Bekerja di dunia pedagang eceran itu berat, kadang ia harus tetap bekerja di hari libur. Untunglah Bapak dan Ibu Sutami, pasangan suami istri atasannya itu, adalah orang-orang baik. Mereka tidak punya anak, dan mengizinkan Tiara untuk sekali-sekali membawa Kirana ke toko. Kasihan Ibu yang sudah mengurusnya sepanjang Senin hingga Jumat. Dan kesempatan Tiara untuk dekat dengan Kirana hanya saat akhir pekan. Kirana tumbuh sehat, sayangnya dia terlambat bicara. Hingga usianya menjelang tiga tahun, belum satu pun kata keluar dari bibir mungilnya. Tiara sangat khawatir, tiap malam ia melatihnya untuk bicara, mengajak Kirana mengikuti ucapannya.“Kira… maaa… ma.” Mata bulat Kirana terpaku pada bibirnya. “Maa...maa...” Tiara melanjutkan sambil menunjuk dadanya sendiri. “Ini Mama.”Kirana memandangnya tanpa mengatakan apa-apa, lalu berjalan menjauhinya.Tiara hanya bisa menghela napas.Suatu malam, entah Tuhan mengirimkan malaikat mana. Tiba-tiba Kirana turun dari pangkuannya sambil mengham
Pertemuan itu dilanjut pertemuan berikutnya. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari. Menyusuri lorong-lorong yang berliku-liku, demi menemukan ternyata lorong satu membawa mereka ke tempat yang tidak mereka sangka sebelumnya. Sepertinya mereka berjalan ke satu arah, ternyata mereka bisa muncul di seberang kanal. Lalu mereka tertawa bingung. Pembicaraan mereka telah kembali mengalir, seolah waktu enam bulan tanpa komunikasi tidak pernah terjadi. “Besok, mari kita berlomba,” kata Tristan. “Gang-gang dan jembatan-jembatan ini, ke manapun arahnya ternyata semuanya terhubung, baik di sisi ini maupun ke sisi seberang.” “Sepakat,” kata Tiara. “Kita berpisah dan bertemu di satu titik. Yang sampai duluan menang, yang kalah harus bayarin makan.” Besoknya, Tristan muncul di depan pintu dengan Tshirt putih berlengan pendek dipadu jeans dan sepatu sneakers, sangat santai. Tiara juga mengenakan sneakers dan gaun coklat selutut yang nyaman dipakai. “Hari ini aku arah ke kiri, kemudian
Dua minggu berlalu tanpa terasa dalam sekejap mata. Ini adalah hari terakhir Tristan di Venesia, besok ia harus kembali ke Florence karena kuliahnya akan segera dimulai.“Bagaimana kalau giliran kamu yang pindah ke Florence?” “Ha?” Pertanyaannya yang tiba-tiba mengejutkan Tiara. Mereka sedang berdiri di Rialto Bridge, jembatan paling terkenal di Venesia. Menyaksikan gondola dan vaporetto lalu lalang di bawahnya. Deretan gondola yang berlabuh di tepi, saling beradu menimbulkan suara detak. Bergoyang karena alunan air danau, seolah gadis-gadis yang rebah sambil meliuk-liukkan pinggul. Hari sudah menjelang senja. Di kejauhan, Santa Maria della Salute dipeluk semburat jingga. Matahari mulai merosot merendah dari ketinggian langit. Kilau keemasan tiba-tiba memenuhi seluruh permukaan air kanal. “Maksudku… aku tahu kamu sudah menyewa kamar untuk tiga bulan di rumah Marcia, tapi apa kamu gak bosan di Venesia terus? Kan bisa tinggal di Florence satu minggu, lalu pindah lagi ke kota lain, b
Tiara berhasil mendapatkan apartemen sewaan di lokasi yang sama dengan Tristan, tidak satu gedung, tetapi masih di jalan yang searah. Letaknya di pusat kota, dekat dengan semua pusat atraksi turis di Florence. Gedungnya kuno tetapi interior dalamnya modern. Dinding-dindingnya dicat putih, dipadukan mebel berwarna biru tua, membuatnya tampak lega dan bersih.Dari jendela ruang keluarganya yang besar bisa melihat Ponte Vecchio, jembatan tertua di Florence di atas Sungai Arno, salah satu yang menjadi ikon Florence selain Duomo Santa Maria Del Fiore.Yang lebih penting lagi, harganya sangat masuk akal, hanya 1500 euro per bulan, dan pemilik apartemen berbaik hati memasang harga 500 euro untuk satu minggu, jauh lebih murah daripada hotel.Tristan mengantarkan Tiara terlebih dahulu ke apartemennya.“Wah, ini jauh lebih baik dari apartemenku.” Tristan mengitarkan pandang. “Apartemenku didominasi warna krem, jadi masih terkesan berat. Ini sangat modern.”“Hm… cocok dengan kepribadian kita bu
Bapak mencoret-coret di kertas. Tisu berlogo yang tadi digunakan untuk melapisi cangkir kertas berisi Cafe Latte panas pesanannya. Mereka sedang duduk menikmati sarapan di Starbucks. Jam sepuluh nanti Tiara ada meeting dengan beberapa pemasok. Sudah dua bulan ini Tiara selalu mengajak Bapak setiap ia pergi kerja di luar. Saat Tiara meeting nanti, Bapak akan menunggunya di kursi terpisah. Jika Tiara harus ke luar kota, giliran Agung adiknya yang bertugas mengajak Bapak. Ia tidak mau membiarkan Bapak di rumah seorang diri. Tiara memotong Spinach Quiche di atas piring di depannya, makanan yang selalu ia pesan setiap berkunjung ke sini. Mengoleskan sambal tipis-tipis, lalu mengunyahnya pelan tanpa suara. Melihat Bapak menulis, ia mengangkat cangkir berisi teh Camomile panas ke bibirnya. Panas air teh langsung mengusir rasa pedas di lidahnya. Cangkir teh itu hanya caranya agar tidak terlalu terlihat sedang mengintip apa yang sedang ditulis Bapak. Surat untuk Ibu. Lagi. Menulis surat a
alam itu, dengan terbata-bata Tiara menyampaikan kabar itu pada Agung, dan menugaskan Agung menyampaikan pada Bapak. Tiara tidak tega untuk mengabarkan pada Bapak, mulutnya pasti tidak bisa mengeluarkan suara, karena itu ia menyerahkan tugas berat itu kepada adiknya. Pagi itu juga, ia dan Agung langsung terbang ke Surabaya untuk menjemput jasad Ibu, dan membawanya ke Jakarta dengan pesawat charter. Setelah disemayamkan di rumah duka, Bapak baru dijemput datang untuk melihat Ibu terakhir kali, setelah dimandikan dan didandani.Ibu tampak seperti tidur, tidak ada yang menerima bahwa itu hanya jasmaninya, sedangkan rohaninya telah meninggalkan dunia. Di hari terakhir ketika upacara penutupan peti, sebuah peristiwa ganjil terjadi. Seekor kupu-kupu putih, benar-benar putih polos tanpa motif, tiba-tiba hinggap di ujung jari Bapak.Bapak tidak mengibaskan kupu-kupu itu, hanya menatapnya. Kupu-kupu itu hinggap beberapa menit, sebelum kemudian mengepakkan sayap dan terbang ke luar jendela.Tia
Jam istirahat sekolah,semua murid saling mendahului mengambil tempat agar bisa berdiri di pagar besidi luar kelas. Pemandangan dari situ sangat strategis. Bisa melihat kelantai-lantai lain. Bisa mengincar orang yang ditaksir. Melemparkan sinyal,berharap yang ditaksir menangkap sinyal itu. Jika pun tidak bersambut,setidaknya bisa mencuri pandang diam-diam. Gedung sekolah bercatbiru muda itu terdiri dari tiga lantai. Kelas-kelas diletakkan di lantai sesuaitingkatnya. Kelas satu SMA di lantai satu, kelas dua di lantai dua dan kelastiga di lantai tiga. Di lantai dasar adakantin. Lapangan basket terletak di tengah-tengah. Para murid laki-laki yangmencari perhatian murid perempuan akan bermain basket saat jam istirahat. Dansemua gadis akan berlomba berdiri di pagar besi agar bisa melihat dan terlihat olehincarannya.Tiara baru kelas satuSMA. Lelaki itu kelas tiga. Tiara tidak tahu namanya. Tidak berani mencaritahu. Tiara suka karena lelaki itu sangat cool. Mata dan rambut ke
“Hatimu sedang dipenuhi cinta, Nak.” Tiba-tiba Ibu berkata dengan pandangan penuh selidik. Mereka sedang menikmati teh dengan kue nastar yang dibuat Ibu tadi sore. “Aku tidak bisa menyembunyikannya dari Ibu ya?” Tiara tersipu, merasa dipergoki sedang tersenyum-senyum sendiri.Matanya yang indah berbinar. Mata bulat dengan bulu mata panjang dan lebat itu persis milik Bapak. Sekarang binarnya mencerminkan hatinya yang dipenuhi rasa bahagia. “Wajahmu bercahaya, matamu berbinar.” Ibu tersenyum, “Percayalah, tak ada yang membuat wajah seorang wanita lebih bercahaya daripada ketika ia bahagia. Tapi binar paling terang adalah saat hatinya dipenuhi cinta.”“Aku punya rahasia yang ingin aku bagi dengan Ibu dan Bapak. Tapi aku malu,” kata Tiara.“Mengapa harus malu? Jatuh cinta adalah proses dirimu menjadi dewasa.” Kata Ibu bijak, sementara Bapak hanya senyum-senyum sambil mengangguk. Tiara lalu berdiri dari kursi dapur, pergi ke kamarnya untuk mengambil surat yang sudah kusut karena dibaca b