Tiara duduk menikmati kopi di sebuah cafe di tepi kanal di bawah Rialto Bridge.Air danau di Venesia berubah warna sepanjang hari. Di pagi hari, itu tampak kebiruan. Saat siang, warnanya berubah hijau keputihan. Menjelang senja hingga malam, itu terlihat gelap keunguan, memantulkan cahaya lampu yang mendarat di permukaannya. Sebuah paparan keindahan yang akan merontokkan hati siapapun. Apalagi yang berjiwa romantis seperti Tiara.“Lo itu romantisnya keterlaluan,” Alana sering mengejeknya. “Cerita cinta yang nyata gak seperti film Korea kesukaan lo itu.”“Iya… emang. Cerita cinta gua juga gak romantis. Tapi gua tetap percaya cinta sejati itu ada, Bapak dan Ibu buktinya.”“Ya… tapi love died eventually, you know? Bahkan cinta paling panas pun akan mendingin pada akhirnya.”“Sebagai penulis novel roman, seharusnya lo gak skeptis terhadap cinta. Agak kontradiktif kan, lo nulis cerita cinta, tapi gak percaya cinta.”“Justru, yang gua tulis itu hasil imajinasi. Impian semua orang, supaya ya
“Hai... kamu tahu, sore ini kita akan naik gondola.”“Apa?” Tiara hampir tersedak.“Ya... kita di Venesia sudah hampir tiga bulan. Sebentar lagi kamu pulang. Belum sekali pun kita naik gondola. Pulang ke Indonesia nanti, bisa-bisa dikira cuma ngaku-ngaku ke Venesia. No pic hoax.” Tawa Tristan pecah. ‘Sebentar lagi pulang,’ pikir Tiara dengan murung. ‘Aku akan sangat merindukan masa-masa ini. Masa yang tak akan terjadi di Indonesia. Tak mungkin terulang.’Namun, ia tidak mau naik gondola dengan Tristan. Ia terlalu percaya takhayul. Konon gondola hanya boleh dinaiki anima gemella. Pasangan. Kekasih. Soulmate. Bagaimana kalau... ia bergidik. Ingat cerita Marcia.“Aku tidak mau.”“Lho?”“Aku tidak bisa.”“Kenapa?”“Kamu tahu cerita, legenda, kepercayaan, apapun namanya… tentang siapa yang boleh naik gondola?”“Ah ayolah. Itu cuma dongeng. Ini cuma perahu khas Venesia.”Tristan menarik tangannya. Memaksanya menyeret langkah mengikutinya ke tepi kanal.Gondolier berkaus putih bergaris mera
Tristan pulang ke hotel dengan hati galau.‘Apa yang telah aku lakukan?’ Ia meremas-remas rambutnya.Ia telah melakukan kesalahan besar.Sudah terlambat. Sesaat tadi, saat yang melenakan. Ciuman rindu karena gairah yang dipendam berbulan-bulan. Setelah selama ini ia berhasil mengendalikan diri, akhirnya ia kalah oleh keinginan.‘Bridge of Sighs sialan!’ Ah, ia telah menyalahkan jembatan itu hanya demi mengalihkan dosanya.Perasaannya berkecamuk sekarang.Cintakah ia pada Tiara? Konon cinta membuatmu melakukan hal-hal gila. I
Sesaat ketika pesawat lepas landas, Tiara menoleh ke luar jendela. Setiap kali terbang ia selalu memilih kursi dekat jendela, karena hal seperti inilah yang ia sukai, memandang sekali lagi ke tempat yang akan ia tinggalkan. Semacam ucapan selamat tinggal, entah ia akan kembali lagi ke tempat itu atau tidak.Venesia akan selamanya tertancap di hatinya. Namun, ia tak akan kembali ke sana. Kenangan-kenangan manis yang tertinggal telah menjadi terlalu menyakitkan sekarang. Ketika pesawat benar-benar sudah melayang di udara, Tiara memejamkan mata. Tak peduli jika saat itu pesawat jatuh dan ia lenyap ditelan bumi.Dua jam kemudian, pesawat mendarat di negeri para dewa. Ruby menjemputnya bersama suaminya, Nikos, dan putrinya, Nichola. Dia melompat-lompat sambil melambaikan tangan ketika melihat Tiara di pintu keluar
“Carlos!” Ruby berseru. Seorang lelaki tinggi bertubuh tegap dengan kulit berwarna tembaga, mengenakan seragam putih dan topi koki, melongokkan kepala dari balik rak panci.Benar, dia tampan dan seksi. Bahkan dengan seragam kokinya, tampak jelas tubuhnya kencang. Ada kumis tipis dan cambang di wajahnya. Matanya tajam, dibingkai bulu mata dan alis lebat.“Ini sahabatku dari Indonesia, Tiara. Ara, ini chef kita, Carlos.”Carlos mengulurkan tangan, “Carlos Lopez. Tidak ada hubungan dengan Jennifer Lopez.” Carlos mengedipkan sebelah mata, mencium punggung tangan Tiara, bak seorang pangeran mencium tangan seorang putri. “Senang berkenalan denganmu.”
“Bagaimana? Apakah hidangannya memenuhi seleramu yang tinggi, Senorita?” Carlos bertanya setelah mereka selesai bersantap. Pertanyaan yang jelas ditujukan pada Tiara.“Lihat saja piring-piring di sini, semua tandas, itu sudah menjawab pertanyaanmu. Dan ralat…” Tiara mengacungkan jari telunjuknya, “Seleraku gak tinggi kok, tidak perlu makanan di restoran mahal, di kaki lima juga oke. Aku hanya suka makan, terutama yang manis-manis.”“Hm… kalau begitu, nanti malam aku bisa mengundangmu bersantap di sini lagi? Hanya kita berdua? Aku akan membuat lebih banyak desserts.” Tanya Carlos. “Bos akan memberiku izin untuk menutup restoran lantai tiga, hanya untuk dia bukan?” Carlos beralih pada Ruby.Ruby mengangguk. “Ya, bukan hanya malam ini, setiap malam pun boleh, asalkan Tiara bersedia.”“Ah, tidak malam ini. Malam ini aku ingin melepas rindu dengan Ruby, kami sudah dua tahun tidak bertemu. Kita mau berbagi cerita sambil berbaring pakai piyama di tempat tidur.” Tiara menolak, dan tersenyum,
Rindu adalah siksa yang nikmat. Bagi Tiara, merindukan Tristan adalah nikmat yang menyiksa. Menyakitkan. Namun menagihkan.'Kamu harus belajar memaafkan,' nalarnya bicara. ‘Maafkan dirimu sendiri, agar bisa melupakan.’Tetapi hatinya tak setuju.Ini bukan tentang memaafkan. Memaafkan diri sendiri. Memaafkannya. Bukan juga tentang menerima kenyataan dan melupakan. Tetapi tentang rasa. Rasa yang tak mau pergi. Beginikah dulu Bapak merindui Ibu? Menggapai dalam ketiadaan, meraih dalam kehampaan. Rindu yang menetap di masa lalu, sementara raga ada di masa kini. Rindu yang terperangkap antara ruang dan waktu. Tak terkikis. Tak terhapus. Kini Tiara mengerti perasaan Bapak. Manakah yang lebih perih? Cinta yang terputus maut? Atau cinta yang terpenjara etika? Keduanya sama. Tak tersampaikan. Tak terpadukan. Kembali ke Indonesia, Tiara melanjutkan hidup. Hanya karena hidup terus berjalan. Satu tahun sudah ia menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Berusaha memunguti serpihan hatinya. Memilih
Satu tahun berlalu dalam sekejap mata, itu bagi orang lain.Bagi Tristan, menghabiskan tiga ratus enam puluh lima hari di Italia setelah kepergian Tiara, itu sangat panjang. Itu adalah lima puluh empat minggu. Itu adalah delapan ribu tujuh ratus enam puluh jam. Itu adalah lima ratus dua puluh lima ribu enam ratus menit. Menit demi menit yang ia lalui dengan bayangan Tiara di mana-mana.Tristan belum pernah merasakan kondisi seperti ini. Bahkan ketika remaja. Ia belum pernah merasakan putus cinta, ia tidak pernah mengalami patah hati. Pacarnya hanya satu, yang langsung dilamar menjadi istrinya, sampai sekarang. Tantri.Pantas saja banyak yang sulit sembuh, bahkan mengakhiri hidup. Ternyata rasanya sangat tidak nyaman seperti ini. Berkali-kali ia berkata pada dirinya sendiri, bahwa hidup akan baik-baik saja.Ternyata hidup tidak baik-baik saja. Hidup terasa pelan. Datar. Membosankan. Waktu seolah merayap. Sangat. Lambat. Tetapi tetap harus dijalani. Tristan menjalani hidupnya karena Tuh