Hari yang ditakutkan Naira akhirnya tiba. Elvita, ibunya, kembali dari perjalanan luar pulau. Bastian menerima kabar ini dengan perasaan campur aduk, tahu bahwa dia harus memulangkan Naira ke rumah ibunya.Sore itu, Bastian memanggil Naira ke ruangannya."Nai, mami-mu bakalan pulang hari ini," ujar Bastian dengan nada lembut namun ada sedikit keengganan tersirat.Naira merasakan jantungnya berdegup kencang. Rasa tak nyaman mulai timbul."Oh ... begitu, Pak Bos." Jawabannya terdengar kering tanpa fluktuasi. Padahal dulu dia akan antusias saat mengetahui ibunya akan pulang.Bastian menghela napas. "Kamu harus pulang ke rumah mami-mu malam ini. Aku bakalan ngantar kamu."Naira mengangguk pelan, tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya."Oke, Bos. Aku ntar bakalan berkemas."---Malam itu, Bastian benar-benar mengantar Naira pulang. Namun, tentu saja pria itu masih sempat berintim-intim dengan Naira di sore harinya, di sofa dan di kamar mandi.Setibanya di rumah Elvita, mereka disambut o
Menatap langit-langit kamarnya, Naira mulai menggumam, "Apakah aku tidak pernah ada di hati Om? Apalagi sepertinya Om lebih serasi dengan Mami." Gelisah dengan pemikirannya sendiri, Naira memeluk gulingnya."Aku pastinya dosa banget kalo ampe ngerebut Om dari Mami, kan? Padahal Mami selama ini sayang aku, meski sering sibuk kerja, tapi aku yakin Mami sayang aku."Meskipun ada sekelumit hatinya mengatakan ibunya terlalu sibuk bekerja dan kadang kurang perhatian padanya, tapi Naira bisa memaklumi itu karena mereka tak punya lagi sosok lelaki di rumah untuk diandalkan."Argh! Pusing! Aku pusing!" Besoknya, ketika Naira memiliki kesempatan berbincang dengan Bastian di jam makan siang di ruangan pria itu. Dia mencoba mengungkapkan kegundahan yang dia rasakan."Om, ada yang mau aku omongin," Naira memecah keheningan, suaranya sedikit bergetar.Bastian mengangkat alis, menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuap. "Ya, ada apa Nai?"Naira menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan ke
Di kursinya, jantung Naira seperti digedor palu raksasa milik dewa petir. Ibunya diangkat jadi GM! Mata Elvita berbinar. "GM? Beneran? Oh, Bos Tian, makasih!"Langsung saja Elvita bangkit dari kursinya dan memeluk Bastian."Tapi," Bastian melanjutkan, "posisi ini mengharuskanmu untuk menangani divisi di pulau lain."Ucapan Bastian sontak menimbulkan gejolak di hati Naira. Ibunya hendak dikirim ke pulau lain?Elvita terdiam sejenak, lalu bertanya, "Berapa lama?"Senyum di wajah Elvita memudar, melipat kedua tangan di depan dada, dan berdiri di samping kursi Bastian sambil menyandarkan pantatnya ke tepian meja si Bos. "Setidaknya satu tahun," jawab Bastian tegas.Di mejanya, Naira mendengarkan dengan telinga yang dipasang baik-baik. Ada campuran perasaan lega dan bersalah mengguyur hatinya."Tapi, Tian ... gimana ama Naira?" tanya Elvita, suaranya terdengar ragu.Naira membalas canggung tatapan ibunya yang baru saja tertuju ke arahnya.Bastian tersenyum meyakinkan. "Nggak usah khawati
Sepeninggal Elvita ke luar pulau untuk menjadi GM di sana, Bastian memang semakin intens dalam interaksinya dengan Naira. Di kantor, dia sering mencari alasan untuk menghabiskan waktu berdua dengan Naira."Om ... mhhh ... jangan gini ... nanti ada-mmphh ...." Naira sedang berjuang mengimbangi cumbuan Bastian yang menuntut.Sudah berapa kali dia menuruti gairah Bastian yang meluap-luap. Tak hanya di rumah pria itu saja, tapi juga di kantor."Sshh ... jangan bicara yang gak penting. Kamu hanya perlu mengerang ama membuka kakimu lebih lebar untukku," desis Bastian cukup keras.Ucapan semacam itu membuat Naira malu hingga pipinya memerah. Kenapa vulgar sekali pria itu dalam berkata-kata? 'Aku curiga dia sengaja ngomong cabul gitu, dasar om-om mesum!' rutuk Naira di hatinya.Maka, sore itu dihabiskan mereka dengan kegiatan yang membuat mereka banjir peluh.Betapa liciknya Bastian ketika dia 'mengusir' Elvita dan menaruh Naira di ruangannya sebagai sekretarisnya. Dan masih ada lagi 'rencan
"Eh? Om mau tinggal bareng aku juga?" tanya Naira dengan kedua alis terangkat.Bastian tampak santai saja ketika dia duduk di tepi ranjang kamar utama."Kenapa? Kamu gak suka?" Bastian balik bertanya.Sebuah pertanyaan yang membuat Naira kebingungan menjawabnya. Bukannya apa-apa, tapi dia tak mau jika jawabannya membuat Bastian besar kepala.Karena lama tidak juga memberikan sahutan, Bastian bangkit dan berjalan ke Naira, lalu kedua tangannya membelit pinggang ramping gadis itu."Kau tak suka aku menemanimu di sini? Bagaimana kalau kamu kenapa-kenapa, hm?" bisik Bastian di dekat telinga Naira.Naira tahu dengan pasti kelanjutan dari adegan ini.Setengah jam berikutnya, Naira sudah dibuat terkulai lemas di atas ranjang dengan kedua kaki terbuka lebar tanpa penutup apa pun."Hehe ... Nai, kenapa? Aku belum apa-apa, loh! Aku baru pake tangan ama mulut doang, nih!" goda Bastian sambil menegakkan punggungnya usai merunduk. "Masih jauh dari kata selesai, Nai. Ayo, sekarang giliranku mendapa
Setelah meneguk salivanya sekali, Naira mulai menuangkan apa yang ada di otaknya dalam kalimat."Ada 2 macam program, sih Om. Pertama, program yang berkaitan ama para karyawan." Naira menatap Bastian di depannya.Pria itu hanya diam dan menunggu Naira melanjutkan bicara.Karenanya, Naira bicara lagi, "Aku mengusulkan adanya program pemberian subsidi bagi karyawan berprestasi. Juga, adanya program Inisiatif Kesehatan dan Kesejahteraan bagi mereka.""Hanya itu?" tanya Bastian.Naira menggeleng."Itu baru program yang menitikberatkan pada karyawan." Naira menjawab,"Coba terangkan mengenai apa yang kamu usulkan tadi." Bastian menyatukan semua jarinya di atas meja.Tatapan pria itu terlihat tertarik dengan ide Naira."Insiatif kesehatan dan kesejahteraan bagi karyawan itu maksudnya semacam program kebugaran dan manajemen stres. Juga adanya konseling kesehatan mental. Tentunya kita tak mau adanya karyawan yang stres di sini, kan Pak?" Naira menjabarkan.Bastian mengangguk-anggukkan kepala,
Pagi harinya, Naira hanya bisa menggerutu atas kegilaan Bastian semalam."Dasar om-om maniak! Bisa-bisanya ampe 4 jam! Yah, dijeda setengah jam sih, tapi kan tetap aja, njir! Dikira aku ini cewek 4maz0n, apa?!" Naira sedikit tertatih ketika keluar dari kamar mandi dan bersyukur tak ada Bastian di kamar, sehingga dia bisa leluasa berdandan.Kemudian, setelah dipaksa sarapan oleh Bastian, dia pergi ke kantor. Seperti biasa, dia pergi menggunakan taksi online ketimbang ikut mobil Bastian.***Pagi itu, gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di pusat kota menyambut Naira dengan pantulan sinar mentari pada kaca-kaca jendelanya. Jantungnya berdegup kencang saat dia melangkah memasuki lift. Jemarinya meremas ujung blazer barunya dengan gelisah. Hari ini bukan hari biasa—Bastian telah memintanya untuk menghadiri rapat dewan direksi.Bastian menyambut Naira di depan ruang rapat, senyumnya menenangkan. "Udah siap, Nai?"Naira menelan ludah, suaranya sedikit bergetar. "Aku ... aku gak yak
Seorang direksi senior angkat bicara, "Saya harus mengakui, ini melebihi ekspektasi saya. Terutama ide audio book itu, bisa jadi game-changer di industri kita."Naira merasakan gelombang kelegaan dan kebanggaan menyelimutinya. Diliriknya Bastian yang memberikan anggukan penuh arti, seolah berkata "Sudah kubilang kau bisa melakukannya."Setelah presentasi Naira, ruangan dipenuhi dengan diskusi yang semakin intens. Sementara beberapa direksi terlihat antusias, ada beberapa wajah yang menunjukkan keraguan.Direktur Keuangan, Pak Robert, berdeham untuk menarik perhatian. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Saya menghargai kreativitas Anda, Nona Naira. Namun, saya memiliki beberapa keberatan, terutama mengenai program subsidi karyawan berprestasi."Direktur lainnya diam, ingin menyimak.Naira menegakkan punggungnya, bersiap menghadapi tantangan. "Silakan, Pak Robert. Saya terbuka untuk diskusi."Pak Robert berujar, "Pertama, dari segi finansial, program ini bisa menjadi beban berat bagi pe
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal