Gea mengangguk-angguk kecil, berpura-pura menyetujui, meskipun Alisha bisa melihat dengan jelas bahwa hatinya sedang membara. "Aku ikut senang," ucapnya dengan senyum yang jelas dipaksakan."Sayang, kalau begitu aku pamit ke kantor kembali," ujar Rean, bersiap untuk berlalu dari tempat itu.Namun, sebelum ia sempat melangkah, Alisha kembali memanggilnya. "Sayang?"Rean berbalik, alisnya sedikit terangkat melihat Alisha yang tiba-tiba mendekat. Wanita itu tersenyum samar, lalu dengan gerakan anggun, ia membenarkan dasi di leher suaminya.Jemarinya yang halus menyentuh leher kemeja Rean, memperbaikinya dengan gerakan yang terlihat begitu akrab, begitu intim.Rean dapat merasakan tatapan penuh kebingungan yang dilemparkan padanya. Tentu saja, sedetik lalu Alisha masih enggan disentuh olehnya, tapi sekarang ia justru sengaja bermesraan terang-terangan. Dan lebih dari itu—ia melakukannya di depan Gea.Alisha melirik sekilas ke arah Gea, menangkap bagaimana mata perempuan itu menajam, rahan
“Ah, brengsek kalian! Brengsek!” suara Alisha meledak seperti petir di langit yang kelam. Jemarinya mencengkeram erat setir mobil, sementara air matanya berjatuhan, membasahi pipinya yang telah lama kehilangan cahaya.Ia hanya ingin pergi. Pergi jauh dari segalanya—dari rasa sakit yang mengguncang setiap serat keberadaannya, dari bayangan kebahagiaan palsu yang kini tampak seperti lelucon kejam.Kehidupan rumah tangga yang selama ini ia banggakan, seolah mahkota berlian di kepala, runtuh menjadi debu oleh ulah pengkhianatan.Dan tidak sembarang pengkhianatan; yang menusuk hatinya adalah darah dagingnya sendiri, sepupunya selingkuh dan bermain gila dengan suaminya. Ini benar-benar menyakitkan!Akhirnya, mobil itu berhenti dengan derit menyakitkan di depan sebuah bar malam. Alisha turun, melemparkan kunci mobil kepada penjaga tanpa sepatah kata, dan melangkah masuk dengan langkah yang tegas namun rapuh.“Nona, Anda baik-baik saja? Sebenarnya Anda mau ke mana?” tanya seorang pria yang ti
Neuro tahu persis apa arti dari kata-kata itu. Ia tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Dengan gerakan yang penuh naluri, ia menyingkap rok wanita itu, membiarkan kain itu melayang ke udara sebelum mendarat entah di mana.Namun, ketika ia hendak menanggalkan pakaian itu sepenuhnya, tangannya dihentikan oleh jemari lentik wanita itu.“Lakukan seperti ini saja. Aku… sudah tidak tahan,” ucapnya, dengan nada lembut yang penuh getaran, seperti alunan biola yang menyayat hati.Neuro mendesah, setengah kecewa, setengah terpesona. Ia menginginkan lebih, tetapi ia tidak ingin merusak suasana panas yang kini seperti bara api yang membakar di antara mereka.Ia menurut, membiarkan dirinya menjelajah, membiarkan tubuhnya mencari tempat di mana ia bisa menambatkan seluruh hasrat yang telah lama ia tahan.Ketika akhirnya ia menemukan tempat berlabuh, Neuro menggeram rendah, suara yang dalam dan penuh gairah.Gadis di bawahnya memekik pelan, suaranya seperti simfoni malam yang hanya bisa dinikmati sek
“Kau terlambat. Haruskah kau terlambat di hari penting ini, Neuro?”Suara dingin itu memotong suasana seperti pedang tipis yang menusuk tanpa ampun. Neuro menghentikan langkahnya, napasnya tercekat sejenak sebelum perlahan ia membalikkan tubuhnya.Suara itu, tegas dan penuh nada mengejek, datang dari arah Daniel, kakak keduanya, yang kini berdiri dengan tangan terlipat, menatapnya dengan tatapan penuh kebencian yang telah ia kenal sejak kecil.Astaga! Apa lagi ini?Neuro menarik napas panjang, menahan rasa malas yang mulai menguasai pikirannya. Hubungannya dengan Daniel selalu buruk—tidak, lebih dari buruk.Sejak ia ingat, Daniel memperlakukannya seolah ia adalah noda yang tak diinginkan di kehidupan keluarga mereka.“Kenapa aku harus peduli pada hari penting ini?” batinnya, meskipun ia tahu ia tidak bisa melontarkan itu secara langsung.Daniel, seperti biasanya, berdiri dengan postur arogan yang mencerminkan kepribadiannya yang keras. “Kebahagiaanku lenyap sejak kau lahir,” itulah ma
"Ya pernah, kami bertemu satu kali,"Rean segera mengalihkan tatapannya ke arah Alisha, meminta penjelasan sedangkan Alisha hanya berdiri dengan bingung, sama sekali tidak ingat pernah melihat pria bernama Neuro ini.la menggeleng memberikan jawabannya kepada Rean. Tatapan mata Neuro memang terlihat tidak asing, tapi dimana ia pernah melihatnya?"Istri Anda tidak akan ingat, kami hanya tidak sengaja berpapasan. Sepertinya dia sangat setia dengan pasangannya. Dia tidak menoleh bahkan ketika saya menyapanya lembut,"Alisha dapat merasakan lengan Rean yang menyentuh bahunya terasa makin kuat.la menatap wajah Rean yang mengeras, kecemburuan pria itu selalu berlebihan, "Kenapa Anda menyapa istri saya?" Tanya Rean dingin.Neuro yang sepertinya tidak menyadari tatapan dingin Rean hanya mengangkat bahunya santai, "Hanya ingin saja karena istri Anda sangat cantik, saya tidak tahu jika dia sudah menikah,"Alisha yang mulai merasakan ketegangan dari arah sampingnya tiba-tiba mengangkat suara, "
Neuro tersenyum menyeringai saat ingatan Alisha mulai terbuka ketika ia menyebutkan bar malam itu. la mencondongkan wajahnya ke arah Alisha lalu berbisik pelan, "Ya itu aku, aku selingkuhan tampanmu, Sayang.""Tidak mungkin!" Alisha bergumam tidak jelas saat mendengar ucapan Neuro.la tidak menyangka jika pria yang pernah bermalam dengannya adalah Neuro Edenvile, putera bungsu Tuan Robert.Alisha memijat kepalanya yang terasa berputar, kenapa ia harus dipertemukan kembali dengan pria itu sekarang?"Akhirnya sekarang kau ingat.” Neuro tersenyum tenang sementara Alisha menatapnya cemas, "Bagaimana kau bisa setenang itu setelah meninggalkanku pagi itu, Nona? Aku merasa sangat sedih," sambung Neuro lagi ringan.Seringaian Neuro di wajah tampannya terlihat sangat menyebalkan di mata Alisha. Hah, pantas saja netra biru Neuro terlihat tidak asing, ternyata dia adalah pria malam itu.Meski Alisha merasa lega karena ternyata ia tidak tidur dengan seorang pria dengan tampang asal, tapi ia tidak
"Kau harus datang atau aku akan memberitahu suamimu!"Alisha kembali berbalik, memberikan tatapan sengitnya saat mendengar teriakan Neuro. la melirik ke arah sekeliling dengan panik Pria itu! Bagaimana jika ada yang mendengar pembicaraan mereka?Kemarahan Alisha semakin bertambah saat melihat Neuro hanya tersenyum menyeringai. Neuro sepertinya menikmati waktu dimana ia merasa dipermainkan.Alisha memilih kembali melanjutkan langkah lebar sambil merutuk dalam hatinya, menyumpahi Neuro setengah mati, "Dasar pria gila!"Alisha segera mencari keberadaan Rean, mereka harus pergi dari sini sebelum Neuro kembali membuat ulah.Namun saat langkahnya baru mencapai beberapa langkah, Alisha terhenti saat melihat Gea yang tengah tersenyum dengan Rean.Mereka tertawa lalu terlibat pembicaraan seru dengan rekan kerja Rean yang lain. Tangan Alisha terkepal, baru ditinggalkan beberapa menit saja, Rean dan Gea sudah terlihat bersama di sana."Wah, wah sepertinya selingkuhanmu mulai mengambil alih suami
"Astaga! Kau membuatku pusing, Neuro. Kau boleh mengejar siapa pun yang kau inginkan, tapi—dengan istri orang lain? Ayahmu pasti akan menggantungku di depan kantor jika tahu," ujarnya, suaranya pecah di antara putus asa dan marah.Neuro hanya tersenyum, senyum yang penuh dengan kesombongan yang lembut namun berbahaya. "Tenanglah, John. Ayah tidak akan tahu!" katanya dengan nada santai, seperti berbicara tentang cuaca, bukan tentang skandal yang bisa menghancurkan reputasi keluarga mereka.John memandang Neuro dengan tatapan nanar, matanya melebar seakan ingin keluar dari rongganya. "Aku akan mencari wanita lajang yang tiga kali lipat lebih cantik darinya," tawarnya, mencoba merayu Neuro untuk keluar dari permainan api ini."Tidak," jawab Neuro dengan tenang, nadanya datar namun penuh ketegasan."Lima kali lipat?" sergah John, kali ini suaranya lebih tinggi, nyaris seperti memohon."Tidak," ulang Neuro, senyumnya makin melebar. Matanya memicing, seperti serigala yang menemukan mangsa d
Gea mengangguk-angguk kecil, berpura-pura menyetujui, meskipun Alisha bisa melihat dengan jelas bahwa hatinya sedang membara. "Aku ikut senang," ucapnya dengan senyum yang jelas dipaksakan."Sayang, kalau begitu aku pamit ke kantor kembali," ujar Rean, bersiap untuk berlalu dari tempat itu.Namun, sebelum ia sempat melangkah, Alisha kembali memanggilnya. "Sayang?"Rean berbalik, alisnya sedikit terangkat melihat Alisha yang tiba-tiba mendekat. Wanita itu tersenyum samar, lalu dengan gerakan anggun, ia membenarkan dasi di leher suaminya.Jemarinya yang halus menyentuh leher kemeja Rean, memperbaikinya dengan gerakan yang terlihat begitu akrab, begitu intim.Rean dapat merasakan tatapan penuh kebingungan yang dilemparkan padanya. Tentu saja, sedetik lalu Alisha masih enggan disentuh olehnya, tapi sekarang ia justru sengaja bermesraan terang-terangan. Dan lebih dari itu—ia melakukannya di depan Gea.Alisha melirik sekilas ke arah Gea, menangkap bagaimana mata perempuan itu menajam, rahan
Rean hanya bisa terpaku saat Alisha memilih melangkahkan kakinya, enggan mendengar perkataannya lebih jauh.Ia tetap diam, hanya bisa menatap punggung istrinya yang semakin menjauh, membawa serta harapan yang kian meredup.Pembicaraan mereka belum selesai, tetapi Alisha sepertinya tidak ingin mendengar apa pun lagi hari ini. Rean hanya bisa mendesah, merutuki kesalahannya sendiri.Sial, apa yang bisa ia lakukan agar Alisha memaafkannya kali ini?Di dalam kamar, Alisha menatap kosong ke arah bunga mawar yang tersimpan di atas meja riasnya.Kelopak merahnya terlihat mulai layu, seolah mencerminkan hatinya yang mulai kehilangan semangat.Namun, sesuatu menarik perhatiannya—secarik nota kecil yang menempel pada tangkai bunga itu.Alisha menariknya perlahan, jari-jarinya sedikit gemetar saat membacanya. Huruf-huruf itu terukir dalam tulisan tangan yang begitu ia kenal. Tidak salah lagi, ini dari Rean.Matanya menyapu baris demi baris kata-kata yang tertera di sana, dan untuk sesaat, ia mem
Langkah Alisha terdengar nyaring saat ia pergi lebih dulu, derap sepatunya menggema, menciptakan irama kemarahan yang bahkan udara pun ikut merasakannya.Rean menatap Neuro tajam sebelum akhirnya mengikuti istrinya dari belakang, matanya menyimpan bara api yang enggan padam.Sepanjang perjalanan, keheningan menggantung di antara mereka seperti awan mendung yang siap menumpahkan hujan.Rean, dengan hati yang berdesir oleh ketidakpastian, mencoba memecah kesunyian.Namun, sebelum bibirnya sempat menyusun kalimat, Alisha telah lebih dulu memotongnya. "Sudah kubilang, kita akan bicara setelah sampai di rumah."Rean menghela napas, menelan kata-kata yang tak sempat diutarakan, membiarkan Alisha tenggelam dalam lautan kemarahannya sendiri.Setibanya di rumah, Alisha melempar tas tangannya dengan gerakan penuh emosi.Bunyi dentuman halusnya bagai tanda peringatan akan badai yang sebentar lagi akan melanda. Ia berbalik, menatap Rean dengan sorot mata yang menguliti."Apa yang sedang kau lakuk
Jesselyn menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu dengan ekspresi yang sarat dengan kejengkelan. Sorot matanya berkilat tajam, seolah menembus dinding pertahanan pria di depannya."Kau lagi?" suaranya bagaikan es yang mengiris udara di antara mereka. "Tidak cukupkah kemarin kau sudah menghancurkan hati Alisha?"Rean mendesah kasar, kepalanya sedikit menengadah sebelum memutar bola matanya. Sekretaris pribadi Alisha ini memang selalu bersikap menyebalkan.Entah karena terlalu setia atau sekadar ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain.Menjengkelkan.Dalam hati, Rean sudah berjanji. Jika nanti ia dan Alisha berbaikan, wanita ini akan menjadi orang pertama yang ia pastikan untuk disingkirkan.Dengan nada setajam belati, ia menukas, "Aku tidak punya urusan denganmu. Aku ingin bertemu istriku."Jesselyn tersenyum miring, bibirnya melengkung dengan kesan mengejek. "Alisha tidak ada di sini. Sebaiknya kau pergi sebelum membuatku muak.""Jangan bohong!" Rean menyergah keras, tidak perca
Neuro kemudian mengalihkan pandangannya kepada Alisha, ekspresinya berubah lebih lembut, hampir... menyesal."Saya juga ingin meminta maaf kepada Nona Alisha beserta keluarganya yang telah merasa terganggu akibat pemberitaan ini," ucapnya dengan nada penuh ketulusan.Alisha menundukkan kepalanya sedikit, memberikan jawaban diam untuk Neuro. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mendesak untuk berbicara.Ia melirik Neuro sekilas, memberi isyarat dengan matanya. Neuro, yang tampaknya sudah memahami keinginannya, menyerahkan pengeras suara dengan anggukan halus.Alisha menarik napas panjang, membiarkan udara dingin memenuhi paru-parunya sebelum menghembuskannya dalam satu hembusan kasar."Sekali lagi, saya tekankan bahwa saya tidak berselingkuh dengan Tuan Neuro Edenvile. Terima kasih," ucapnya tegas, suaranya tak bergetar sedikit pun.Tanpa membuang waktu, mereka turun dari podium. Kerumunan wartawan langsung bergerak maju, melontarkan berbagai pertanyaan dengan suara-suara yang beradu
Pagi datang dengan cahaya yang terlalu tajam, menusuk kelopak matanya yang masih berat. Layar ponselnya berkedip, memantulkan cahaya redup ke langit-langit kamarnya yang sepi. Suara yang teramat familiar memenuhi ruang sunyi."Kau mengirimkan pesan padaku tengah malam kemarin, Nona? Kenapa? Apa kau merindukanku?"Alisha mengangguk kecil, meski tahu Neuro tak akan melihatnya. Suaranya yang penuh antusiasme membuat pagi ini terasa kurang menyakitkan.Ia terkekeh pelan, seperti angin yang menyentuh dedaunan dengan lembut. "Bagaimana menurutmu?""Kau ingin aku menjemputmu sekarang? Kita bisa ke tempat konferensi pers bersama-sama."Alisha menatap langit biru di balik jendela kaca, perasaan aneh menggelitik hatinya. "Tidak perlu, aku bisa..."Tut... Tut... Tut...Alisnya bertaut, menatap layar ponselnya yang kini hanya menampilkan panggilan berakhir. Apa? Neuro memutus panggilan mereka begitu saja? Tanpa sepatah kata pun?Alisha mengangkat bahu. Mungkin ini pertanda bahwa badai yang lebih
"Alisha!"Suara Riana menggelegar dari seberang telepon, mengguncang malam yang seharusnya tenang. Alisha tersentak, jantungnya berdetak tak beraturan.Matanya mengerjap dalam gelap, mencoba memahami apakah ini kenyataan atau sekadar mimpi buruk yang lain.Kilasan cahaya dari layar ponselnya menusuk kelopak matanya yang masih berat. Waktu menunjukkan pukul satu pagi.Dengan gerakan lamban, ia memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Kepalanya terasa bagai dihantam ribuan jarum tajam.Tuhan, ia baru saja terlelap setengah jam lalu setelah larut dalam kekacauan pikirannya, namun kini tidur pun tak sudi berpihak padanya."Ya, Ma? Mama baik?" sapanya, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. Ada kelelahan, ada kejengkelan yang ia tahan sekuat tenaga.Namun, bukannya jawaban, yang ia terima justru tajamnya suara penuh kebencian dari Riana."Tidak usah berbasa-basi dengan Mama!"Nada itu menusuk seperti belati dingin yang mengiris kulitnya. Alisha menutup mata sejenak, menarik napas dalam se
Suara di ujung telepon membuat Rean terlonjak. Seketika kantuknya buyar, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mengerjapkan matanya dengan susah payah. Suara ini..."Ma...?"Riana. Ibundanya.Ia menegakkan tubuhnya perlahan, kepalanya berdenyut nyeri akibat alkohol yang masih mengalir dalam sistemnya.Pantas saja ada yang meneleponnya di tengah malam seperti ini—di Amerika, waktu masih menunjukkan pukul satu siang."Ma, apa Mama lupa kalau di sini sudah hampir tengah malam?" keluhnya setengah kesal, suaranya serak akibat kantuk yang masih menggantung.Di seberang sana, Riana terdengar mendesah berat. "Ya, Mama tahu. Tapi ini penting," tukasnya terburu-buru, nada suaranya terdengar tegang.Rean menarik napas panjang, tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya yang berdenyut. Efek dari alkohol masih begitu kuat di tubuhnya, membuat kepalanya berputar.Saat perlahan-lahan kesadarannya kembali, ia menyadari sesuatu—ia tak lagi terbaring di lantai. Kini, tubuhnya berada di sofa ruang tamu.
Jadi, pria ini hancur karena berita perselingkuhan Alisha dengan Neuro? Matanya menatap wajah Rean dengan perasaan yang tak menentu. Ada sesuatu yang mencubit hatinya, sesuatu yang menyakitkan, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak. Apa ini? Apa Rean masih mencintai Alisha hingga ia begitu terpukul seperti ini?"Sudahlah, Kak. Tidak usah dipikirkan, aku ada untukmu," ujar Gea, suaranya sarat dengan keyakinan yang dipaksakan.Rean mengerjap, lalu terkekeh kecil, seolah baru menyadari keberadaan Gea. "Ah... Gea! Benar, kau Gea!""Ya, aku. Tidak usah bersedih karena Kak Lisha. Aku ada untukmu, Kak Rean. Aku yang akan selalu menemanimu," lanjut Gea, suaranya bergetar oleh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar simpati.Helaan napas panjang terdengar dari mulut Rean, pria itu mengangkat tangannya, menyentuh wajah Gea dengan kelembutan yang membuat dada Gea bergejolak. Jemari hangat itu membelai pipinya, namun di balik sentuhan itu, Gea bisa merasakan kehampaan."Kenapa kita harus bert