Beranda / Lain / Behind The Smile / 7. Sebuah Kisah

Share

7. Sebuah Kisah

Penulis: Giuliani
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Indah mengacungkan jari tengah ke Reynaldi membuat dirinya bingung. Reynaldi mengangkat alisnya sambil memegang pensil di tangan kanannya. Indah menutup buku Reynaldi sambil menyimpannya di atas meja.

“Bisa lo jelasin kenapa lo memberikan eskpresi itu ke gue?” tanya Reynaldi dan melihat Indah tersenyum mengerikan.

“Ternyata bener ya, realita selalu mengalahkan ekspektasi. Ya, jujur aja sih gue ga nyangka aja ternyata lo pinter,” kata Indah sambil menunjuk buku tulis milik Reynaldi.

“Ga juga sih, gue bodoh di pelajaran Matematika. Rumusnya sangat sulit seperti rumus kehidupan,”

Indah sedikit tertawa mendengar ungkapan Reynaldi, “Tapi lo pintar dari bahasa dan sejarah. Curiga gue lo bakal jadi orang sastra pas lulus sekolah,”

“Mungkin,”

Indah berhenti sejenak ketika melihat Reynaldi yang merespon ucapannya dengan acuh. Entah kenapa Indah ingin mempertanyakan hal yang sudah lama dia ingin dia ucapkan ke Reynaldi.

“Kalau boleh tahu, lo kenapa pindah ke sekolah gue?”

“Gue muak sama sekolah yang dulu,”

“Karena?”

“Ya, males aja. Lingkungannya, pertemanannya, meskipun mereka memiliki guru yang memiliki gelar terbaik pun, tetap saja mereka ga bisa bikin gue nyaman, sih,” kata Reynaldi sambil mengangkat bahunya acuh.

“Oh. Gue harap lo ga keluar mengingat kita kelas 3 jadi mustahil lo bakal keluar lagi,”

“Ga kok. Gue bakal tamatin sekolah. Ga usah khawatir,”

“Bagus deh. Jadi, keknya gue ajarin matematika aja ya? Lo sendiri ‘kan yang bilang lo bodoh di matematika,”

“Boleh,” kata Reynaldi sambil tersenyum miring. Dia melihat sekitar rumah Indah yang sederhana. Hal yang membuat dia bingung adalah dia tidak menemukan foto keluarga terpajang di ruang tamu maupun foto kedua orang tua Indah. Reynaldi sedikit terganggu akan hal itu dan berpikir apakah lebih baik dia bertanya atau tidak.

“Kenapa,  Rey?” pertanyaan Indah membuat Reynaldi sedikit terkejut. Dia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

“Ga, gapapa,”

“Kenapa? Lo kek bingung ngeliat kondisi rumah gue,”

“Orang tua lo dua-duanya kerja?” Reynaldi secara spontan bertanya. Indah ber-‘oh’ ria sebelum menjawab pertanyaan Reynaldi.

“Lo bingung karena disini sepi kek ga ada tanda-tanda kehidupan, gitu?”

“Ya, ga juga sih. Cuman yang gue bikin gue bingung.. em...,” Reynaldi berdeham lalu mengambil gelas berisikan air minum dan meminumnya.

“Ga ada foto keluarga, gitu?” tanya Indah yang membuat Reynaldi hampir tersedak karena minumannya sendiri.

“Lebay lo. Gue dari tadi juga liat mata lo tuh lagi mencari sesuatu di dinding rumah. Padahal cuman asal nanya tapi reaksi lo membuktikan bahwa lo mau nanya itu ke gue,”

“Habis gue bingung juga mau nanya itu ke lo. Takutnya lo ga enak aja ditanya kek gitu.”

Indah tersenyum kecil mendengar perkataan Reynaldi, “Intinya, orang tua gue udah cerai. Nyokap gue bakar semua foto pernikahannya dulu dan dari sebelum cerai, kita ga pernah foto keluarga untungnya,”

“Oh, maaf,” kata Reynaldi dan mulai bersalah.

Ck, apaan sih? Minta maaf segala. Santuy sama gue mah. Lo gausah merasa bersalah karena udah nanya kayak gitu. Wajar aja kalau lo penasaran,”

“Iya deh,”

Indah menutup bukunya dan bangun dari duduknya. Dia memberikan isyarat ke Reynaldi untuk mengikutinya. Reynaldi ikut bangun dan mengikuti Indah. Dia terus mengikuti Indah hingga ke lantai 2 dan berjalan menuju balkon. Setelah keduanya di balkon, Indah menutup pintu masuk ke dalam lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya tidak lupa dengan pemantik apinya. Dia mengeluarkan sebatang rokok dari dalam bungkus itu lalu menyodorkan bungkus rokok itu ke Reynaldi.

“Gue kira lo ga ngerokok,” kata Reynaldi sambil menerima bungkusan rokok itu. Dia mengambil sebatang rokok lalu dikembalikan ke Indah.

Dia menunggu Indah menyalakan rokok miliknya setelah itu Reynaldi meminjam pemantik Indah. Keduanya menghisap rokok tersebut hingga terasa panas di tenggorokkan mereka lalu di keluarkan kembali. Keduanya saling bertatapan dan saling melempar senyum tipis.

Keduanya melihat langit sore yang tak lama lagi akan berubah menjadi gelap. Indah menghisap rokoknya sambil melihat sekitar komplek yang sangat sepi itu. Reynaldi menghisap rokoknya lalu mengeluarkannya kembali. Dia melihat Indah  yang sedang melakukan hal yang sama seperti dirinya. Indah yang merasa diperhatikan melihat balik Reynaldi dengan tatapan bertanya. Reynaldi menggelengkan kepalanya.

“Sesuai dengan yang lo bilang, ekspektasi mengalahkan realita. Gue kira lo bukan cewek perokok,” kata Reynaldi.

“Hoo.., Jadi lo kira gue cewek baik-baik, gitu?” tanya Indah.

“Ga juga sih,”

“Terus?”

“Ya—gimana ya susah juga jelasinnya. Lagian juga belum kenal sama lo lama, jadi bingung juga mau nilai lo cewek baik atau bukan,”

Indah tersenyum kecil sambil menghisap rokoknya. Dia mengeluarkan asap itu perlahan, “Lo, baik-baik aja ‘kan?”

“Ha?”

“Gue agak bingung juga sih mau nanya gini, cuman gue juga penasaran. Lo itu keliatan sebenarnya orang yang rajin dan pintar, tapi lo bertingkah seolah-olah lo pemalas dan bodoh. Tidak lupa ketika awal-awal masuk sekolah lo mabal terus. Dan gue aneh juga sih kenapa Pa Taufik nyuruh buat bantu belajar lo pertamanya karena ga masuk akal. Ngapain juga, gitu,”

“Ya kalau lo gamau, kenapa ga di tolak dari awal?”

“Karena gue penasaran sama lo, makanya gue terima,” kata Indah sambil melihat Reynaldi yang sedang menatapnya juga.

“Dan lagi gue nyadar kalau setiap di sekolah, lo merhatiin gue. Seperti ingin mengetahui sesuatu namun karena kita ga deket, jadi lo ga berani nanya,” kata Indah membuat Reynaldi membuka matanya lebar-lebar.

“Ternyata, lo orangnya peka juga. Cih, gue merasa malu,” Reynaldi menyimpan rokok miliknya di atas asbak yang disimpan di atas meja kecil yang berhadapan dengannya dan Indah. Dia pun akhirnya memilih untuk duduk di kursi.

“Intinya, meskipun keluarga gue lengkap, bukan berarti gue sedang menikmati masa keluarga bahagia. Mungkin ketika gue, kakak gue dan adik gue masih bocah yang ga ngerti apa-apa menganggap semuanya baik-baik aja. Semakin dewasa, kita bertiga saling menyadari bahwa keluarga kita tidak baik-baik saja,” kata Reynaldi menatap langit sambil memutar kembali memori di dalam otaknya. Matanya seperti sedang memperlihatkan kisahnya bagi Indah secara tidak langsung.

“Nyokap gue selama ini selalu mencari anak muda, ya gatel sama brondong lah intinya. Mau bilang kesalahan nyokap gue juga ga bisa juga, karena bokap gue yang gila kerja. Terlebih beliau adalah pemimpin perusahaan jadi kadang kalanya waktu bersama keluarga agak sulit. Jadi, ga heran sih nyokap gue kayak gitu. Cuman, ya permasalahannya sekarang mereka berdua tuh punya tiga anak, loh. Kenapa mereka lebih mementingkan kepuasan diri dibandingkan melihat ketiga anaknya yang menderita karena melihat kelakuan orangtuanya yang seperti itu?” Reynaldi tertawa kecil sambil mengambil rokoknya.

“Kakak gue, Raihan pergi keluar negeri buat lanjutin studi kuliah disana. Adik gue, Rendi menghabiskan waktunya di dunia malam. Gue, sebagai anak tengah cuman bisa berpikir cara untuk bertahan diri di keluarga besar Saputro,” Reynaldi menghisap rokoknya kembali sebelum melanjutkan bercerita.

“1 tahun lalu, lebih tepatnya waktu gue masih kelas 2 SMA, bokap gue mengalami kecelakaan mobil berat. Dia masih koma hingga sekarang dan gue pikir mungkin Tuhan menyuruh beliau untuk beristirahat. Selama bokap gue koma, nyokap gue semakin menjadi dan terus melakukan hal itu, dengan tidak peduli bagaimana keadaan anak-anaknya,” Reynaldi menatap Indah dengan tatapan datar.

“Jadi, sekarang lo tahu ‘kan keadaan gue sekarang?”

Indah menganggukkan kepalanya pertanda dia mengerti. Dia sedikit terkejut karena tidak menyangka bahwa Reynaldi akan menceritakan kisah keluarganya padanya begitu santai. Mengingat bahwa dia belum terlalu dekat dengan Reynaldi membuat dia sedikit canggung.

“Wow. Gue ga nyangka pertanyaan gue jadi merembet kemana-mana,”

“Lo juga terang-terangan ke gue tadi mengenai keluarga lo. Lo sendiri juga bilang kalau gue harus bersikap santuy ke lo,”

“Iya, sih,” Indah tertawa kecil mendengar ucapan Reynaldi, “Tapi, gue ga se-detail lo ketika gue cerita,”

“Ga masalah, kok. Gue ga akan minta lo ceritain kisah hidup lo secara detail. Simpen aja cerita terdalam lo,”

Indah menatap Reynaldi dengan tatapan terheran-heran. Dia menggelengkan kepalanya sambil duduk berhadapan dengan Reynaldi, “Berhati-hatilah dalam menceritakan kisah lo. Ga semua orang bisa menerima kisah lo begitu saja,”

“Dan gue percaya ke lo sebagai teman curhat,”

“Meskipun kita baru kenal? Lo ga canggung emang?”

Reynaldi menggelengkan kepala, “Baik gue dan lo memiliki kisah yang berbeda dan rasa sakit yang berbeda. Dan gue juga yakin lo ga bakal cerita ini kesiapapun. Lo tipe orang yang ahli menutup rahasia sekaligus orang yang malas menceritakan suatu hal,”

“Cih! Dasar orang pintar. Bisa nebak kepribadian lagi,” Indah terkekeh sambil menyimpan rokoknya di atas asbak. Dia menopang dagu di atas meja itu.

“Memang benar, setiap orang memiliki urusan sendiri dan kisah yang berbeda baik maupun buruk. Merasakan emosi yang berbeda-beda tergantung dari kondisi yang terjadi. Lo dan gue memiliki kisah buruk dan rasa sakit dengan level berbeda. Dan gue yakin kita dipertemukan bukan sekedar kebetulan,” kata Indah.

“Tentu saja. Kita tidak akan mungkin bertemu jika tidak ada sebuah alasan.” kata Reynaldi menyetujui perkataan Indah.

Keduanya saling bertatapan dengan penuh tanya. Di dalam benak mereka begitu banyak prasangka dan pertanyaan. Ingin sekali mereka melanjutkan pembicaraan mereka yang terdengar seperti antara teman yang sudah cukup lama kenal. Namun, mereka menyimpan semuanya dan akan menanyakannya di saat yang tepat.

****

Waktu menunjukkan jam 7 malam. Reynaldi baru saja tiba di rumahnya. Seharusnya, dia sudah pulang setelah mereka mengobrol. Namun, Ana pulang ke rumah dan dia mengajak Reynaldi untuk makan malam bersama. Entah mengapa, Reynaldi merasa sedih ketika dia sedang makan malam bersama Indah dan Ana.

‘Mungkin karena udah lama jarang makan malam bersama lagi. Cih!’

Reynaldi masuk ke dalam rumahnya dan ketika dia masuk, sayup-sayup dia mendengar dua orang sedang berbicara. Dia mendekati sumber suara hingga melihat ibunya yang sedang bermanja-manja dengan seorang pria yang Reynaldi tidak kenal. Reynaldi menggertakan gigi dan berjalan sambil berteriak dengan keras.

“KALAU MAU BERBUAT MESUM MENDING PERGI KE LOVE HOTEL AJA SEKALIAN GA USAH DI RUMAH INI!”

Ibu Reynaldi, Anisa tersentak begitu pula dengan pria tersebut. Anisa merasakan jantungnya hampir keluar dari tubuhnya. Dia melihat wajah Reynaldi memerah. Anisa dengan gugup merespon Reynaldi.

“Eh, Aldi. Udah pulang anak mama,”

“Berisik.” Reynaldi menatap tajam pria tersebut. 

“Kalau ‘burung’ lo mau selamat, keluar dari sini,”

“Aldi, ga boleh gitu. Ini tamu—“

“Mama juga keluar dari sini. Sana nginep di hotel. Bareng tuh sama dia sekalian juga ga masalah. Besoknya, barang-barang mama di luar semua,”

“Ga sopan kamu ke mama! Mama yang udah ngelahirin kamu, ngasih makan, ngurusin popok kamu, dan ngajarin kamu jalan sampai bisa jalan sendiri! Dosa kamu!”

“Keluar,” Reynaldi memegang kepalanya yang terasa berat.

“Aldi—“

“KELUAR!” Reynaldi menghancurkan sebuah pot bunga membuat Anisa dan pria itu terbangun dari duduknya.

“BAIK! MAMA KELUAR! MAMA GA AKAN BALIK LAGI KE SINI! BESOK MAMA BAWA BARANG-BARANG MAMA TERUS PERGI DARI SINI! AYO, PERGI!”

Anisa dan pria itu pun keluar dari rumah. Ketika mereka keluar, Reynaldi berteriak meluapkan emosinya hingga menghasilkan gema. Sesaat Reynaldi teriak, seseorang menghampirinya dan berusaha untuk menenangkan Reynaldi.

“Aduh, De Aldi. Udah, udah. Ini salah Bi Iyem juga malah di buka pintunya," kata Bi Iyem.

Reynaldi melihat ke Bi Iyem sambil menggelengkan kepalanya, “Udahlah bi. Udah kejadian ini. Lagipula, mama bisa tetep masuk meskipun Bi Iyem ga buka pintu,"

“Aduh, maaf ya. Aduh, yang sabar ya. Bibi ga bisa bantu De Aldi,  maaf ya,”

“Udah, bi. Gapapa. Sekarang Aldi mau langsung istirahat ya. Jangan lupa kunci pintu rapat-rapat,”

Setelah berpamitan dengan Bi Iyem, Reynaldi pergi ke kamarnya. Setelah melepaskan seragam sekolahnya dia langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Dia menenggelamkan wajahnya ke bantal dan di balik bantal itu, Reynaldi menitikkan air mata.

Bab terkait

  • Behind The Smile    8. Kasmaran

    Setelah saling membuka sebuah kisah diantara mereka berdua seminggu yang lalu, hubungan mereka menjadi lebih dekat. Baik Indah maupun Reynaldi, keduanya berteman dengan baik. Banyak dari teman-teman kelas mereka berpendapat bahwa Reynaldi menjadi berubah setelah dekat dengan Indah baik dalam kehadiran di kelas dan nilai pelajaran pun meningkat. Dan setelah melihat hal tersebut selama seminggu, mereka saling melempar gosip di dalam kelas.“Mereka pacaran?”“Oh ya? masa sih?”“Anjir gue dilangkahi,”“Pft, ga mungkin lah mereka pacaran. Orang Reynaldi juga ga suka sama cewek kayak Indah.”“PD lo. Emang dia bakal suka sama lo?”Perbicaraan itu terjadi di antara siswi-siswi di kelas. Mereka tiada hentinya mengosipkan hal tersebut. Bahkan mereka tidak sadar bahwa seseorang sedang mendengar mereka di kursi belakang yaitu Naufal. Dia mendengar obrolan para gadis yang masih membicarakan Reyn

  • Behind The Smile    9. Naufal Radinka

    Naufal berjalan meninggalkan Reynaldi dan Indah di kantin dengan rasa malu karena Reynaldi yang mengetahui perasaannya. Dan selama seminggu, dia menahan rasa cemburu dan berpikir buruk ke Reynaldi. Dia berpikir alasan mengapa Reynaldi dekat dengan Indah karena dia menyukai Indah. Dia termakan dengan gosipan dari Anggun dan teman-temannya. Naufal berjalan semakin cepat berusaha untuk bersembunyi di ruang OSIS.‘Anjir. Malu gue.’ pikir Naufal.Ketika dia akan memasuki ruang OSIS, Bagas berdiam diri di depan pintu ruang OSIS. Naufal bingung melihat Bagas yang hanya menghalangi pintu dan tidak masuk ke dalam sambil menatap dirinya sedang berjalan.Naufal menghampiri Bagas lalu bertanya padanya, “Anak-anak udah beres kerjain tugasnya?”“Gue serahin ke Anggun. Lama-lama gue bosen juga nunggu yang lain beres.” kata Bagas.“Sudah gue duga lo pasti ga akan mau lama-lama di kelas.” kata Naufal sambil m

  • Behind The Smile    10. Mantan

    “DASAR ROBOT PEKERJA!” Sofi teriak di hadapan Indah yang membuat dirinya menutup telinga.Sofi berusaha untuk membuka kedua telinga Indah dengan secara paksa namun dia kalah kekuatan dengan Indah. Indah masih menutup telinganya sambil memberikan ekspresi datar ke Sofi. Sofi berusaha untuk menenangkan diri karena kesal pada temannya. Dia mengambil napas lalu dia keluarkan secara perlahan. Dia sudah siap untuk mengomeli Indah.“Oke. Gue ga akan teriak. Asal lo denger ucapan gue. Bisa ‘kan?” tanya Sofi yang langsung mendapat balasan anggukkan dari Indah. Indah membuka telinganya.“Denger ya, Ndah. Kemarin, lo pingsan. Kalau gue jadi lo, lebih baik ga masuk aja dulu 2 hari buat istirahat. Masalah absen tinggal titip surat sakit ke temen kelas. Gue pasti bakal istirahatin tubuh gue dibandingkan harus memaksakan diri sampai pingsan kek lo. Ngerti ga maksud gue?” kata Sofi.Indah melihat Sofi tanpa memperlihatkan e

  • Behind The Smile    11. Trauma

    Indah berusaha menghilangkan getaran di kedua tangannya dengan mengepalnya kuat-kuat. Dia berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa takut yang ada di hatinya ketika melihat Michael di hadapannya. Dengan menghembuskan napas panjang, dia menurunkan bahunya perlahan. Indah memberikan senyuman ke Michael, meskipun dia tidak ingin melakukannya. Michael menatap Indah sambil memperlihatkan senyuman kecil. Dia bangun dari duduknya dan mempersilahkan Indah untuk duduk di hadapannya.“Have a seat, Indah. I need to talk to you,”Dengan melangkahkan kakinya yang terasa berat, Indah mendekati kursi dan langsung duduk. Dia merapihkan bajunya agar tidak kusut ketika duduk. Dia menyimpan kedua tangannya di atas paha dan langsung menatap Michael dengan tatapan benci pada Indah. Michael yang menyadarinya berusaha untuk menenangkan Indah.“I know it’s weird. But, I—““Tahu dari mana gue kerja disini?”&

  • Behind The Smile    12. Bongkar

    “Lo tahu siapa cewek di sebelahnya?” tanya Naufal.“Itu adiknya. Dara namanya.” kata Indah sambil berjalan mendekati meja Michael dan adiknya bernama Dara.“Lo yakin, Ndah?” tanya Naufal sambil mengikuti Indah.“Lebih baik diladenin sekarang daripada ganggu gue terus.” kata Indah.Naufal pun hanya dapat terdiam sambil mengikuti Indah. Akhirnya kedua nya duduk di hadapan Michael dan Dara. Sambil tersenyum, Michael mengulurkan tangannya ke Naufal.“Hai, Naufal. Lama tak jumpa.” kata Michael.Ketika itu, Naufal hanya menepis tangan Michael sambil memperlihatkan tatapan dingin ke arahnya, “Ga usah sok akrab lo. Temenan aja ga.” kata Naufal sambil melipat kedua tangannya di bawah dadanya. Dia duduk dengan posisi bersandar ke kursi.Indah menyimpan kedua tangannya di atas pahanya, bermaksud untuk menutupi getaran di tangannya. ‘Semoga Naufal ga sadar.’

  • Behind The Smile    13. Topeng

    Reynaldi melangkahkan kakinya ke dalam rumah sakit. Langkahnya tergesa-gesa bahkan hampir menabrak suster yang melewati dirinya. Dia terus melangkahkan kaki hingga berada di pintu lift. Dia menunggu sejenak hingga akhirnya pintu lift terbuka. Reynaldi mempersilahkan para orang-orang yang berada di dalam lift untuk keluar lebih awal. Setelah memastikan semuanya sudah keluar, Reynaldi masuk ke dalam dan memencet tombol nomor 5.Setelah melewati dua lantai, Reynaldi tiba di lantai 5. Dia keluar dari lift dan langsung pergi ke ruangan ayahnya. Setelah sampai dia langsung membuka pintu dengan senang.“Pa,—“ langkah Reynaldi terhenti. Tangannya masih memegang gagang pintu. Matanya membulat, terkejut karena melihat apa yang ada di hadapannya. Bukan karena ayahnya yang sudah membuka mata meskipun masih menggunakan alat pernapasan saja, melainkan menatap ibunya yang duduk di sampingnya.“Aldi udah di sini, Pa.” kata Anisa sambil tersenyum ke

  • Behind The Smile    14. Ancaman

    Keduanya sedang menatap langit biru cerah itu, tak lupa awan putih yang menghiasi sang langit. Angin berhembus pelan mengurangi rasa panas ketika mereka berada di balkon sekolah. Setelah mengakhiri makan siang, Reynaldi dan Indah langsung pergi ke atas tanpa di ketahui oleh siapapun. Keduanya sudah berencana dari awal untuk pergi ke atas dan membicarakan kisah mereka kemarin. Namun, hingga sekarang tidak ada yang memulai bercerita. Mungkin karena mereka masih ingin menikmati pemandangan yang berada di hadapan mereka sekarang.Indah menutup matanya perlahan sambil mengambil napas dalam. Dia mendengar suara angin yang melewatinya. Dia merasa waktu berdetak pelan. Reynaldi yang sebelumnya menatap kosong ke langit, perlahan kejadian yang terjadi kemarin terekam kembali di benaknya. Dia mengingat ketika Ayah nya kembali dari koma panjangnya, kedua saudaranya yang akhirnya dapat dia temui kembali, dan Ibu nya yang masih memasang topeng di hadapan sang Ayah. Kekhawatiran Reynaldi se

  • Behind The Smile    15. Takut

    Setelah berpamitan dengan Sofi, Indah langsung pulang ke rumah. setibanya di rumah, Indah menghampiri Ibunya yang baru saja tiba juga di rumah dan menceritakan kejadian yang terjadi antara dirinya dan Ayahnya. Ana yang mendengar cerita dari Anaknya, terkejut dengan memberikan tatapan tidak percaya.“Kamu ga apa-apa ‘kan pas ketemu Papa kamu?” tanya Ana sambil memperhatikan apakah anaknya mendapat pukulan baru di bagian tubuhnya,“Ga, Ma, untungnya. Hampir sih, tapi untungnya ada Naufal jadi Papa ga ngelakuin aneh-aneh,” jawab Indah.Ana menghela napas lega, “Syukurlah, Mama udah takut kamu di apa-apain lagi sama Papa kamu,”“Ga, Ma...,” Indah tersenyum kecil ke Ana, “Tenang aja,” lanjutnya.“Ya sudah, Mama mau ganti baju, terus masak buat makan malam,” ucap Ana.“Iya,”Indah pun masuk ke dalam kamar dan membuka baju seragam sekolahnya. Ketika dia

Bab terbaru

  • Behind The Smile    17. Jika benar,

    “Indah, nyontek MTK dong,”Indah mengerjapkan matanya berkali-kali setelah mendengar permintaan Reyaldi yang tak terduga. Dia masih menatap keheranan ke Reynaldi hingga membuat sosok yang di tatap ikut kebingungan dengan Indah.“Lo pura-pura tuli atau gimana sih?”“Ya gimana gue ga heran secara lo tuh ga pernah bolos ngerjain PR,”“Kali-kali malas, ga salah kan,” ucapnya sambil menunggu Indah memberikan buku cacatan miliknya padanya.Indah langsung memberikan buku catatannya dan di terima dengan baik oleh Reynaldi, “Sesekali gue juga mau nyontek dong ke lo,”“Ngapain? Lo udah cukup pintar ngapain capek-capek nyatet jawaban yang salah dari buku orang?”Indah tersenyum, lebih tepatnya tersenyum menyindir, “Ngaca!”Reynaldi mengacuhkan Indah dan langsung kembali ke meja miliknya, lalu langsung mencatat ulang di bukunya. Indah menatap dari kejauhan

  • Behind The Smile    16. Secret Admirer?

    “Lepasin gue!” Naufal berusaha lepas dari rangkulan Bagas. “Jangan merusak momen dong,” ucap Bagas. “Momen maksud lo?! Tuh orang berani amat meluk Indah, di tambah di buat nangis lagi!” “Jangan main nyamperin, kita aja ga tahu menahu mereka lagi ngobrol apaan,” Naufal melepas rangkulan Bagas kesal, menatap Michael dan Indah dari jarak yang memang cukup jauh dan mustahil mendengar obrolan mereka. Sebuah kebetulan bagi Naufal bertemu dengan mereka di sini, karena baik dirinya maupun Bagas tidak pernah membuat rencana untuk mengikuti Indah. Terlebih Bagas yang sama sekali tidak tahu mengenai Michael dan Indah. “Kenapa lo mau-maunya sih ngobrol lagi sama Mike, Indah? Gue ga ngerti sama dia!” Bagas tidak peduli dengan ocehan Naufal sambil memakan es krim yang hampir meleleh, “Ya udah sih, emang ada yang harus di obrolin kali. Ga mungkin lah Michael bersikukuh tanpa ada alasan buat ketemu Indah,” ujarnya yang masih melanjutkan memakan es kri

  • Behind The Smile    15. Takut

    Setelah berpamitan dengan Sofi, Indah langsung pulang ke rumah. setibanya di rumah, Indah menghampiri Ibunya yang baru saja tiba juga di rumah dan menceritakan kejadian yang terjadi antara dirinya dan Ayahnya. Ana yang mendengar cerita dari Anaknya, terkejut dengan memberikan tatapan tidak percaya.“Kamu ga apa-apa ‘kan pas ketemu Papa kamu?” tanya Ana sambil memperhatikan apakah anaknya mendapat pukulan baru di bagian tubuhnya,“Ga, Ma, untungnya. Hampir sih, tapi untungnya ada Naufal jadi Papa ga ngelakuin aneh-aneh,” jawab Indah.Ana menghela napas lega, “Syukurlah, Mama udah takut kamu di apa-apain lagi sama Papa kamu,”“Ga, Ma...,” Indah tersenyum kecil ke Ana, “Tenang aja,” lanjutnya.“Ya sudah, Mama mau ganti baju, terus masak buat makan malam,” ucap Ana.“Iya,”Indah pun masuk ke dalam kamar dan membuka baju seragam sekolahnya. Ketika dia

  • Behind The Smile    14. Ancaman

    Keduanya sedang menatap langit biru cerah itu, tak lupa awan putih yang menghiasi sang langit. Angin berhembus pelan mengurangi rasa panas ketika mereka berada di balkon sekolah. Setelah mengakhiri makan siang, Reynaldi dan Indah langsung pergi ke atas tanpa di ketahui oleh siapapun. Keduanya sudah berencana dari awal untuk pergi ke atas dan membicarakan kisah mereka kemarin. Namun, hingga sekarang tidak ada yang memulai bercerita. Mungkin karena mereka masih ingin menikmati pemandangan yang berada di hadapan mereka sekarang.Indah menutup matanya perlahan sambil mengambil napas dalam. Dia mendengar suara angin yang melewatinya. Dia merasa waktu berdetak pelan. Reynaldi yang sebelumnya menatap kosong ke langit, perlahan kejadian yang terjadi kemarin terekam kembali di benaknya. Dia mengingat ketika Ayah nya kembali dari koma panjangnya, kedua saudaranya yang akhirnya dapat dia temui kembali, dan Ibu nya yang masih memasang topeng di hadapan sang Ayah. Kekhawatiran Reynaldi se

  • Behind The Smile    13. Topeng

    Reynaldi melangkahkan kakinya ke dalam rumah sakit. Langkahnya tergesa-gesa bahkan hampir menabrak suster yang melewati dirinya. Dia terus melangkahkan kaki hingga berada di pintu lift. Dia menunggu sejenak hingga akhirnya pintu lift terbuka. Reynaldi mempersilahkan para orang-orang yang berada di dalam lift untuk keluar lebih awal. Setelah memastikan semuanya sudah keluar, Reynaldi masuk ke dalam dan memencet tombol nomor 5.Setelah melewati dua lantai, Reynaldi tiba di lantai 5. Dia keluar dari lift dan langsung pergi ke ruangan ayahnya. Setelah sampai dia langsung membuka pintu dengan senang.“Pa,—“ langkah Reynaldi terhenti. Tangannya masih memegang gagang pintu. Matanya membulat, terkejut karena melihat apa yang ada di hadapannya. Bukan karena ayahnya yang sudah membuka mata meskipun masih menggunakan alat pernapasan saja, melainkan menatap ibunya yang duduk di sampingnya.“Aldi udah di sini, Pa.” kata Anisa sambil tersenyum ke

  • Behind The Smile    12. Bongkar

    “Lo tahu siapa cewek di sebelahnya?” tanya Naufal.“Itu adiknya. Dara namanya.” kata Indah sambil berjalan mendekati meja Michael dan adiknya bernama Dara.“Lo yakin, Ndah?” tanya Naufal sambil mengikuti Indah.“Lebih baik diladenin sekarang daripada ganggu gue terus.” kata Indah.Naufal pun hanya dapat terdiam sambil mengikuti Indah. Akhirnya kedua nya duduk di hadapan Michael dan Dara. Sambil tersenyum, Michael mengulurkan tangannya ke Naufal.“Hai, Naufal. Lama tak jumpa.” kata Michael.Ketika itu, Naufal hanya menepis tangan Michael sambil memperlihatkan tatapan dingin ke arahnya, “Ga usah sok akrab lo. Temenan aja ga.” kata Naufal sambil melipat kedua tangannya di bawah dadanya. Dia duduk dengan posisi bersandar ke kursi.Indah menyimpan kedua tangannya di atas pahanya, bermaksud untuk menutupi getaran di tangannya. ‘Semoga Naufal ga sadar.’

  • Behind The Smile    11. Trauma

    Indah berusaha menghilangkan getaran di kedua tangannya dengan mengepalnya kuat-kuat. Dia berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa takut yang ada di hatinya ketika melihat Michael di hadapannya. Dengan menghembuskan napas panjang, dia menurunkan bahunya perlahan. Indah memberikan senyuman ke Michael, meskipun dia tidak ingin melakukannya. Michael menatap Indah sambil memperlihatkan senyuman kecil. Dia bangun dari duduknya dan mempersilahkan Indah untuk duduk di hadapannya.“Have a seat, Indah. I need to talk to you,”Dengan melangkahkan kakinya yang terasa berat, Indah mendekati kursi dan langsung duduk. Dia merapihkan bajunya agar tidak kusut ketika duduk. Dia menyimpan kedua tangannya di atas paha dan langsung menatap Michael dengan tatapan benci pada Indah. Michael yang menyadarinya berusaha untuk menenangkan Indah.“I know it’s weird. But, I—““Tahu dari mana gue kerja disini?”&

  • Behind The Smile    10. Mantan

    “DASAR ROBOT PEKERJA!” Sofi teriak di hadapan Indah yang membuat dirinya menutup telinga.Sofi berusaha untuk membuka kedua telinga Indah dengan secara paksa namun dia kalah kekuatan dengan Indah. Indah masih menutup telinganya sambil memberikan ekspresi datar ke Sofi. Sofi berusaha untuk menenangkan diri karena kesal pada temannya. Dia mengambil napas lalu dia keluarkan secara perlahan. Dia sudah siap untuk mengomeli Indah.“Oke. Gue ga akan teriak. Asal lo denger ucapan gue. Bisa ‘kan?” tanya Sofi yang langsung mendapat balasan anggukkan dari Indah. Indah membuka telinganya.“Denger ya, Ndah. Kemarin, lo pingsan. Kalau gue jadi lo, lebih baik ga masuk aja dulu 2 hari buat istirahat. Masalah absen tinggal titip surat sakit ke temen kelas. Gue pasti bakal istirahatin tubuh gue dibandingkan harus memaksakan diri sampai pingsan kek lo. Ngerti ga maksud gue?” kata Sofi.Indah melihat Sofi tanpa memperlihatkan e

  • Behind The Smile    9. Naufal Radinka

    Naufal berjalan meninggalkan Reynaldi dan Indah di kantin dengan rasa malu karena Reynaldi yang mengetahui perasaannya. Dan selama seminggu, dia menahan rasa cemburu dan berpikir buruk ke Reynaldi. Dia berpikir alasan mengapa Reynaldi dekat dengan Indah karena dia menyukai Indah. Dia termakan dengan gosipan dari Anggun dan teman-temannya. Naufal berjalan semakin cepat berusaha untuk bersembunyi di ruang OSIS.‘Anjir. Malu gue.’ pikir Naufal.Ketika dia akan memasuki ruang OSIS, Bagas berdiam diri di depan pintu ruang OSIS. Naufal bingung melihat Bagas yang hanya menghalangi pintu dan tidak masuk ke dalam sambil menatap dirinya sedang berjalan.Naufal menghampiri Bagas lalu bertanya padanya, “Anak-anak udah beres kerjain tugasnya?”“Gue serahin ke Anggun. Lama-lama gue bosen juga nunggu yang lain beres.” kata Bagas.“Sudah gue duga lo pasti ga akan mau lama-lama di kelas.” kata Naufal sambil m

DMCA.com Protection Status