"Ayah?" lirihku pada ayah dengan suara gemetaran. "Siapa disana? Sebaiknya kalian keluar sekarang! Jangan sampai aku yang ke sana menghampiri kalian!" Ucap kakek tua itu dengan suara lantang. Sepertinya kakek itu tahu bahwa aku dan ayah yang sedang mengintip mereka. Mendengar ucapan yang keluar dari mulut kakek tersebut membuat kedua bola mataku dan juga ayah membulat sempurna. Kedua kakiku serta bibirku ikut gemetaran. "Ayah?" lirihku dengan rasa yang semakin cemas. "Yah, bagaimana ini? Aku gak mau kalau kita ditahan lagi olehnya," imbuhku meminta pendapat ayah. "Lebih baik kita pergi dari sini!" Ayah menarik tangan kananku dan hendak membawaku lari menjauh dari tempat itu. Namun saat ayah membalikkan badan tiba-tiba saja tubuh ayah kembali lemah hingga ayah tersungkur ke atas dedaunan yang berserakan. "Ayah?" pekikku. "Ayah bangun!" ucapku kembali sembari mengulik-ulik tubuh ayah yang lemas. Ayah tak kunjung jua terbangun. Suara langkah kaki semakin terdengar mendeka
"Argh... Sakit..." Suara pekikan itu mengagetkan aku yang sedang menutup jendela kamar karena hari sudah mulai senja. "Nisa? Tolooooong!" Aku mencoba mendengar rongrongan itu dengan seksama. "Itu kan suara Ibu... Ibu kenapa?"Sontak saja suara rongrongan ibu membuat ku terperanjat. Aku yang berencana akan mengambil wudhu pun dengan cepat berlari menghampiri ibu."Ada apa dengan Ibu?" gumamku sembari terus berlari menghampiri Ibu. Rasa cemas membuatku hilang arah dan tak tau mau berbuat apa lagi. Dan sesampainya diruang tamu, aku melihat semua tubuh ibu yang sudah tampak kaku, dengan bibir yang begitu pucat, dan tatapannya kepadaku begitu tajam. "Astagfirullah.... Ibu... Ibu kenapa? Ibu Istigfarlah!" Pinta ku sembari mendekatinya.Saat aku hendak merangkul tubuh ibu tiba-tiba saja ibu mendorong tubuhku hingga terpental ke atas lantai hingga membuat sikutku sakit. "Astaghfirullah ibu.. Istighfar," pintaku kembali pada ibu yang sedang mengamuk itu. Air mataku mulai berderai. Ini k
Setelah berlari cukup jauh dari rumah, aku pun segera melepaskan genggamanku dari tangan temanku, Iren.Iren merupakan teman sekelasku. Dialah temanku yang mau menerimaku sebagai temannya tanpa melihat kejelekan dan kekuranganku.Selain Iren, aku tidak mempunyai teman lagi. Karena kata teman-teman sekelasku yang lain, aku itu tidak selevel dengan mereka. Mereka berasal dari keluarga yang berada sedangkan aku hanya anak seorang petani yang tak mempunyai sebongkah harta.Iren sebenarnya juga termasuk orang yang berada. Ayahnya saja seorang kepala desa di kampungku. Tapi aku salut sama Iren yang mau berteman denganku meskipun berbeda kasta.Huftttt...Iren menghela napas panjang. Dia sepertinya kelelahan setelah berlari cukup jauh. Setelah merasa tenang, Iren pun bertanya kepadaku."Nis... Btw, tadi kamu kok berjalan mengendap-endap gitu sih? Seperti seorang perampok saja," ujar Iren seraya tertawa.Ternyata Iren memperhatikan gerak-gerikku saat mengintip Bibi tapi untungnya dia tidak ta
Tapi rasa penasaranku masih mencuat dan belum terjawab. Aku pun mencoba menahan tangan ayah sejenak, mulutku sudah tak sabar ingin memberitahu ayah tentang yang kulihat tadi."Ada apa Nis?" Seketika langkah kaki ayah pun berhenti, ia menoleh ke arahku dengan tatapan seperti orang yang sedang kebingungan."Begini yah... Ta-tadi itu aku ngelihat ada or..." Tiba-tiba kami mendengar ibu berteriak histeris dari ruang tamu sehingga omonganku pun seketika terpotong. Belum sempat aku memberi tahu ayah tentang apa yang dilakukan seorang laki-laki berbaju hitam serta topi hitam yang ku lihat di dekat pohon pisang tadi."Aaaahhhh... Sakiiiiit..." Teriakan ibu semakin menggema hingga mampu menembus sekat ruangan.Seperti biasa, setiap azan magrib dikumandangkan maka di saat itu pula ibu seperti orang yang sedang kerasukan."Astaga ibu..."Aku dan ayah segera bergegas menghampiri ibu dan Geri.Sesampainya di ruang tamu, aku dan ayah dikejutkan dengan penampakan dimana kedua tangan ibu sudah melil
Di saat itu juga aku langsung berlari kencang menuju ruang tamu dimana ibu dan adikku tengah tertidur pulas. Aku belum sempat menolong kucing yang sudah terbaring di dapur karena aku sangat mengkhawatirkan keadaan ibu dan Geri. Langkah kakiku berhenti tepat di samping kasur dimana ibu sedang berbaring. Tanpa berpikir panjang, dengan segera ku tekukkan kakiku dan aku pun langsung duduk di dekat ibu. Ku tatap ibu masih tertidur pulas. Perlahan ku coba mengulik-ulik tubuh ibu, namun ibu tak jua terbangun. Rasa cemas makin bergentayangan di pikiranku. Ku raih tangan kanan ibu. Dan dengan segera aku mencoba untuk mengecek denyut nadi ibu dan merasakan hembusan napasnya melalui hidungnya."Alhamdulillah denyut nadi ibu masih berdetak dan ibu masih bernapas dengan baik." Tak hentinya kuucapkan syukur pada Tuhan. Detak jantungku yang semula tak beraturan, kini sudah kembali normal setelah mengetahui keadaan ibu baik-baik saja.Tanpa kusadari ternyata Ibu terbangun dari tidurnya. "Kamu kenapa
"Kamu kenapa cuma mematung di situ? Kamu gak mau mendekati pamanmu ini?" ujar Arini dengan tatapan sinis ke arahku yang sedang berdiri disamping Bibi."Oooh... Iya Rin..." tukasku seraya menghampiri paman. "Paman maafin aku karena aku gak bisa membantu untuk pengobatan paman," ucapku pada paman karena merasa kasihan pada paman yang sedang terbaring lemah diatas kasur lusuh itu. "Gak kenapa-kenapa... " paman berusaha menggeleng-gelengkan kepalanya. Selang beberapa menit ku lihat jarum jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Aku pun segera pamit kepada Bibi, Paman dan Arini yang masih menoleh ke arahku. "Bi... Sepertinya aku tidak bisa lama-lama disini karena hari sudah hampir senja. Aku mengkhawatirkan keadaan ibu dan Geri yang berada di rumah," ungkapku pada Bibi."Baiklah... Kamu pergilah sekarang! Kasihan mereka gak ada yang menemani," ucap Bibi. Dengan cepat ku langkahkan kakiku melewati batu dan kerikil yang berserakan di sepanjang jalan. Entah mengapa rasanya jal
Keesokan harinya aku berencana kembali untuk mencari tahu sosok misterius yang selalu datang di kala senja dan selalu melakukan ritual aneh di dekat pohon pisang yang ada di samping rumahku. Kebetulan hari ini adalah hari senin, jadi aku harus sekolah terlebih dahulu. Nanti setelah sepulang sekolah barulah aku mencari tahu benda apa yang sudah ditanam sosok misterius itu. "Bu? Bibi? Aku izin pamit ke sekolah dulu!" gumam ku pada Ibu dan Bibi yang berada di ruang tamu. Seperti biasa ketika aku sedang sekolah dan ketika ayah di ladang maka yang selalu menjaga Ibu dan adikku adalah Bibi. Karena cuma Bibi lah keluarga kami yang rumahnya tidak terlalu jauh dari kami. "Iya nak... Hati-hati! Belajar yang baik, jangan kecewakan Ibu dan ayah!" pesan Ibu padaku. Aku pun memanggutkan kepalaku seraya berkata: "iya Bu. Aku selalu ingat pesan ibu dan ayah! Aku akan kejar mimpi-mimpi ku Bu!" ujarku pada Ibu. Kebetulan aku bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Cita-cita itu mulai terbersit
"Kok aku jadi merinding begini ya?" Tiba-tiba saja aku merasa takut. Dan bulu roma ku pun berdiri. Suasana yang semula dingin kini terasa panas. Aku pun mengurungkan niatku untuk menggali galian itu. Aku kembali berdiri. Aku merasa ada sesuatu yang sedang memperhatikan ku. Aku melihat ada bayangan putih lewat. di hadapanku. Dan kini ia berada tepat di belakang ku. "Siapa sih yang sedang berdiri di belakangku ini?" gumamku. Saat ini aku benar-benar ketakutan. Rasanya aku ingin sekali berteriak minta tolong tapi aku khawatir terdengar oleh ibu. Bisa-bisa nanti ibu histeris dan cemas terhadap ku. Dengan mengumpulkan segala keberanianku akhirnya aku pun memberanikan diri untuk mencari tahu sosok apa yang ada di belakang ku ini. Perlahan aku memutarkan tubuhku ke arah belakang dan saat berputar sempurna aku malah tidak melihat apapun di belakang ku lagi selain batang pisang yang berdaun rimbun di sana. "Hei... Siapa di sana? Jangan bersembunyi! Ayuk cepat keluar! Tunjukkan wujudmu!"