Setelah rekan kerjanya keluar dari ruangan yang pintunya di gantungi oleh sebuah tulisan ‘Manajer’, Indah memasuki ruangan itu sambil berkata, “Permisi.“ dan ketika masuk, dia mencium aroma khas yang berasal dari pengharum ruangan tersebut. Bunga melati adalah aroma yang di sukai oleh manajernya bernama Deni. Indah mendapat senyuman datar yang khas dari pria berumur 40 tahun itu.
“Selamat malam, Pak.”
“Malam Indah. Maaf ya, karena sekretaris saya tidak masuk jadi kamu dan yang lain harus mengambil gajinya ke saya dan harus masuk ke ruangan saya satu persatu.”
“Ga apa-apa, pak. Saya mengerti.”
Deni menganggukkan kepalanya dan mengeluarkan amplop dari laci meja kerjanya dan di sisi kanannya bertuliskan nama Indah. Dia menyimpan amplop di atas meja dan mendorongnya dengan jari telunjuk kanannya.
“Ini gaji kamu bulan ini.”
Indah menggangukkan kepalanya dan menerima amplop tersebut.
“Terima kasih banyak, Pak Deni.”
Lagi, Deni hanya tersenyum datar, "Sama-sama. Lekaslah pulang, sudah larut malam.”
“Baik, pak. Saya pamit dulu.” Indah menundukkan kepalanya lalu berjalan menuju pintu keluar. Deni menopang dagu dan dia tersenyum kecil.
“Semoga kamu sehat selalu, Indah.”
****
Pukul 22.30 malam.
Indah baru saja tiba ke rumahnya. Setelah dia memakirkan motornya di garasi dia langsung masuk kedalam rumah. Dengan perlahan dia membuka pintu dan dia melihat kalau lampu ruang tamu masih menyala. Dia tersenyum miring dan berpikir mungkin ibunya sengaja menyalakan lampunya agar tidak terlalu gelap.
Dia berjalan menuju dapur dan mengambil segelas air minum. Diteguklah air itu hingga habis. Setelah itu dia berjalan menuju kamar ibunya untuk memastikan apa ibunya sudah tertidur atau belum. Perlahan dia membuka pintu kamar ibunya dan mendapati ibunya sudah tertidur lelap di atas kasurnya. Indah tersenyum kecil dan kembali menutup pintu tersebut.
‘Mimpi indah, ma.’
Indah mematikan seluruh lampu setelah dia selesai membersihkan diri. Dia berjalan menuju kamar tak lupa masih membawa tas sekolahnya. Dia simpan tas itu di atas meja belajarnya dan dia langsung merebahkan diri ke atas kasur. Dia menatap langit kamarnya dengan tatapan kosong dan menghela napas perlahan.
‘Hari yang melelahkan.’
Indah mematikan lampu meja yang berada di sebelah kiri kasurnya dan menutup matanya dan pergi menuju alam mimpinya. Ketika dia sudah memasuki alam mimpinya, dia menitikkan air mata tanpa mengeluarkan suara isakan sama sekali. Air mata itu tak hentinya keluar, meluncur bebas di wajah cantik itu. Gadis itu kembali bermimpi buruk. Tiada hentinya gadis itu mendapat mimpi buruk mengenai kondisi keluarganya. Meskipun sudah beberapa kali dia mengucapkan do’a agar bisa mendapatkan mimpi Indah walau hanya sekali, tetap saja dia mendapat mimpi buruk yang dia benci selama ini.
“Ampun, ampuni aku, kumohon...,”
Indah bergumam, lebih tepatnya memohon pada seseorang untuk mengampuni dirinya. Sang Ibu, Ana, yang sekarang sedang menatap putrinya menangis dalam tidur. Dia menggertakkan giginya untuk menahan jeritannya. Ana menyeka air matanya sambil berjalan masuk kedalam kamar Indah. Perlahan dia mengelus kepala anaknya dengan perlahan untuk membuat dirinya merasa tenang. Dia merasa ada sebuah panah yang menusuk hatinya. Dia merasa bersalah karena tak dapat menjadi seorang ibu yang dapat melindungi putrinya dengan baik.
“Maafkan mama ya sayang, maaf..,” Ana bergumam sambil memberikan kecupan hangat di puncak kepala putrinya. Setelah memastikan Indah berhenti menangis, Ana keluar dari kamar Indah dan kembali ke kamarnya.
****
"TERAJANAAAAAAAA... TERAJANAAAAA... INI LAGUNYA.. LAGU INDIAAAAAA"
Indah langsung membuka matanya setelah di bangunkan oleh lantunan alarm dari ponselnya. Dia mengambilnya dan mematikan alarm tersebut. Setelah dia mematikan alarmnya, Indah kembali tidur di atas kasurnya. Dia memeluk guling dan bersiap kembali ke alam mimpinya. Namun sayang dia tidak bisa kembali karena mendengar panggilan dari ibunya dari luar kamar.
"INDAH! ADA TEMEN KAMU DATENG KE SINI! CEPET KELUAR!"
"YA, MA."
Indah keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang tamu. Didapati seorang gadis dan dua lelaki yang sedang duduk di ruang tamu.
“Halo, anak-anak micin, ada apa gerangan datang kemari?” sapa Indah dengan wajah datar.
Sofi berdecak ketika melihat sahabatnya yang masih mengenakan piyama.
“Lo mandi gih! Udah itu kita cabut.”
“Apanya yang di cabut? Bulu ketek gue?”
“Maksud gue kita keluar, ngerti ga?”
Indah menganggukkan kepalanya perlahan, dan seketika dia mengingat suatu hal. Dia menepuk keningnya dan kembali menatap ke teman-temannya.
“Oh iya, lupa. Padahal gue yang ngajak. Oke, kasih gue waktu 5 menit.”
Indah langsung kembali menuju kamarnya untuk bersiap-siap. Sofi menggelengkan kepalanya.
“Tuh bocah, kecapekan kali ya sampai lupa gitu.”
“Kecapekan? Emang dia habis darimana?” tanya Dylan, pacar Sofi.
“Dia ‘kan setiap pulang sekolah langsung kerja sambilan. Masa lupa?” tanya balik Sofi.
“Oh, iya.” Dylan melirik ke arah lelaki yang sedang memainkan ponselnya. Dia menyikut tangan lelaki itu dan hanya mendapat respon tatapan bertanya.
“Diem-diem bae lo, ngapain sih Fal?” tanya Dylan ke lelaki bernama lengkap Naufal.
“Kepo ya?”
“Ga juga sih.”
“Ya udah.” kata Naufal sambil menjulurkan lidahnya. Dylan memberikan tatapan sebal.
“Gue udah siap, mau berangkat sekarang?” Indah akhirnya sudah keluar menggunakan kaos putih polos, celana hitam dan sepatu yang dia jinjing di tangan kanannya.
“Oke.”
Setelah berpamitan dengan Ana, mereka berempat pun keluar dari rumah dan mengendarai sepeda mereka masing-masing. Dengan kecepatan yang normal, sepeda itu mereka kendarai sambil menikmati udara segar di pagi hari itu. Hembusan angin dingin yang mereka rasakan dari ujung kepala hingga ujung kaki membuat mereka merinding sekaligus senang. Di pertengahan jalan, Indah dan Sofi berpisah dengan Naufal dan Dylan karena mereka ingin sarapan di tukang bubur. Setelah mereka pamit, mereka mengambil jalur lain dan berpisah dengan Indah dan Sofi.
Indah dan Sofi akhirnya sampai di lapangan basket. Mereka memakirkan sepedanya dan duduk di kursi. "Lo mau minum apa? Gue traktir" kata Indah.
"Tumben lo. Hmm dapet bonus ya?" Sofi menyikut lengan Indah.
"Hehe. Lumayan, lo mau apa?"
"Gue mau es jeruk aja deh."
"Oke! Tunggu sebentar ya bu." Indah bangun dari duduknya dan mendekati penjual minuman.
"Bang, es jeruk dua ya." kata Indah.
"Oke de." kata tukang penjual minuman itu. Sambil menunggu pesanannya di buat dia melihat remaja yang seumuran dengannya sedang bermain basket. Dia mengamati setiap pemain basket.
Dia melihat ketika salah satu cowok sedang mendribble bola yang dihalangi musuhnya. Bola nya di oper ke temannya yang berada di sebelah kanannya, mereka berdua saling mengoper bola hingga musuh nya terkecoh. Ketika musuhnya terkecoh, cowok pertama melemparnya ke temannya yang sudah dekat dengan ring lawan.
Dilempar lah bola itu ke atas dan tim tersebut berhasil memasukan bola ke atas ring. Indah tersenyum tipis melihat mereka semua.
"Nih pesenan ade." kata tukang minumannya. Indah mengambil kedua pesanannya dan membayar minuman itu.
"Makasih bang."
Indah berjalan mendekati Sofi yang sedang selfie, "Selfie mulu lo! Nih, minumannya." Indah menyodorkannya di wajah Sofi.
"Yeee makasih Ndah. Tumben-tumbenan lo mau traktir gue." Sofi menerima es jeruknya.
"Iya, iya."
"Gue juga mau dong di traktir." kata Naufal yang sudah ada di belakang mereka. Dylan hanya mengangguk setuju.
"Bayar sendiri. Lo berdua ga ngemodal banget jadi cowok." ledek Indah dan Sofi hanya tertawa kecil.
"Huu dasar pelit! Pelit! Pelit!" kata Naufal.
"Bodo amat." kata Indah sambil meminum es jeruknya.
Naufal memperhatikan anak-anak yang sedang bermain basket hingga dia memperhatikan salah satu cowok yang dia kenal.
"Lo lagi liat siapa? Serius amat." kata Dylan menghalangi pandangan Naufal dengan tangannya.
"Kayaknya gue kenal sama tuh cowok." Naufal menunjuk orang yang di maksud.
"Siapa?" Dylan melihat orang tersebut, "Kayaknya gue juga pernah liat dia deh. Tapi siapa ya?" tanya balik Dylan. Naufal hanya mengangkat bahunya.
"Lo berdua ngomongin siapa sih?" Indah melihat orang yang sedang dilihat oleh Dylan dan Naufal. Indah hanya ber-oh ria karena dia tau siapa cowok itu.
"Oh. itu sih Reynaldi, masa kalian gatau?" tanya Indah.
"Oh, iya, ya. Gue lupa. Padahal dia duduk sebangku sama gue." celetuk Naufal.
"Dasar pelupa." kata Indah. Naufal hanya tersenyum kecil.
"Reynaldi? Anak bawang?" tanya Dylan sambil duduk di sebelah Sofi.
"Iya. Baru masuk kemarin." kata Indah yang hanya mendapat respon 'oh' dari Dylan.
Indah terus memperhatikan Reynaldi. Merasa ada yang memperhatikan, Reynaldi menoleh ke orang yang sedang menatap dirinya dan Reynaldi mengerutkan dahinya ketika mengetahui siapa yang ada disana. Tiga orang yang satu kelas dengannya sementara satu nya lagi dia tidak tahu siapa. Dia menatap mereka persatu-satu hingga ketika melihat Indah, dia terus menatapnya. Indah pun sama menatap Reynaldi lekat-lekat. Ketiga temannya memperhatikan Indah.
"Ehem! Pandangan pertama nih." Sofi berpura-pura batuk. Indah kaget dari lamunannnya dan langsung mengalihkan pandangannya dari Reynaldi.
"Apaan sih." kata Indah.
Reynaldi terus menatap Indah dan langsung mengalihkan pandangannya. Indah hanya meminum es jeruknya dengan malas.
"Gue mau pulang. Lo bertiga kapan balik?"
"Lo mau kemana? Buru-buru banget." kata Naufal.
"Gue mau balik. Gue pengen beresin rumah gue, kasian mama."
"Oh, kita masih agak lama di sini. Gapapa lo pulang sendiri?” tanya Naufal
"Tenang aja. Gue bukan anak kecil lagi." Indah berjalan mengambil sepeda nya yang dipakirkan tadi.
"Gue pulang duluan ya. Bye!" Indah melambaikan tangannya. Sofi, Dylan dan Naufal membalas lambaian tangannya.
"Makasih udah nraktir gue."
"Hati-hati Ndah."
"Bye pelit!"
Indah pun mengendarai sepedanya dengan perlahan. Dia menikmati udara di pagi hari. Indah mengendarai sepedanya dengan santai. Tanpa dia sadari ada sepeda motor melewatinya dengan cepat. Indah terkejut dan hampir jatuh dari sepedanya.
"Heh bangsat lo! Ngebut di jalanan. Jatuh tau rasa lo!" teriak Indah kesal.
Si pengendara motor hanya menengok kebelakang hingga tanpa disadari oleh pengendaranya dia menabrak gerobak baso tahu. Posisi pengendara itu jatuh ke arah kiri. Indah langsung melotot dan berusaha menahan tawa. Namun, dia tidak dapat menahan tawanya.
"Hahaha! Rasain lo!" Indah menghampiri pengendara motor itu. Di balik helmnya dia menatap Indah dengan tatapan sebal.
"Aduh dagangan saya! Saya minta ganti rugi!" kata penjual baso tahu.
Si pengendara itu bangun dengan perlahan. Dia langsung berdiri di hadapan Indah yang masih diam di sana dengan sepedanya, "Gara-gara lo juga! Kalo lo ga sumpah serapah ke gue, gue ga bakalan nabrak nih tukang baso tahu!" kata si pengendara motor.
Indah mengangkat alisnya, "Heh, yang ada juga salah lo kali. Suruh siapa lo ngebut-ngebut di jalanan? Gara-gara lo juga gue hampir jatoh dari sepeda gue, kampret! Seenaknya lo ngomong!"
Cowok itu menggertakkan giginya.
"Apa? Lo ga bisa ngelawan lagi? Lo takut? Bego lo!" Indah menunjuk helm cowok itu.
"Sorry ya, gue bukan pengecut ga kayak lo banyak ngomongnya." cowok itu tertawa meledek.
"Yang ada juga lo yang pengecut! Ga buka helm lo buat natap mata gue langsung. Lo bukan pengecut kan? Buka tuh helm!"
Cowok itu pun akhirnya membuka helmnya perlahan. Indah pun langsung kembali mengangkat alisnya, "Loh?! Reynaldi?!"
"Iya, kenapa?" tanya Reynaldi dengan tatapan sinis.
"Gue kira siapa. Ya sudah." kata Indah berniat mengayuh kembali sepeda nya.
"Wow, wow, wow. Tunggu, tuan putri." kata Reynaldi menarik stang sepeda Indah.
"Apaan sih?" tanya Indah menepis tangan Reynaldi dari sepedanya..
"Pertama, lo udah sumpah serapah gue. Kedua, lo udah marah-marah dan nantang gue buka helm dan ketiga, setelah tau kalau ini gue lo langsung ninggalin gue gitu? "
"Ya terus gue harus apa?"
"Bego! Bantuin temen lo sendiri napa kecelakaan!"
"Emang kita temenan?" tanya Indah.
Reynaldi menahan emosinya. Dia pun sekarang berhadapan dengan tukang baso tahu, "Bang, saya harus ganti rugi berapa ya?" tanya Reynaldi sambil menahan stang sepeda Indah.
"Ade harus ganti rugi gerobak saya sama modal saya buat jualan saya. Saya minta 1 juta aja de." kata tukang baso tahu itu.
"Yakin bang cukup?"
"Yakin."
Reynaldi berpikir sejenak, "Aduh bang sebelumnya maaf ya bang saya ga sengaja, tapi saya ga bawa uang. Gimana nanti sore abang datang ke rumah saya aja? Nih saya kasih alamat rumah saya." Reynaldi mengeluarkan kertas dan pulpen dari saku jaketnya.
"Lo jangan kemana-mana." ancam Reynaldi ke Indah.
"Iye, iye."
Reynaldi menulis alamat rumahnya dan di berikan ke tukang baso tahu.
"Ini bener ga alamatnya?" tanya abang nya karena tidak percaya takut di kasih alamat palsu.
"Bener bang, sumpah. Nanti sekitar jam 3 sore aja. Saya udah ada di rumah."
Abang itu hanya mengangguk sambil membaca alamat yang di tulis di kertas tersebut dan kembali mengurus gerobaknya yang jatuh di bantu dengan Reynaldi, Indah dan warga yang berada di sekitar tempat tersebut.
Setelah itu Reynaldi mengangkat sepeda motor bebeknya, "Lo tau bengkel terdekat ga?" tanya Reynaldi ke Indah.
"Tuh di belokan sana ada." kata Indah.
Reynaldi langsung mendorong sepeda motor nya dengan kedua tangannya yang sakit sementara Indah menaiki sepedanya dan mengayuh nya perlahan menyesuaikan langkah Reynaldi sekarang. Tidak ada yang bicara, keduanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing – masing. Indah melihat Reynaldi yang menahan sakit, terlihat dari raut mukanya yang meringis.
"Bagian mana yang sakit?" Indah membuka pembicaraan.
"Hati gue sakit, seperti tersayat oleh silet." Reynaldi menjawab asal.
"Lebay lo! Gue serius nanyanya,"
"Nanti aja kalo udah di simpen ni motor ke bengkel, baru ngurusin luka gue,"
"Yang ada juga ngurusin luka dulu baru ngurusin motor,"
"Terus motor gue simpen dimana dengan motor gue dengan keadaan naas?"
"Lo bisa telepon mobil derek kan?"
"Terus gimana ngurus luka gue? Emang lo bawa P3K?"
"Engga, tapi kan gue bisa bawa lo kerumah gue. Rumah gue ‘kan ga jauh dari sini,"
Reynaldi menghentikan langkahnya sambil memegang sepeda motornya dan menatap Indah yang sedang mengayuh sepedanya perlahan. Spontan gadis itu berhenti dan menatap Reynaldi yang tidak melanjutkan langkahnya.
"Terserah lo," kata Reynaldi kalah. Indah hanya tertawa kecil.
"Dasar bego,"
Reynaldi mendengus sebal. Mereka pun sampai di tukang bengkel.
"Bang, tolong service ya. Tadi saya jatuh kayaknya ada yang rusak tapi gatau apanya yang rusak." kata Reynaldi.
"Ok siap de." kata abang tukang bengkel.
"Saya tinggal ya, nanti siang saya balik lagi" kata Reynaldi yang hanya mendapatkan anggukan dari abang tukang bengkel.
Reynaldi menghampiri Indah, "Bonceng gue." kata Reynaldi duduk di boncengan sepeda Indah. Indah hanya mendengus sebal dan langsung mengayuh sepedanya
"Woy gue belom siap!" Kata Reynaldi.
Tanpa mempedulikan ucapan Reynaldi, Indah mengayuh sepedanya dan tidak mengajak bicara Reynaldi karena sudah terlanjur kesal. Bahkan sesampainya di rumahnya ketika Indah membantu Reynaldi dalam mengobati lukanya, mereka sama sekali tidak bicara sepatah sedikit pun. Namun, setelah selesai mengobati luka Reynaldi, dia pamit dan berterimakasih pada Indah. Setelah berpamitan, Indah menuju kamarnya dan merebahkan tubuhnya ke kasur.
“Cowok bego.” gumamnya sambil melihat langit-langit kamarnya. Dia mengusap keningnya dan kembali bangun dari tidurnya, “Beres-beres rumah dulu deh, keburu mama pulang dari pasar.”
Indah pun memulai merapihkan rumahnya hingga Ana kembali ke rumah.
****
"Indah, bapak minta tolong sama kamu. Tolong bantu Reynaldi ya dalam hal belajar. Orang tuanya minta tolong ke sekolah kita biar Reynaldi bisa lulus di sekolah ini," ucap Bapak Taufik kepada Indah.
Setelah mendengar dari sang wali kelas di pagi hari, Indah merasakan tubuhnya seperti tersambar oleh sebuah petir. Dia tersenyum miring sambil berkata, “Kenapa harus saya, pak?”
“Kamu yang bapak percaya dibandingkan orang lain buat dampingin Reynaldi belajar, ditambah dengan prestasi kamu di kelas. Jadi, tolong ya,"
“Ya, pak.”
Indah keluar dari ruang guru dengan malas. Dia melihat jam tangan yang dia kenakan di tangan kirinya dan mendapati bahwa sebentar lagi bel sekolah akan berbunyi 5 menit lagi. Dengan bergegas dia pergi menuju kelasnya dan ketika sudah berada di pintu masuk kelas dia mendapati Reynaldi yang sedang tidur di dalam kelas. Indah menggelengkan kepalanya perlahan dan sejenak berpikir cara untuk membuat Reynaldi bekerja sama dengannya.
‘Beri aku kemudahan menghadapi si anak bawang ini.’
Reynaldi terdiam setelah Indah menjelaskan mengenai dia akan menjadi tutor pribadi untuknya. Indah yang melihat Reynaldi membeku langsung menjentikkan jarinya. Suara jentikan jari Indah cukup keras mengingat kondisi kelas yang sepi dan hanya mereka berdua yang masih betah di dalam sana.“Bangun, Rey,”Reynaldi mengedipkan matanya berkali-kali dan mengusap kepalanya, “Eh, maaf,”“Lo tuh kenapa? Kaget karena gue bakal jadi tutor lo atau karena lo lagi ngelamun?“Gue denger yang lo bilang dan cukup kaget juga,”Indah mengangkat alisnya bingung sambil memegang botol minuman miliknya, “Alasan lo kaget?”“Lo jadi tutor gue,”“Oh, oke,” Indah membuka botol minumnya lalu meneguk air minumnya. Dia masih tidak mengerti maksud dari ucapan Reynaldi. Reynaldi menggaruk kepalanya karena dia bingung kenapa dia memberi jawaban alasan dia kaget. Dia berusaha untuk mencairkan
Esok pagi, ketika Sofi menyadari bahwa Indah belum masuk sekolah, dia berpikir bahwa sesuatu terjadi padanya. Ketika dia mengirimkan pesan pada Indah menanyakan apa dia akan masuk atau tidak, gadis itu tidak membalasnya. Sofi berpikir mungkin dia akan menunggu hingga bel masuk berbunyi. Namun, ketika bel masuk berbunyi, Indah tidak muncul dan orang yang terakhir masuk ke dalam kelas hanya Reynaldi. Sofi mulai gelisah karena Indah sama sekali tidak ada kabar. Sofi mengambil ponselnya lalu mengirim pesan lagi ke Indah. Ketika dia mengirim pesan ke Indah, seorang guru masuk ke dalam kelas dan mereka memulai pelajaran pertama.Ketika jam pelajaran pertama selesai, Sofi memeriksa ponsel nya untuk memeriksa apa Indah sudah membalas pesannya atau tidak. Namun, tidak ada jawaban sama sekali. Gadis itu keluar kelas dan berdiri di sebelah pintu masuk kelas bermaksud untuk menelpon Indah. Dia mendekatkan ponselnya ke arah telinga kanannya dan dia mendengar suara dari ponsel tersebut.
Setelah dia selesai mengurusi barang-barang di kamarnya, Indah duduk di pinggiran kasur sambil menatap kamar barunya. Matanya sedang mengenali kondisi kamarnya mulai dari ukuran kamar yang tidak sama dengan ukuran kamarnya dulu, letak dimana dia menyimpan barang-barangnya di kamar seperti lemari, meja belajar, dan warna cat kamar yang berwarna kuning. Tak lupa posisi jendela kamar yang menghadap timur memperlihatkan kondisi langit yang perlahan berubah menjadi jingga hingga letak pintu kamar yang berada di sebelah kiri pojok kamarnya. Dia mengehela napas sambil bangun dari duduknya. Indah perlahan sambil berjalan menuju jendela kamarnya lalu berdiam di sana menatap kondisi di luar rumahnya. Dia melihat kondisi rumahnya yang cukup tenang di sore itu. Bagi Indah hal ini tidak familiar baginya mengingat bahwa lingkungan sekitar di rumahnya dulu para tetangga akan berdiam di luar dan menikmati udara di sore hari. Biasanya Indah selalu melihat tetangganya, Bapak Didi di depan rum
Indah mengacungkan jari tengah ke Reynaldi membuat dirinya bingung. Reynaldi mengangkat alisnya sambil memegang pensil di tangan kanannya. Indah menutup buku Reynaldi sambil menyimpannya di atas meja.“Bisa lo jelasin kenapa lo memberikan eskpresi itu ke gue?” tanya Reynaldi dan melihat Indah tersenyum mengerikan.“Ternyata bener ya, realita selalu mengalahkan ekspektasi. Ya, jujur aja sih gue ga nyangka aja ternyata lo pinter,” kata Indah sambil menunjuk buku tulis milik Reynaldi.“Ga juga sih, gue bodoh di pelajaran Matematika. Rumusnya sangat sulit seperti rumus kehidupan,”Indah sedikit tertawa mendengar ungkapan Reynaldi, “Tapi lo pintar dari bahasa dan sejarah. Curiga gue lo bakal jadi orang sastra pas lulus sekolah,”“Mungkin,”Indah berhenti sejenak ketika melihat Reynaldi yang merespon ucapannya dengan acuh. Entah kenapa Indah ingin mempertanyakan hal yang sudah lama dia in
Setelah saling membuka sebuah kisah diantara mereka berdua seminggu yang lalu, hubungan mereka menjadi lebih dekat. Baik Indah maupun Reynaldi, keduanya berteman dengan baik. Banyak dari teman-teman kelas mereka berpendapat bahwa Reynaldi menjadi berubah setelah dekat dengan Indah baik dalam kehadiran di kelas dan nilai pelajaran pun meningkat. Dan setelah melihat hal tersebut selama seminggu, mereka saling melempar gosip di dalam kelas.“Mereka pacaran?”“Oh ya? masa sih?”“Anjir gue dilangkahi,”“Pft, ga mungkin lah mereka pacaran. Orang Reynaldi juga ga suka sama cewek kayak Indah.”“PD lo. Emang dia bakal suka sama lo?”Perbicaraan itu terjadi di antara siswi-siswi di kelas. Mereka tiada hentinya mengosipkan hal tersebut. Bahkan mereka tidak sadar bahwa seseorang sedang mendengar mereka di kursi belakang yaitu Naufal. Dia mendengar obrolan para gadis yang masih membicarakan Reyn
Naufal berjalan meninggalkan Reynaldi dan Indah di kantin dengan rasa malu karena Reynaldi yang mengetahui perasaannya. Dan selama seminggu, dia menahan rasa cemburu dan berpikir buruk ke Reynaldi. Dia berpikir alasan mengapa Reynaldi dekat dengan Indah karena dia menyukai Indah. Dia termakan dengan gosipan dari Anggun dan teman-temannya. Naufal berjalan semakin cepat berusaha untuk bersembunyi di ruang OSIS.‘Anjir. Malu gue.’ pikir Naufal.Ketika dia akan memasuki ruang OSIS, Bagas berdiam diri di depan pintu ruang OSIS. Naufal bingung melihat Bagas yang hanya menghalangi pintu dan tidak masuk ke dalam sambil menatap dirinya sedang berjalan.Naufal menghampiri Bagas lalu bertanya padanya, “Anak-anak udah beres kerjain tugasnya?”“Gue serahin ke Anggun. Lama-lama gue bosen juga nunggu yang lain beres.” kata Bagas.“Sudah gue duga lo pasti ga akan mau lama-lama di kelas.” kata Naufal sambil m
“DASAR ROBOT PEKERJA!” Sofi teriak di hadapan Indah yang membuat dirinya menutup telinga.Sofi berusaha untuk membuka kedua telinga Indah dengan secara paksa namun dia kalah kekuatan dengan Indah. Indah masih menutup telinganya sambil memberikan ekspresi datar ke Sofi. Sofi berusaha untuk menenangkan diri karena kesal pada temannya. Dia mengambil napas lalu dia keluarkan secara perlahan. Dia sudah siap untuk mengomeli Indah.“Oke. Gue ga akan teriak. Asal lo denger ucapan gue. Bisa ‘kan?” tanya Sofi yang langsung mendapat balasan anggukkan dari Indah. Indah membuka telinganya.“Denger ya, Ndah. Kemarin, lo pingsan. Kalau gue jadi lo, lebih baik ga masuk aja dulu 2 hari buat istirahat. Masalah absen tinggal titip surat sakit ke temen kelas. Gue pasti bakal istirahatin tubuh gue dibandingkan harus memaksakan diri sampai pingsan kek lo. Ngerti ga maksud gue?” kata Sofi.Indah melihat Sofi tanpa memperlihatkan e
Indah berusaha menghilangkan getaran di kedua tangannya dengan mengepalnya kuat-kuat. Dia berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa takut yang ada di hatinya ketika melihat Michael di hadapannya. Dengan menghembuskan napas panjang, dia menurunkan bahunya perlahan. Indah memberikan senyuman ke Michael, meskipun dia tidak ingin melakukannya. Michael menatap Indah sambil memperlihatkan senyuman kecil. Dia bangun dari duduknya dan mempersilahkan Indah untuk duduk di hadapannya.“Have a seat, Indah. I need to talk to you,”Dengan melangkahkan kakinya yang terasa berat, Indah mendekati kursi dan langsung duduk. Dia merapihkan bajunya agar tidak kusut ketika duduk. Dia menyimpan kedua tangannya di atas paha dan langsung menatap Michael dengan tatapan benci pada Indah. Michael yang menyadarinya berusaha untuk menenangkan Indah.“I know it’s weird. But, I—““Tahu dari mana gue kerja disini?”&
“Indah, nyontek MTK dong,”Indah mengerjapkan matanya berkali-kali setelah mendengar permintaan Reyaldi yang tak terduga. Dia masih menatap keheranan ke Reynaldi hingga membuat sosok yang di tatap ikut kebingungan dengan Indah.“Lo pura-pura tuli atau gimana sih?”“Ya gimana gue ga heran secara lo tuh ga pernah bolos ngerjain PR,”“Kali-kali malas, ga salah kan,” ucapnya sambil menunggu Indah memberikan buku cacatan miliknya padanya.Indah langsung memberikan buku catatannya dan di terima dengan baik oleh Reynaldi, “Sesekali gue juga mau nyontek dong ke lo,”“Ngapain? Lo udah cukup pintar ngapain capek-capek nyatet jawaban yang salah dari buku orang?”Indah tersenyum, lebih tepatnya tersenyum menyindir, “Ngaca!”Reynaldi mengacuhkan Indah dan langsung kembali ke meja miliknya, lalu langsung mencatat ulang di bukunya. Indah menatap dari kejauhan
“Lepasin gue!” Naufal berusaha lepas dari rangkulan Bagas. “Jangan merusak momen dong,” ucap Bagas. “Momen maksud lo?! Tuh orang berani amat meluk Indah, di tambah di buat nangis lagi!” “Jangan main nyamperin, kita aja ga tahu menahu mereka lagi ngobrol apaan,” Naufal melepas rangkulan Bagas kesal, menatap Michael dan Indah dari jarak yang memang cukup jauh dan mustahil mendengar obrolan mereka. Sebuah kebetulan bagi Naufal bertemu dengan mereka di sini, karena baik dirinya maupun Bagas tidak pernah membuat rencana untuk mengikuti Indah. Terlebih Bagas yang sama sekali tidak tahu mengenai Michael dan Indah. “Kenapa lo mau-maunya sih ngobrol lagi sama Mike, Indah? Gue ga ngerti sama dia!” Bagas tidak peduli dengan ocehan Naufal sambil memakan es krim yang hampir meleleh, “Ya udah sih, emang ada yang harus di obrolin kali. Ga mungkin lah Michael bersikukuh tanpa ada alasan buat ketemu Indah,” ujarnya yang masih melanjutkan memakan es kri
Setelah berpamitan dengan Sofi, Indah langsung pulang ke rumah. setibanya di rumah, Indah menghampiri Ibunya yang baru saja tiba juga di rumah dan menceritakan kejadian yang terjadi antara dirinya dan Ayahnya. Ana yang mendengar cerita dari Anaknya, terkejut dengan memberikan tatapan tidak percaya.“Kamu ga apa-apa ‘kan pas ketemu Papa kamu?” tanya Ana sambil memperhatikan apakah anaknya mendapat pukulan baru di bagian tubuhnya,“Ga, Ma, untungnya. Hampir sih, tapi untungnya ada Naufal jadi Papa ga ngelakuin aneh-aneh,” jawab Indah.Ana menghela napas lega, “Syukurlah, Mama udah takut kamu di apa-apain lagi sama Papa kamu,”“Ga, Ma...,” Indah tersenyum kecil ke Ana, “Tenang aja,” lanjutnya.“Ya sudah, Mama mau ganti baju, terus masak buat makan malam,” ucap Ana.“Iya,”Indah pun masuk ke dalam kamar dan membuka baju seragam sekolahnya. Ketika dia
Keduanya sedang menatap langit biru cerah itu, tak lupa awan putih yang menghiasi sang langit. Angin berhembus pelan mengurangi rasa panas ketika mereka berada di balkon sekolah. Setelah mengakhiri makan siang, Reynaldi dan Indah langsung pergi ke atas tanpa di ketahui oleh siapapun. Keduanya sudah berencana dari awal untuk pergi ke atas dan membicarakan kisah mereka kemarin. Namun, hingga sekarang tidak ada yang memulai bercerita. Mungkin karena mereka masih ingin menikmati pemandangan yang berada di hadapan mereka sekarang.Indah menutup matanya perlahan sambil mengambil napas dalam. Dia mendengar suara angin yang melewatinya. Dia merasa waktu berdetak pelan. Reynaldi yang sebelumnya menatap kosong ke langit, perlahan kejadian yang terjadi kemarin terekam kembali di benaknya. Dia mengingat ketika Ayah nya kembali dari koma panjangnya, kedua saudaranya yang akhirnya dapat dia temui kembali, dan Ibu nya yang masih memasang topeng di hadapan sang Ayah. Kekhawatiran Reynaldi se
Reynaldi melangkahkan kakinya ke dalam rumah sakit. Langkahnya tergesa-gesa bahkan hampir menabrak suster yang melewati dirinya. Dia terus melangkahkan kaki hingga berada di pintu lift. Dia menunggu sejenak hingga akhirnya pintu lift terbuka. Reynaldi mempersilahkan para orang-orang yang berada di dalam lift untuk keluar lebih awal. Setelah memastikan semuanya sudah keluar, Reynaldi masuk ke dalam dan memencet tombol nomor 5.Setelah melewati dua lantai, Reynaldi tiba di lantai 5. Dia keluar dari lift dan langsung pergi ke ruangan ayahnya. Setelah sampai dia langsung membuka pintu dengan senang.“Pa,—“ langkah Reynaldi terhenti. Tangannya masih memegang gagang pintu. Matanya membulat, terkejut karena melihat apa yang ada di hadapannya. Bukan karena ayahnya yang sudah membuka mata meskipun masih menggunakan alat pernapasan saja, melainkan menatap ibunya yang duduk di sampingnya.“Aldi udah di sini, Pa.” kata Anisa sambil tersenyum ke
“Lo tahu siapa cewek di sebelahnya?” tanya Naufal.“Itu adiknya. Dara namanya.” kata Indah sambil berjalan mendekati meja Michael dan adiknya bernama Dara.“Lo yakin, Ndah?” tanya Naufal sambil mengikuti Indah.“Lebih baik diladenin sekarang daripada ganggu gue terus.” kata Indah.Naufal pun hanya dapat terdiam sambil mengikuti Indah. Akhirnya kedua nya duduk di hadapan Michael dan Dara. Sambil tersenyum, Michael mengulurkan tangannya ke Naufal.“Hai, Naufal. Lama tak jumpa.” kata Michael.Ketika itu, Naufal hanya menepis tangan Michael sambil memperlihatkan tatapan dingin ke arahnya, “Ga usah sok akrab lo. Temenan aja ga.” kata Naufal sambil melipat kedua tangannya di bawah dadanya. Dia duduk dengan posisi bersandar ke kursi.Indah menyimpan kedua tangannya di atas pahanya, bermaksud untuk menutupi getaran di tangannya. ‘Semoga Naufal ga sadar.’
Indah berusaha menghilangkan getaran di kedua tangannya dengan mengepalnya kuat-kuat. Dia berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa takut yang ada di hatinya ketika melihat Michael di hadapannya. Dengan menghembuskan napas panjang, dia menurunkan bahunya perlahan. Indah memberikan senyuman ke Michael, meskipun dia tidak ingin melakukannya. Michael menatap Indah sambil memperlihatkan senyuman kecil. Dia bangun dari duduknya dan mempersilahkan Indah untuk duduk di hadapannya.“Have a seat, Indah. I need to talk to you,”Dengan melangkahkan kakinya yang terasa berat, Indah mendekati kursi dan langsung duduk. Dia merapihkan bajunya agar tidak kusut ketika duduk. Dia menyimpan kedua tangannya di atas paha dan langsung menatap Michael dengan tatapan benci pada Indah. Michael yang menyadarinya berusaha untuk menenangkan Indah.“I know it’s weird. But, I—““Tahu dari mana gue kerja disini?”&
“DASAR ROBOT PEKERJA!” Sofi teriak di hadapan Indah yang membuat dirinya menutup telinga.Sofi berusaha untuk membuka kedua telinga Indah dengan secara paksa namun dia kalah kekuatan dengan Indah. Indah masih menutup telinganya sambil memberikan ekspresi datar ke Sofi. Sofi berusaha untuk menenangkan diri karena kesal pada temannya. Dia mengambil napas lalu dia keluarkan secara perlahan. Dia sudah siap untuk mengomeli Indah.“Oke. Gue ga akan teriak. Asal lo denger ucapan gue. Bisa ‘kan?” tanya Sofi yang langsung mendapat balasan anggukkan dari Indah. Indah membuka telinganya.“Denger ya, Ndah. Kemarin, lo pingsan. Kalau gue jadi lo, lebih baik ga masuk aja dulu 2 hari buat istirahat. Masalah absen tinggal titip surat sakit ke temen kelas. Gue pasti bakal istirahatin tubuh gue dibandingkan harus memaksakan diri sampai pingsan kek lo. Ngerti ga maksud gue?” kata Sofi.Indah melihat Sofi tanpa memperlihatkan e
Naufal berjalan meninggalkan Reynaldi dan Indah di kantin dengan rasa malu karena Reynaldi yang mengetahui perasaannya. Dan selama seminggu, dia menahan rasa cemburu dan berpikir buruk ke Reynaldi. Dia berpikir alasan mengapa Reynaldi dekat dengan Indah karena dia menyukai Indah. Dia termakan dengan gosipan dari Anggun dan teman-temannya. Naufal berjalan semakin cepat berusaha untuk bersembunyi di ruang OSIS.‘Anjir. Malu gue.’ pikir Naufal.Ketika dia akan memasuki ruang OSIS, Bagas berdiam diri di depan pintu ruang OSIS. Naufal bingung melihat Bagas yang hanya menghalangi pintu dan tidak masuk ke dalam sambil menatap dirinya sedang berjalan.Naufal menghampiri Bagas lalu bertanya padanya, “Anak-anak udah beres kerjain tugasnya?”“Gue serahin ke Anggun. Lama-lama gue bosen juga nunggu yang lain beres.” kata Bagas.“Sudah gue duga lo pasti ga akan mau lama-lama di kelas.” kata Naufal sambil m