Bab 5. Pindah Tugas Di Rumah Direktur Utama
======
“Om, ini Mammma Lena!”
Rena tak tahan lagi untuk tidak berisik. Bocah itu berlari mengejar ke arah Deva. Perbincangan lewat telepon itu terhenti.
“Sebentar, Pa!” ucapnya seraya menutup ponselnya.
“Oom dadi nanya Mamamma, tan? Itu Mammmma Lena, Om! Ayo calim!”
“Rena! Hussst!”
Alisya benar benar merasa ketakutan. Tingkah Rena sudah keterlaluan. Bagaimana mungkin putrinya berbicara begitu akrab dengan sang atasan. Soalah mereka sudah saling kenal. Bocah dua tahunan itu bahkan berani memegang tangan sang Bos, lalu menariknya mendekati Alisya.
“Ayo, Om!”
Mulut mungil itu berkata dengan polosnya.
“Rena! Sini, Sayang!”
Alisya menarik paksa tangan putrinya. Rena agak terseret, pegangan tangannya lepas dari tangan kekar Deva. Lelaki itu hanya membisu.
“Rena diam dulu, ya, Nak! Tutup mulutnya, ya, Sayang!” bisik Alisya membujuk.
Rena langsung menutup mulut dengan telapak tangan. Diam tak lagi bersuara.
“Maaf, Pak. Saya bersalah, karena membawa anak saat bekerja, anak saya juga mungkin telah membuat Bapak tidak nyaman. Saya benar-benar minta maaf,” ucap Alisya sesaat setelah putrinya tenang. Kepalanya menunduk dalam, menyiapkan hati dan menebalkan telinga, untuk mendengar bentakan dari sang Bos.
Lama tak ada jawaban. Deva hanya menatap Alisya dan putrinya tajam. Rena yang di tatap seperti itu, mulai mengkerut, dia bersembunyi dibalik tubuh ibunya. Sesekali mengintip Deva, dengan telapak tangan kanan masih menutup mulut mungilnya. Kembali Deva terenyuh. Sadar, kalau sikapnya ini, telah menakuti anak kecil itu.
“Siapa nama kamu?” tanyanya memecah ketegangan.
“Lena, Om!” Spontan Rena menjawab.
Deva memalingkan wajah, sungguh hatinya tergelitik dengan sikap Rena yang begitu menggemaskan. Teringat dengan seseorang yang sangat dia rindukan. Seorang bocah perempuan yang mungkin seumuran dengan Rena. Rasa rindu yang tetiba membuncah, membuat wajahnya seketika menjadi mendung.
“Maafkan anak saya, Pak. Saya akan menitipkannya di luar saja, agar tak mengganggu Bapak, permisi!”
Alisya menarik tangan Rena ke luar ruangan.
“Tunggu!”
Alisya tersentak, membalikkan badan dan menunduk lagi di hadapan sang Bos.
“Jadi siapa nama kamu?” Deva mengulang sembari menggerakkan mouse laptop di meja itu.
“Alisya, Pak,” jawab Alisya sembari menekan lengan putrinya sebagai isyarat agar jangan bicara. Rena pun paham itu.
“Alisya apa?”
Deva masih menscroll data karyawan bagian pabrik di laptop itu.
“Alisya Ambarwati, Pak.”
Deva menemukan nama itu, mulai membaca data-data tentang karyawan yang telah mengecewakannya ini dengan seksama.
“Hemh, kamu masih empat bulan kerja rupannya, baru sebulan lulus training, pantas!” ucapnya mengusap dagu kokohnya berulang-ulang. Otaknya juga berpikir keras, keputusan apa yang seharusnya dia ambil sekarang.
Andai dia tidak melihat sosok bocah yang dirindukannya di diri anak Alisya, tak akan segan dia memcat secara tidak hormat sekarang juga. Namun, sikap dan celoteh Rena membuat dia berpikir ulang. Itu membuat otaknya lelah.
“Sebulan lulus training, kamu sudah melanggar peraturan, apa maksud kamu?”
Ketus dia menatap tajam Alisya.
Yang ditatap hanya menunduk. Padahal ingin sekali Deva menatap wajah perempuan itu dengan jelas. Ingin tahu wajah yang sesungguhnya, mungkin bisa sebagai pertimbangan untuk keputusannya. Karena mata adalah jendela hati. Deva ingin tahu keseriusan Alisya dalam bekerja, dengan membaca lewat matanya. Tetapi, tak sekali pun Alisya menatapnya. Kepala yang dibungkus seragam penutup plastik berwarna biru itu saja yang tampak olehnya.
“Maaf, Pak. Saya terpaksa membawa putri saya, dan sungguh baru hari ini saja. Itu bukan karena sengaja menyepelekan peraturan di pabrik ini, tetapi karena saya belum menemukan tempat untuk menitipkan putri saya. Tidak ada ada yang benar-benar mau menjaga dia. Itu sebab saya berani melanggar peraturan kali ini. Dan saya tak pernah melakukan kesalahan selama ini, ini kali pertama. Jadi, Bapak harusnya tak semarah ini, dengan memberikan peringatan pertama, saya kira sudah cukup. Saya berjanji tak akan mengulang lagi. Jika saya melanggarnya, maka Bapak boleh memecat saya.”
“Kamu!”
Deva menggebrak meja. Alisya dan Rena tersentak kaget.
“Kamu pikir kamu itu siapa, berani mengatur saya, ha! Baru bekerja empat bulan, udah berani mengatur! Suka-suka saya, ini perusahaan saya, kamu saya pecat!”
Alisya gemetar sesaat. Laki-laki angkuh di hadapannya telah berhasil membakar emosinya. Kesalahan yang dia perbuat hanyalah melanggar sebuah peraturan. Dan ini kali pertama. Namanya tidak ada di daftar karyawan yang bermasalah. Kinerja yang dia tunjukkan selama ini juga bagus. Bahkan selalu mendapat pujian dari mandornya. Jika kesalahan yang bukan disengaja ini membuat dia dipecat, maka detik ini juga akan dia tinggalkan pabrik ini. Tak akan ada kalimat memohon apa lagi mengemis rasa iba.
“Terima kasih atas keputusan Bapak! Permisi!” ucapnya membalikkan badan.
Deva terpana. Harapannya Alisya akan memohon, menangis, minta dikasihani agar jangan dipecat. Karena sesungguhnya bukan itu yang ingin dilakukannya. Dia sungguh tak tega memecat Alisya. Apalagi melihat wajah mungil Rena yang tampak ketakutan sekarang. Dengan tetap menoleh ke belakang, menatap wajah Deva, bocah kecil itu berjalan diseret ibunya.
“Alisya, tunggu!”
Dengan menekan gengsi dan harga diri, Deva akhirnya mengalah. Sungguh tak masuk akal, kali ini dia mengalah kepada seseorang, karyawan pabrik, buruh kasarnya. Ini di luar logikanya. Tetapi, nyata itu yang dilakukannya saat ini.
“Maaf, Pak. Saya tidak punya kasbon, kok. Jangan khawatir, upah saya bekerja dua minggu ini, tak perlu Bapak bayar. Saya juga akan kelaur dari pabrik ini tanpa membawa apapun milik perusahaan, saya berani digeledah di gerbang nanti, permisi!” Kembali Alisya melanjutkan langkahnya.
“Bukan itu!” Deva berteriak.
“Rena memeluk paha Alisya, bocah itu semakin ketakutan mendengar suara yang menggelegar itu.
Deva tersadar, dia menyesal dengan bentakan dari mulutnya sendiri.
“Ok, aku minta maaf!”
Untuk pertama kalinya juga, lelaki itu meminta maaf kepada bawahannya. Ya, ini untuk pertama kalinya. Kata maaf adalah kata yang sangat dia benci selama ini, tak hendak diucapkannya sepenting apapun situasinya. Tetapi, melihat wajah Rena yang ketakutan, kata itu terucap.
“Aku belum selesai bicara, kau sudah pergi saja! Kenapa kau tidak sabar menunggu kalimatku?” sesalnya.
Alisya berbalik, menatap sang Bos dengan heran. Rena masih bersembunyi di balik pinggangnya.
“Bapak memecat saya, apa lagi yang perlu saya tunggu? Pesangon? Tidak mungkinkan?”
Alisya berkata tanpa menunduk lagi. Mata indahnya menatap lekat wajah sang Bos. Kini dia sudah dipecat, tak gentar untuk menatap tepat di bola mata lelaki itu, karena Deva bukan siapa-siapanya lagi sekarang.
Tatapan mereka beradu, Deva kini bisa melihat dengan jelas, wajah Alisya yang polos tanpa riasan, mata besar dengan bulu lentik dan alis bak ukiran. Hidung mancung, dan berhenti di bibir penuh. Bibir itu juga tanpa pewarna sedikitpun. Tetapi terlihat begitu segar, seperti kelopak bunga mawar. Beginikah wajah asli seorang wanita cantik tanpa polesan? Deva terpana sesaat.
“Deva! Bagaimana?”
Seseorang masuk ke dalam ruangan. Berpakaian setelan jas yang sangat rapi dan wangi. Usianya paruh baya, garis wajahnya terlihat keras dan sangat berwibawa, mirip dengan Deva.
Alisya tak mengenalnya. Dia memang tak pernah bertemu orang-orang penting pemilik pabrik tempatnya bekerja. Tetapi, melihat kemiripan kedua lelaki ini, sepertinya dia adalah sang direktur utama.
“Ada lagi yang ingin Bapak sampaikan? Kalau tidak, saya permisi!” Alisya mengundurkan diri.
“Hem, siapa wanita ini?”
“Namanya Alisya, Pa. Dan itu putrinya.”
Lelaki paruh baya itu menatap lekat wajah Alisya dan Rena. Lama tatapannya berlabuh di wajah Rena. Bocah dua tahunan itu menyita perhatiannya.
Rena makin menyembunyikan diri di balik tubuh ibunya. Hilang sudah segenap kelincahan dan celotehnya sejak mendengar teriakan Deva tadi. Kini tatapan sang direktur utama yang tajam dan penuh selidik, menambah ketakutannya.
“Jadi keputusannya?” tanya sang Papa.
“Saya memecatnya! Papa setuju?”
Deva berkata tegas.
Lelaki itu mengernyit keras.
“Pasti dia punya alasan sehingga membawa anak saat bekerja! Jangan mengambil keputusan secara gegabah!”
“Semua punya alasan, Pa! Aturan ya, tetap aturan. Dia melanggarnya! Masih sebulan lepas training, lho!”
“Baik, siapa nama kamu tadi?”
Sang direktur kembali menatap Alisya.
“Alisya, Pak.”
“Kamu saya pindahkan tugas saja, ya! Mulai besok datang ke rumah. Ini alamatnya!”
Sang direktur menyerahkan sebuah kartu nama.
“Maksud … Bapak?”
Alisya terperangah.
“Ya, di rumah butuh tenaga kerja. Kamu boleh bawa anak. Sebenarnya, anakmu yang paling dibutuhkan malah.”
“Saya enggak ngerti.”
“Istri saya butuh perawat.”
“Tapi saya bukan perawat, saya –“
“Ya, kamu buka perawat. Tapi tugas kamu hanya menemaninya. Membujuknya makan teratur, menemaninya berjemur di pagi hari, itu saja.”
“Terus, Bapak bilang anak saya yang paling dia butuhkan, maksudnya apa?”
“Dia sedang sakit karena baru saja kehilangan cucu. Putri Deva. Seumuran putri kamu. Mungkin kehadiaran putri kamu, bisa mengembalikan semangat hidupnya.”
Alisya tercekat. Pantas, sikap kedua laki-laki ini sangat aneh setiap melihat putrinya. Rupanya ini alasannya. Dan itu juga yang membuat Deva sangat emosi, karena keselamatan Rena berbahaya bila bermain di lokasi pabrik. Trauma kehilangan anak membuat emosinya meledak. Meski kehilangan bukan karena kematian. Ya, putri Deva dibawa pergi olah istrinya. Pengadilan memenangkan hak asuh anak jatuh pada pada mantan istrinya. Itu yang membuat Deva dan keluarga besarnya merasa sangat kecewa.
“Kamu mau bekerja di rumah saya?” tanya sang direktur sedikit membujuk.
“Pa, pembantu di rumah sudah kebih dari cukup!” protes Deva, membuat hati Alisya ciut.
“Alisya bukan dijadikan pembantu! Kamu jangan salah persepsi! Dia hanya dipindah-tugaskan. Namanya tetap tercatat sebagai karyawan pabrik, paham kamu?”
Deva terdiam, tak lagi membantah.
Alisya merasa lega. Setidaknya namanya tetap berstatus karyawan, bukan dipecat meski tempat kerjanya berpindah tempat.
“Bagaimana?”
Sang Direktur menatapnya lekat.
“Baik, Pak. Saya bersedia.”
Direktur utama tersenyum lega. Sementara wajah Deva mengetat. Tetapi keputusan tetap berada di tangan sang papa. Deva tak bisa berbuat apa-apa.
*****
Bersambung.
Bab 6 Menumpang di Mobil Pria Angkuh ======== Alisya mengeluarkan semua barang-barangnya dari dalam locker lalu memasukkan semuanya ke dalam kantongan kresek besar. Tak ada tas atau semacamnya. Tak apa, tak ada yang perlu digengsikan. “Syukurlah kita berdua tak dipecat, aku mendapat surat peringatan, dan kamu dipindah tugaskan. Baik-baik bekerja di tempat yang baru, ya! Tetap semangat!” Sang Mandor grup memeluk Alisya. “Maafin aku, Kak! Hampir saja Kakak terkena masalah karena aku.” “Sudah! Tidak apa-apa. Jaga putrimu, ya!” “Salam sama teman-teman, ya, Kak! Bilang sama Rika, nanti aku telpon pas rehat!” “Iya.” “Dadah Ante!”
Bab 7. Pertengkaran Dengan Mertua========Gontai Alisya berjalan, menjingjing barang barangnya. Otaknya sibuk berpikir tentang watak putrinya. Kenapa Rena cenderung ngelawan. Bahkan dia berani membantah perintah Alisya. Sang bunda tidak tahu, kalau kesakitan dan kekasaran yang diperbuat anggota keluarganya selama ini pada putrinya, telah merubah watak lemah lembut menjadi kasar dan pendendam. Rena mulai mendendam pada Deva.“Eh, tumben udah pulang? Kamu enggak lembur?” Mama mertua menyambut di depan pintu.“Tidak, Ma.” Alisya menjawab singkat, langsung berjalan menuju kamar utama.“Itu barang-barang kerja pabrik kamu, kok, di bawa pulang semua?” Sang Mertua mengekori.“Ya, saya gak ker
Bab 8. Stop Menjadi Sapi Perah=====“Aku akan pergi dari sini! Berhenti mengharapkan aku menjadi sapi perah kalian!”Alisya memeluk putrinya sambil berjongkok. Meniup dan mengusap bekas cengkaraman sang nenek yang membiru di tangan mungil sang putri.“Mas Fajar! Sayang! Lho, kok, ada Alisya? Dia gak kerja?”Desy berdiri kaku di ambang pintu. Semua melongo, suasana semakin tegang.Tak ada yang berani memulai pembicaraan. Sang mertua bahkan berhenti meringis kerena kesakitan bekas gigitan Rena.Fajar memucat. Desy mematung.“Masuk kamar dulu, Sayang! Rena tunggu Mama di kamar, ya!” Alisya menggendong putrinya masuk ke dalam
Bab 9. Menunda Minta Talak=======“Keputusan yang sangat tepat, Alisya!” Wanita paru baya itu tersenyum culas.“Ya, keputusanku menunda meminta talak, memang langkah yang paling tepat saat ini. Tapi ini hanya menunda. Perlu Mama ketahui, aku akan mencari cara yang paling tepat untuk menyampaikan hal ini pada orang tuaku di kampung.”“Lakukan saja, kalau kau mau cepat-cepat jadi anak yatim!” ancam mertuanya.“Dan kamu, Mas! Meski aku menunda perpisahan kita, aku tetap menganggap kalau kamu bukan suamiku lagi. Jadi, gak perlu main kucing-kucingan untuk memasukkan kekasihmu ini ke dalam kamar! Silahkan saja! Karena aku sudah tak peduli!”“Alisya
Bab 10 Mulai Membangkang Kepada Suami dan Mertua======“Kak, dipanggil Mas Fajar!” Intan mengetuk pintu kamar Rena. Alisya tengah menidurkan putrinya di dalam.“Sebentar!” Alisya memastikan putrinya pulas. Setelah yakin, wanita itu melangkah keluar, bukan karena patuh, tetapi karena tak ingin menambah masalah bila dia membangkang.Keluarga benalu itu tengah makan malam rupanya. Mereka berkumpul di meja makan.“Rena mana?” Ramah sang mertua menyambutnya. Tumben, dia perhatian kepada cucunya. Pasti ada maunya. Mungkin mertuanya berpikir sekarang semua sudah baik-baik saja, karena Alisya gagal meminta pisah tadi siang. Namun, bagi Alisya ini bukan suatu kekalahan, melainkan awal dari perjuangan.“Dia sudah tidur.
Bab 11. Tendangan Alisya Membuat Fajar Meringis Tak Bersuara==========“Kamu memang udah biasa naik angkot. Perempuan kampung, naik angkot itu udah mewah banget. Dari kecil hidup di lingkungan keluarga miskin, gak kenal apa itu mobil pribadi. Beda dengan Fajar dan Intan. Dari kecil sudah hidup mewah, gak pernah sejarahnya naik angkutan umum!” Sang Mertua makin meradang.Sakit hati Alisya mendengar itu. Jadi, itu sebabnya dia dibabukan selama ini? Begitu rendah harga dirinya di mata mertuanya. Alisya ingat, sejak awal dirinya memang tak disukai oleh ibu mertua. Sudah lebih seribu kali wanita itu mengatai dirinya sebagai perempuan kampung. Memang benar dirinya adalah perempuan yang berasal dari kampung, sama seperti Desy, yang juga bearasal dari kampung. Tetapi kenapa Desy diperlakukan berbeda? Apakah karena Desy putri dari adik kandungnya?
Bab 12. Tempat Kerja Baru Alisya=======“Alisya … apa yang kau lakukan?” Fajar meringis sambil memegangi bagian tubuhnya yang terkena tendangan Alisya. Keringat dingin mengalir deras di kening kepalanya. Mulut lelaki itu mengaduh tetpi tak bersuara. Dia khawatir seisi rumah, terbangun, dan mengetahui kesialan yang tengah menimpanya.“Sya!” lirihnya menyebut nama istrinya sekali lagi.Alisya tak menjawab. Wanita itu beringsut turun dari ranjang. Mengancingkan bra dan seluruh kancing gaun tidurnya yang sudah sempat terbuka, lalu berjalan memungut celana panjang Fajar yang tergeletak di atas lantai.Merogoh setiap saku celana itu, Alisya menemukannya. Anak kunci itu dia keluarkan dari salah satu sakunya. Lalu berjalan menuju pintu tanpa rasa bersalah apalagi penyesal
Bab 13. Fajar Menjadi Bayangan Kelam Di Tempat Kerja Baru Alisya=======“Pak Deva, Mas Raja? Satu di panggil Pak dan satu lagi dipanggil Mas?” Alisya mengernyit.“Ya, Pak Deva gak mau dipanggil Mas. Mas Deva gak mau dipanggil Pak. Kebalik. Seperti langit dan bumi perbedaan keduanya.”“Oh.”“Kalian sudah datang?” Pak Dirut menyapa Alisya.Sesaat penghuni meja makan itu menatap Alisya dan putrinya, tetapi tak ada yang merespon keberadaannya. Kecuali lelaki yang dipanggil Bik Siti denga sebutan Mas Raja. Pemuda itu melemparkan senyum ramah pada Alisya dan Rena. Alisya mengangguk sopan.Deva yang semula cuek, kembali menoleh ke arahnya. Lebih tepat kea rah Rena. Ma
Bab 210. Para Benalu Bertaubat (Tamat)=============“Yang itu? Sepertinya itu Tante Niken sama siapa, ya, Ma? Ada dua oom oom juga.”“Kita ke sana, yuk Sayang! Biar nampak jelas.”Keduanya mempercepat langkah. Jarak beberapa meter, mereka berhenti. Alisya menahan langkah Tasya, dengan mencengkram lengan gadis kecil itu. Keduanya melongo menatap pemandangan yang mengejutkan di depan mereka. Supir peribadi Niken yang telah lama menghilang, kini ada di sana.Nanar mata Alisya menatap seorang pria satunya. Lelaki kurus, seolah tingggal kulit pembungkus tulang. Mata cekung&nb
Bab 209. Culik Aku, Mas!========“Kasihan Intan, Mas.”“Bagaimana dengan aku? Aku juga sudah berjuang melupakan kamu, tapi tetap gak bisa, gimana?”“Mas?”“Ya?”“Aku bingung!”“Kenapa bingung?”“Masih gak percaya dengan ucapan Intan tadi. Gak mungkin Mama setega itu sama kamu!”“Nyatanya seperti itu, Non! Bu Alina menyerahkan selembar cek untukku, agar aku pergi meningalkan kamu. Tapi aku tolak, karena cintaku tak ternila
Bab 208. Bukan Pagar Makan Tanaman=========“Stop! Stop! Kubilang stop! Kumohon berhenti! Jangan ikuti aku!” Niken berteriak.“Ok, kami berhenti. Tapi, kamu juga berhenti, Ken! Kenapa? Kenapa kamu mau pergi, setelah sekian lama kita tak berjumpa? Ok, aku pernah salah, aku pernah khilaf. Tapi, Mas Deva sudah memaafkan aku. Aku juga sudah menyasali perbuatanku. Aku sudah insyaf, Ken! Mas Deva dan Kak Alisya saja mau memaafkan kesalahanku, kenapa kamu tidak? Padahal kita udah sahabatan sejak kuliah semester satu. Empat tahun bukan waktu singkat untuk membina suatu hungan persahabatan, Niken!” Intan kini berurai air mata.“Sahab
Bab 207. Kejutan Buat Niken===========“Rena! Cepat, dong! Ke mana lagi, sih?” Niken memanggil keponakannya.“Bentan, Ante!” teriak gadis kecil berseragam sekolah taman kanak-kanak itu berlari menuju halaman belakang sekolah.“Rena! Ayo, dong! Kak Tasya nanti kelamaan nunggunya, lho!” Niken berusaha mengejar.Hampir setiap hari Rena menuju tempat itu. Rumah penjaga sekolah. Entah apa yang menarik perhatian Rena di sana. Biasanya Dadang yang mengantar dan menjemput Rena. Pak Dadang hanya akan menunggu saja di mobil, di dekat gerbang, tapi hari ini dia 
Bab 206. Permintaan Alisya===========“Lakukan sesuatu, Mas! Kamu mau Niken seperti itu terus?” pinta Alisya menuntut Deva.“Apa yang bisa kuperbuat, Sya?”Deva menoleh ke arah Alisya. Wanita yang masih berbaring itu menatapnya dengan serius. Deva mendekat. “Aku bisa apa, coba? Mencari Hendra lalu menikahkannya dengan Niken? Lalu apa yang akan terjadi dengan Mama? Belum lagi Papa. Kamu tahu resikonya sangat berat, bukan?”“Ya. Tapi aku tidak tega melihat Niken makin terpuruk seperti itu.”“Aku paham. Aku akan usahakan yang terbaik buat mereka. Jika mereka berjodoh, aku yakin mereka pasti akan bersatu juga. Seperti kita.”“Ya.”“Bedanya, kamu bisa
Bab 205. Niken memilih Menjadi Perawan Tua=======“Gimana, dong?” Aisyah memilin ujung jilbabnya.“Siapa yang suruh merajuk-rajuk segala. Dipaksa nikah sama Mama, bingung, kan?”“Mas Raja, sih. Suka banget buat Ai cemburu!”“Ai, aku baik sama Alisya, hanya sebatas adik kepada kakaknya, gak lebih! Tolong kamu paham, dong, Ai. Aku, sih, ok aja, disuruh nikahi kamu, sekarang, pun aku mau. Tapi, kamu? Belum mau, kan? Nah sekarang siapa yang gak serius dengan hubungan ini?”“Ai serius, Mas. A
Bab 204. Kejutan Putri Bungsu Haga Wibawa==========“Siapa bilang Non Niken tidak punya kekasih, Buk?”“Buktinya, lihat! Hari-hari di rumah saja. Cowok yang datang main ke rumah ini juga tidak pernah ada, kan? kasihan dia, sepertinya kesepian.”“Ibuk salah. Justru Non Niken setiap hari berbunga-bunga. Tapi, saya gak berani bilang siapa orangnya, ya, Buk, jangan paksa saya bicara, ya!”“Siapa? Kamu kenal, Srik?”“Jangan tanya, Buk! Ampun! Ya, Alloh, kanapa mulutku nyeplos, sih! Anggap Ibuk gak pernah dengar apa-
Bab 203. Alisya Hamil, Aisyah Cemburu==========“Iya. Aku akan belajar untuk berubah. Sabar, ya, Sayang! Aku pasti bisa, meski perlahan.” Deva mengelinjang. Sentuhan Alisya membuatnya kian mengawang. Nalurinya kian menghentak, saat tangan Alisya melepas lilitan handuk di pinggang.“Aku khawatir, Sya! Kalau beneran sudah ada calon bayi kita di rahim kamu, aku takut dia terganggu, Sayang!”“Kamu bisa pelan-pelan, kan, Mas!”“Hem, bisa. Terima kasih, Sayang!”Alisya membuktikan rasa hati yang sesungguhnya. Ungkapan cintanya yang begitu besar yang hanya untuk Deva. Tak ada&nb
Bab 202. Perhatian Raja Membakar Cemburu Deva=========“Tidak, kita ke Dokter spesialis kandungan saja, Sayang! bentar aku pakai baju, dulu, ya! Ops, kamu di situ aja, nanti aku gendong ke mobil. Jangan bergerak, Sayang! Tolong jangan gerak, ya!” titahnya seraya bangkit dan berjalan menuju lemari pakian.“Aku bisa jalan sendiri, Mas! Gak usah berlebihan, deh! Aku gak manja, kok. Seperti yang kamu mau. Kamu kan gak suka perempuan manja!”“Sya?” Deva menatap lembut wajah istrinya. Pria itu urung membuka pintu lemari.Ponsel Alisya berdering.&nbs