Alisha mengikuti Neuro, dan begitu saja, ia merasa tubuhnya terbawa ke dalam arus yang tak bisa ia kendalikan.Saat mereka akhirnya sampai, Alisha menahan napas. Jantungnya berdegup lebih cepat dari yang ia inginkan.Tempat itu. Kamar itu.Neuro menyunggingkan senyum penuh arti, tangannya menarik lembut jemari Alisha agar masuk ke dalam ruangan."Kau tidak ingin terus berdiri mematung seperti itu dan menghalangi pengunjung lain, bukan?"Alisha terdiam, menelan ludah. Sejenak, logikanya berusaha melawan tarikan yang terasa begitu kuat ini. Namun akhirnya, ia menyerah. Kepalanya terlalu sakit untuk berpikir, dan tubuhnya terlalu lelah untuk melawan.Tanpa berkata apa-apa lagi, ia membiarkan Neuro menuntunnya masuk, duduk di atas ranjang dengan gerakan yang nyaris tanpa beban."Mau minum?" tawar Neuro dengan nada lembut, seolah menawarkan segelas pelipur lara.Neuro dengan gerakan elegan menuangkan minuman ke dalam gelas kristal, cairan keemasan berputar-putar seperti pusaran takdir di d
Mereka melakukannya lagi.Alisha menatap langit-langit kamar yang samar tertimpa cahaya redup, napasnya masih belum sepenuhnya stabil.Udara di ruangan terasa berat, dipenuhi aroma keintiman yang menggantung di antara mereka. Di sekelilingnya, seprai yang kusut, bantal yang terguling ke lantai, serta sisa gairah yang masih menguar di udara menjadi saksi bisu atas pertarungan panas yang telah terjadi.Dadanya naik-turun perlahan, mencoba memahami bagaimana ia bisa berakhir seperti ini—lagi dan lagi—dalam dekapan pria dengan mata safir itu.Dengan ragu, Alisha mengulurkan jemarinya, menyentuh garis rahang Neuro yang begitu sempurna, bagaikan pahatan dari dewa-dewa. Ia tampak terlelap, napasnya teratur, namun aura maskulinnya tetap begitu nyata.Jemari Alisha bergetar samar ketika menyapu pipinya, seolah ingin memastikan bahwa pria ini benar-benar ada di sampingnya—bahwa semua yang terjadi bukan sekadar ilusi malam yang akan memudar saat fajar merekah.Namun, saat tubuh di sampingnya ber
Neuro membeku.Alisha telah menggambar garis batas dengan jelas.Dan itu menghancurkannya lebih dari yang ia duga.Neuro menatapnya dalam diam, mencoba memahami seluruh kata-kata itu dengan kebingungan yang semakin menyiksanya. Ia tidak pernah mengenal rumitnya cinta seperti ini.Ia hanya tahu bahwa hatinya menunjuk Alisha sebagai pemiliknya—dan baginya, itu sudah cukup alasan."Aku harus kembali kepada Rean sebelum pembalasanku terpenuhi. Maafkan aku, anggap saja malam ini hanyalah malam biasa seperti yang biasa kau lakukan dengan wanita-wanita malam lain."Suara Alisha terdengar datar, tetapi di dalamnya ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.Ia berharap kata-kata itu akan menjadi pedang tajam yang memotong perasaan Neuro sejak dini, sebelum semua ini berkembang lebih jauh—terlalu jauh untuk ia kendalikan.Langkah kakinya menggema di dalam ruangan yang kini terasa begitu sunyi. Ia tidak berani menoleh ke belakang.Di belakangnya, Neuro tetap berdiri kaku, seperti pa
Seketika, tubuh Alisha terasa lemas.Bagaimana bisa pria ini berkata seperti itu, setelah semua yang ia lakukan padanya?Seharusnya Neuro marah. Seharusnya ia membencinya, melemparkan kata-kata kasar, atau bahkan pergi meninggalkannya. Bukan seperti ini. Bukan dengan cara memaafkannya tanpa syarat.Neuro menghela napas lagi, kemudian berkata dengan lebih lembut, "Tapi, tawaranku untukmu tidak pernah berubah."Jangan pernah sungkan untuk meminta bantuanku. Kau bisa menggunakanku sesuai yang kau inginkan. Gunakan saja aku hingga kau merasa tidak membutuhkan bantuanku lagi."Alisha menegang.Seketika, netranya membasah.Tanpa sadar, ia berpaling, menatap ke luar jendela, enggan membiarkan Neuro melihat apa yang tergambar jelas di matanya saat ini. Kenapa? Kenapa Neuro tidak marah saja? Kenapa ia malah menawarkan dirinya seperti ini?Ini salah.Semua ini salah.Desahan napas panjang keluar dari mulutnya. Perjalanan ini terasa lebih panjang dan menyesakkan daripada yang ia kira.**"Kenapa
“Ah, brengsek kalian! Brengsek!” suara Alisha meledak seperti petir di langit yang kelam. Jemarinya mencengkeram erat setir mobil, sementara air matanya berjatuhan, membasahi pipinya yang telah lama kehilangan cahaya.Ia hanya ingin pergi. Pergi jauh dari segalanya—dari rasa sakit yang mengguncang setiap serat keberadaannya, dari bayangan kebahagiaan palsu yang kini tampak seperti lelucon kejam.Kehidupan rumah tangga yang selama ini ia banggakan, seolah mahkota berlian di kepala, runtuh menjadi debu oleh ulah pengkhianatan.Dan tidak sembarang pengkhianatan; yang menusuk hatinya adalah darah dagingnya sendiri, sepupunya selingkuh dan bermain gila dengan suaminya. Ini benar-benar menyakitkan!Akhirnya, mobil itu berhenti dengan derit menyakitkan di depan sebuah bar malam. Alisha turun, melemparkan kunci mobil kepada penjaga tanpa sepatah kata, dan melangkah masuk dengan langkah yang tegas namun rapuh.“Nona, Anda baik-baik saja? Sebenarnya Anda mau ke mana?” tanya seorang pria yang ti
Neuro tahu persis apa arti dari kata-kata itu. Ia tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Dengan gerakan yang penuh naluri, ia menyingkap rok wanita itu, membiarkan kain itu melayang ke udara sebelum mendarat entah di mana.Namun, ketika ia hendak menanggalkan pakaian itu sepenuhnya, tangannya dihentikan oleh jemari lentik wanita itu.“Lakukan seperti ini saja. Aku… sudah tidak tahan,” ucapnya, dengan nada lembut yang penuh getaran, seperti alunan biola yang menyayat hati.Neuro mendesah, setengah kecewa, setengah terpesona. Ia menginginkan lebih, tetapi ia tidak ingin merusak suasana panas yang kini seperti bara api yang membakar di antara mereka.Ia menurut, membiarkan dirinya menjelajah, membiarkan tubuhnya mencari tempat di mana ia bisa menambatkan seluruh hasrat yang telah lama ia tahan.Ketika akhirnya ia menemukan tempat berlabuh, Neuro menggeram rendah, suara yang dalam dan penuh gairah.Gadis di bawahnya memekik pelan, suaranya seperti simfoni malam yang hanya bisa dinikmati sek
“Kau terlambat. Haruskah kau terlambat di hari penting ini, Neuro?”Suara dingin itu memotong suasana seperti pedang tipis yang menusuk tanpa ampun. Neuro menghentikan langkahnya, napasnya tercekat sejenak sebelum perlahan ia membalikkan tubuhnya.Suara itu, tegas dan penuh nada mengejek, datang dari arah Daniel, kakak keduanya, yang kini berdiri dengan tangan terlipat, menatapnya dengan tatapan penuh kebencian yang telah ia kenal sejak kecil.Astaga! Apa lagi ini?Neuro menarik napas panjang, menahan rasa malas yang mulai menguasai pikirannya. Hubungannya dengan Daniel selalu buruk—tidak, lebih dari buruk.Sejak ia ingat, Daniel memperlakukannya seolah ia adalah noda yang tak diinginkan di kehidupan keluarga mereka.“Kenapa aku harus peduli pada hari penting ini?” batinnya, meskipun ia tahu ia tidak bisa melontarkan itu secara langsung.Daniel, seperti biasanya, berdiri dengan postur arogan yang mencerminkan kepribadiannya yang keras. “Kebahagiaanku lenyap sejak kau lahir,” itulah ma
"Ya pernah, kami bertemu satu kali,"Rean segera mengalihkan tatapannya ke arah Alisha, meminta penjelasan sedangkan Alisha hanya berdiri dengan bingung, sama sekali tidak ingat pernah melihat pria bernama Neuro ini.la menggeleng memberikan jawabannya kepada Rean. Tatapan mata Neuro memang terlihat tidak asing, tapi dimana ia pernah melihatnya?"Istri Anda tidak akan ingat, kami hanya tidak sengaja berpapasan. Sepertinya dia sangat setia dengan pasangannya. Dia tidak menoleh bahkan ketika saya menyapanya lembut,"Alisha dapat merasakan lengan Rean yang menyentuh bahunya terasa makin kuat.la menatap wajah Rean yang mengeras, kecemburuan pria itu selalu berlebihan, "Kenapa Anda menyapa istri saya?" Tanya Rean dingin.Neuro yang sepertinya tidak menyadari tatapan dingin Rean hanya mengangkat bahunya santai, "Hanya ingin saja karena istri Anda sangat cantik, saya tidak tahu jika dia sudah menikah,"Alisha yang mulai merasakan ketegangan dari arah sampingnya tiba-tiba mengangkat suara, "
Seketika, tubuh Alisha terasa lemas.Bagaimana bisa pria ini berkata seperti itu, setelah semua yang ia lakukan padanya?Seharusnya Neuro marah. Seharusnya ia membencinya, melemparkan kata-kata kasar, atau bahkan pergi meninggalkannya. Bukan seperti ini. Bukan dengan cara memaafkannya tanpa syarat.Neuro menghela napas lagi, kemudian berkata dengan lebih lembut, "Tapi, tawaranku untukmu tidak pernah berubah."Jangan pernah sungkan untuk meminta bantuanku. Kau bisa menggunakanku sesuai yang kau inginkan. Gunakan saja aku hingga kau merasa tidak membutuhkan bantuanku lagi."Alisha menegang.Seketika, netranya membasah.Tanpa sadar, ia berpaling, menatap ke luar jendela, enggan membiarkan Neuro melihat apa yang tergambar jelas di matanya saat ini. Kenapa? Kenapa Neuro tidak marah saja? Kenapa ia malah menawarkan dirinya seperti ini?Ini salah.Semua ini salah.Desahan napas panjang keluar dari mulutnya. Perjalanan ini terasa lebih panjang dan menyesakkan daripada yang ia kira.**"Kenapa
Neuro membeku.Alisha telah menggambar garis batas dengan jelas.Dan itu menghancurkannya lebih dari yang ia duga.Neuro menatapnya dalam diam, mencoba memahami seluruh kata-kata itu dengan kebingungan yang semakin menyiksanya. Ia tidak pernah mengenal rumitnya cinta seperti ini.Ia hanya tahu bahwa hatinya menunjuk Alisha sebagai pemiliknya—dan baginya, itu sudah cukup alasan."Aku harus kembali kepada Rean sebelum pembalasanku terpenuhi. Maafkan aku, anggap saja malam ini hanyalah malam biasa seperti yang biasa kau lakukan dengan wanita-wanita malam lain."Suara Alisha terdengar datar, tetapi di dalamnya ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.Ia berharap kata-kata itu akan menjadi pedang tajam yang memotong perasaan Neuro sejak dini, sebelum semua ini berkembang lebih jauh—terlalu jauh untuk ia kendalikan.Langkah kakinya menggema di dalam ruangan yang kini terasa begitu sunyi. Ia tidak berani menoleh ke belakang.Di belakangnya, Neuro tetap berdiri kaku, seperti pa
Mereka melakukannya lagi.Alisha menatap langit-langit kamar yang samar tertimpa cahaya redup, napasnya masih belum sepenuhnya stabil.Udara di ruangan terasa berat, dipenuhi aroma keintiman yang menggantung di antara mereka. Di sekelilingnya, seprai yang kusut, bantal yang terguling ke lantai, serta sisa gairah yang masih menguar di udara menjadi saksi bisu atas pertarungan panas yang telah terjadi.Dadanya naik-turun perlahan, mencoba memahami bagaimana ia bisa berakhir seperti ini—lagi dan lagi—dalam dekapan pria dengan mata safir itu.Dengan ragu, Alisha mengulurkan jemarinya, menyentuh garis rahang Neuro yang begitu sempurna, bagaikan pahatan dari dewa-dewa. Ia tampak terlelap, napasnya teratur, namun aura maskulinnya tetap begitu nyata.Jemari Alisha bergetar samar ketika menyapu pipinya, seolah ingin memastikan bahwa pria ini benar-benar ada di sampingnya—bahwa semua yang terjadi bukan sekadar ilusi malam yang akan memudar saat fajar merekah.Namun, saat tubuh di sampingnya ber
Alisha mengikuti Neuro, dan begitu saja, ia merasa tubuhnya terbawa ke dalam arus yang tak bisa ia kendalikan.Saat mereka akhirnya sampai, Alisha menahan napas. Jantungnya berdegup lebih cepat dari yang ia inginkan.Tempat itu. Kamar itu.Neuro menyunggingkan senyum penuh arti, tangannya menarik lembut jemari Alisha agar masuk ke dalam ruangan."Kau tidak ingin terus berdiri mematung seperti itu dan menghalangi pengunjung lain, bukan?"Alisha terdiam, menelan ludah. Sejenak, logikanya berusaha melawan tarikan yang terasa begitu kuat ini. Namun akhirnya, ia menyerah. Kepalanya terlalu sakit untuk berpikir, dan tubuhnya terlalu lelah untuk melawan.Tanpa berkata apa-apa lagi, ia membiarkan Neuro menuntunnya masuk, duduk di atas ranjang dengan gerakan yang nyaris tanpa beban."Mau minum?" tawar Neuro dengan nada lembut, seolah menawarkan segelas pelipur lara.Neuro dengan gerakan elegan menuangkan minuman ke dalam gelas kristal, cairan keemasan berputar-putar seperti pusaran takdir di d
Dengan wajah ditekuk kesal, Gea meninggalkan ruangan Alisha. Hatinya bergemuruh, matanya membara dengan tekad yang semakin menyala-nyala.Alisha dan tingkah arogannya itu—lihat saja, Gea akan menerima tantangan yang baru saja diberikan.Lihat saja, ia akan membuat Rean hanya bertekuk lutut padanya dan membuktikan bahwa ia yang menang dari Alisha.Begitu pintu tertutup, tubuh Alisha merosot ke kursi, seakan seluruh kekuatannya terkuras habis.Nafasnya berat, dadanya sesak seolah tertimpa beban ribuan kenangan yang melumpuhkan.Ia memijat keningnya, namun rasa pusing tak kunjung mereda. Seluruh hatinya terasa mati rasa, pikirannya kacau, jiwanya serasa mengerang meminta ketenangan yang tak kunjung datang.Tidak, ia tidak bisa terus begini. Jika terus begini, ia bisa mati perlahan.Dengan satu gerakan cepat, Alisha meraih ponselnya dan menekan nomor yang sudah dihafalnya luar kepala."Ternyata kau sangat mudah merindukan aku, Nona."Suara riang itu menyambutnya, mengalir seperti aliran s
"Kau dipanggil oleh Alisha!" Dengan nada suara sinis dan dingin, Jesselyn menghampiri Gea yang baru saja tiba.Tatapan mata Jesselyn yang berang membakar udara di antara mereka, menyelubungi ruang sempit dengan ketegangan yang merayap seperti kabut ungu di senja mendung.Gea menghela napas, dada berdenyut dengan firasat buruk—keadaan Alisha pasti lebih parah dari yang ia kira.Dengan senyum penuh kemenangan, Gea bangkit, langkahnya bagai bidak catur yang telah menaklukkan seluruh papan permainan.Cahaya lampu gantung menciptakan bayangan panjang di belakangnya, seakan mengukuhkan siluet seorang wanita yang telah mempertaruhkan segalanya untuk mencapai puncak.Ia tidak akan kembali ke desa—ke kehidupan yang mencengkeramnya dalam jerat neraka berkepanjangan.Lebih baik melawan Alisha daripada kembali pada cengkeraman ayahnya, seorang pria dengan aroma alkohol yang melekat pada kulit, dengan tangan yang selalu lebih cepat melayang ketimbang pikirannya. Ibunya?Tak lebih dari bayangan yan
"Aku tidak mengerti, Jess. Kenapa aku masih saja menangisi pria brengsek itu? Padahal dia sudah menyakitiku, padahal aku sudah tahu semua pengkhianatannya, tapi kenapa?“Kenapa air mataku tidak mau berhenti? Hiks! Benar-benar menyedihkan!" Suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam isakan yang memilukan."Apa yang terjadi? Sebentar... Apa si ular itu berbuat ulah lagi? Atau suami brengsekmu menyakitimu lagi?" tanya Jesselyn geram, ekspresinya berubah garang seperti singa betina yang siap menerkam."Mereka berdua, Jess. Mereka berdua sudah menyakitiku hingga tak berbentuk lagi," ucap Alisha dengan suara yang hampir bergetar, penuh dengan kepedihan yang tertahan."Ada apa sebenarnya, Alisha? Kau tidak mau mengatakannya padaku?" tanya Jesselyn sambil berlutut di depan Alisha, tangannya menggenggam erat tangan sahabatnya."Aku melihatnya. Gea dan Rean, mereka sedang berciuman di sini, di kantorku. Bukankah itu klise? Mereka bermesraan di depan mataku. Lagi!" Napas Alisha terputus-putus, keped
Rean mengumpat kasar, pikirannya berputar-putar mencari jalan keluar dari kekacauan yang semakin dalam. Secepatnya ia harus melenyapkan bukti yang Gea punya. Ia harus membuat perempuan itu lengah, sebelum semuanya berakhir berantakan.Ia segera menelepon Mona, suaranya tegas, tak memberi ruang untuk sanggahan. "Batalkan semua schedule saya hari ini!""Tapi Pak, ada pertemuan penting dengan Pak Robert nanti siang."Rean memijat keningnya, napasnya berat. "Baik, batalkan semua schedule kecuali dengan Pak Robert."Mona mengangguk mengerti sebelum berlalu dari ruangan Rean, meninggalkannya dalam lautan pikirannya yang semakin gelap.Rean segera meraih barang-barangnya, langkahnya tergesa-gesa. Ia harus menemui Gea sekarang juga sebelum semuanya terlambat.Sementara itu, Gea tersenyum senang, keinginannya terkabul lebih cepat dari yang ia bayangkan. Rean menurut. Ah, betapa mudahnya menggoyahkan pria itu. Matanya berkilat penuh kemenangan. Ia bukan perempuan bodoh, ia tahu Alisha sudah me
Tanpa sadar, jemari Gea mengepal begitu erat hingga kukunya hampir menembus telapak tangannya. Dadanya naik turun dalam ritme yang tidak teratur, seperti ombak yang menerjang karang dengan ganas. Di hadapannya, Rean dan Alisha tertawa, cahaya lampu kafe memantulkan kilauan lembut di mata mereka yang saling bertaut. Apakah dia begitu kasat mata? Apakah keberadaannya hanya seonggok bayangan tak bermakna dalam dunia Rean? Sesaknya merayap, meremas rongga dadanya tanpa ampun. Mereka tak punya malu, atau justru sengaja menampilkan kemesraan mereka seolah ia hanya angin lalu?Enggan membiarkan dadanya terus bergemuruh, Gea memutuskan untuk menarik diri. Suaranya lirih namun cukup tegas, "Aku akan masuk terlebih dulu, Kak."Alisha menoleh, alisnya sedikit berkerut. "Kenapa? Kita akan masuk bersama-sama.""Aku harus ke toilet," kilahnya, bibirnya membentuk senyum tipis yang tak sampai ke matanya. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia melangkah cepat meninggalkan mereka, menekan gejolak