"Eh? Om mau tinggal bareng aku juga?" tanya Naira dengan kedua alis terangkat.Bastian tampak santai saja ketika dia duduk di tepi ranjang kamar utama."Kenapa? Kamu gak suka?" Bastian balik bertanya.Sebuah pertanyaan yang membuat Naira kebingungan menjawabnya. Bukannya apa-apa, tapi dia tak mau jika jawabannya membuat Bastian besar kepala.Karena lama tidak juga memberikan sahutan, Bastian bangkit dan berjalan ke Naira, lalu kedua tangannya membelit pinggang ramping gadis itu."Kau tak suka aku menemanimu di sini? Bagaimana kalau kamu kenapa-kenapa, hm?" bisik Bastian di dekat telinga Naira.Naira tahu dengan pasti kelanjutan dari adegan ini.Setengah jam berikutnya, Naira sudah dibuat terkulai lemas di atas ranjang dengan kedua kaki terbuka lebar tanpa penutup apa pun."Hehe ... Nai, kenapa? Aku belum apa-apa, loh! Aku baru pake tangan ama mulut doang, nih!" goda Bastian sambil menegakkan punggungnya usai merunduk. "Masih jauh dari kata selesai, Nai. Ayo, sekarang giliranku mendapa
Setelah meneguk salivanya sekali, Naira mulai menuangkan apa yang ada di otaknya dalam kalimat."Ada 2 macam program, sih Om. Pertama, program yang berkaitan ama para karyawan." Naira menatap Bastian di depannya.Pria itu hanya diam dan menunggu Naira melanjutkan bicara.Karenanya, Naira bicara lagi, "Aku mengusulkan adanya program pemberian subsidi bagi karyawan berprestasi. Juga, adanya program Inisiatif Kesehatan dan Kesejahteraan bagi mereka.""Hanya itu?" tanya Bastian.Naira menggeleng."Itu baru program yang menitikberatkan pada karyawan." Naira menjawab,"Coba terangkan mengenai apa yang kamu usulkan tadi." Bastian menyatukan semua jarinya di atas meja.Tatapan pria itu terlihat tertarik dengan ide Naira."Insiatif kesehatan dan kesejahteraan bagi karyawan itu maksudnya semacam program kebugaran dan manajemen stres. Juga adanya konseling kesehatan mental. Tentunya kita tak mau adanya karyawan yang stres di sini, kan Pak?" Naira menjabarkan.Bastian mengangguk-anggukkan kepala,
Pagi harinya, Naira hanya bisa menggerutu atas kegilaan Bastian semalam."Dasar om-om maniak! Bisa-bisanya ampe 4 jam! Yah, dijeda setengah jam sih, tapi kan tetap aja, njir! Dikira aku ini cewek 4maz0n, apa?!" Naira sedikit tertatih ketika keluar dari kamar mandi dan bersyukur tak ada Bastian di kamar, sehingga dia bisa leluasa berdandan.Kemudian, setelah dipaksa sarapan oleh Bastian, dia pergi ke kantor. Seperti biasa, dia pergi menggunakan taksi online ketimbang ikut mobil Bastian.***Pagi itu, gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di pusat kota menyambut Naira dengan pantulan sinar mentari pada kaca-kaca jendelanya. Jantungnya berdegup kencang saat dia melangkah memasuki lift. Jemarinya meremas ujung blazer barunya dengan gelisah. Hari ini bukan hari biasa—Bastian telah memintanya untuk menghadiri rapat dewan direksi.Bastian menyambut Naira di depan ruang rapat, senyumnya menenangkan. "Udah siap, Nai?"Naira menelan ludah, suaranya sedikit bergetar. "Aku ... aku gak yak
Seorang direksi senior angkat bicara, "Saya harus mengakui, ini melebihi ekspektasi saya. Terutama ide audio book itu, bisa jadi game-changer di industri kita."Naira merasakan gelombang kelegaan dan kebanggaan menyelimutinya. Diliriknya Bastian yang memberikan anggukan penuh arti, seolah berkata "Sudah kubilang kau bisa melakukannya."Setelah presentasi Naira, ruangan dipenuhi dengan diskusi yang semakin intens. Sementara beberapa direksi terlihat antusias, ada beberapa wajah yang menunjukkan keraguan.Direktur Keuangan, Pak Robert, berdeham untuk menarik perhatian. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Saya menghargai kreativitas Anda, Nona Naira. Namun, saya memiliki beberapa keberatan, terutama mengenai program subsidi karyawan berprestasi."Direktur lainnya diam, ingin menyimak.Naira menegakkan punggungnya, bersiap menghadapi tantangan. "Silakan, Pak Robert. Saya terbuka untuk diskusi."Pak Robert berujar, "Pertama, dari segi finansial, program ini bisa menjadi beban berat bagi pe
Sore itu, apartemen mewah Naira yang dibelikan Bastian dipenuhi aroma menggoda dari dapur. Jendela-jendela besar memantulkan cahaya senja keemasan, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan kegelisahan yang masih menyelimuti Naira.Sedangkan Naira justru sedang duduk di sofa ruang tengah, matanya menerawang jauh, pikirannya masih terpaku pada kejadian di kantor pagi tadi.Bastian melirik Naira dari balik konter dapur, hatinya terenyuh melihat gadis itu masih tampak murung. Dia mengaduk pasta dalam panci, uap mengepul membawa aroma rempah yang menggugah selera. "Hei, Nai," panggilnya lembut, "bisa tolong ambilin garam di lemari sebelah kanan?"Naira tersentak dari lamunannya, lalu bangkit perlahan. "Oh, sure, Om!" jawabnya, berjalan menuju dapur.Saat Naira mendekat, Bastian tersenyum hangat. "Coba cicipi ini," ujarnya, menyodorkan sendok berisi saus pasta. Naira mencicipinya, dan untuk pertama kalinya sejak pagi, sebuah senyum kecil terbentuk di bibirnya."Enak," pujinya tulus.B
Wildan tersenyum lebar, "Baik. Kabarku baik. Nggak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Naira sendirian?"Naira mengangguk, "Iya, sedang mencari buku untuk ... um, referensi pekerjaan."Dia memilih untuk menggunakan bahasa yang formal untuk Wildan. Toh, mereka tidak akrab dan lagipula, Wildan anak dari salah satu investor penting Zilong E-First."Ah, masih magang di perusahaan Bastian?" tanya Wildan, matanya menyiratkan keingintahuan yang dalam."Begitulah," jawab Naira singkat, merasa sedikit tidak nyaman.Wildan mengambil sebuah buku dari rak terdekat, membolak-baliknya tanpa benar-benar membaca. "Tau nggak, aku ama Bastian dulu sering banget berdebat soal manajemen dan strategi bisnis. Dia selalu aja punya ide-ide gila yang ...."Naira mendengarkan dengan sopan, namun pikirannya mulai berkecamuk. Dia tahu tentang persaingan Bastian dan Wildan di masa lalu, dan entah mengapa, pertemuan ini membuatnya gelisah."...jadi, bagaimana menurutmu bekerja ama dia?" Wildan mengakhiri ceri
Naira terkejut dengan tawaran Wildan. "Eng~ tidak usah, Pak! Saya bisa—""Ayo~ nggak apa-apa, kok! Yok!" Wildan memaksa.Meski ingin menolaknya, tapi Naira tidak memiliki keberanian melawan ketika Wildan menyentuh punggungnya dan menggiring dia ke arah mobil Wildan terparkir.Akhirnya, Naira pun duduk di sebelah Wildan yang menyetir. Dia duduk kaku di tempatnya, meremas tas cangklong kecil di pangkuannya.'Duh, gimana ini?! Kok malah jadi gini, sih?' pikirnya galau.Wildan memang sengaja melajukan mobil sesantai mungkin karena dia ingin lebih lama dengan Naira."Eh, Naira, kamu masih kuliah pastinya, kan? Di mana?" tanya Wildan.Dia ingin membuka obrolan supaya bisa akrab dengan Naira.Terpaksa Naira menjawab meski malas, "Di Goldera, Pak. Jurusan Sastra Inggris."Lebih baik sebutkan sekalian jurusannya karena dia tahu pasti pertanyaan selanjutnya. Sangat mudah ditebak.Wildan terkekeh, mungkin karena ketahuan apa yang hendak ditanyakan selanjutnya. Tapi dia masih belum menyerah. "Kam
Naira menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya. Bastian menuntunnya ke sofa, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang jelas."Ada apa, Nai? Kau bikin aku cemas," ujar Bastian lembut, tangannya menyentuh pundak Naira.Naira memejamkan mata sejenak, lalu mulai bercerita. Dia harus berhati-hati merangkai kata."Tadi ... waktu aku keluar dari toko buku, aku bermaksud ngambil jalan pintas lewat gang sempit yang aku tau." Dia berhenti sejenak, melihat ekspresi Bastian mengeras. "Ada ... ada beberapa preman yang menghadang aku di sana, Om. Mereka ... mereka keliatan berbahaya."Bastian langsung menegakkan tubuhnya, matanya menyiratkan kemarahan dan kekhawatiran. "Apa? Mereka ngelukai kamu? Apa yang terjadi selanjutnya?"Respon Bastian persis seperti dugaan Naira.Naira menggeleng cepat. "Gak, Gak terluka, kok Om. Aku baik-baik aja. Sebelum mereka macam-macam ama aku, ada ... ada orang yang nolong aku."Jantung Naira terus berdegup kencang. Sungguh, berbohong adalah hal yang kurang
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal