah hatinya. Ara berlari, menuju ke arah kedatangan sang Mommy dan Daddy-nya. Anak perempuan itu begitu tak sabar untuk berjumpa dengan sang ibu. Bahkan, saat mobil yang Daren kendarai baru saja berhenti di area halaman rumah dan pelayan yang menyampaikan jika Daren dan Danisa telah kembali itu membuat anak perempuan yang baru saja akan menuju ke meja makan itu tak menunggu lama. Dia langsung berlari menuju ke luar rumah untuk menemui sang Mommy yang sudah sangat dia rindukan beberapa hari ini.Tanpa menunggu, Ara segera memeluk Danisa penuh Kerinduan. Sedangkan Daren hanya menggeleng dengan tingkah yang dilakukan oleh putrinya itu. “Mommy rindu sekali dengan putri mommy yang cantik ini,” kata Danisa memeluk hangat Ara dipekannya. Ara yang m