Share

BAB 4

Di saat itu juga aku langsung berlari kencang menuju ruang tamu dimana ibu dan adikku tengah tertidur pulas. Aku belum sempat menolong kucing yang sudah terbaring di dapur karena aku sangat mengkhawatirkan keadaan ibu dan Geri. Langkah kakiku berhenti tepat di samping kasur dimana ibu sedang berbaring. Tanpa berpikir panjang, dengan segera ku tekukkan kakiku dan aku pun langsung duduk di dekat ibu. Ku tatap ibu masih tertidur pulas. Perlahan ku coba mengulik-ulik tubuh ibu, namun ibu tak jua terbangun. Rasa cemas makin bergentayangan di pikiranku. Ku raih tangan kanan ibu. Dan dengan segera aku mencoba untuk mengecek denyut nadi ibu dan merasakan hembusan napasnya melalui hidungnya.

"Alhamdulillah denyut nadi ibu masih berdetak dan ibu masih bernapas dengan baik." Tak hentinya kuucapkan syukur pada Tuhan. Detak jantungku yang semula tak beraturan, kini sudah kembali normal setelah mengetahui keadaan ibu baik-baik saja.

Tanpa kusadari ternyata Ibu terbangun dari tidurnya. "Kamu kenapa nak? Kok raut wajahmu terlihat cemas begitu?" tanya ibu seraya menoleh ke arahku yang masih mengkhawatirkan keadaan ibu.

Aku gak mungkin berterus terang pada ibu tentang kejadian barusan yang menduga ibu kenapa-kenapa karena telah memakan makanan pemberian Bibi.

"Emmm... Gak kok bu, aku gak kenapa-kenapa," ucapku berkilah dari ibu.

Aku berusaha menyembunyikan Aku tak ingin ibu tersinggung karena prasangka buruk ku pada adiknya itu.

"Oh iya, Bibimu mana?" Ibu membuang pandangannya ke seluruh sudut ruangan dan ia tetap tidak melihat sosok Bibi ada di sini lagi.

"Bibi sudah pulang Bu, kata Bibi tadi paman kecelakaan Bu. Makanya Bibi buru-buru pulang."

"Apa? Lalu bagaimana keadaan paman mu itu nak?"

"Nisa gak tau Bu." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku karena memang aku belum mendapat kabar tentang paman.

"Kamu tengok dulu gih! Nanti takutnya pamanmu kenapa-kenapa." Ibu nampak begitu mengkhawatirkan paman.

"Tapi siapa lagi yang menjaga ibu sama Geri kalau aku pergi menjenguk paman Bu?"

"Udah... Ibu gak kenapa-kenapa kok, kamu pergilah sebentar setidaknya untuk memastikan keadaan pamanmu saja. Ibu gak bisa tenang sebelum mengetahui kabarnya."

Ibu memang sangat menyayangi paman dan Bibi. Sejak kecil dia dan Bibi sudah di tinggal oleh orang tuanya.

Sebenarnya aku sangat khawatir akan keadaan ibu. Rasanya kejadian tadi malam masih terngiang dibenakku saat ibu akan menyakiti adikku.

Aku pun tertegun sejenak sembari memikirkan bagaimana solusinya agar ibu tidak memaksaku untuk pergi ke rumah Bibi.

"Nak... Kamu kok diam disitu? Kamu gak usah merisaukan ibu dan Geri," pinta ibu kembali dengan suara pelan.

Ibu sepertinya tidak sadar bahwa tadi malam dia hampir saja merenggut nyawa Geri. Aku khawatir ibu akan berbuat seperti itu disaat aku tak berada di rumah.

Aku masih tertegun dan terus menatap adikku yang sedang terbaring.

Setelah cukup lama berfikir akhirnya aku memutuskan untuk menyetujui permintaan ibu. Aku tak ingin melihat ibu bersedih.

Aku berencana akan pergi sebentar ke rumah Bibi hanya untuk memastikan keadaan paman saja setelah itu aku akan kembali karena aku tidak ingin meninggalkan ibu dan adikku lama-lama di rumah.

"Baiklah Bu... Aku akan pergi ke rumah Bibi tapi Ibu jaga Geri baik-baik ya," pintaku pada ibu.

"Iya nak... Tenang saja. Ibu pasti akan menjaga adikmu, sekarang pergilah!" ujar Ibu menyuruhku pergi.

Sebelum pergi aku pun tak lupa menyalami ibu terlebih dahulu seraya mengecup kening adikku.

Sebelum beranjak ke rumah Bibi, aku teringat pada kotak nasi milik Bibi yang masih tertinggal di dapur. Aku kembali belajan ke dapur untuk mengambilnya dan sesampainya di dapur aku sudah tidak melihat sosok kucing itu ada di sana lagi.

"Loh kok kucingnya hilang?" pikirku.

Kulayangkan pandanganku ke arah pintu dapur ternyata kucing itu sedang duduk dengan santainya disana.

"Aduh... Sepertinya aku di prank sama tu kucing." Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku melihatnya. Gara-gara kucing itu aku hampir saja menfitnah Bibi yang bukan-bukan. Aku hanya bisa menggaruk-garukkan kepalaku.

Dengan bergegas aku pun mengambil kotak nasi yang berada diatas meja dan dengan segera ku langkahkan kaki menuju rumah Bibi.

Cuma butuh waktu lima belas menit di perjalanan akhirnya aku sampai di halaman rumah Bibi.

Rumah Bibi terlihat begitu sepi, tak terlihat orang yang datang atau berkunjung ke sana untuk sekedar menjenguk atau melihat paman yang baru kecelakaan.

"Loh kok gak ada orang sih?" gumamku sembari menatap ke sekelilingku.

Namun seketika langkah kakiku terhenti saat aku gak sengaja mendengar sekilas kejulitan dari mulut tetangga Bibi yang mengatakan paman itu adalah seorang dukun yang jahat.

"Iiiiih... Tengok tu si Adi... Kok bisa sih jatuh sendiri dari motornya? Dengar-dengarnya sih dia terluka parah," gumam salah satu ibuk yang sedang berkumpul di samping rumah Bibi.

"Mungkin itu karma dari Tuhan Jeng... Tau kan dia gimananya, dia rela menumbalkan orang yang gak bersalah demi mempertahan ilmunya," cetus ibu yang lainnya.

"Bisa jadi tu jeng... Kalian udah pada menjenguk belum?" tanya salah satu ibu-ibu julid tersebut.

"Belum..." jawab ibu-ibu yang lain secara serentak.

Aku sempat mendengar banyak gunjingan dan desas-desus yang buruk tentang paman dan Bibi. Ternyata tetangga-tetangga Bibi banyak yang tidak suka kepada paman karena kepandain yang dimiliki paman yang sudah disalah gunakan.

Namun aku tidak terlalu memperdulikan omongan ibu-ibu tersebut. Karena aku teringat sama ibu dan adikku yang tinggal di rumah tanpa teman. Ku langkahkan kakiku menuju pintu rumah Bibi.

Tok... Tok... Tok...

Ku ketuk pintu rumah Bibi sembari mengucapkan salam, "Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam..." Jawab Bibi dan Arini serentak seraya menolehkan wajah ke arahku.

Tampak paman tengah berbaring di ruang tamu.

"Nisa...? Kamu kenapa ke sini?" tanya Bibi dengan wajah yang terlihat gugup.

"Aku cuma mau menjenguk paman Bi, apa paman gak kenapa-kenapa Bi?" tanyaku pada Bibi dengan terus berjalan perlahan menghampiri paman yang sedang terbaring di ruang tamu.

"Kamu bisa lihat sendiri kan kalau pamanmu itu sudah terluka parah... Dan kami gak bisa membawa pamanmu ini ke rumah sakit karena ayahmu tak pernah berniat buat membayar hutangnya pada kami," ujar Bibi geram.

"Bukankah ayah sudah melunasi semua hutangnya pada Bibi? Kemarin ayah bilang dia sudah menerima upah dari pemilik kebunnya?" gumamku.

"Sepersen pun tak ada yang ia bayar," ujar Heri lagi.

Aku hanya bisa tertegun dan terdiam mendengar Bibi. Aku juga heran kepada ayah, tidak biasanya ayah begitu. Biasanya ayah akan melunasi hutangnya jika sudah mendapat gaji dari pemilik kebun. "Lalu uang sebesar satu juta semalam dikemanakan sama ayah? gak mungkin sama ibu?" pikir Nisa menggerutu sendiri dalam bathinnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status