Tantri melihat suaminya benar-benar ‘terpenjara’ olehnya dua bulan ini. Di siang hari selalu pulang, dan jarang terlihat mengetik di ponsel. Tantri bernapas lega. Sepertinya upaya halusnya sukses.
Namun, dua minggu kemudian, ia melihat suaminya tampak lebih pendiam. Ada kemuraman yang coba ditutupi. Hampir berhasil, sebab ketika memandangnya, suaminya memang masih tersenyum, tetapi Tantri bukan baru hidup satu dua tahun dengannya, dan ia menangkap mendung itu.
Oleh karena itu, ketika suaminya mengatakan mendapat undangan seminar gizi di Italia sana, dan bermaksud melanjutkan program master satu tahun, ia langsung menyetujuinya.
‘Lebih baik dia pergi jauh supaya kesempatannya benar-benar tertutup, tanpa aku berusaha menghalanginya.’ Begitu ia berpikir.
Tristan mengambil alih koper Tiara yang setinggi pinggangnya, membebaskan wanita itu hanya berjalan menenteng tas laptop dan tas selempangnya. Dengan panduan Google map dan petunjuk dari Marcia, mereka menemukan kampusnya tanpa kesulitan.Marcia ternyata bertubuh mungil, bahkan lebih pendek dari Tiara. Tingginya mungkin sekitar 150 cm. Ketika berjalan ke luar kelas menghampiri mereka, dia agak pincang.“Hai sweetheart,” Dia langsung memeluk Tiara dengan hangat. “Akhirnya kamu tiba juga. Tidak sulit kan menemukan kampus ini?”Tiara mengg
Mereka tentu saja memesan Bellini. Bagaimana pun, mereka penasaran dengan rasa koktail Peach Bellini yang diciptakan oleh Cipriani itu. Minuman inilah yang menjadi magnet penarik turis untuk mengunjungi bar ini. Konon, dinamakan Bellini karena warna merah muda cerah dari koktail tersebut mengingatkan Cipriani pada lukisan Giovanni Bellini, seorang pelukis Renaisans Venesia abad ke-15.Bellini mereka tiba dalam hitungan menit. Berbeda dari minuman koktail yang biasanya dituangkan di gelas dangkal berkaki tinggi, Bellini disajikan dalam gelas silinder setinggi sekitar sepuluh senti. Lebih mirip jus, berwarna merah muda dengan buih di atasnya.Tiara segera meneguk minuman yang tampak cantik dan ceria itu.
Segala cara sudah dilakukan untuk menepis segala rasa, melenyapkan segala kemungkinan kembali. Namun, takdir membawa Tristan kembali ke hadapannya, di sini, di kota yang setiap sudutnya menawarkan romantisme.Rasa yang tak pernah pergi, menghantam bagai gelombang raksasa. Menghanyutkan Tiara ke lautan cinta tanpa tepi. Mungkin ia akan tenggelam karena lelah, sebab cintanya hanya sebuah harap yang hampa.“Cara sembuh dari patah hati adalah dengan menemukan cinta baru,” kata Alana suatu ketika.Waktu itu Tiara menjawab, “Dalam menyembuhkan luka hati, manusia terbagi menjadi dua jenis. Jenis yang pertama, seperti yang lo sebutin. Menambal hati yang patah dengan cinta baru. Jenis yang kedua, harus sembuh dulu baru bisa menerima cinta yang lain. Gua adalah jenis yang kedua.”
[Terjadilah apa yang seharusnya terjadi. Elo sudah tahu risikonya. Your action your responsibility. -Tingkah lakumu, tanggung jawabmu.] Jawaban Alana sudah ada ketika Tiara membuka mata di pagi hari.[Karena gua tahu, lo itu meskipun ‘janda’ dan sudah punya anak, sebetulnya gak lebih dari perawan. Belum pernah merasakan cinta yang menggebu-gebu. Bahkan bercinta pun hanya sekali. Pasti belum pernah ngerasain yang namanya ‘Big O’. Atau ciuman yang bikin lo melayang sampai rasanya diri lo lenyap. Jadi… gua no comment.] Itu kalimat Alana selanjutnya. Sebagaimana yang diharapkan dari seorang penulis. Tiara memejamkan mata. Bagaimana menepiskan rasa ini, sementara objek yang membangkitkannya kini berada di dekatnya. Dan mereka ada di belahan dunia lain. Bolehkah ia menganggap ini kehidupan di dunia yang lain, untuk dinikmati walau hanya sesaat? Meskipun ia tahu ia tidak boleh membangun harapan di dunia ini. Meskipun ia tahu ia akan makin terluka setelah semua ini usai.Ia menghela napas,
Bekerja di dunia pedagang eceran itu berat, kadang ia harus tetap bekerja di hari libur. Untunglah Bapak dan Ibu Sutami, pasangan suami istri atasannya itu, adalah orang-orang baik. Mereka tidak punya anak, dan mengizinkan Tiara untuk sekali-sekali membawa Kirana ke toko. Kasihan Ibu yang sudah mengurusnya sepanjang Senin hingga Jumat. Dan kesempatan Tiara untuk dekat dengan Kirana hanya saat akhir pekan. Kirana tumbuh sehat, sayangnya dia terlambat bicara. Hingga usianya menjelang tiga tahun, belum satu pun kata keluar dari bibir mungilnya. Tiara sangat khawatir, tiap malam ia melatihnya untuk bicara, mengajak Kirana mengikuti ucapannya.“Kira… maaa… ma.” Mata bulat Kirana terpaku pada bibirnya. “Maa...maa...” Tiara melanjutkan sambil menunjuk dadanya sendiri. “Ini Mama.”Kirana memandangnya tanpa mengatakan apa-apa, lalu berjalan menjauhinya.Tiara hanya bisa menghela napas.Suatu malam, entah Tuhan mengirimkan malaikat mana. Tiba-tiba Kirana turun dari pangkuannya sambil mengham
Pertemuan itu dilanjut pertemuan berikutnya. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari. Menyusuri lorong-lorong yang berliku-liku, demi menemukan ternyata lorong satu membawa mereka ke tempat yang tidak mereka sangka sebelumnya. Sepertinya mereka berjalan ke satu arah, ternyata mereka bisa muncul di seberang kanal. Lalu mereka tertawa bingung. Pembicaraan mereka telah kembali mengalir, seolah waktu enam bulan tanpa komunikasi tidak pernah terjadi. “Besok, mari kita berlomba,” kata Tristan. “Gang-gang dan jembatan-jembatan ini, ke manapun arahnya ternyata semuanya terhubung, baik di sisi ini maupun ke sisi seberang.” “Sepakat,” kata Tiara. “Kita berpisah dan bertemu di satu titik. Yang sampai duluan menang, yang kalah harus bayarin makan.” Besoknya, Tristan muncul di depan pintu dengan Tshirt putih berlengan pendek dipadu jeans dan sepatu sneakers, sangat santai. Tiara juga mengenakan sneakers dan gaun coklat selutut yang nyaman dipakai. “Hari ini aku arah ke kiri, kemudian
Bapak mencoret-coret di kertas. Tisu berlogo yang tadi digunakan untuk melapisi cangkir kertas berisi Cafe Latte panas pesanannya. Mereka sedang duduk menikmati sarapan di Starbucks. Jam sepuluh nanti Tiara ada meeting dengan beberapa pemasok. Sudah dua bulan ini Tiara selalu mengajak Bapak setiap ia pergi kerja di luar. Saat Tiara meeting nanti, Bapak akan menunggunya di kursi terpisah. Jika Tiara harus ke luar kota, giliran Agung adiknya yang bertugas mengajak Bapak. Ia tidak mau membiarkan Bapak di rumah seorang diri. Tiara memotong Spinach Quiche di atas piring di depannya, makanan yang selalu ia pesan setiap berkunjung ke sini. Mengoleskan sambal tipis-tipis, lalu mengunyahnya pelan tanpa suara. Melihat Bapak menulis, ia mengangkat cangkir berisi teh Camomile panas ke bibirnya. Panas air teh langsung mengusir rasa pedas di lidahnya. Cangkir teh itu hanya caranya agar tidak terlalu terlihat sedang mengintip apa yang sedang ditulis Bapak. Surat untuk Ibu. Lagi. Menulis surat a
alam itu, dengan terbata-bata Tiara menyampaikan kabar itu pada Agung, dan menugaskan Agung menyampaikan pada Bapak. Tiara tidak tega untuk mengabarkan pada Bapak, mulutnya pasti tidak bisa mengeluarkan suara, karena itu ia menyerahkan tugas berat itu kepada adiknya. Pagi itu juga, ia dan Agung langsung terbang ke Surabaya untuk menjemput jasad Ibu, dan membawanya ke Jakarta dengan pesawat charter. Setelah disemayamkan di rumah duka, Bapak baru dijemput datang untuk melihat Ibu terakhir kali, setelah dimandikan dan didandani.Ibu tampak seperti tidur, tidak ada yang menerima bahwa itu hanya jasmaninya, sedangkan rohaninya telah meninggalkan dunia. Di hari terakhir ketika upacara penutupan peti, sebuah peristiwa ganjil terjadi. Seekor kupu-kupu putih, benar-benar putih polos tanpa motif, tiba-tiba hinggap di ujung jari Bapak.Bapak tidak mengibaskan kupu-kupu itu, hanya menatapnya. Kupu-kupu itu hinggap beberapa menit, sebelum kemudian mengepakkan sayap dan terbang ke luar jendela.Tia