Tiara menyeret kopernya masuk ke vaporetto, kapal besar yang menjadi alat transportasi utama di Venice. Semacam bus umum jika di darat.
Ia sudah menyewa sebuah kamar dari seorang wanita berusia enam puluh lima bernama Marcia. Seorang profesor yang mengajar anak-anak yang kesulitan mengeja di Inglese Dinamico.
Marcia hidup seorang diri di rumah dua lantai berkamar dua. Jadi dia menyewakan satu kamar pada pelancong-pelancong via sebuah situs penginapan.
Waktu tepat menunjukkan jam dua belas siang, Marcia sedang mengajar, jadi Tiara harus mengambil kunci rumahnya ke kampus yang terletak di San
Tantri melihat suaminya benar-benar ‘terpenjara’ olehnya dua bulan ini. Di siang hari selalu pulang, dan jarang terlihat mengetik di ponsel. Tantri bernapas lega. Sepertinya upaya halusnya sukses.Namun, dua minggu kemudian, ia melihat suaminya tampak lebih pendiam. Ada kemuraman yang coba ditutupi. Hampir berhasil, sebab ketika memandangnya, suaminya memang masih tersenyum, tetapi Tantri bukan baru hidup satu dua tahun dengannya, dan ia menangkap mendung itu.Oleh karena itu, ketika suaminya mengatakan mendapat undangan seminar gizi di Italia sana, dan bermaksud melanjutkan program master satu tahun, ia langsung menyetujuinya.‘Lebih baik dia pergi jauh supaya kesempatannya benar-benar tertutup, tanpa aku berusaha menghalanginya.’ Begitu ia berpikir.
Tristan mengambil alih koper Tiara yang setinggi pinggangnya, membebaskan wanita itu hanya berjalan menenteng tas laptop dan tas selempangnya. Dengan panduan Google map dan petunjuk dari Marcia, mereka menemukan kampusnya tanpa kesulitan.Marcia ternyata bertubuh mungil, bahkan lebih pendek dari Tiara. Tingginya mungkin sekitar 150 cm. Ketika berjalan ke luar kelas menghampiri mereka, dia agak pincang.“Hai sweetheart,” Dia langsung memeluk Tiara dengan hangat. “Akhirnya kamu tiba juga. Tidak sulit kan menemukan kampus ini?”Tiara mengg
Mereka tentu saja memesan Bellini. Bagaimana pun, mereka penasaran dengan rasa koktail Peach Bellini yang diciptakan oleh Cipriani itu. Minuman inilah yang menjadi magnet penarik turis untuk mengunjungi bar ini. Konon, dinamakan Bellini karena warna merah muda cerah dari koktail tersebut mengingatkan Cipriani pada lukisan Giovanni Bellini, seorang pelukis Renaisans Venesia abad ke-15.Bellini mereka tiba dalam hitungan menit. Berbeda dari minuman koktail yang biasanya dituangkan di gelas dangkal berkaki tinggi, Bellini disajikan dalam gelas silinder setinggi sekitar sepuluh senti. Lebih mirip jus, berwarna merah muda dengan buih di atasnya.Tiara segera meneguk minuman yang tampak cantik dan ceria itu.
Segala cara sudah dilakukan untuk menepis segala rasa, melenyapkan segala kemungkinan kembali. Namun, takdir membawa Tristan kembali ke hadapannya, di sini, di kota yang setiap sudutnya menawarkan romantisme.Rasa yang tak pernah pergi, menghantam bagai gelombang raksasa. Menghanyutkan Tiara ke lautan cinta tanpa tepi. Mungkin ia akan tenggelam karena lelah, sebab cintanya hanya sebuah harap yang hampa.“Cara sembuh dari patah hati adalah dengan menemukan cinta baru,” kata Alana suatu ketika.Waktu itu Tiara menjawab, “Dalam menyembuhkan luka hati, manusia terbagi menjadi dua jenis. Jenis yang pertama, seperti yang lo sebutin. Menambal hati yang patah dengan cinta baru. Jenis yang kedua, harus sembuh dulu baru bisa menerima cinta yang lain. Gua adalah jenis yang kedua.”
[Terjadilah apa yang seharusnya terjadi. Elo sudah tahu risikonya. Your action your responsibility. -Tingkah lakumu, tanggung jawabmu.] Jawaban Alana sudah ada ketika Tiara membuka mata di pagi hari.[Karena gua tahu, lo itu meskipun ‘janda’ dan sudah punya anak, sebetulnya gak lebih dari perawan. Belum pernah merasakan cinta yang menggebu-gebu. Bahkan bercinta pun hanya sekali. Pasti belum pernah ngerasain yang namanya ‘Big O’. Atau ciuman yang bikin lo melayang sampai rasanya diri lo lenyap. Jadi… gua no comment.] Itu kalimat Alana selanjutnya. Sebagaimana yang diharapkan dari seorang penulis. Tiara memejamkan mata. Bagaimana menepiskan rasa ini, sementara objek yang membangkitkannya kini berada di dekatnya. Dan mereka ada di belahan dunia lain. Bolehkah ia menganggap ini kehidupan di dunia yang lain, untuk dinikmati walau hanya sesaat? Meskipun ia tahu ia tidak boleh membangun harapan di dunia ini. Meskipun ia tahu ia akan makin terluka setelah semua ini usai.Ia menghela napas,
Bekerja di dunia pedagang eceran itu berat, kadang ia harus tetap bekerja di hari libur. Untunglah Bapak dan Ibu Sutami, pasangan suami istri atasannya itu, adalah orang-orang baik. Mereka tidak punya anak, dan mengizinkan Tiara untuk sekali-sekali membawa Kirana ke toko. Kasihan Ibu yang sudah mengurusnya sepanjang Senin hingga Jumat. Dan kesempatan Tiara untuk dekat dengan Kirana hanya saat akhir pekan. Kirana tumbuh sehat, sayangnya dia terlambat bicara. Hingga usianya menjelang tiga tahun, belum satu pun kata keluar dari bibir mungilnya. Tiara sangat khawatir, tiap malam ia melatihnya untuk bicara, mengajak Kirana mengikuti ucapannya.“Kira… maaa… ma.” Mata bulat Kirana terpaku pada bibirnya. “Maa...maa...” Tiara melanjutkan sambil menunjuk dadanya sendiri. “Ini Mama.”Kirana memandangnya tanpa mengatakan apa-apa, lalu berjalan menjauhinya.Tiara hanya bisa menghela napas.Suatu malam, entah Tuhan mengirimkan malaikat mana. Tiba-tiba Kirana turun dari pangkuannya sambil mengham
Pertemuan itu dilanjut pertemuan berikutnya. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari. Menyusuri lorong-lorong yang berliku-liku, demi menemukan ternyata lorong satu membawa mereka ke tempat yang tidak mereka sangka sebelumnya. Sepertinya mereka berjalan ke satu arah, ternyata mereka bisa muncul di seberang kanal. Lalu mereka tertawa bingung. Pembicaraan mereka telah kembali mengalir, seolah waktu enam bulan tanpa komunikasi tidak pernah terjadi. “Besok, mari kita berlomba,” kata Tristan. “Gang-gang dan jembatan-jembatan ini, ke manapun arahnya ternyata semuanya terhubung, baik di sisi ini maupun ke sisi seberang.” “Sepakat,” kata Tiara. “Kita berpisah dan bertemu di satu titik. Yang sampai duluan menang, yang kalah harus bayarin makan.” Besoknya, Tristan muncul di depan pintu dengan Tshirt putih berlengan pendek dipadu jeans dan sepatu sneakers, sangat santai. Tiara juga mengenakan sneakers dan gaun coklat selutut yang nyaman dipakai. “Hari ini aku arah ke kiri, kemudian
Dua minggu berlalu tanpa terasa dalam sekejap mata. Ini adalah hari terakhir Tristan di Venesia, besok ia harus kembali ke Florence karena kuliahnya akan segera dimulai.“Bagaimana kalau giliran kamu yang pindah ke Florence?” “Ha?” Pertanyaannya yang tiba-tiba mengejutkan Tiara. Mereka sedang berdiri di Rialto Bridge, jembatan paling terkenal di Venesia. Menyaksikan gondola dan vaporetto lalu lalang di bawahnya. Deretan gondola yang berlabuh di tepi, saling beradu menimbulkan suara detak. Bergoyang karena alunan air danau, seolah gadis-gadis yang rebah sambil meliuk-liukkan pinggul. Hari sudah menjelang senja. Di kejauhan, Santa Maria della Salute dipeluk semburat jingga. Matahari mulai merosot merendah dari ketinggian langit. Kilau keemasan tiba-tiba memenuhi seluruh permukaan air kanal. “Maksudku… aku tahu kamu sudah menyewa kamar untuk tiga bulan di rumah Marcia, tapi apa kamu gak bosan di Venesia terus? Kan bisa tinggal di Florence satu minggu, lalu pindah lagi ke kota lain, b
“Hai… sweetheart senang sekali bertemu denganmu lagi,” Marcia memeluk Tiara erat, mencium pipinya kiri dan kanan. “Aduh, sudah berapa lama ini?” “Lima tahun?” Melihat Tiara mengacungkan tangannnya, Marcia membelalak. “Astaga! Waktu benar-benar tidak menunggu.” “Dan kamu…” Marcia menepuk lengan atas Tristan sambil mengernyit, berpura-pura marah. “Berani-beraninya membuat anakku menangis. Apa yang kamu lakukan padanya? Kamu harus menebusnya! Apakah kamu sudah minta maaf?” Tristan mengangkat kedua tangannya dengan sikap menyerah. “Ampun. Aku akan menebusnya seumur hidup. Aku berjanji, itu pertama dan terakhir aku membuatnya menangis. Mulai saat ini, aku hanya akan menyelimutinya dengan cinta. Hanya akan membuatnya tersenyum.” “Nah, itu baru benar!” Marcia masih mengerucutkan bibir. “Sudah kukatakan mataku tidak salah. Aku menangkap binar-binar cinta di mata kalian. Sekarang terbukti, bukan?” “Ya ya…” Tristan dan Tiara tertawa. “Itu juga sebabnya kami kembali ke sini, Tristan ingin
Jari Tristan menjalari seluruh lekuk tubuh Tiara, mereka berbaring berhadapan, belum kembali mengenakan pakaian yang berserakan di lantai, masih dipenuhi peluh, masih mengatur napas yang nyaris habis. Tadi Tristan bagai kesetanan, menggumuli Tiara sampai merintih, melenguh, berteriak, hingga suaranya habis. Dan kini, tubuh Tiara tergolek tak bertenaga. “Kamu kuat banget,” Tiara berbisik. “Padahal sudah tidak muda lagi.” Tristan tertawa, “Jangan menganggap remeh orang tua. Aku masih kuat kalau kamu mau nambah. Napasku panjang karena aku sering lari, full marathon 42 km. Bagaimana, masih mau lagi?” Tristan menggoda Tiara, memindahkan jarinya dan memutar-mutar di sekitar areolanya. Tiara menggedikkan bahu, “Rasanya tidak nyaman. Sepertinya lecet, kamu sih terlalu ganas.” “Akibat menahan lima tahun, sayang. Oh bukan, kalau menghitung dari kita kenal, sebenarnya tujuh tahun.” Tristan menggosokkan hidungnya ke hidung Tiara. “Jadi, mulai sekarang kamu harus siap aku sergap untuk dib
“Meskipun telah berpisah, aku tidak langsung mencarimu. Aku ingin melihat apakah takdir akan kembali mempertemukan kita. Jika tidak, berarti kita memang tidak berjodoh, dan aku benar-benar akan menghapus segala harapan. Tetapi ternyata… kita kembali dipertemukan. Dan kali ini, aku tak akan melepaskanmu.” Tristan meremas tangan Tiara. “Tentu saja, jika kamu belum bertemu seseorang, dan jika kamu bersedia.” Tiara menunduk, jantungnya berdentum-dentum. “Waktu kamu ulang tahun, kita tidak berfoto. Sekarang, kita sudah bisa berfoto bersama.” Kata Tristan lagi. “Supaya aku bisa melihat bagaimana wajah kita berdua ketika berdampingan, dan aku bisa memandangainya ketika aku sendirian.” Wajah Tiara seketika merona. “Kamu kok jadi lebay begini, malu ah sudah tua.” Tiara kembali berusaha menarik tangannya, tetapi Tristan malah pindah tempat duduk dari depannya ke sebelahnya. “Melihat reaksi kamu, kamu pasti belum bertemu seseorang, dan kamu bersedia. Ya kan?” Di akhir kalimat, Tristan be
Berbeda dari biasanya, dimana Tiara hampir selalu hadir lebih dulu dan Tristan hampir selalu terlambat, kali ini, Tiara berjalan berlama-lama, ingin membiarkan Tristan menunggunya.Ia bahkan hampir menyesali telah setuju untuk menemuinya lagi, setelah susah payah membakar jembatan, sekarang jembatan itu akan dibangun kembali?Namun, kata-kata Tristan yang mengatakan ‘banyak yang ingin disampaikan’, telah menggelitik rasa penasarannya. Sebanyak apa? Apa yang dia pendam dalam lima tahun ini, dan mengapa harus disampaikan padanya? Bukankah semuanya telah selesai?Tiara tiba di depan Blue Elephant. Seorang penerima tamu menyambutnya dengan senyum ramah.“Selamat siang. Untuk berapa orang, Bu?”“Sepertinya teman saya sudah di sini,” Tiara agak melongokkan kepala. “Entah dia sudah sampai belum…”“Boleh saya cek namanya?”“Tristan.”Penerima tamu itu memeriksa daftar nama di meja, “Sudah datang, mari saya antar, Bu.” Dia berjalan mendahului Tiara.Tiara mengikutinya ke sebuah meja. Ini bahka
Tiara berdiri di depan sebuah jendela lebar yang tirainya disingkapkan, menatap jajaran box berisi bayi-bayi yang terbaring di dalamnya.Kirana berdiri di sebelahnya, berjingkat-jingkat sambil memanjangkan leher.“Yang mana ya Mam?” Kirana bertanya.“Kayaknya yang itu tuh, yang ketiga dari kiri.” Tiara meletakkan telunjuknya di kaca.Kirana menoleh padanya, “Kok Mami milih yang itu?”“Soalnya merah sendiri. Yang lain pada kuning.” Tiara menjelaskan alasan akan bayi yang dipilihnya.Kirana kembali mengalihkan pandang ke box bayi itu, berusa
And if you should ask mewhich you are,my answer is -you are a scar. -Lang Leav-Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa cinta tidak selalu benar. Cinta bisa jatuh di waktu yang salah, pada orang yang keliru, dalam keadaan yang tidak tepat. Pun ketidakbenaran itu tak menutupi kenyataan bahwa cinta itu hadir. Tak pula lalu meniadakan keberadaannya, bagaimana keras pun itu berusaha disingkirkan, dihapus, dilupakan.Pada akhirnya, itu hanya bisa dibiarkan mereda, mengendap, terkikis bersama waktu. Jika itu tak juga lenyap, dan rasa sakitnya terus terasa, kesakitan itu justru membuatnya nyata. Bahwa cinta itu ada. Pernah ada.Sebab siapa yang bisa menjamin apakah sebuah cinta akan berlangsung selamanya. Atau hanya hadir sesaat. Bukan kemampuan kita untuk melepaskan atau terus menggenggamnya yang akan menentukan rentang waktu cinta, melainkan kedalamannya. Terlepas dari apakah cinta itu benar, atau salah.Tiara menelusuri percakapan-percakapan di layar ponselnya. Semua percakapan denga
Satu tahun berlalu dalam sekejap mata, itu bagi orang lain.Bagi Tristan, menghabiskan tiga ratus enam puluh lima hari di Italia setelah kepergian Tiara, itu sangat panjang. Itu adalah lima puluh empat minggu. Itu adalah delapan ribu tujuh ratus enam puluh jam. Itu adalah lima ratus dua puluh lima ribu enam ratus menit. Menit demi menit yang ia lalui dengan bayangan Tiara di mana-mana.Tristan belum pernah merasakan kondisi seperti ini. Bahkan ketika remaja. Ia belum pernah merasakan putus cinta, ia tidak pernah mengalami patah hati. Pacarnya hanya satu, yang langsung dilamar menjadi istrinya, sampai sekarang. Tantri.Pantas saja banyak yang sulit sembuh, bahkan mengakhiri hidup. Ternyata rasanya sangat tidak nyaman seperti ini. Berkali-kali ia berkata pada dirinya sendiri, bahwa hidup akan baik-baik saja.Ternyata hidup tidak baik-baik saja. Hidup terasa pelan. Datar. Membosankan. Waktu seolah merayap. Sangat. Lambat. Tetapi tetap harus dijalani. Tristan menjalani hidupnya karena Tuh
Rindu adalah siksa yang nikmat. Bagi Tiara, merindukan Tristan adalah nikmat yang menyiksa. Menyakitkan. Namun menagihkan.'Kamu harus belajar memaafkan,' nalarnya bicara. ‘Maafkan dirimu sendiri, agar bisa melupakan.’Tetapi hatinya tak setuju.Ini bukan tentang memaafkan. Memaafkan diri sendiri. Memaafkannya. Bukan juga tentang menerima kenyataan dan melupakan. Tetapi tentang rasa. Rasa yang tak mau pergi. Beginikah dulu Bapak merindui Ibu? Menggapai dalam ketiadaan, meraih dalam kehampaan. Rindu yang menetap di masa lalu, sementara raga ada di masa kini. Rindu yang terperangkap antara ruang dan waktu. Tak terkikis. Tak terhapus. Kini Tiara mengerti perasaan Bapak. Manakah yang lebih perih? Cinta yang terputus maut? Atau cinta yang terpenjara etika? Keduanya sama. Tak tersampaikan. Tak terpadukan. Kembali ke Indonesia, Tiara melanjutkan hidup. Hanya karena hidup terus berjalan. Satu tahun sudah ia menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Berusaha memunguti serpihan hatinya. Memilih
“Bagaimana? Apakah hidangannya memenuhi seleramu yang tinggi, Senorita?” Carlos bertanya setelah mereka selesai bersantap. Pertanyaan yang jelas ditujukan pada Tiara.“Lihat saja piring-piring di sini, semua tandas, itu sudah menjawab pertanyaanmu. Dan ralat…” Tiara mengacungkan jari telunjuknya, “Seleraku gak tinggi kok, tidak perlu makanan di restoran mahal, di kaki lima juga oke. Aku hanya suka makan, terutama yang manis-manis.”“Hm… kalau begitu, nanti malam aku bisa mengundangmu bersantap di sini lagi? Hanya kita berdua? Aku akan membuat lebih banyak desserts.” Tanya Carlos. “Bos akan memberiku izin untuk menutup restoran lantai tiga, hanya untuk dia bukan?” Carlos beralih pada Ruby.Ruby mengangguk. “Ya, bukan hanya malam ini, setiap malam pun boleh, asalkan Tiara bersedia.”“Ah, tidak malam ini. Malam ini aku ingin melepas rindu dengan Ruby, kami sudah dua tahun tidak bertemu. Kita mau berbagi cerita sambil berbaring pakai piyama di tempat tidur.” Tiara menolak, dan tersenyum,