"Kamu kenapa cuma mematung di situ? Kamu gak mau mendekati pamanmu ini?" ujar Arini dengan tatapan sinis ke arahku yang sedang berdiri disamping Bibi.
"Oooh... Iya Rin..." tukasku seraya menghampiri paman."Paman maafin aku karena aku gak bisa membantu untuk pengobatan paman," ucapku pada paman karena merasa kasihan pada paman yang sedang terbaring lemah diatas kasur lusuh itu."Gak kenapa-kenapa... " paman berusaha menggeleng-gelengkan kepalanya.Selang beberapa menit ku lihat jarum jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Aku pun segera pamit kepada Bibi, Paman dan Arini yang masih menoleh ke arahku."Bi... Sepertinya aku tidak bisa lama-lama disini karena hari sudah hampir senja. Aku mengkhawatirkan keadaan ibu dan Geri yang berada di rumah," ungkapku pada Bibi."Baiklah... Kamu pergilah sekarang! Kasihan mereka gak ada yang menemani," ucap Bibi.Dengan cepat ku langkahkan kakiku melewati batu dan kerikil yang berserakan di sepanjang jalan. Entah mengapa rasanya jalan pulang itu terasa begitu lama dan jauh sekali padahal saat ingin ke rumah Bibi terasa begitu cepat."Allahuakbar Allahu Akbar..."Terdengar suara azan telah berkumandang dari masjid yang berada tak jauh dari posisiku saat ini.Perjalananku masih lumayan jauh dan rasa cemas semakin kurasakan."Bagaimana ini? Penyakit ibu pasti mulai kambuh," gumamku dengan terus berlari.Setelah cukup jauh berlari akhirnya aku tiba di depan rumah. Aku mencoba mengatur nafasku yang masih tersengal-sengal karena kecapekan. Tak sengaja aku menatap ke arah pintu utama dan jendela yang ternyata sudah tertutup semua."Loh... Siapa yang menutup semua pintu itu? Apa ayah sudah pulang?" Dengan cepat ku dorong pintu utama.Dari kejauhan nampak ayah tengah menggendong adikku."Ayah?" ucapku pada ayah yang kaget melihat aku yang tiba-tiba sudah muncul di ambang pintu."Kamu dari mana saja Nis? Kenapa kamu meninggalkan ibu dan adikmu di rumah?" tanya ayah."Kamu lihat kan Ibumu!" timpal ayah seraya menunjuk ke arah ibu yang kembali marah-marah gak jelas seperti biasanya terjadi di setiap senja."Maafkan aku yah... Tadi aku disuruh ibu untuk menjenguk paman yang baru kecelakaan yah," ujarku."Kenapa lama? Kalau saja ayah lama pulang tadi, ayah gak bisa membayangkan gimana keadaan adikmu.""Iya yah... Aku gak akan meninggalkan ibu dan Geri lagi," ungkapku pada ayah yang nampak kecewa kepadaku.Tak berselang lama akhirnya ibu kembali sadar.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku menemui ayah yang sedang duduk di dekat ibu dan Geri."Yah... Apa ayah gak merasa ada sesuatu yang janggal dengan ibu? Kenapa penyakit ibu cuma datang disaat senja tiba saja? Apa gak sebaiknya kita bawa saja ibu ke tabib Yah?" usulku pada ayah yang sibuk menggendong Geri.Ayah nampak diam sejenak. Sepertinya ayah sedang mencerna omongan aku yang masih dianggap kecil oleh ayahku padahal aku sudah duduk di bangku SMA. Dan aku sudah bisa membedakan mana yang benar dan yang salah."Gak usah ke tabib! Kita gak punya banyak uang untuk membayarnya. Lebih baik sama pamanmu saja! Kalau sama pamanmu sudah pasti gratis!" usul ibu dari tempat duduknya."Jangaaaaan Bu! Eh... Maksudnya jangan sama paman bu soalnya pamankan masih sakit jadi mana mungkin dia bisa menyembuhkan ibu sedangkan buat menyembuhkan diri dia sendiri aja gak bisa," ucapku yang berusaha mengalihkan pembicaraan agar ibu gak marah kepadaku."Benar juga kata Nisa, Her. Sebaiknya kita pergi ke tabib saja! Sudah sekian lama dan sekian banyak obat yang di minum tapi tak ada satupun yang membuatmu kembali sembuh," ungkap ayah yang ternyata menyetujui pendapatku.Ibu pun nampak mencerna omongan ayah."Baiklah... Aku setuju! Lagian aku sudah tak sanggup menanggung sakit ini," gumam Ibu dengan mata yang berkaca-kaca."Syukurlah kalau ibu setuju. Aku yakin ibu akan segera sembuh," ucapku dengan begitu sumringahnya."Tapi ayah mesti mengumpulkan uang dulu," sambung ayah tiba-tiba.Aku kembali teringat dengan apa yang dikatakan Bibi tadi kalau ayah belum membayar hutang kepada Bibi. Lalu ayah kemanakan uang itu?"Maaf Yah, bukannya aku lancang tapi bukannya kemarin ayah sudah gajian?" tanyaku."Iya... Tapi sebagian sudah ayah gunakan untuk membayar hutang pada Bibimu," cetus ayah."Apa?" Seketika aku pun mendongak mendengar pernyataan yang diucapkan ayah.Aku kaget mendengar pernyataan itu. Berarti Bibi berniat menjelek-menjelekkan ayah kepadaku. Entah apa alasannya? Yang jelas aku tidak akan pernah percaya lagi dengan omongan Bibi."Iya nak... Ayah pasti berusaha untuk mencari uang lagi agar kita bisa membawa Ibumu ke tabib secepatnya," ujar Ayah."Iya Yah... " Aku memanggutkan kepala ku seraya memeluk ayah dan adikku yang masih dalam pangkuan ibu."Iya udah. Hari ini kamu jagain ibu dan adikmu di rumah ya! Jangan sesekali kamu tinggalkan mereka lagi," ucap Ayah dengan tegas."Baik Yah..."Kebetulan hari ini aku libur sekolah jadi akulah yang bertugas sepenuhnya menjaga ibu dan Geri.Ayah pun segera berangkat ke sawah.Aku tak tinggal diam. Aku mulai mengerjakan perkerjaan rumah dan semua pekerjaan rumah ku selesaikan satu persatu mulai dari mencuci piring hingga membersihkan rumah.Setelah seharian cukup lelah bekerja akhirnya akupun bersantai diatas kursi yang ada di ruang tamu sembari memainkan gawai ku. Kebetulan juga ibu dan Geri sudah tertidur pulas jadi aku bisa beristirahat dengan tenang.Dan tak lama berselang, ku lihat jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Aku bergegas berjalan menuju jendela yang di dekat pohon pisang dan berencana akan menutupnya namun tak sengaja aku kembali melihat sosok laki-laki yang memakai hodie hitam tengah menggali-gali di bawah pohon pisang itu lagi."Kali ini aku harus tahu siapa sosok dibalik hodie itu sebenarnya?" Aku pun berlari menuju halaman dan sesampainya di halaman aku kembali berjalan dengan mengendap-endap menuju sosok tersebut.Saat ini aku berdiri tepat di belakang sosok tersebut."Heh... Kamu siapa?" tanyaku sembari memegang bahunya.Namun sosok tersebut tak sedikitpun menoleh ke arahku. Ia malah kabur. Namun Hodienya terdengar ada sobekan karena aku berusaha menahannya namun kekuatannya tak sebanding denganku.Aku berusaha mengejarnya hingga beberapa meter namun aku tak berhasil mengejarnya karena sosok tersebut berlari dengan begitu kencang."Sebenarnya siapa sosok itu? Dan apa yang dia lakukan di bawah pohon pisang itu" gumamku.Aku berencana ingin kembali ke dekat pohon itu tapi langkah kaki ku terhenti saat suara azan mulai bergema dari masjid."Astaga... Ibu dan Geri?" Dengan terpaksa aku membatalkan untuk mencari tahu apa yang telah dilakukan sosok tersebut karena aku harus menemani ibu dan Geri di ruang tamu.Keesokan harinya aku berencana kembali untuk mencari tahu sosok misterius yang selalu datang di kala senja dan selalu melakukan ritual aneh di dekat pohon pisang yang ada di samping rumahku. Kebetulan hari ini adalah hari senin, jadi aku harus sekolah terlebih dahulu. Nanti setelah sepulang sekolah barulah aku mencari tahu benda apa yang sudah ditanam sosok misterius itu. "Bu? Bibi? Aku izin pamit ke sekolah dulu!" gumam ku pada Ibu dan Bibi yang berada di ruang tamu. Seperti biasa ketika aku sedang sekolah dan ketika ayah di ladang maka yang selalu menjaga Ibu dan adikku adalah Bibi. Karena cuma Bibi lah keluarga kami yang rumahnya tidak terlalu jauh dari kami. "Iya nak... Hati-hati! Belajar yang baik, jangan kecewakan Ibu dan ayah!" pesan Ibu padaku. Aku pun memanggutkan kepalaku seraya berkata: "iya Bu. Aku selalu ingat pesan ibu dan ayah! Aku akan kejar mimpi-mimpi ku Bu!" ujarku pada Ibu. Kebetulan aku bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Cita-cita itu mulai terbersit
"Kok aku jadi merinding begini ya?" Tiba-tiba saja aku merasa takut. Dan bulu roma ku pun berdiri. Suasana yang semula dingin kini terasa panas. Aku pun mengurungkan niatku untuk menggali galian itu. Aku kembali berdiri. Aku merasa ada sesuatu yang sedang memperhatikan ku. Aku melihat ada bayangan putih lewat. di hadapanku. Dan kini ia berada tepat di belakang ku. "Siapa sih yang sedang berdiri di belakangku ini?" gumamku. Saat ini aku benar-benar ketakutan. Rasanya aku ingin sekali berteriak minta tolong tapi aku khawatir terdengar oleh ibu. Bisa-bisa nanti ibu histeris dan cemas terhadap ku. Dengan mengumpulkan segala keberanianku akhirnya aku pun memberanikan diri untuk mencari tahu sosok apa yang ada di belakang ku ini. Perlahan aku memutarkan tubuhku ke arah belakang dan saat berputar sempurna aku malah tidak melihat apapun di belakang ku lagi selain batang pisang yang berdaun rimbun di sana. "Hei... Siapa di sana? Jangan bersembunyi! Ayuk cepat keluar! Tunjukkan wujudmu!"
Dan tiba-tiba saja aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh pundakku. Aku merasa itu seperti telapak tangan seorang manusia. Dan sentuhannya terasa begitu dingin hingga membuat bulu roma ku merinding seketika. Sontak saja Lidah ku terasa kelu. "To... Tolong jangan ganggu aku! Aku janji gak akan ganggu kalian lagi!" ucapku dengan suara lirih dengan kaki yang gemetaran.Dan sesaat kemudian aku mendengar suara yang sangat dekat dengan telingaku. Hembusan napasnya mengenai telinga kananku."Heh... Nis... Kamu kenapa sih? Kok kayak orang ketakutan begitu?" Suara itu seperti suara seorang perempuan."Aku kok seperti mengenal suaranya ya?" suara itu sudah tidak asing bagiku. Dengan segera aku mencoba memutar tubuhku sembari memegang tangannya yang masih berada di pundakku itu. "Astaga... Ternyata Bibi! Aku kira siapa?" gumam ku yang lega setelah melihat Bibi berada di dekatku. "Lah... Kamu kira tadi siapa? Ehmm... Atau jangan-jangan kamu mengira Bibi ini hantu ya? Soalnya Bibi tengok kam
Rasa penasaran ku semakin menjadi-jadi. Aku berencana hendak mengejar Bibi tapi ibu melarangku. "Mau kemana kamu Nis?" tanya Ibu padaku. "Aku mau ke depan Bu!"Ibu sepertinya tau kalau aku ingin mengejar Bibi makanya dengan tegas ibu melarangku. "Jangan Nis... Jangan tinggalin Ibu! Ibu takut sendirian di rumah ini," gumam Ibu.Awalnya aku sempat berpikir kalau Ibu hanya sedang beralasan saja supaya aku gak mengejar Bibi tapi ternyata itu bukan sekedar alasan ibu saja melainkan ibu memang sedang menggigil ketakukan. Seketika Ibu merinding. Dan bibirnya gemetar sembari terus melirik ke arah jendela. Sontak saja aku ikut menoleh ke arah pohon pisang yang rimbun itu. Aku tidak melihat siapapun ada di sana tapi Ibu sepertinya sedang melihat sesuatu. "Bu... Ibu kenapa? Apa yang Ibu lihat?" tanyaku seraya datang menghampiri Ibu yang sedang duduk di atas kasur. "Ibu takut... Jangan tinggalin Ibu!" Gumam Ibu. Mata Ibu menyorot tajam ke arah jendela yang ada pohon pisangnya itu. "Ibu te
"Panas! Panas! Panas!" Gumam Ibu sembari menutup kupingnya dengan kedua tangannya. Ayah memegang ubun-ubun Ibu sembari berkata, "Wahai mahkluk yang ada di tubuh ini, cepat keluar! Ini bukan badan mu! Jangan siksa istri saya!"Dan tiba-tiba terdengar jawaban dari ibu tapi suara yang keluar dari mulut ibu itu bukan suara Ibu melainkan suara seorang laki-laki. "Aku gak mau pergi dari sini karena dia (Ibu menunjuk ke arah ku yang sedang mengatur napas karena di cekek oleh ibu) sudah membangunkan ku dari tidur ku! Aku mau membunuh dia biar dia yang menjadi temanku disana!" Gumam sosok tersebut dengan sorotan mata yang tajam kepada ku. "Gak... Dia itu anak saya! Jangan pernah kamu mencoba untuk membunuh dia, atau kamu mau saya usir untuk selamanya dari tempat ini?" Ujar ayah dengan tegas. "Aku gak akan pergi sebelum mendapatkan nyawa anak itu!" ujar laki-laki itu dengan tubuh membungkuk dan tatapan mata tajam ke arahku dan juga ayah. "Yah... Apa gak sebaiknya ayah panggil ustad aja? Ka
Aku kembali menolehkan wajahku ke arah ayah dan Ibu. Semula aku melihat ayah dan Ibu sedang memperhatikan ku. Dan di kala itu pula Bibirku sudah bergetar ingin bertanya tentang bibi dan semua terjadi padaku hari ini. Tapi tiba-tiba saja Ibu dan ayah mengalihkan pandangannya dari ku. "Ayah apa......" Belum selesai aku bertanya pada ayah tiba-tiba saja ayah memotong pertanyaanku itu. "Sudah Nis... Sebaiknya kita istirahat deh. Kasihan mama dan adikmu sudah kelelahan. Lagian besok kan kamu mausekolah, jadi alangkah baiknya kamu tidur sekarang supaya gak telat ke sekolah esok hari!" ujar ayah padaku seperti ingin menghentikan obrolan. "Tapi yah... Tunggu sebentar! Aku cuma mau nanya?" "Besok saja Nis! Ayah sudah kecapekan. Ayah seharian capek bekerja di ladang orang untuk mencari uang. Sekarang ayah lagi gak mau membahas apapun lagi! Karena hari sudah terlalu larut. Ayah bilang sekali lagi, sebaiknya kamu istirahat Nis!" ujar Ayah tegas padaku. Seketika Ayah mengalihkan pandangannya d
Namun saat aku menoleh keluar pintu tiba-tiba saja aku dikagetkan oleh sesuatu yang aneh sedang ku lihat dari yang mereka pikul itu. "Astaga! Apa itu pocong?" mulutku seketika ternganga melihatnya. Sejenak kembali ku sembunyikan kepalaku dibalik dinding agar tidak ketahuan oleh gerombolan orang-orang tersebut sembari terus bergumam sendiri dalam batinku. Untuk menjawab rasa penasaranku, akhirnya aku pun kembali menoleh untuk memastikannya kembali apa yang telah ku lihat tadi dengan membelalakkan kedua bola mataku ke arah ruangan yang ada secercah cahaya itu namun pantulan cahaya tersebut tak mampu menerangi kegelapan lorong-lorong kamar.Dan setelah cukup lama aku memperhatikan gerombolan orang tersebut akhirnya aku melihat dua orang sedang keberatan menggendong sesuatu yang tidak begitu jelas tampak olehku. Mungkin karena sudah keberatan makanya mereka menyerah untuk memikul benda aneh itu dan benda tersebut semakin jelas terlihat olehku. "Astaga... Apa itu? Kenapa benda yang dibawak
Dengan cepat ku langkahkan kakiku menuju pintu yang sedang tertutup itu. Sesampainya di depan kamar tanganku langsung memutar gagang pintu namun pintunya sudah terkunci kembali. Suara rongrongan anak kecil itu tak lagi terdengar olehku. Tentu saja itu membuat ku khawatir. "Kenapa suara anak kecil itu tidak lagi terdengar?" gumamku seraya menempelkan kupingnya ke dekat pintu. Tanpa berpikir panjang lagi, aku pun berteriak meminta kepada siapapun yang ada di kamar tersebut untuk membuka pintunya. "Hei siapapun yang ada di dalam, aku mohon buka pintunya! Aku mohon!" pekik ku sembari terus menggedor-gedor pintu kamar yang sedang terkunci itu. Namun tak ada seorang pun jua yang menggubris omonganku. Seketika aku mendengar kamar itu sunyi secara tiba-tiba. Tak ada suara rongrongan maupun suara benda apapun lagi dari kamar tersebut. Lagi dan lagi aku mendekati kupingku di dekat pintu untuk memastikannya. "Hallo... Kalian gak usah berpura-pura tidak mendengar ucapanku. Aku tahu kok, kalia