Rean mengumpat kasar, pikirannya berputar-putar mencari jalan keluar dari kekacauan yang semakin dalam. Secepatnya ia harus melenyapkan bukti yang Gea punya. Ia harus membuat perempuan itu lengah, sebelum semuanya berakhir berantakan.Ia segera menelepon Mona, suaranya tegas, tak memberi ruang untuk sanggahan. "Batalkan semua schedule saya hari ini!""Tapi Pak, ada pertemuan penting dengan Pak Robert nanti siang."Rean memijat keningnya, napasnya berat. "Baik, batalkan semua schedule kecuali dengan Pak Robert."Mona mengangguk mengerti sebelum berlalu dari ruangan Rean, meninggalkannya dalam lautan pikirannya yang semakin gelap.Rean segera meraih barang-barangnya, langkahnya tergesa-gesa. Ia harus menemui Gea sekarang juga sebelum semuanya terlambat.Sementara itu, Gea tersenyum senang, keinginannya terkabul lebih cepat dari yang ia bayangkan. Rean menurut. Ah, betapa mudahnya menggoyahkan pria itu. Matanya berkilat penuh kemenangan. Ia bukan perempuan bodoh, ia tahu Alisha sudah me
"Aku tidak mengerti, Jess. Kenapa aku masih saja menangisi pria brengsek itu? Padahal dia sudah menyakitiku, padahal aku sudah tahu semua pengkhianatannya, tapi kenapa?“Kenapa air mataku tidak mau berhenti? Hiks! Benar-benar menyedihkan!" Suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam isakan yang memilukan."Apa yang terjadi? Sebentar... Apa si ular itu berbuat ulah lagi? Atau suami brengsekmu menyakitimu lagi?" tanya Jesselyn geram, ekspresinya berubah garang seperti singa betina yang siap menerkam."Mereka berdua, Jess. Mereka berdua sudah menyakitiku hingga tak berbentuk lagi," ucap Alisha dengan suara yang hampir bergetar, penuh dengan kepedihan yang tertahan."Ada apa sebenarnya, Alisha? Kau tidak mau mengatakannya padaku?" tanya Jesselyn sambil berlutut di depan Alisha, tangannya menggenggam erat tangan sahabatnya."Aku melihatnya. Gea dan Rean, mereka sedang berciuman di sini, di kantorku. Bukankah itu klise? Mereka bermesraan di depan mataku. Lagi!" Napas Alisha terputus-putus, keped
"Kau dipanggil oleh Alisha!" Dengan nada suara sinis dan dingin, Jesselyn menghampiri Gea yang baru saja tiba.Tatapan mata Jesselyn yang berang membakar udara di antara mereka, menyelubungi ruang sempit dengan ketegangan yang merayap seperti kabut ungu di senja mendung.Gea menghela napas, dada berdenyut dengan firasat buruk—keadaan Alisha pasti lebih parah dari yang ia kira.Dengan senyum penuh kemenangan, Gea bangkit, langkahnya bagai bidak catur yang telah menaklukkan seluruh papan permainan.Cahaya lampu gantung menciptakan bayangan panjang di belakangnya, seakan mengukuhkan siluet seorang wanita yang telah mempertaruhkan segalanya untuk mencapai puncak.Ia tidak akan kembali ke desa—ke kehidupan yang mencengkeramnya dalam jerat neraka berkepanjangan.Lebih baik melawan Alisha daripada kembali pada cengkeraman ayahnya, seorang pria dengan aroma alkohol yang melekat pada kulit, dengan tangan yang selalu lebih cepat melayang ketimbang pikirannya. Ibunya?Tak lebih dari bayangan yan
Dengan wajah ditekuk kesal, Gea meninggalkan ruangan Alisha. Hatinya bergemuruh, matanya membara dengan tekad yang semakin menyala-nyala.Alisha dan tingkah arogannya itu—lihat saja, Gea akan menerima tantangan yang baru saja diberikan.Lihat saja, ia akan membuat Rean hanya bertekuk lutut padanya dan membuktikan bahwa ia yang menang dari Alisha.Begitu pintu tertutup, tubuh Alisha merosot ke kursi, seakan seluruh kekuatannya terkuras habis.Nafasnya berat, dadanya sesak seolah tertimpa beban ribuan kenangan yang melumpuhkan.Ia memijat keningnya, namun rasa pusing tak kunjung mereda. Seluruh hatinya terasa mati rasa, pikirannya kacau, jiwanya serasa mengerang meminta ketenangan yang tak kunjung datang.Tidak, ia tidak bisa terus begini. Jika terus begini, ia bisa mati perlahan.Dengan satu gerakan cepat, Alisha meraih ponselnya dan menekan nomor yang sudah dihafalnya luar kepala."Ternyata kau sangat mudah merindukan aku, Nona."Suara riang itu menyambutnya, mengalir seperti aliran s
Alisha mengikuti Neuro, dan begitu saja, ia merasa tubuhnya terbawa ke dalam arus yang tak bisa ia kendalikan.Saat mereka akhirnya sampai, Alisha menahan napas. Jantungnya berdegup lebih cepat dari yang ia inginkan.Tempat itu. Kamar itu.Neuro menyunggingkan senyum penuh arti, tangannya menarik lembut jemari Alisha agar masuk ke dalam ruangan."Kau tidak ingin terus berdiri mematung seperti itu dan menghalangi pengunjung lain, bukan?"Alisha terdiam, menelan ludah. Sejenak, logikanya berusaha melawan tarikan yang terasa begitu kuat ini. Namun akhirnya, ia menyerah. Kepalanya terlalu sakit untuk berpikir, dan tubuhnya terlalu lelah untuk melawan.Tanpa berkata apa-apa lagi, ia membiarkan Neuro menuntunnya masuk, duduk di atas ranjang dengan gerakan yang nyaris tanpa beban."Mau minum?" tawar Neuro dengan nada lembut, seolah menawarkan segelas pelipur lara.Neuro dengan gerakan elegan menuangkan minuman ke dalam gelas kristal, cairan keemasan berputar-putar seperti pusaran takdir di d
Mereka melakukannya lagi.Alisha menatap langit-langit kamar yang samar tertimpa cahaya redup, napasnya masih belum sepenuhnya stabil.Udara di ruangan terasa berat, dipenuhi aroma keintiman yang menggantung di antara mereka. Di sekelilingnya, seprai yang kusut, bantal yang terguling ke lantai, serta sisa gairah yang masih menguar di udara menjadi saksi bisu atas pertarungan panas yang telah terjadi.Dadanya naik-turun perlahan, mencoba memahami bagaimana ia bisa berakhir seperti ini—lagi dan lagi—dalam dekapan pria dengan mata safir itu.Dengan ragu, Alisha mengulurkan jemarinya, menyentuh garis rahang Neuro yang begitu sempurna, bagaikan pahatan dari dewa-dewa. Ia tampak terlelap, napasnya teratur, namun aura maskulinnya tetap begitu nyata.Jemari Alisha bergetar samar ketika menyapu pipinya, seolah ingin memastikan bahwa pria ini benar-benar ada di sampingnya—bahwa semua yang terjadi bukan sekadar ilusi malam yang akan memudar saat fajar merekah.Namun, saat tubuh di sampingnya ber
Neuro membeku.Alisha telah menggambar garis batas dengan jelas.Dan itu menghancurkannya lebih dari yang ia duga.Neuro menatapnya dalam diam, mencoba memahami seluruh kata-kata itu dengan kebingungan yang semakin menyiksanya. Ia tidak pernah mengenal rumitnya cinta seperti ini.Ia hanya tahu bahwa hatinya menunjuk Alisha sebagai pemiliknya—dan baginya, itu sudah cukup alasan."Aku harus kembali kepada Rean sebelum pembalasanku terpenuhi. Maafkan aku, anggap saja malam ini hanyalah malam biasa seperti yang biasa kau lakukan dengan wanita-wanita malam lain."Suara Alisha terdengar datar, tetapi di dalamnya ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.Ia berharap kata-kata itu akan menjadi pedang tajam yang memotong perasaan Neuro sejak dini, sebelum semua ini berkembang lebih jauh—terlalu jauh untuk ia kendalikan.Langkah kakinya menggema di dalam ruangan yang kini terasa begitu sunyi. Ia tidak berani menoleh ke belakang.Di belakangnya, Neuro tetap berdiri kaku, seperti pa
Seketika, tubuh Alisha terasa lemas.Bagaimana bisa pria ini berkata seperti itu, setelah semua yang ia lakukan padanya?Seharusnya Neuro marah. Seharusnya ia membencinya, melemparkan kata-kata kasar, atau bahkan pergi meninggalkannya. Bukan seperti ini. Bukan dengan cara memaafkannya tanpa syarat.Neuro menghela napas lagi, kemudian berkata dengan lebih lembut, "Tapi, tawaranku untukmu tidak pernah berubah."Jangan pernah sungkan untuk meminta bantuanku. Kau bisa menggunakanku sesuai yang kau inginkan. Gunakan saja aku hingga kau merasa tidak membutuhkan bantuanku lagi."Alisha menegang.Seketika, netranya membasah.Tanpa sadar, ia berpaling, menatap ke luar jendela, enggan membiarkan Neuro melihat apa yang tergambar jelas di matanya saat ini. Kenapa? Kenapa Neuro tidak marah saja? Kenapa ia malah menawarkan dirinya seperti ini?Ini salah.Semua ini salah.Desahan napas panjang keluar dari mulutnya. Perjalanan ini terasa lebih panjang dan menyesakkan daripada yang ia kira.**"Kenapa
Kelly hanya bisa meremas foto-foto itu dengan kesal. Mustahil, bagaimana bisa Alisha menemukan jejak dirinya saat menjadi wanita penghibur beberapa tahun yang lalu.Hanya sebentar ia berada disana untuk bekerja, bagaimana mungkin Alisha bisa menemukan jejaknya?Apa Alisha memiliki orang handal yang pintar mencari informasi? Tidak mungkin. Perusahaan Alisha bukanlah perusahaan besar yang memiliki sumber daya manusia yang luar biasa."Bagaimana Kelly? Kau ingin aku mengirimnya pada Andrew?" ujar Alisha dengan senyuman miring."Atau bagaimana jika aku membeberkan hal ini ke media? Beritamu pasti akan besar seperti halnya beritaku. Bahkan aku bisa membuatnya lebih besar lagi," sambung Alisha kembali.Kelly mulai terlihat pucat pasi mendengar ucapan Alisha. Rahangnya bergemretak menahan amarah melihat Alisha yang tersenyum penuh arti. "Apa maumu?""Ha, tidak seru! Kenapa kau masih saja searogan itu saat kartu matimu ada di tanganku. Memohonlah padaku, Kelly Anderson! Baru aku akan memperca
Awalnya Alisha pikir Gea akan terbawa amarah saat ia lagi-lagi kalah darinya. Namun kali ini berbeda, Alisha terperangah saat melihat Gea malah mengangkat bibirnya membentuk sebuah senyuman. Senyuman licik nan berbahaya. Kedua tangannya ia lipat di depan lalu berkata, "Tidak apa-apa, Kelly. Aku memang sengaja kalah dari Kak Lisha,"Alisha mengangkat alis mendengar ucapan ambigu yang dilontarkan oleh Gea. Apa yang jalang ini maksud sebenarnya?"Sengaja kalah? Kenapa memangnya, Gea?" Kelly terlihat mulai memancing.Semua orang terlihat mencondongkan tubuh mereka, sama-sama ingin tahu jawaban yang akan Gea utarakan."Aku sudah mengambil semuanya dari Kak Lisha, hal ini tidak seberapa dengan pengorbanannya untukku. Dia sungguh berhati mulia mau memberikan suami tercintanya.”"Astaga, malangnya.""Kasihan sekali.""Dia tidak pandai menjaga suaminya."Alisha hanya bisa ternganga mendengar jawaban Gea. Semua orang kembali terkikik geli. Sialan, mereka sengaja menjadikan aib rumah tanggany
Alisha mengangkat wajahnya melihat ke arah depan. Matanya melebar sempurna melihat bayangan wanita itu. Raut wajah Alisha seketika mengeras melihat Gea berdiri disana dengan senyuman lebar. Gea melangkahkan kakinya ke arah meja mereka dengan langkah mengayun. Alisha hanya bisa mengatupkan rahangnya kuat melihat penampilan Gea yang mewah malam ini. Sedang apa wanita jalang ini di sini?"Selamat malam, Kak Lisha. Akhirnya kita bertemu lagi hari ini."Melihat Gea berdiri disana dengan senyuman lebar membuat amarah Alisha seketika bangkit. la refleks berdiri, menatap tajam ke arah Gea yang masih memasang senyum lebarnya."Apa-apaan ini, Kelly? Kenapa jalang ini ada di sini?" ujar Alisha sinis.Kelly terlihat mengangkat bahu. "Maafkan aku Alisha Sayang, tapi aku menerima semua orang yang menurutku memiliki derajat tinggi. Sekarang Gea adalah istri Rean Hadiyatma, salah satu perusahaan besar di kota ini,""Apa kalian tahu siapa dia?" Tanya Alisha sambil menunjuk Gea dengan telunjuknya."T
Dalam hati Gea bersorak mendengar ucapan Riana. Rencananya lebih lancar dari yang seharusnya berjalan. Kematian Hendriawan benar-benar menguntungkan baginya. Lihat orang-orang bodoh ini, mereka tidak tahu jika ia telah menyuntikan racun ke dalam infusan Hendriawan. Sebenarnya langkahnya untuk melenyapkan bukan bagian dari rencana, hanya saja mengingat pria tua itu bisa menjadi batu sandungan untuknya, Gea terpaksa melakukannya.Racun yang ia suntikan memang tidak dapat terdeteksi sebagai penyebab kematian, siapa yang menyangka jika pekerjaan ayahnya sebagai anggota preman cukup membantunya mengetahui informasi ini. Gea mengulas senyuman tipis. Kebencian Riana terhadap Alisha semakin membesar karena satu dua kebohongan yang ia lontarkan. la akan menjadikan Riana sebagai alat untuk menghancurkan Alisha. Tidak ada senjata yang lebih baik dibanding dari mereka yang dipenuhi dendam dan juga amarah.Dengan penuh yakin Gea mengangguk, menuruti apapun arahan Riana selanjutnya."Baik Ma, G
Suasana duka menyelimuti kediaman rumah Keluarga Hadiyatma ketika Alisha menginjakkan kakinya di sini.Semua orang berpakaian penuh hitam ikut menggambarkan betapa kelamnya hari panjang ini bagi mereka.Alisha hanya bisa menatap rumah duka itu dengan tatapan nanar. Suasana hatinya tak jua berbeda dengan suasana hati yang ditujukkan Rean dan Riana hari ini. Sedih dan putus asa.Riana terlihat masih menjerit histeris menggoncang tubuh suaminya yang terbujur kaku sementara Rean terlihat menahan lengan sang ibu untuk menguatkan hatinya yang ditinggal belahan jiwanya.Pemandangan ini sungguh memilukan membuat beberapa pelayat ikut menutup wajah, menyembunyikan tangisnya.Kedatangan Alisha dan raut wajah sedihnya nyatanya tak dapat menyentuh hati Riana sedikit pun.Melihat kedatangan Alisha yang tidak diharapkan membuat pandangan Riana berubah waspada.Wajah putus asanya seketika mengeras melihat Alisha menghampiri jasad Hendriawan. Berani sekali! Berani sekali orang yang menyebabkan kemala
Telinga Riana seolah berdenging mendengar ucapan dokter di depannya."Apa maksudnya dokter? Jangan main-main. Saya mau menemui suami saya, tadi dia masih baik-baik saja. Mana mungkin suami saya meninggal," ujar Riana menolak fakta yang baru saja dikatakan dokter di depannya."Maafkan kami Bu, kami sudah berusaha namun Tuhan berkehendak lain. Nyawa suami Ibu tidak dapat kami selamatkan.”Tubuh Riana seketika melemas mendengar perkataan dokter di depannya. Tidak mungkin, tidak mungkin suaminya meninggalkannya sekarang.Dengan daya yang tersisa tinggal sedikit, Riana menghampiri ruangan Hendriawan.Tatapannya berubah nanar saat melihat tubuh kaku Hendriawan dengan wajahnya yang sudah memucat."Papa baik-baik saja kan, Pa? Papa pasti bohong kan sama Mama? Papa tidak mungkin meninggalkan Mama sendirian, bukan?"Meski Riana sudah mengguncang tubuh Hendriawan berkali-kali dengan daya yang cukup keras, Hendriawan tetap tidak merespon apapun yang sudah ia lakukan."Papa jangan bercanda begini
Gea menarik nafasnya yang seketika menjadi berat lalu kembali memfokuskan pendengarannya saat Hendriawan kembali membuka suara.Hendriawan terlihat menarik tangan Alisha lembut. Melihat tatapan penuh makna yang diberikan mertuanya pada Alisha, Gea merasa ada sesuatu yang penting hendak dibicarakan oleh Hendriawan."Papa punya permintaan untuk kamu, Alisha.”"Apa itu, Pa?”"Sayang, Papa ingin kamu membatalkan gugatan kamu pada Rean, Papa mohon Sayang, tetaplah jadi menantu Papa. Kamu mau kan?"Seketika jantung Gea berhenti mendengar permohonan Hendriawan pada Alisha. Apa ia tidak salah dengar? Apa Hendriawan baru saja melarang Alisha untuk bercerai dengan Rean?Tanpa sadar Gea mengepalkan tangannya hingga kuku jari jemarinya memutih. Emosinya seketika bangkit mendengar permintaan Hendriawan yang tidak masuk akal.Tidak cukup dengan mengabaikan kehadirannya sebagai istri Rean, Hendriawan sepertinya ingin mengembalikan keadaan pernikahan Rean dan Alisha kembali seperti semula.Nafas Gea
Alisha mengerjap mendengar permintaan Hendriawan yang mendadak kepadanya. la terdiam, terlalu bingung untuk memberi jawaban kepada Hendriawan.Sebenarnya Alisha mau saja, tapi mengingat ia harus sering bertemu dengan Riana dan Gea membuat Alisha merasa enggan."Sayang? Papa mohon, kamu mau ya?"Permohonan yang sangat yang diucapkan oleh Hendriawan membuat Alisha menjadi tidak tega. la melirik ke arah Rean yang sepertinya ikut menunggu jawaban darinya.Alisha menghela nafasnya berat lalu mengangguk. Meski ia enggan, tidak mungkin ia menolak permintaan Hendriawan secara terang-terangan seperti ini."Aku akan berusaha, Pa," jawabnya tidak yakin.Hendriawan mengulas senyuman kembali saat mendengar jawaban Alisha. Netra Hendriawan yang terlihat semakin sayu membuat Alisha memintanya untuk kembali beristirahat."Sebaiknya Papa istirahat sekarang. Jangan memikirkan banyak hal yang tidak perlu."Hendriawan mengangguk lalu mulai memejamkan mata. Alisha segera menarik selimutnya lalu menaikkann
Alisha terlonjak mendengar ucapan Rean. "Papa sakit? Tunggu, apa penyakitnya kambuh lagi?""Begitulah. Jadi Alisha, bisa kau bantu aku dan segera datang kemari? Kita lupakan sejenak permasalahan yang tengah kita hadapi. Alisha, Papa membutuhkan dukungan kita sekarang. Kau bisa melakukannya?"Alisha menghela nafasnya panjang mendengar permintaan Rean. Bagaimana bisa ia menolak permintaan Rean saat Hendriawan membutuhkannya? la memijat keningnya sejenak lalu kemudian mengangguk kecil. Benar, untuk sementara lupakan dulu permasalahannya dengan para manusia brengsek ini. la harus membantu Hendriawan pulih dari sakitnya."Baiklah, dimana Papa dirawat?" Tanya Alisha cepat, tidak ingin berbasa basi hal yang tidak perlu dengan Rean."Ah, Rumah Sakit Kencana, dekat rumah kita.”"Rumahmu dengan Gea," ralat Alisha cepat."Ya ya, terserah. Jadi kau bisa kemari? Kau mau aku jemput?"Kening Alisha berkerut tidak senang mendengar ucapan Rean, "Menurutmu setelah apa yang kau lakukan tadi aku masih i