Tiara berhasil mendapatkan apartemen sewaan di lokasi yang sama dengan Tristan, tidak satu gedung, tetapi masih di jalan yang searah. Letaknya di pusat kota, dekat dengan semua pusat atraksi turis di Florence. Gedungnya kuno tetapi interior dalamnya modern. Dinding-dindingnya dicat putih, dipadukan mebel berwarna biru tua, membuatnya tampak lega dan bersih.Dari jendela ruang keluarganya yang besar bisa melihat Ponte Vecchio, jembatan tertua di Florence di atas Sungai Arno, salah satu yang menjadi ikon Florence selain Duomo Santa Maria Del Fiore.Yang lebih penting lagi, harganya sangat masuk akal, hanya 1500 euro per bulan, dan pemilik apartemen berbaik hati memasang harga 500 euro untuk satu minggu, jauh lebih murah daripada hotel.Tristan mengantarkan Tiara terlebih dahulu ke apartemennya.“Wah, ini jauh lebih baik dari apartemenku.” Tristan mengitarkan pandang. “Apartemenku didominasi warna krem, jadi masih terkesan berat. Ini sangat modern.”“Hm… cocok dengan kepribadian kita bu
“Good evening, sweetheart. How’s your week?”Pulang ke rumah setelah pergi satu minggu ke Florence, Tiara berpapasan dengan Marcia. Marcia baru selesai mandi, rambutnya yang basah dibungkus handuk. Marcia orang Amerika, dia pindah ke Venesia karena mengikuti suaminya seorang Italia. Sekarang suaminya sudah meninggal dan anaknya tinggal di Roma, karena itu dia bisa menyewakan kamar di rumahnya. Dia sangat keibuan. Selalu memanggilnya sweetheart. “How’s your day today, sweetheart? Where did you go?”“Have a good rest, sweetheart.”“God bless you today, sweetheart.”Tiara merasa punya ibu baru. Sekaligus membuatnya merindukan Ibu.“Great. Aku senang karena ada teman yang sama-sama dari Indonesia.”“Ah, that handsome guy,” Marcia tersenyum. “What’s his name again? Undanglah ia untuk makan besok malam. Besok adalah ulang tahunku.”“Anda berulang tahun besok? Mengapa baru bilang sekarang? Aku belum menyiapkan hadiah untuk Anda.” “Ah… hadiah tidak penting, sweetheart.” Marcia mengibaskan
Tiara menerka-nerka apa yang ada di pikiran Tristan saat ini. Ia berdoa dalam hati, berharap Tristan tidak berpikir kalau ia jatuh cinta padanya. Meskipun itu benar, itu kenyataan, tetapi alangkah memalukan jika Tristan berpikir begitu. “Oh tidak apa-apa kalau kalian belum menyadarinya. Cinta akan menemukan jalannya.” Marcia melambaikan tangan sambil tertawa kecil.“Anakku, Daniella, terpisah dari pacarnya karena ia harus pulang ke Italia. Mark orang Amerika. Mereka jatuh cinta ketika sama-sama kuliah di UCLA. Cinta jarak jauh jarang berhasil. Karena sulit bertemu, akhirnya mereka berpisah.”“Daniella menjalin cinta dengan orang lain. Seorang Italiano. Emanuele. Bahkan bertunangan dengannya. Sepertinya ia sudah melupakan Mark. Sepertinya.” Marcia menekankan kata terakhir.Marcia menjeda. Membiarkan kalimatnya menggantung. Tiara dan Tristan menunggunya melanjutkan. Marcia tetap diam, sambil mengerlingkan mata, sengaja membuat mereka penasaran.“Mengapa sepertinya?” Tak tahan, akhirny
Tiara duduk menikmati kopi di sebuah cafe di tepi kanal di bawah Rialto Bridge.Air danau di Venesia berubah warna sepanjang hari. Di pagi hari, itu tampak kebiruan. Saat siang, warnanya berubah hijau keputihan. Menjelang senja hingga malam, itu terlihat gelap keunguan, memantulkan cahaya lampu yang mendarat di permukaannya. Sebuah paparan keindahan yang akan merontokkan hati siapapun. Apalagi yang berjiwa romantis seperti Tiara.“Lo itu romantisnya keterlaluan,” Alana sering mengejeknya. “Cerita cinta yang nyata gak seperti film Korea kesukaan lo itu.”“Iya… emang. Cerita cinta gua juga gak romantis. Tapi gua tetap percaya cinta sejati itu ada, Bapak dan Ibu buktinya.”“Ya… tapi love died eventually, you know? Bahkan cinta paling panas pun akan mendingin pada akhirnya.”“Sebagai penulis novel roman, seharusnya lo gak skeptis terhadap cinta. Agak kontradiktif kan, lo nulis cerita cinta, tapi gak percaya cinta.”“Justru, yang gua tulis itu hasil imajinasi. Impian semua orang, supaya ya
“Hai... kamu tahu, sore ini kita akan naik gondola.”“Apa?” Tiara hampir tersedak.“Ya... kita di Venesia sudah hampir tiga bulan. Sebentar lagi kamu pulang. Belum sekali pun kita naik gondola. Pulang ke Indonesia nanti, bisa-bisa dikira cuma ngaku-ngaku ke Venesia. No pic hoax.” Tawa Tristan pecah. ‘Sebentar lagi pulang,’ pikir Tiara dengan murung. ‘Aku akan sangat merindukan masa-masa ini. Masa yang tak akan terjadi di Indonesia. Tak mungkin terulang.’Namun, ia tidak mau naik gondola dengan Tristan. Ia terlalu percaya takhayul. Konon gondola hanya boleh dinaiki anima gemella. Pasangan. Kekasih. Soulmate. Bagaimana kalau... ia bergidik. Ingat cerita Marcia.“Aku tidak mau.”“Lho?”“Aku tidak bisa.”“Kenapa?”“Kamu tahu cerita, legenda, kepercayaan, apapun namanya… tentang siapa yang boleh naik gondola?”“Ah ayolah. Itu cuma dongeng. Ini cuma perahu khas Venesia.”Tristan menarik tangannya. Memaksanya menyeret langkah mengikutinya ke tepi kanal.Gondolier berkaus putih bergaris mera
Bapak mencoret-coret di kertas. Tisu berlogo yang tadi digunakan untuk melapisi cangkir kertas berisi Cafe Latte panas pesanannya. Mereka sedang duduk menikmati sarapan di Starbucks. Jam sepuluh nanti Tiara ada meeting dengan beberapa pemasok. Sudah dua bulan ini Tiara selalu mengajak Bapak setiap ia pergi kerja di luar. Saat Tiara meeting nanti, Bapak akan menunggunya di kursi terpisah. Jika Tiara harus ke luar kota, giliran Agung adiknya yang bertugas mengajak Bapak. Ia tidak mau membiarkan Bapak di rumah seorang diri. Tiara memotong Spinach Quiche di atas piring di depannya, makanan yang selalu ia pesan setiap berkunjung ke sini. Mengoleskan sambal tipis-tipis, lalu mengunyahnya pelan tanpa suara. Melihat Bapak menulis, ia mengangkat cangkir berisi teh Camomile panas ke bibirnya. Panas air teh langsung mengusir rasa pedas di lidahnya. Cangkir teh itu hanya caranya agar tidak terlalu terlihat sedang mengintip apa yang sedang ditulis Bapak. Surat untuk Ibu. Lagi. Menulis surat a
alam itu, dengan terbata-bata Tiara menyampaikan kabar itu pada Agung, dan menugaskan Agung menyampaikan pada Bapak. Tiara tidak tega untuk mengabarkan pada Bapak, mulutnya pasti tidak bisa mengeluarkan suara, karena itu ia menyerahkan tugas berat itu kepada adiknya. Pagi itu juga, ia dan Agung langsung terbang ke Surabaya untuk menjemput jasad Ibu, dan membawanya ke Jakarta dengan pesawat charter. Setelah disemayamkan di rumah duka, Bapak baru dijemput datang untuk melihat Ibu terakhir kali, setelah dimandikan dan didandani.Ibu tampak seperti tidur, tidak ada yang menerima bahwa itu hanya jasmaninya, sedangkan rohaninya telah meninggalkan dunia. Di hari terakhir ketika upacara penutupan peti, sebuah peristiwa ganjil terjadi. Seekor kupu-kupu putih, benar-benar putih polos tanpa motif, tiba-tiba hinggap di ujung jari Bapak.Bapak tidak mengibaskan kupu-kupu itu, hanya menatapnya. Kupu-kupu itu hinggap beberapa menit, sebelum kemudian mengepakkan sayap dan terbang ke luar jendela.Tia
Jam istirahat sekolah,semua murid saling mendahului mengambil tempat agar bisa berdiri di pagar besidi luar kelas. Pemandangan dari situ sangat strategis. Bisa melihat kelantai-lantai lain. Bisa mengincar orang yang ditaksir. Melemparkan sinyal,berharap yang ditaksir menangkap sinyal itu. Jika pun tidak bersambut,setidaknya bisa mencuri pandang diam-diam. Gedung sekolah bercatbiru muda itu terdiri dari tiga lantai. Kelas-kelas diletakkan di lantai sesuaitingkatnya. Kelas satu SMA di lantai satu, kelas dua di lantai dua dan kelastiga di lantai tiga. Di lantai dasar adakantin. Lapangan basket terletak di tengah-tengah. Para murid laki-laki yangmencari perhatian murid perempuan akan bermain basket saat jam istirahat. Dansemua gadis akan berlomba berdiri di pagar besi agar bisa melihat dan terlihat olehincarannya.Tiara baru kelas satuSMA. Lelaki itu kelas tiga. Tiara tidak tahu namanya. Tidak berani mencaritahu. Tiara suka karena lelaki itu sangat cool. Mata dan rambut ke