Jesselyn menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu dengan ekspresi yang sarat dengan kejengkelan. Sorot matanya berkilat tajam, seolah menembus dinding pertahanan pria di depannya."Kau lagi?" suaranya bagaikan es yang mengiris udara di antara mereka. "Tidak cukupkah kemarin kau sudah menghancurkan hati Alisha?"Rean mendesah kasar, kepalanya sedikit menengadah sebelum memutar bola matanya. Sekretaris pribadi Alisha ini memang selalu bersikap menyebalkan.Entah karena terlalu setia atau sekadar ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain.Menjengkelkan.Dalam hati, Rean sudah berjanji. Jika nanti ia dan Alisha berbaikan, wanita ini akan menjadi orang pertama yang ia pastikan untuk disingkirkan.Dengan nada setajam belati, ia menukas, "Aku tidak punya urusan denganmu. Aku ingin bertemu istriku."Jesselyn tersenyum miring, bibirnya melengkung dengan kesan mengejek. "Alisha tidak ada di sini. Sebaiknya kau pergi sebelum membuatku muak.""Jangan bohong!" Rean menyergah keras, tidak perca
Langkah Alisha terdengar nyaring saat ia pergi lebih dulu, derap sepatunya menggema, menciptakan irama kemarahan yang bahkan udara pun ikut merasakannya.Rean menatap Neuro tajam sebelum akhirnya mengikuti istrinya dari belakang, matanya menyimpan bara api yang enggan padam.Sepanjang perjalanan, keheningan menggantung di antara mereka seperti awan mendung yang siap menumpahkan hujan.Rean, dengan hati yang berdesir oleh ketidakpastian, mencoba memecah kesunyian.Namun, sebelum bibirnya sempat menyusun kalimat, Alisha telah lebih dulu memotongnya. "Sudah kubilang, kita akan bicara setelah sampai di rumah."Rean menghela napas, menelan kata-kata yang tak sempat diutarakan, membiarkan Alisha tenggelam dalam lautan kemarahannya sendiri.Setibanya di rumah, Alisha melempar tas tangannya dengan gerakan penuh emosi.Bunyi dentuman halusnya bagai tanda peringatan akan badai yang sebentar lagi akan melanda. Ia berbalik, menatap Rean dengan sorot mata yang menguliti."Apa yang sedang kau lakuk
Rean hanya bisa terpaku saat Alisha memilih melangkahkan kakinya, enggan mendengar perkataannya lebih jauh.Ia tetap diam, hanya bisa menatap punggung istrinya yang semakin menjauh, membawa serta harapan yang kian meredup.Pembicaraan mereka belum selesai, tetapi Alisha sepertinya tidak ingin mendengar apa pun lagi hari ini. Rean hanya bisa mendesah, merutuki kesalahannya sendiri.Sial, apa yang bisa ia lakukan agar Alisha memaafkannya kali ini?Di dalam kamar, Alisha menatap kosong ke arah bunga mawar yang tersimpan di atas meja riasnya.Kelopak merahnya terlihat mulai layu, seolah mencerminkan hatinya yang mulai kehilangan semangat.Namun, sesuatu menarik perhatiannya—secarik nota kecil yang menempel pada tangkai bunga itu.Alisha menariknya perlahan, jari-jarinya sedikit gemetar saat membacanya. Huruf-huruf itu terukir dalam tulisan tangan yang begitu ia kenal. Tidak salah lagi, ini dari Rean.Matanya menyapu baris demi baris kata-kata yang tertera di sana, dan untuk sesaat, ia mem
Gea mengangguk-angguk kecil, berpura-pura menyetujui, meskipun Alisha bisa melihat dengan jelas bahwa hatinya sedang membara. "Aku ikut senang," ucapnya dengan senyum yang jelas dipaksakan."Sayang, kalau begitu aku pamit ke kantor kembali," ujar Rean, bersiap untuk berlalu dari tempat itu.Namun, sebelum ia sempat melangkah, Alisha kembali memanggilnya. "Sayang?"Rean berbalik, alisnya sedikit terangkat melihat Alisha yang tiba-tiba mendekat. Wanita itu tersenyum samar, lalu dengan gerakan anggun, ia membenarkan dasi di leher suaminya.Jemarinya yang halus menyentuh leher kemeja Rean, memperbaikinya dengan gerakan yang terlihat begitu akrab, begitu intim.Rean dapat merasakan tatapan penuh kebingungan yang dilemparkan padanya. Tentu saja, sedetik lalu Alisha masih enggan disentuh olehnya, tapi sekarang ia justru sengaja bermesraan terang-terangan. Dan lebih dari itu—ia melakukannya di depan Gea.Alisha melirik sekilas ke arah Gea, menangkap bagaimana mata perempuan itu menajam, rahan
“Kakak pulang lebih awal hari ini?"Alisha mengangguk kecil mendengar pertanyaan yang Gea lontarkan. Sepasang matanya berkilat, seolah menyimpan rahasia manis yang tak ingin ia bagi.Gea memiringkan kepala, keheranan menguasai benaknya saat mendapati Alisha sudah merapikan barang-barangnya sebelum jam kantor usai. Ada sesuatu di udara—sesuatu yang menggelitik rasa ingin tahunya."Tentu, aku harus berdandan untuk nanti malam. Sudah lama kami tidak makan malam berdua dengan romantis."Suaranya meluncur seperti angin sepoi yang menggoda, menguar kehangatan yang tak bisa diabaikan.Gea terpaku. Sepasang bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada suara yang lolos dari tenggorokannya.Keceriaan Alisha hari ini bagaikan matahari yang bersinar terlalu terik, menyilaukan hingga menyakitkan.Dalam hati, Alisha bersorak, menikmati setiap detik perubahan ekspresi Gea yang begitu transparan. Kepuasan menjalar dalam dirinya, seperti gelombang laut yang menghantam karang tanpa ampun."Kenapa, Gea?" Alis
Musisi itu menunduk takut-takut, lalu kembali ke posisinya, memainkan melodi yang kini terasa seperti sebuah elegi pilu.Rean menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Mungkin Alisha butuh waktu lebih banyak untuk berdandan.Atau mungkin… mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar riasan yang membuatnya terlambat.Sekali lagi, ia mencoba menghubungi ponsel Alisha, namun yang menjawab hanyalah suara dingin mesin operator. Ia mengepalkan tangan, merasakan kehampaan yang kian mencengkeram dirinya erat.Namun hingga pukul sepuluh tiba, bayangan Alisha tetap tak terlihat. Malam semakin larut, dan gemerlap lampu restoran mulai meredup, meninggalkan kesan sendu yang menggores hati Rean.Pramusaji yang tampak ragu-ragu akhirnya memberanikan diri menghampirinya. Wajah Rean yang mengeras membuat langkahnya sedikit tertahan, tapi tugas tetaplah tugas."Pak, maaf, tapi kami harus tutup hari ini."Suara pramusaji itu terdengar ragu, seperti takut mengusik sosok pria yang tengah berkuba
Alisha membelalakkan matanya, keterkejutan tercermin jelas di wajahnya. Namun, bukan karena ucapan Rean yang membahas penantiannya, melainkan fokusnya yang sama sekali tidak berada pada dirinya."Kau ribut karena uangmu terbuang? Kau tidak khawatir padaku sama sekali?!" suaranya bergetar, tak percaya bahwa Rean lebih peduli pada hal remeh daripada dirinya.Rean terhenyak. Itu bukan maksudnya. Ia hanya ingin Alisha mengerti betapa frustrasinya ia malam ini. "Bukan begitu maksudku..."Namun, Alisha hanya menghela napas panjang. Kali ini, ada kelelahan yang lebih dalam dari sekadar emosi. Seolah semua kata-kata yang keluar dari bibir Rean sudah kehilangan makna di telinganya."Aku tidak tahu jika kau selalu emosional seperti ini."Rean mengerjap, tak percaya dengan perubahan sikap Alisha. Gadis itu terasa begitu jauh dari dirinya sekarang, seakan ia sudah melepaskan semua keterikatan yang pernah ada di antara mereka.Dan hal yang semakin menusuk egonya adalah ketika Alisha malah meraih t
Alisha tahu ia tidak boleh begini, namun setiap helaan napas Neuro yang menggelitik kulitnya adalah mantera sunyi yang membelenggu kehendaknya.Bisikan mesra pria itu merayapi pendengarannya, serupa nyala lilin yang membakar sumbu keraguan dalam jiwanya.Bulu-bulu halus di tubuhnya berdiri, bukan sekadar reaksi, melainkan sebuah pengakuan bisu terhadap gairah yang coba ia ingkari.Seharusnya ia menjauh, seharusnya ia menghindari sentuhan Neuro, namun tatapan lelaki itu seperti ombak pasang yang menenggelamkan akal sehatnya ke dalam lautan godaan.Nafasnya tercekat ketika dada Neuro yang bidang menyentuhnya, panas tubuhnya membara dalam perang yang ia tahu akan ia kalahkan.Ia ingin menyangkal, ingin menampik desiran listrik yang menjalar di setiap inci pori-porinya. Namun tubuhnya? Tubuhnya adalah pengkhianat yang menikmati setiap detik dalam dekapan pria itu.Ia selalu berdalih bahwa ingatannya akan malam itu telah sirna, tetapi kini, seolah hantu masa lalu menyeruak dari kabut, gamb
Seketika, tubuh Alisha terasa lemas.Bagaimana bisa pria ini berkata seperti itu, setelah semua yang ia lakukan padanya?Seharusnya Neuro marah. Seharusnya ia membencinya, melemparkan kata-kata kasar, atau bahkan pergi meninggalkannya. Bukan seperti ini. Bukan dengan cara memaafkannya tanpa syarat.Neuro menghela napas lagi, kemudian berkata dengan lebih lembut, "Tapi, tawaranku untukmu tidak pernah berubah."Jangan pernah sungkan untuk meminta bantuanku. Kau bisa menggunakanku sesuai yang kau inginkan. Gunakan saja aku hingga kau merasa tidak membutuhkan bantuanku lagi."Alisha menegang.Seketika, netranya membasah.Tanpa sadar, ia berpaling, menatap ke luar jendela, enggan membiarkan Neuro melihat apa yang tergambar jelas di matanya saat ini. Kenapa? Kenapa Neuro tidak marah saja? Kenapa ia malah menawarkan dirinya seperti ini?Ini salah.Semua ini salah.Desahan napas panjang keluar dari mulutnya. Perjalanan ini terasa lebih panjang dan menyesakkan daripada yang ia kira.**"Kenapa
Neuro membeku.Alisha telah menggambar garis batas dengan jelas.Dan itu menghancurkannya lebih dari yang ia duga.Neuro menatapnya dalam diam, mencoba memahami seluruh kata-kata itu dengan kebingungan yang semakin menyiksanya. Ia tidak pernah mengenal rumitnya cinta seperti ini.Ia hanya tahu bahwa hatinya menunjuk Alisha sebagai pemiliknya—dan baginya, itu sudah cukup alasan."Aku harus kembali kepada Rean sebelum pembalasanku terpenuhi. Maafkan aku, anggap saja malam ini hanyalah malam biasa seperti yang biasa kau lakukan dengan wanita-wanita malam lain."Suara Alisha terdengar datar, tetapi di dalamnya ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.Ia berharap kata-kata itu akan menjadi pedang tajam yang memotong perasaan Neuro sejak dini, sebelum semua ini berkembang lebih jauh—terlalu jauh untuk ia kendalikan.Langkah kakinya menggema di dalam ruangan yang kini terasa begitu sunyi. Ia tidak berani menoleh ke belakang.Di belakangnya, Neuro tetap berdiri kaku, seperti pa
Mereka melakukannya lagi.Alisha menatap langit-langit kamar yang samar tertimpa cahaya redup, napasnya masih belum sepenuhnya stabil.Udara di ruangan terasa berat, dipenuhi aroma keintiman yang menggantung di antara mereka. Di sekelilingnya, seprai yang kusut, bantal yang terguling ke lantai, serta sisa gairah yang masih menguar di udara menjadi saksi bisu atas pertarungan panas yang telah terjadi.Dadanya naik-turun perlahan, mencoba memahami bagaimana ia bisa berakhir seperti ini—lagi dan lagi—dalam dekapan pria dengan mata safir itu.Dengan ragu, Alisha mengulurkan jemarinya, menyentuh garis rahang Neuro yang begitu sempurna, bagaikan pahatan dari dewa-dewa. Ia tampak terlelap, napasnya teratur, namun aura maskulinnya tetap begitu nyata.Jemari Alisha bergetar samar ketika menyapu pipinya, seolah ingin memastikan bahwa pria ini benar-benar ada di sampingnya—bahwa semua yang terjadi bukan sekadar ilusi malam yang akan memudar saat fajar merekah.Namun, saat tubuh di sampingnya ber
Alisha mengikuti Neuro, dan begitu saja, ia merasa tubuhnya terbawa ke dalam arus yang tak bisa ia kendalikan.Saat mereka akhirnya sampai, Alisha menahan napas. Jantungnya berdegup lebih cepat dari yang ia inginkan.Tempat itu. Kamar itu.Neuro menyunggingkan senyum penuh arti, tangannya menarik lembut jemari Alisha agar masuk ke dalam ruangan."Kau tidak ingin terus berdiri mematung seperti itu dan menghalangi pengunjung lain, bukan?"Alisha terdiam, menelan ludah. Sejenak, logikanya berusaha melawan tarikan yang terasa begitu kuat ini. Namun akhirnya, ia menyerah. Kepalanya terlalu sakit untuk berpikir, dan tubuhnya terlalu lelah untuk melawan.Tanpa berkata apa-apa lagi, ia membiarkan Neuro menuntunnya masuk, duduk di atas ranjang dengan gerakan yang nyaris tanpa beban."Mau minum?" tawar Neuro dengan nada lembut, seolah menawarkan segelas pelipur lara.Neuro dengan gerakan elegan menuangkan minuman ke dalam gelas kristal, cairan keemasan berputar-putar seperti pusaran takdir di d
Dengan wajah ditekuk kesal, Gea meninggalkan ruangan Alisha. Hatinya bergemuruh, matanya membara dengan tekad yang semakin menyala-nyala.Alisha dan tingkah arogannya itu—lihat saja, Gea akan menerima tantangan yang baru saja diberikan.Lihat saja, ia akan membuat Rean hanya bertekuk lutut padanya dan membuktikan bahwa ia yang menang dari Alisha.Begitu pintu tertutup, tubuh Alisha merosot ke kursi, seakan seluruh kekuatannya terkuras habis.Nafasnya berat, dadanya sesak seolah tertimpa beban ribuan kenangan yang melumpuhkan.Ia memijat keningnya, namun rasa pusing tak kunjung mereda. Seluruh hatinya terasa mati rasa, pikirannya kacau, jiwanya serasa mengerang meminta ketenangan yang tak kunjung datang.Tidak, ia tidak bisa terus begini. Jika terus begini, ia bisa mati perlahan.Dengan satu gerakan cepat, Alisha meraih ponselnya dan menekan nomor yang sudah dihafalnya luar kepala."Ternyata kau sangat mudah merindukan aku, Nona."Suara riang itu menyambutnya, mengalir seperti aliran s
"Kau dipanggil oleh Alisha!" Dengan nada suara sinis dan dingin, Jesselyn menghampiri Gea yang baru saja tiba.Tatapan mata Jesselyn yang berang membakar udara di antara mereka, menyelubungi ruang sempit dengan ketegangan yang merayap seperti kabut ungu di senja mendung.Gea menghela napas, dada berdenyut dengan firasat buruk—keadaan Alisha pasti lebih parah dari yang ia kira.Dengan senyum penuh kemenangan, Gea bangkit, langkahnya bagai bidak catur yang telah menaklukkan seluruh papan permainan.Cahaya lampu gantung menciptakan bayangan panjang di belakangnya, seakan mengukuhkan siluet seorang wanita yang telah mempertaruhkan segalanya untuk mencapai puncak.Ia tidak akan kembali ke desa—ke kehidupan yang mencengkeramnya dalam jerat neraka berkepanjangan.Lebih baik melawan Alisha daripada kembali pada cengkeraman ayahnya, seorang pria dengan aroma alkohol yang melekat pada kulit, dengan tangan yang selalu lebih cepat melayang ketimbang pikirannya. Ibunya?Tak lebih dari bayangan yan
"Aku tidak mengerti, Jess. Kenapa aku masih saja menangisi pria brengsek itu? Padahal dia sudah menyakitiku, padahal aku sudah tahu semua pengkhianatannya, tapi kenapa?“Kenapa air mataku tidak mau berhenti? Hiks! Benar-benar menyedihkan!" Suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam isakan yang memilukan."Apa yang terjadi? Sebentar... Apa si ular itu berbuat ulah lagi? Atau suami brengsekmu menyakitimu lagi?" tanya Jesselyn geram, ekspresinya berubah garang seperti singa betina yang siap menerkam."Mereka berdua, Jess. Mereka berdua sudah menyakitiku hingga tak berbentuk lagi," ucap Alisha dengan suara yang hampir bergetar, penuh dengan kepedihan yang tertahan."Ada apa sebenarnya, Alisha? Kau tidak mau mengatakannya padaku?" tanya Jesselyn sambil berlutut di depan Alisha, tangannya menggenggam erat tangan sahabatnya."Aku melihatnya. Gea dan Rean, mereka sedang berciuman di sini, di kantorku. Bukankah itu klise? Mereka bermesraan di depan mataku. Lagi!" Napas Alisha terputus-putus, keped
Rean mengumpat kasar, pikirannya berputar-putar mencari jalan keluar dari kekacauan yang semakin dalam. Secepatnya ia harus melenyapkan bukti yang Gea punya. Ia harus membuat perempuan itu lengah, sebelum semuanya berakhir berantakan.Ia segera menelepon Mona, suaranya tegas, tak memberi ruang untuk sanggahan. "Batalkan semua schedule saya hari ini!""Tapi Pak, ada pertemuan penting dengan Pak Robert nanti siang."Rean memijat keningnya, napasnya berat. "Baik, batalkan semua schedule kecuali dengan Pak Robert."Mona mengangguk mengerti sebelum berlalu dari ruangan Rean, meninggalkannya dalam lautan pikirannya yang semakin gelap.Rean segera meraih barang-barangnya, langkahnya tergesa-gesa. Ia harus menemui Gea sekarang juga sebelum semuanya terlambat.Sementara itu, Gea tersenyum senang, keinginannya terkabul lebih cepat dari yang ia bayangkan. Rean menurut. Ah, betapa mudahnya menggoyahkan pria itu. Matanya berkilat penuh kemenangan. Ia bukan perempuan bodoh, ia tahu Alisha sudah me
Tanpa sadar, jemari Gea mengepal begitu erat hingga kukunya hampir menembus telapak tangannya. Dadanya naik turun dalam ritme yang tidak teratur, seperti ombak yang menerjang karang dengan ganas. Di hadapannya, Rean dan Alisha tertawa, cahaya lampu kafe memantulkan kilauan lembut di mata mereka yang saling bertaut. Apakah dia begitu kasat mata? Apakah keberadaannya hanya seonggok bayangan tak bermakna dalam dunia Rean? Sesaknya merayap, meremas rongga dadanya tanpa ampun. Mereka tak punya malu, atau justru sengaja menampilkan kemesraan mereka seolah ia hanya angin lalu?Enggan membiarkan dadanya terus bergemuruh, Gea memutuskan untuk menarik diri. Suaranya lirih namun cukup tegas, "Aku akan masuk terlebih dulu, Kak."Alisha menoleh, alisnya sedikit berkerut. "Kenapa? Kita akan masuk bersama-sama.""Aku harus ke toilet," kilahnya, bibirnya membentuk senyum tipis yang tak sampai ke matanya. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia melangkah cepat meninggalkan mereka, menekan gejolak