Share

BAB 5

Author: Imelda Sahara
last update Last Updated: 2023-05-11 13:52:42

"Kamu kenapa cuma mematung di situ? Kamu gak mau mendekati pamanmu ini?" ujar Arini dengan tatapan sinis ke arahku yang sedang berdiri disamping Bibi.

"Oooh... Iya Rin..." tukasku seraya menghampiri paman.

"Paman maafin aku karena aku gak bisa membantu untuk pengobatan paman," ucapku pada paman karena merasa kasihan pada paman yang sedang terbaring lemah diatas kasur lusuh itu.

"Gak kenapa-kenapa... " paman berusaha menggeleng-gelengkan kepalanya.

Selang beberapa menit ku lihat jarum jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Aku pun segera pamit kepada Bibi, Paman dan Arini yang masih menoleh ke arahku.

"Bi... Sepertinya aku tidak bisa lama-lama disini karena hari sudah hampir senja. Aku mengkhawatirkan keadaan ibu dan Geri yang berada di rumah," ungkapku pada Bibi.

"Baiklah... Kamu pergilah sekarang! Kasihan mereka gak ada yang menemani," ucap Bibi.

Dengan cepat ku langkahkan kakiku melewati batu dan kerikil yang berserakan di sepanjang jalan. Entah mengapa rasanya jalan pulang itu terasa begitu lama dan jauh sekali padahal saat ingin ke rumah Bibi terasa begitu cepat.

"Allahuakbar Allahu Akbar..."

Terdengar suara azan telah berkumandang dari masjid yang berada tak jauh dari posisiku saat ini.

Perjalananku masih lumayan jauh dan rasa cemas semakin kurasakan.

"Bagaimana ini? Penyakit ibu pasti mulai kambuh," gumamku dengan terus berlari.

Setelah cukup jauh berlari akhirnya aku tiba di depan rumah. Aku mencoba mengatur nafasku yang masih tersengal-sengal karena kecapekan. Tak sengaja aku menatap ke arah pintu utama dan jendela yang ternyata sudah tertutup semua.

"Loh... Siapa yang menutup semua pintu itu? Apa ayah sudah pulang?" Dengan cepat ku dorong pintu utama.

Dari kejauhan nampak ayah tengah menggendong adikku.

"Ayah?" ucapku pada ayah yang kaget melihat aku yang tiba-tiba sudah muncul di ambang pintu.

"Kamu dari mana saja Nis? Kenapa kamu meninggalkan ibu dan adikmu di rumah?" tanya ayah.

"Kamu lihat kan Ibumu!" timpal ayah seraya menunjuk ke arah ibu yang kembali marah-marah gak jelas seperti biasanya terjadi di setiap senja.

"Maafkan aku yah... Tadi aku disuruh ibu untuk menjenguk paman yang baru kecelakaan yah," ujarku.

"Kenapa lama? Kalau saja ayah lama pulang tadi, ayah gak bisa membayangkan gimana keadaan adikmu."

"Iya yah... Aku gak akan meninggalkan ibu dan Geri lagi," ungkapku pada ayah yang nampak kecewa kepadaku.

Tak berselang lama akhirnya ibu kembali sadar.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku menemui ayah yang sedang duduk di dekat ibu dan Geri.

"Yah... Apa ayah gak merasa ada sesuatu yang janggal dengan ibu? Kenapa penyakit ibu cuma datang disaat senja tiba saja? Apa gak sebaiknya kita bawa saja ibu ke tabib Yah?" usulku pada ayah yang sibuk menggendong Geri.

Ayah nampak diam sejenak. Sepertinya ayah sedang mencerna omongan aku yang masih dianggap kecil oleh ayahku padahal aku sudah duduk di bangku SMA. Dan aku sudah bisa membedakan mana yang benar dan yang salah.

"Gak usah ke tabib! Kita gak punya banyak uang untuk membayarnya. Lebih baik sama pamanmu saja! Kalau sama pamanmu sudah pasti gratis!" usul ibu dari tempat duduknya.

"Jangaaaaan Bu! Eh... Maksudnya jangan sama paman bu soalnya pamankan masih sakit jadi mana mungkin dia bisa menyembuhkan ibu sedangkan buat menyembuhkan diri dia sendiri aja gak bisa," ucapku yang berusaha mengalihkan pembicaraan agar ibu gak marah kepadaku.

"Benar juga kata Nisa, Her. Sebaiknya kita pergi ke tabib saja! Sudah sekian lama dan sekian banyak obat yang di minum tapi tak ada satupun yang membuatmu kembali sembuh," ungkap ayah yang ternyata menyetujui pendapatku.

Ibu pun nampak mencerna omongan ayah.

"Baiklah... Aku setuju! Lagian aku sudah tak sanggup menanggung sakit ini," gumam Ibu dengan mata yang berkaca-kaca.

"Syukurlah kalau ibu setuju. Aku yakin ibu akan segera sembuh," ucapku dengan begitu sumringahnya.

"Tapi ayah mesti mengumpulkan uang dulu," sambung ayah tiba-tiba.

Aku kembali teringat dengan apa yang dikatakan Bibi tadi kalau ayah belum membayar hutang kepada Bibi. Lalu ayah kemanakan uang itu?

"Maaf Yah, bukannya aku lancang tapi bukannya kemarin ayah sudah gajian?" tanyaku.

"Iya... Tapi sebagian sudah ayah gunakan untuk membayar hutang pada Bibimu," cetus ayah.

"Apa?" Seketika aku pun mendongak mendengar pernyataan yang diucapkan ayah.

Aku kaget mendengar pernyataan itu. Berarti Bibi berniat menjelek-menjelekkan ayah kepadaku. Entah apa alasannya? Yang jelas aku tidak akan pernah percaya lagi dengan omongan Bibi.

"Iya nak... Ayah pasti berusaha untuk mencari uang lagi agar kita bisa membawa Ibumu ke tabib secepatnya," ujar Ayah.

"Iya Yah... " Aku memanggutkan kepala ku seraya memeluk ayah dan adikku yang masih dalam pangkuan ibu.

"Iya udah. Hari ini kamu jagain ibu dan adikmu di rumah ya! Jangan sesekali kamu tinggalkan mereka lagi," ucap Ayah dengan tegas.

"Baik Yah..."

Kebetulan hari ini aku libur sekolah jadi akulah yang bertugas sepenuhnya menjaga ibu dan Geri.

Ayah pun segera berangkat ke sawah.

Aku tak tinggal diam. Aku mulai mengerjakan perkerjaan rumah dan semua pekerjaan rumah ku selesaikan satu persatu mulai dari mencuci piring hingga membersihkan rumah.

Setelah seharian cukup lelah bekerja akhirnya akupun bersantai diatas kursi yang ada di ruang tamu sembari memainkan gawai ku. Kebetulan juga ibu dan Geri sudah tertidur pulas jadi aku bisa beristirahat dengan tenang.

Dan tak lama berselang, ku lihat jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Aku bergegas berjalan menuju jendela yang di dekat pohon pisang dan berencana akan menutupnya namun tak sengaja aku kembali melihat sosok laki-laki yang memakai hodie hitam tengah menggali-gali di bawah pohon pisang itu lagi.

"Kali ini aku harus tahu siapa sosok dibalik hodie itu sebenarnya?" Aku pun berlari menuju halaman dan sesampainya di halaman aku kembali berjalan dengan mengendap-endap menuju sosok tersebut.

Saat ini aku berdiri tepat di belakang sosok tersebut.

"Heh... Kamu siapa?" tanyaku sembari memegang bahunya.

Namun sosok tersebut tak sedikitpun menoleh ke arahku. Ia malah kabur. Namun Hodienya terdengar ada sobekan karena aku berusaha menahannya namun kekuatannya tak sebanding denganku.

Aku berusaha mengejarnya hingga beberapa meter namun aku tak berhasil mengejarnya karena sosok tersebut berlari dengan begitu kencang.

"Sebenarnya siapa sosok itu? Dan apa yang dia lakukan di bawah pohon pisang itu" gumamku.

Aku berencana ingin kembali ke dekat pohon itu tapi langkah kaki ku terhenti saat suara azan mulai bergema dari masjid.

"Astaga... Ibu dan Geri?" Dengan terpaksa aku membatalkan untuk mencari tahu apa yang telah dilakukan sosok tersebut karena aku harus menemani ibu dan Geri di ruang tamu.

Related chapters

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 6

    Keesokan harinya aku berencana kembali untuk mencari tahu sosok misterius yang selalu datang di kala senja dan selalu melakukan ritual aneh di dekat pohon pisang yang ada di samping rumahku. Kebetulan hari ini adalah hari senin, jadi aku harus sekolah terlebih dahulu. Nanti setelah sepulang sekolah barulah aku mencari tahu benda apa yang sudah ditanam sosok misterius itu. "Bu? Bibi? Aku izin pamit ke sekolah dulu!" gumam ku pada Ibu dan Bibi yang berada di ruang tamu. Seperti biasa ketika aku sedang sekolah dan ketika ayah di ladang maka yang selalu menjaga Ibu dan adikku adalah Bibi. Karena cuma Bibi lah keluarga kami yang rumahnya tidak terlalu jauh dari kami. "Iya nak... Hati-hati! Belajar yang baik, jangan kecewakan Ibu dan ayah!" pesan Ibu padaku. Aku pun memanggutkan kepalaku seraya berkata: "iya Bu. Aku selalu ingat pesan ibu dan ayah! Aku akan kejar mimpi-mimpi ku Bu!" ujarku pada Ibu. Kebetulan aku bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Cita-cita itu mulai terbersit

    Last Updated : 2023-05-26
  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 7

    "Kok aku jadi merinding begini ya?" Tiba-tiba saja aku merasa takut. Dan bulu roma ku pun berdiri. Suasana yang semula dingin kini terasa panas. Aku pun mengurungkan niatku untuk menggali galian itu. Aku kembali berdiri. Aku merasa ada sesuatu yang sedang memperhatikan ku. Aku melihat ada bayangan putih lewat. di hadapanku. Dan kini ia berada tepat di belakang ku. "Siapa sih yang sedang berdiri di belakangku ini?" gumamku. Saat ini aku benar-benar ketakutan. Rasanya aku ingin sekali berteriak minta tolong tapi aku khawatir terdengar oleh ibu. Bisa-bisa nanti ibu histeris dan cemas terhadap ku. Dengan mengumpulkan segala keberanianku akhirnya aku pun memberanikan diri untuk mencari tahu sosok apa yang ada di belakang ku ini. Perlahan aku memutarkan tubuhku ke arah belakang dan saat berputar sempurna aku malah tidak melihat apapun di belakang ku lagi selain batang pisang yang berdaun rimbun di sana. "Hei... Siapa di sana? Jangan bersembunyi! Ayuk cepat keluar! Tunjukkan wujudmu!"

    Last Updated : 2023-05-26
  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 8

    Dan tiba-tiba saja aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh pundakku. Aku merasa itu seperti telapak tangan seorang manusia. Dan sentuhannya terasa begitu dingin hingga membuat bulu roma ku merinding seketika. Sontak saja Lidah ku terasa kelu. "To... Tolong jangan ganggu aku! Aku janji gak akan ganggu kalian lagi!" ucapku dengan suara lirih dengan kaki yang gemetaran.Dan sesaat kemudian aku mendengar suara yang sangat dekat dengan telingaku. Hembusan napasnya mengenai telinga kananku."Heh... Nis... Kamu kenapa sih? Kok kayak orang ketakutan begitu?" Suara itu seperti suara seorang perempuan."Aku kok seperti mengenal suaranya ya?" suara itu sudah tidak asing bagiku. Dengan segera aku mencoba memutar tubuhku sembari memegang tangannya yang masih berada di pundakku itu. "Astaga... Ternyata Bibi! Aku kira siapa?" gumam ku yang lega setelah melihat Bibi berada di dekatku. "Lah... Kamu kira tadi siapa? Ehmm... Atau jangan-jangan kamu mengira Bibi ini hantu ya? Soalnya Bibi tengok kam

    Last Updated : 2023-05-28
  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 9

    Rasa penasaran ku semakin menjadi-jadi. Aku berencana hendak mengejar Bibi tapi ibu melarangku. "Mau kemana kamu Nis?" tanya Ibu padaku. "Aku mau ke depan Bu!"Ibu sepertinya tau kalau aku ingin mengejar Bibi makanya dengan tegas ibu melarangku. "Jangan Nis... Jangan tinggalin Ibu! Ibu takut sendirian di rumah ini," gumam Ibu.Awalnya aku sempat berpikir kalau Ibu hanya sedang beralasan saja supaya aku gak mengejar Bibi tapi ternyata itu bukan sekedar alasan ibu saja melainkan ibu memang sedang menggigil ketakukan. Seketika Ibu merinding. Dan bibirnya gemetar sembari terus melirik ke arah jendela. Sontak saja aku ikut menoleh ke arah pohon pisang yang rimbun itu. Aku tidak melihat siapapun ada di sana tapi Ibu sepertinya sedang melihat sesuatu. "Bu... Ibu kenapa? Apa yang Ibu lihat?" tanyaku seraya datang menghampiri Ibu yang sedang duduk di atas kasur. "Ibu takut... Jangan tinggalin Ibu!" Gumam Ibu. Mata Ibu menyorot tajam ke arah jendela yang ada pohon pisangnya itu. "Ibu te

    Last Updated : 2023-06-01
  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 10

    "Panas! Panas! Panas!" Gumam Ibu sembari menutup kupingnya dengan kedua tangannya. Ayah memegang ubun-ubun Ibu sembari berkata, "Wahai mahkluk yang ada di tubuh ini, cepat keluar! Ini bukan badan mu! Jangan siksa istri saya!"Dan tiba-tiba terdengar jawaban dari ibu tapi suara yang keluar dari mulut ibu itu bukan suara Ibu melainkan suara seorang laki-laki. "Aku gak mau pergi dari sini karena dia (Ibu menunjuk ke arah ku yang sedang mengatur napas karena di cekek oleh ibu) sudah membangunkan ku dari tidur ku! Aku mau membunuh dia biar dia yang menjadi temanku disana!" Gumam sosok tersebut dengan sorotan mata yang tajam kepada ku. "Gak... Dia itu anak saya! Jangan pernah kamu mencoba untuk membunuh dia, atau kamu mau saya usir untuk selamanya dari tempat ini?" Ujar ayah dengan tegas. "Aku gak akan pergi sebelum mendapatkan nyawa anak itu!" ujar laki-laki itu dengan tubuh membungkuk dan tatapan mata tajam ke arahku dan juga ayah. "Yah... Apa gak sebaiknya ayah panggil ustad aja? Ka

    Last Updated : 2023-06-03
  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 11

    Aku kembali menolehkan wajahku ke arah ayah dan Ibu. Semula aku melihat ayah dan Ibu sedang memperhatikan ku. Dan di kala itu pula Bibirku sudah bergetar ingin bertanya tentang bibi dan semua terjadi padaku hari ini. Tapi tiba-tiba saja Ibu dan ayah mengalihkan pandangannya dari ku. "Ayah apa......" Belum selesai aku bertanya pada ayah tiba-tiba saja ayah memotong pertanyaanku itu. "Sudah Nis... Sebaiknya kita istirahat deh. Kasihan mama dan adikmu sudah kelelahan. Lagian besok kan kamu mausekolah, jadi alangkah baiknya kamu tidur sekarang supaya gak telat ke sekolah esok hari!" ujar ayah padaku seperti ingin menghentikan obrolan. "Tapi yah... Tunggu sebentar! Aku cuma mau nanya?" "Besok saja Nis! Ayah sudah kecapekan. Ayah seharian capek bekerja di ladang orang untuk mencari uang. Sekarang ayah lagi gak mau membahas apapun lagi! Karena hari sudah terlalu larut. Ayah bilang sekali lagi, sebaiknya kamu istirahat Nis!" ujar Ayah tegas padaku. Seketika Ayah mengalihkan pandangannya d

    Last Updated : 2023-06-14
  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 12

    Namun saat aku menoleh keluar pintu tiba-tiba saja aku dikagetkan oleh sesuatu yang aneh sedang ku lihat dari yang mereka pikul itu. "Astaga! Apa itu pocong?" mulutku seketika ternganga melihatnya. Sejenak kembali ku sembunyikan kepalaku dibalik dinding agar tidak ketahuan oleh gerombolan orang-orang tersebut sembari terus bergumam sendiri dalam batinku. Untuk menjawab rasa penasaranku, akhirnya aku pun kembali menoleh untuk memastikannya kembali apa yang telah ku lihat tadi dengan membelalakkan kedua bola mataku ke arah ruangan yang ada secercah cahaya itu namun pantulan cahaya tersebut tak mampu menerangi kegelapan lorong-lorong kamar.Dan setelah cukup lama aku memperhatikan gerombolan orang tersebut akhirnya aku melihat dua orang sedang keberatan menggendong sesuatu yang tidak begitu jelas tampak olehku. Mungkin karena sudah keberatan makanya mereka menyerah untuk memikul benda aneh itu dan benda tersebut semakin jelas terlihat olehku. "Astaga... Apa itu? Kenapa benda yang dibawak

    Last Updated : 2023-06-20
  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 13

    Dengan cepat ku langkahkan kakiku menuju pintu yang sedang tertutup itu. Sesampainya di depan kamar tanganku langsung memutar gagang pintu namun pintunya sudah terkunci kembali. Suara rongrongan anak kecil itu tak lagi terdengar olehku. Tentu saja itu membuat ku khawatir. "Kenapa suara anak kecil itu tidak lagi terdengar?" gumamku seraya menempelkan kupingnya ke dekat pintu. Tanpa berpikir panjang lagi, aku pun berteriak meminta kepada siapapun yang ada di kamar tersebut untuk membuka pintunya. "Hei siapapun yang ada di dalam, aku mohon buka pintunya! Aku mohon!" pekik ku sembari terus menggedor-gedor pintu kamar yang sedang terkunci itu. Namun tak ada seorang pun jua yang menggubris omonganku. Seketika aku mendengar kamar itu sunyi secara tiba-tiba. Tak ada suara rongrongan maupun suara benda apapun lagi dari kamar tersebut. Lagi dan lagi aku mendekati kupingku di dekat pintu untuk memastikannya. "Hallo... Kalian gak usah berpura-pura tidak mendengar ucapanku. Aku tahu kok, kalia

    Last Updated : 2023-06-21

Latest chapter

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 23

    "Ayah?" lirihku pada ayah dengan suara gemetaran. "Siapa disana? Sebaiknya kalian keluar sekarang! Jangan sampai aku yang ke sana menghampiri kalian!" Ucap kakek tua itu dengan suara lantang. Sepertinya kakek itu tahu bahwa aku dan ayah yang sedang mengintip mereka. Mendengar ucapan yang keluar dari mulut kakek tersebut membuat kedua bola mataku dan juga ayah membulat sempurna. Kedua kakiku serta bibirku ikut gemetaran. "Ayah?" lirihku dengan rasa yang semakin cemas. "Yah, bagaimana ini? Aku gak mau kalau kita ditahan lagi olehnya," imbuhku meminta pendapat ayah. "Lebih baik kita pergi dari sini!" Ayah menarik tangan kananku dan hendak membawaku lari menjauh dari tempat itu. Namun saat ayah membalikkan badan tiba-tiba saja tubuh ayah kembali lemah hingga ayah tersungkur ke atas dedaunan yang berserakan. "Ayah?" pekikku. "Ayah bangun!" ucapku kembali sembari mengulik-ulik tubuh ayah yang lemas. Ayah tak kunjung jua terbangun. Suara langkah kaki semakin terdengar mendeka

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 22

    Seminggu sudah berlalu, namun ayah tak kunjung jua sadarkan diri. "Ayah bangun! Ayok pulang yah! Kasihan ibu sama Geri di rumah gak ada yang menemani," gumamku sembari memeluk tubuh ayah yang terbaring lemah di atas sebuah tikar yang lusuh milik kakek tua yang sudah membuat ayahku seperti ini. Setiap hari, aku selalu menunggu kabar ayah berharap agar ayah cepat sadarkan diri. Setiap menit aku raba denyut nadi ayah. Aku khawatir jika ayah kenapa-kenapa. Sebenarnya aku ingin sekali pulang untuk menemui ibu dan adik tapi aku tidak tega meninggalkan ayah sendirian di tengah hutan ini. "Bagaimana caranya aku bisa membawa ayah keluar dari hutan ini?" Aku berencana akan membawa ayah keluar dari hutan itu dengan cara apa pun karena aku sangat mengkhawatirkan keadaan ibu dan Geri. kedua bola mataku merayap ke segala sudut ruangan. Dan aku melihat ada sebuah benda yang dihinggapi sarang laba-laba, ternyata sebuah gerobak bekas yang sudah tersandar di sudut gubuk tua itu. "Itu sepertinya sebu

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 21

    "Lepaskan anakku!" Lengkingan suara seorang laki-laki menggelegar meneriaki kakek tua genit itu. Di kala suasana makin mencekam dan perasaanku bercampur aduk tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang membuat kakek tua itu menghentikan aksinya. Suara itu tidak asing di telingaku. Suara seorang laki-laki yang biasa ku panggil dengan sebutan ayah. "Ayah?" Dengan tatapan penuh harap aku melihat cahaya dari sebuah senter sebagai penerangan oleh ayah. Cahaya itu bersinar dari balik pohon yang begitu rimbun. Sekali lagi ayah meneriaki kakek tua yang masih melingkarkan jari tangannya di pergelangan tanganku."Aku bilang lepaskan anakku!" Ayah benar-benar sudah geram pada kakek tua itu. "Kurang ajar! Siapa kau?" tanya kakek itu tanpa melepaskan pegangannya dari pergelangan tanganku. "Aku ayahnya Nisa. Sebaiknya kamu lepaskan anakku sekarang sebelum parang ini melayang ke arahmu," ancam ayah dengan mata merah sepertinya ayah benar-benar sedang marah pada kakek genit itu bahkan sepe

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 20

    Sudah lebih dari lima menit aku berlari-lari mengitari hutan yang dipenuhi semak belukar ini. Rasanya aku sudah berlari cukup jauh dari posisi kakek tua yang baru saja aku dorong itu. "Sepertinya kakek tua itu sudah tidak akan menemukan aku lagi," gumamku dengan wajah sedikit sumringah. "Tapi kenapa aku tidak menemukan jalan keluar?" batinku berkata dengan perasaan sedikit cemas. Aku belum melihat celah-celah cahaya yang akan mengantarkan aku keluar dari sunyinya hutan ini. Suara siulan burung hingga sahutan burung kadang masih terdengar di telinga. Bahkan sesekali suara rauangan binatang buaspun terdengar jelas olehku. Tentu saja hal itu membuat jantungku berdebar semakin kencang dan badanku pun seketika menggigil ketakukan. "Ya Tuhan... Suara apa itu?" Kedua bola mataku tertuju pada bayangan pohon yang nampak bergoyang di tengah hutan belantara itu.Dalam kesunyian dan ketakukan aku memutuskan untuk menghentikan langkah kakiku sejenak. Sesaat kemudian aku merasa ada hal yang jangg

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 19

    Di sepanjang jalan bulu roma ku merinding. Meskipun hari masih siang dan cahaya matahari masih menyingsing tapi rasa seram jalan yang ku lewati saat ini terasa. Sesekali kedua bola mataku melirik ke kiri dan ke kanan. Untungnya aku hanya melihat pepohonan yang sedang melambai-lambaikan dedaunannya. Semakin jauh ke dalam hutan Bibi pun semakin mempercepat langkah kakinya. "Kenapa Bibi tergesa-gesa begitu?" gumamku sembari berlari agar tidak ketinggalan oleh Bibi. Dan setelah jauh berjalan menyusuri semak belukar tersebut, tiba-tiba Bibi mampir di sebuah gubuk yang terlihat reot di tengah hutan itu. "Kok Bibi singgah di gubuk itu sih?"Aku pun memperhatikan sekeliling dan tidak terlihat orang lain ataupun gubuk lainnya di sana. Aku terus memperhatikan gerak-gerik Bibi dari balik pohon yang memiliki batang cukup besar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari gubuk reot itu. Kini Bibi berdiri di ambang pintu. Sebelum melangkah masuk, kedua bola mata Bibi nampak celangak-celinguk meliha

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 18

    Semakin lama aku mendengar cerita ibuk-ibuk itu semakin menakutkan saja dan suasana pun semakin menegangkan. Dan yang lebih mengejutkan dari cerita mereka itu aku mendengar kejadian seperti ini bukanlah kejadian yang pertama kali tapi kejadian yang ke sembilan puluh sembilan kalinya nya. Sontak saja bulu romaku merinding dan teringat dengan kejadian yang terjadi ditengah malam tadi. "Buk-Ibuk kalian benar-benar harus menjaga anak kalian dengan ketat karena bisa jadi anak kalian akan jadi korban selanjutnya. Aku bukan ingin menakut-nakuti kalian tapi aku pernah mendengar cerita dari orang-orang bahwa anak-anak yang meninggal itu berhubungan dengan tumbal yang dilakukan oleh seseorang demi menyempurnakan ilmu hitam yang sedang ia tuntut. Dan para pencari tumbal ini akan terus mencari anak kecil yang sehat dan bugar hingga mencapai seratus orang sesuai dengan target tumbal yang mereka inginkan," jelas seorang ibuk paruh baya yang cukup berperan di kampung tersebut. Seketika semua pasan

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 17

    "Ada apa ini Nis? Kenapa Arini lemas begini?" tanya paman cemas melihat keadaan Arini yang masih terkulai lemah dengan mata yang masih merem. Pertanyaan paman membuatku kembali tersadar dan mencoba untuk membantu Arini terlebih dahulu. "Oooh... Ini paman, Arini sepertinya tadi kemasukan mahkluk asral saat dia sedang bersih-bersih di dekat wc sekolah," jelasku pada paman. Tentu saja hal itu membuat paman kaget. "Kok bisa?" Melihat Kevin kesusahan menggendong tubuh lemas Arini itu, paman pun bergegas mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam rumah dan menghentikan sejenak rasa penasarannya. "Ya ampun Arini... Ya sudah kalau begitu paman minta tolong bawakan Arini ke dalam ya! Paman gak bisa menggendong Arini soalnya tangan Paman masih sakit," gumam paman sembari menunjuk tangannya yang masih di tutupi perban. "Baik pak!" ucap Kevin dengan cepat masuk ke dalam kamar Arini. Paman hanya bisa mengiringi Kevin hingga ke kamarnya Arini. Bruuuuugh...Kevin menghempaskan tubuh Arini ke a

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 16

    "Arini? Ka... Kamu kok gak ke kelas?" tanyaku terbata-bata. Aku khawatir jika Arini akan marah padaku. Pertanyaanku sama sekali tidak dijawab oleh Arini. Justru sebuah tamparan yang mendarat ke pipi kananku. "Aaaaw..." Tamparan Arini membuatku terasa panas seketikan. Tak disangka Kevin membela ku. Kevin menangkis tangan Arini dengan kasar. "Kamu apa-apaan Ar? Kenapa kamu tiba-tiba menampar Nisa begini?" tanya Kevin dengan ketus."Minggir kamu Vin! Aku mau ngasih pelajaran sama tu cewek biar dia kapok dan gak pernah deketin kamu lagi." ucap Arini."Apa hak kamu melarang Nisa dekat denganku?" tanya Kevin sembari mendongakkan kepalanya. "Karena kamu itu cowokku," jawab Arini dengan penuh rasa percaya diri. Kevin tertawa terbahak-bahak mendengar celotehan Arini yang tiba-tiba menganggapnya sebagai cowok Arini. "Haha... Sejak kapan kita pacaran Ar? Kamu jangan mengada-ada deh. Aku tidak punya hubungan apa-apa sama kamu. Jadi aku berhak di deketin sama siapapun termasuk sama Nisa. Men

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 15

    "Nis... Coba deh kamu tengok kacanya sekarang! Tidak ada tulisan apa-apa di kaca itu lagi!" ujar Ibu padaku yang masih bersender di bahu ibu sembari memejamkan matanya. Secara perlahan aku mulai mendongakkan wajahku kembali seraya membuka kedua bola mataku serta mengarahkan pandanganku ke kaca yang ada di di dekatku itu. Dan benar saja apa yang kulihat ternyata tulisan itu benar-benar sudah hilang. "Loh... Kemana tulisan itu? Kok gak ada lagi. Padahal tadi itu jelas-jelas aku ngelihatnya bu!" ujarku pada Ibu. "Nisa? Mungkin kamu hanya mengigau," timpal ayah. "Ayah... Aku gak mengigau kok yah. Aku melihat tulisan itu dengan sangat jelas," gumamku pada ayah. Lagi dan lagi ayah dan ibu tidak percaya dengan apa yang kukatakan itu. "Sudahlah Nis... Lebih baik kamu lanjutin berkemasnya karena ini jam sudah hampir menunjukkan angka tujuh, tidak ada tulisan apa-apa di sini kok! Ayah dan ibu keluar dulu!" ujar ayah seraya mengajak ibu pergi dari kamarku. Aku hanya bisa bergumam dalam bat

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status