Reynaldi terdiam setelah Indah menjelaskan mengenai dia akan menjadi tutor pribadi untuknya. Indah yang melihat Reynaldi membeku langsung menjentikkan jarinya. Suara jentikan jari Indah cukup keras mengingat kondisi kelas yang sepi dan hanya mereka berdua yang masih betah di dalam sana.
“Bangun, Rey,”
Reynaldi mengedipkan matanya berkali-kali dan mengusap kepalanya, “Eh, maaf,”
“Lo tuh kenapa? Kaget karena gue bakal jadi tutor lo atau karena lo lagi ngelamun?
“Gue denger yang lo bilang dan cukup kaget juga,”
Indah mengangkat alisnya bingung sambil memegang botol minuman miliknya, “Alasan lo kaget?”
“Lo jadi tutor gue,”
“Oh, oke,” Indah membuka botol minumnya lalu meneguk air minumnya. Dia masih tidak mengerti maksud dari ucapan Reynaldi. Reynaldi menggaruk kepalanya karena dia bingung kenapa dia memberi jawaban alasan dia kaget. Dia berusaha untuk mencairkan suasana canggung di hadapan Indah.
“Kalau gitu, kapan kita mulai belajar bareng?” tanya Reynaldi.
Indah berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Reynaldi. Dia melihat ke ponselnya untuk melihat hari apa dia bisa meluangkan waktu untuk menjadi tutor Reynaldi.
“Gue jadwal kosong di hari Rabu, soalnya di hari lain gue ada kerja sambilan. Hari Minggu sih bisa, cuman hari itu jadwal bersih-bersih di rumah gue sama nyokap,”
“Jadi hari Rabu lo free abis pulang sekolah. Hari Minggu tergantung situasi di rumah lo, gitu?”
“Iya, Rey,”
“Oke deh,”
Indah menggangukkan kepalanya, “Berarti kita mulai minggu depan, oke?”
“Siap, bu,” Reynaldi tersenyum datar dan Indah membalas senyumnya juga.
Bel masuk sekolah pun berbunyi, menandakan untuk masuk dan memulai pelajaran selanjutnya. Indah bergegas kembali ke bangkunya dan tak lama dia duduk, sudah ada beberapa teman sekelasnya masuk ke dalam kelas.
Reynaldi memperhatikan teman kelasnya lalu beralih pandangan ke Indah. Dia memperhatikan gadis itu dengan tatapan datar, tidak menyiratkan suatu hal yang di sembunyikan. Dia menggangguk kepalanya dan kembali melihat ke pintu masuk kelas dan mendapati seorang guru sudah masuk ke dalam kelas mereka.
****
“Akhirnya sampai rumah,” gumam Indah sambil berjalan menuju pintu rumahnya. Ketika dia akan membuka pintu, dia melihat sepasang sepatu seorang pria yang sangat dia kenal. Dia menghela napas sambil memijat keningnya meskipun dia tidak merasa sakit kepala.
‘Sial, ngapain dia ke sini?’
Dengan menahan amarah, dia membuka pintu rumahnya perlahan. Dia masuk dan melepas sepatu sekolahnya lalu dia simpan di atas rak sepatu. Setelah itu, dia berjalan menuju ruang tamu dan melihat sesosok pria yang sedang duduk di sofa sambil menonton TV, tak lupa dengan rokok di tangan kirinya.
“Maaf, dilarang merokok disini, Pak Angga,” kata Indah sambil menatap kesal ke ayahnya. Angga yang sebelumnya sedang menatap layar TV langsung berubah tatapan ke Indah. Angga berdecak pelan.
“Bener-bener ga punya etika kamu ya, Indah,” Angga menghisap rokoknya lalu dia hembuskan asap rokok itu dengan perlahan.
"Kenapa bisa masuk?"
“Bukan urusan kamu,”
“Mana mama?”
“Mana papa tahu. Kok nanya papa?”
Indah mulai khawatir karena setahunya baik dia maupun Ana tidak mungkin memberikan kunci rumah pada Angga.
“Dapat dari siapa kunci rumah ini?”
“Kamu bodoh atau tolol? Papa ‘kan punya kunci gandanya!”
Indah menelan ludah mengartikan dia mulai takut karena Angga meninggikan nada suaranya. ‘Sial, gue lupa.’
Angga berdecak sambil mematikan rokoknya di dalam asbak. Dia bangun dari duduknya lalu menghampiri Indah, “Dimana mama kamu nyimpen duit?”
Indah tersenyum miring ketika ayahnya mempertanyakan itu. Dia mengangkat bahunya acuh. Angga menahan amarahnya lalu kembali bertanya.
“Dimana mama kamu nyimpen duit?”
“Bukan urusan Anda,”
Indah menjerit ketika Angga menjambak rambutnya. Angga tidak melepas jambakan rambut dari Indah dan tidak mempedulikan kalau Indah merasa kesakitan karena atas perbuatannya.
"Hei, anak bodoh! Papa cuman minta duit sejuta aja susah amat. Udah ga sopan main matiin telepon, sekarang di tanyain dimana nyimpen duit masih aja nyusahin!” Angga melepas jambakan rambutnya lalu menampar Indah dengan keras. Indah terkejut dan merasakan pipinya memanas. Dia menatap Angga dengan tatapan hina.
“Sungguh ayah tidak berguna. Kerjaannya minta uang terus, ngutang dimana-mana. Ga tahu malu ya Anda? Haha,”
Angga menampar Indah untuk kedua kalinya dan kembali menjambak rambut Indah, “Dimana kalian simpen uangnya?!” Lagi, Angga mempertanyakan hal yang sama.
Indah hanya tersenyum miring tidak menjawab pertanyaan Angga. Angga sudah tidak sanggup menahan amarahnya dan bersiap menonjok wajah Indah. Namun, ketika dia akan melakukan kekerasan pada anaknya sendiri, Ana yang baru saja tiba langsung memukulnya dengan payung.
"MAS ANGGA, BERHENTI!” cegah Ana sambil memukul Angga berkali-kali hingga Angga melepas Indah. Ana menutup tubuh Indah dengan badannya.
"DASAR IBLIS! INGAT INDAH ITU ANAK KAMU! MAU SAMPAI KAPAN KAMU NYIKSA ANAK KAMU SENDIRI?”
Angga menatap mereka berdua dengan tatapan marah, “Anak sama Ibu sama-sama tololnya, ya,” Angga mengambil sebatang rokok dari dalam saku lalu menyalakannya. Dia hisap rokok itu lalu dia hembuskan asapnya di hadapan wajah Ana.
“Kalau kalian kasih uang dari awal, mungkin ga akan terjadi seperti ini, ngerti? Bisa ngotak ga?” Angga menyundul kening Ana dengan kasar. Ana berusaha untuk tidak menangis dan berusaha untuk mengusir Angga.
“Pergi sebelum aku nelepon polisi,” Ana merogoh saku celananya bermaksud untuk mengambil ponselnya. Angga mendengus sebal.
“Silahkan, Nyonya. Saya tidak peduli,” Angga melihat tas Ana yang tergeletak di lantai dan dia melihat dompet merah di dalam tas itu. Dia mengambil dompet merah itu lalu melihat isi dompet tersebut.
Setelah dia melihat terdapat uang didalamnya dia langsung mengambil semuanya dan melempar dompet Ana kembali ke lantai. Ana tidak berani mencegah Angga ketika mengambil uang tersebut begitu pula dengan Indah meskipun dia ingin merebut uang itu.
Angga menatap Ana dan Indah, "Papa pinjam ya, nanti dibalikin kok,” kata Angga dengan santai seolah-olah dia tidak melakukan suatu hal yang salah.
Indah menahan amarahnya ketika Angga berjalan pergi keluar dari rumahnya tanpa dosa begitu pula dengan Ana. Ketika Angga pergi dari rumah mereka, Ana duduk lemas di lantai dan akhirnya dia menangis. Indah hanya terdiam melihat ibunya yang menangis. Tubuhnya tidak bergerak untuk memeluk ibunya yang sedang menangis. Dia masih merasakan sakit di bagian kepala dan pipinya.
‘Sampai kapan kita akan seperti ini?’
Ana melihat Indah yang tidak bergeming sedikit pun. Bahkan menangis pun tidak. Dengan segera dia bangun dari duduknya dan menatap Indah. Ana mengusap wajah anaknya dengan perlahan lalu memeluk anaknya.
“Maafin mama ya. Ini semua salah mama, bukan salah kamu,”
Indah menggelengkan kepalanya, “Bukan salah mama kok, ga usah nyalahin diri sendiri,”
“Tapi, gara-gara mama kamu jadi—“
“Udah ma, udah. Indah udah biasa kok,”
Ana menghela napas sambal mengajak Indah duduk di sofa. Keduanya pun duduk di atas sofa. Ana memeluk Indah sambil mengelus kepala anaknya bermaksud menenangkan Indah. Indah berusaha untuk tidak menangis di hadapan ibunya karena dia tidak ingin melihat ibunya khawatir lagi karena dirinya.
“Kenapa papa masih pegang kunci rumah ini, ma? Bukannya udah di ambil ya sama mama?”
“Udah, tapi kayaknya sebelum papa kasih ke mama dia udah gandain lagi kuncinya,”
Indah hanya menggaguk pelan, mengartikan dia menerima pendapat Ibunya, “Ya sudahlah, untungnya 2 hari lagi kita bakal pindah rumah. Lain kali, kita harus lebih berhati-hati lagi ma,”
Ana menghela napas panjang. Dia melepas pelukannya lalu menatap Indah dengan serius, “Kamu benar. Jangan sampai papa kamu tahu rumah baru kita nanti,”
Indah menggangukkan kepalanya lalu bangun dari duduknya, “Ya udah, aku mau ke kamar dulu,” pamitnya lalu meninggalkan ibunya di ruang tamu.
Ketika Indah masuk ke dalam kamarnya, dia bersandar di pintu sambil menatap lantai kamarnya dengan tatapan sendu. Perlahan dia merasakan pandangannya mulai buram menandakan air mata jatuh dari kelopak matanya. Indah mengusap air matanya perlahan.
‘Bodoh,’
Esok pagi, ketika Sofi menyadari bahwa Indah belum masuk sekolah, dia berpikir bahwa sesuatu terjadi padanya. Ketika dia mengirimkan pesan pada Indah menanyakan apa dia akan masuk atau tidak, gadis itu tidak membalasnya. Sofi berpikir mungkin dia akan menunggu hingga bel masuk berbunyi. Namun, ketika bel masuk berbunyi, Indah tidak muncul dan orang yang terakhir masuk ke dalam kelas hanya Reynaldi. Sofi mulai gelisah karena Indah sama sekali tidak ada kabar. Sofi mengambil ponselnya lalu mengirim pesan lagi ke Indah. Ketika dia mengirim pesan ke Indah, seorang guru masuk ke dalam kelas dan mereka memulai pelajaran pertama.Ketika jam pelajaran pertama selesai, Sofi memeriksa ponsel nya untuk memeriksa apa Indah sudah membalas pesannya atau tidak. Namun, tidak ada jawaban sama sekali. Gadis itu keluar kelas dan berdiri di sebelah pintu masuk kelas bermaksud untuk menelpon Indah. Dia mendekatkan ponselnya ke arah telinga kanannya dan dia mendengar suara dari ponsel tersebut.
Setelah dia selesai mengurusi barang-barang di kamarnya, Indah duduk di pinggiran kasur sambil menatap kamar barunya. Matanya sedang mengenali kondisi kamarnya mulai dari ukuran kamar yang tidak sama dengan ukuran kamarnya dulu, letak dimana dia menyimpan barang-barangnya di kamar seperti lemari, meja belajar, dan warna cat kamar yang berwarna kuning. Tak lupa posisi jendela kamar yang menghadap timur memperlihatkan kondisi langit yang perlahan berubah menjadi jingga hingga letak pintu kamar yang berada di sebelah kiri pojok kamarnya. Dia mengehela napas sambil bangun dari duduknya. Indah perlahan sambil berjalan menuju jendela kamarnya lalu berdiam di sana menatap kondisi di luar rumahnya. Dia melihat kondisi rumahnya yang cukup tenang di sore itu. Bagi Indah hal ini tidak familiar baginya mengingat bahwa lingkungan sekitar di rumahnya dulu para tetangga akan berdiam di luar dan menikmati udara di sore hari. Biasanya Indah selalu melihat tetangganya, Bapak Didi di depan rum
Indah mengacungkan jari tengah ke Reynaldi membuat dirinya bingung. Reynaldi mengangkat alisnya sambil memegang pensil di tangan kanannya. Indah menutup buku Reynaldi sambil menyimpannya di atas meja.“Bisa lo jelasin kenapa lo memberikan eskpresi itu ke gue?” tanya Reynaldi dan melihat Indah tersenyum mengerikan.“Ternyata bener ya, realita selalu mengalahkan ekspektasi. Ya, jujur aja sih gue ga nyangka aja ternyata lo pinter,” kata Indah sambil menunjuk buku tulis milik Reynaldi.“Ga juga sih, gue bodoh di pelajaran Matematika. Rumusnya sangat sulit seperti rumus kehidupan,”Indah sedikit tertawa mendengar ungkapan Reynaldi, “Tapi lo pintar dari bahasa dan sejarah. Curiga gue lo bakal jadi orang sastra pas lulus sekolah,”“Mungkin,”Indah berhenti sejenak ketika melihat Reynaldi yang merespon ucapannya dengan acuh. Entah kenapa Indah ingin mempertanyakan hal yang sudah lama dia in
Setelah saling membuka sebuah kisah diantara mereka berdua seminggu yang lalu, hubungan mereka menjadi lebih dekat. Baik Indah maupun Reynaldi, keduanya berteman dengan baik. Banyak dari teman-teman kelas mereka berpendapat bahwa Reynaldi menjadi berubah setelah dekat dengan Indah baik dalam kehadiran di kelas dan nilai pelajaran pun meningkat. Dan setelah melihat hal tersebut selama seminggu, mereka saling melempar gosip di dalam kelas.“Mereka pacaran?”“Oh ya? masa sih?”“Anjir gue dilangkahi,”“Pft, ga mungkin lah mereka pacaran. Orang Reynaldi juga ga suka sama cewek kayak Indah.”“PD lo. Emang dia bakal suka sama lo?”Perbicaraan itu terjadi di antara siswi-siswi di kelas. Mereka tiada hentinya mengosipkan hal tersebut. Bahkan mereka tidak sadar bahwa seseorang sedang mendengar mereka di kursi belakang yaitu Naufal. Dia mendengar obrolan para gadis yang masih membicarakan Reyn
Naufal berjalan meninggalkan Reynaldi dan Indah di kantin dengan rasa malu karena Reynaldi yang mengetahui perasaannya. Dan selama seminggu, dia menahan rasa cemburu dan berpikir buruk ke Reynaldi. Dia berpikir alasan mengapa Reynaldi dekat dengan Indah karena dia menyukai Indah. Dia termakan dengan gosipan dari Anggun dan teman-temannya. Naufal berjalan semakin cepat berusaha untuk bersembunyi di ruang OSIS.‘Anjir. Malu gue.’ pikir Naufal.Ketika dia akan memasuki ruang OSIS, Bagas berdiam diri di depan pintu ruang OSIS. Naufal bingung melihat Bagas yang hanya menghalangi pintu dan tidak masuk ke dalam sambil menatap dirinya sedang berjalan.Naufal menghampiri Bagas lalu bertanya padanya, “Anak-anak udah beres kerjain tugasnya?”“Gue serahin ke Anggun. Lama-lama gue bosen juga nunggu yang lain beres.” kata Bagas.“Sudah gue duga lo pasti ga akan mau lama-lama di kelas.” kata Naufal sambil m
“DASAR ROBOT PEKERJA!” Sofi teriak di hadapan Indah yang membuat dirinya menutup telinga.Sofi berusaha untuk membuka kedua telinga Indah dengan secara paksa namun dia kalah kekuatan dengan Indah. Indah masih menutup telinganya sambil memberikan ekspresi datar ke Sofi. Sofi berusaha untuk menenangkan diri karena kesal pada temannya. Dia mengambil napas lalu dia keluarkan secara perlahan. Dia sudah siap untuk mengomeli Indah.“Oke. Gue ga akan teriak. Asal lo denger ucapan gue. Bisa ‘kan?” tanya Sofi yang langsung mendapat balasan anggukkan dari Indah. Indah membuka telinganya.“Denger ya, Ndah. Kemarin, lo pingsan. Kalau gue jadi lo, lebih baik ga masuk aja dulu 2 hari buat istirahat. Masalah absen tinggal titip surat sakit ke temen kelas. Gue pasti bakal istirahatin tubuh gue dibandingkan harus memaksakan diri sampai pingsan kek lo. Ngerti ga maksud gue?” kata Sofi.Indah melihat Sofi tanpa memperlihatkan e
Indah berusaha menghilangkan getaran di kedua tangannya dengan mengepalnya kuat-kuat. Dia berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa takut yang ada di hatinya ketika melihat Michael di hadapannya. Dengan menghembuskan napas panjang, dia menurunkan bahunya perlahan. Indah memberikan senyuman ke Michael, meskipun dia tidak ingin melakukannya. Michael menatap Indah sambil memperlihatkan senyuman kecil. Dia bangun dari duduknya dan mempersilahkan Indah untuk duduk di hadapannya.“Have a seat, Indah. I need to talk to you,”Dengan melangkahkan kakinya yang terasa berat, Indah mendekati kursi dan langsung duduk. Dia merapihkan bajunya agar tidak kusut ketika duduk. Dia menyimpan kedua tangannya di atas paha dan langsung menatap Michael dengan tatapan benci pada Indah. Michael yang menyadarinya berusaha untuk menenangkan Indah.“I know it’s weird. But, I—““Tahu dari mana gue kerja disini?”&
“Lo tahu siapa cewek di sebelahnya?” tanya Naufal.“Itu adiknya. Dara namanya.” kata Indah sambil berjalan mendekati meja Michael dan adiknya bernama Dara.“Lo yakin, Ndah?” tanya Naufal sambil mengikuti Indah.“Lebih baik diladenin sekarang daripada ganggu gue terus.” kata Indah.Naufal pun hanya dapat terdiam sambil mengikuti Indah. Akhirnya kedua nya duduk di hadapan Michael dan Dara. Sambil tersenyum, Michael mengulurkan tangannya ke Naufal.“Hai, Naufal. Lama tak jumpa.” kata Michael.Ketika itu, Naufal hanya menepis tangan Michael sambil memperlihatkan tatapan dingin ke arahnya, “Ga usah sok akrab lo. Temenan aja ga.” kata Naufal sambil melipat kedua tangannya di bawah dadanya. Dia duduk dengan posisi bersandar ke kursi.Indah menyimpan kedua tangannya di atas pahanya, bermaksud untuk menutupi getaran di tangannya. ‘Semoga Naufal ga sadar.’
“Indah, nyontek MTK dong,”Indah mengerjapkan matanya berkali-kali setelah mendengar permintaan Reyaldi yang tak terduga. Dia masih menatap keheranan ke Reynaldi hingga membuat sosok yang di tatap ikut kebingungan dengan Indah.“Lo pura-pura tuli atau gimana sih?”“Ya gimana gue ga heran secara lo tuh ga pernah bolos ngerjain PR,”“Kali-kali malas, ga salah kan,” ucapnya sambil menunggu Indah memberikan buku cacatan miliknya padanya.Indah langsung memberikan buku catatannya dan di terima dengan baik oleh Reynaldi, “Sesekali gue juga mau nyontek dong ke lo,”“Ngapain? Lo udah cukup pintar ngapain capek-capek nyatet jawaban yang salah dari buku orang?”Indah tersenyum, lebih tepatnya tersenyum menyindir, “Ngaca!”Reynaldi mengacuhkan Indah dan langsung kembali ke meja miliknya, lalu langsung mencatat ulang di bukunya. Indah menatap dari kejauhan
“Lepasin gue!” Naufal berusaha lepas dari rangkulan Bagas. “Jangan merusak momen dong,” ucap Bagas. “Momen maksud lo?! Tuh orang berani amat meluk Indah, di tambah di buat nangis lagi!” “Jangan main nyamperin, kita aja ga tahu menahu mereka lagi ngobrol apaan,” Naufal melepas rangkulan Bagas kesal, menatap Michael dan Indah dari jarak yang memang cukup jauh dan mustahil mendengar obrolan mereka. Sebuah kebetulan bagi Naufal bertemu dengan mereka di sini, karena baik dirinya maupun Bagas tidak pernah membuat rencana untuk mengikuti Indah. Terlebih Bagas yang sama sekali tidak tahu mengenai Michael dan Indah. “Kenapa lo mau-maunya sih ngobrol lagi sama Mike, Indah? Gue ga ngerti sama dia!” Bagas tidak peduli dengan ocehan Naufal sambil memakan es krim yang hampir meleleh, “Ya udah sih, emang ada yang harus di obrolin kali. Ga mungkin lah Michael bersikukuh tanpa ada alasan buat ketemu Indah,” ujarnya yang masih melanjutkan memakan es kri
Setelah berpamitan dengan Sofi, Indah langsung pulang ke rumah. setibanya di rumah, Indah menghampiri Ibunya yang baru saja tiba juga di rumah dan menceritakan kejadian yang terjadi antara dirinya dan Ayahnya. Ana yang mendengar cerita dari Anaknya, terkejut dengan memberikan tatapan tidak percaya.“Kamu ga apa-apa ‘kan pas ketemu Papa kamu?” tanya Ana sambil memperhatikan apakah anaknya mendapat pukulan baru di bagian tubuhnya,“Ga, Ma, untungnya. Hampir sih, tapi untungnya ada Naufal jadi Papa ga ngelakuin aneh-aneh,” jawab Indah.Ana menghela napas lega, “Syukurlah, Mama udah takut kamu di apa-apain lagi sama Papa kamu,”“Ga, Ma...,” Indah tersenyum kecil ke Ana, “Tenang aja,” lanjutnya.“Ya sudah, Mama mau ganti baju, terus masak buat makan malam,” ucap Ana.“Iya,”Indah pun masuk ke dalam kamar dan membuka baju seragam sekolahnya. Ketika dia
Keduanya sedang menatap langit biru cerah itu, tak lupa awan putih yang menghiasi sang langit. Angin berhembus pelan mengurangi rasa panas ketika mereka berada di balkon sekolah. Setelah mengakhiri makan siang, Reynaldi dan Indah langsung pergi ke atas tanpa di ketahui oleh siapapun. Keduanya sudah berencana dari awal untuk pergi ke atas dan membicarakan kisah mereka kemarin. Namun, hingga sekarang tidak ada yang memulai bercerita. Mungkin karena mereka masih ingin menikmati pemandangan yang berada di hadapan mereka sekarang.Indah menutup matanya perlahan sambil mengambil napas dalam. Dia mendengar suara angin yang melewatinya. Dia merasa waktu berdetak pelan. Reynaldi yang sebelumnya menatap kosong ke langit, perlahan kejadian yang terjadi kemarin terekam kembali di benaknya. Dia mengingat ketika Ayah nya kembali dari koma panjangnya, kedua saudaranya yang akhirnya dapat dia temui kembali, dan Ibu nya yang masih memasang topeng di hadapan sang Ayah. Kekhawatiran Reynaldi se
Reynaldi melangkahkan kakinya ke dalam rumah sakit. Langkahnya tergesa-gesa bahkan hampir menabrak suster yang melewati dirinya. Dia terus melangkahkan kaki hingga berada di pintu lift. Dia menunggu sejenak hingga akhirnya pintu lift terbuka. Reynaldi mempersilahkan para orang-orang yang berada di dalam lift untuk keluar lebih awal. Setelah memastikan semuanya sudah keluar, Reynaldi masuk ke dalam dan memencet tombol nomor 5.Setelah melewati dua lantai, Reynaldi tiba di lantai 5. Dia keluar dari lift dan langsung pergi ke ruangan ayahnya. Setelah sampai dia langsung membuka pintu dengan senang.“Pa,—“ langkah Reynaldi terhenti. Tangannya masih memegang gagang pintu. Matanya membulat, terkejut karena melihat apa yang ada di hadapannya. Bukan karena ayahnya yang sudah membuka mata meskipun masih menggunakan alat pernapasan saja, melainkan menatap ibunya yang duduk di sampingnya.“Aldi udah di sini, Pa.” kata Anisa sambil tersenyum ke
“Lo tahu siapa cewek di sebelahnya?” tanya Naufal.“Itu adiknya. Dara namanya.” kata Indah sambil berjalan mendekati meja Michael dan adiknya bernama Dara.“Lo yakin, Ndah?” tanya Naufal sambil mengikuti Indah.“Lebih baik diladenin sekarang daripada ganggu gue terus.” kata Indah.Naufal pun hanya dapat terdiam sambil mengikuti Indah. Akhirnya kedua nya duduk di hadapan Michael dan Dara. Sambil tersenyum, Michael mengulurkan tangannya ke Naufal.“Hai, Naufal. Lama tak jumpa.” kata Michael.Ketika itu, Naufal hanya menepis tangan Michael sambil memperlihatkan tatapan dingin ke arahnya, “Ga usah sok akrab lo. Temenan aja ga.” kata Naufal sambil melipat kedua tangannya di bawah dadanya. Dia duduk dengan posisi bersandar ke kursi.Indah menyimpan kedua tangannya di atas pahanya, bermaksud untuk menutupi getaran di tangannya. ‘Semoga Naufal ga sadar.’
Indah berusaha menghilangkan getaran di kedua tangannya dengan mengepalnya kuat-kuat. Dia berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa takut yang ada di hatinya ketika melihat Michael di hadapannya. Dengan menghembuskan napas panjang, dia menurunkan bahunya perlahan. Indah memberikan senyuman ke Michael, meskipun dia tidak ingin melakukannya. Michael menatap Indah sambil memperlihatkan senyuman kecil. Dia bangun dari duduknya dan mempersilahkan Indah untuk duduk di hadapannya.“Have a seat, Indah. I need to talk to you,”Dengan melangkahkan kakinya yang terasa berat, Indah mendekati kursi dan langsung duduk. Dia merapihkan bajunya agar tidak kusut ketika duduk. Dia menyimpan kedua tangannya di atas paha dan langsung menatap Michael dengan tatapan benci pada Indah. Michael yang menyadarinya berusaha untuk menenangkan Indah.“I know it’s weird. But, I—““Tahu dari mana gue kerja disini?”&
“DASAR ROBOT PEKERJA!” Sofi teriak di hadapan Indah yang membuat dirinya menutup telinga.Sofi berusaha untuk membuka kedua telinga Indah dengan secara paksa namun dia kalah kekuatan dengan Indah. Indah masih menutup telinganya sambil memberikan ekspresi datar ke Sofi. Sofi berusaha untuk menenangkan diri karena kesal pada temannya. Dia mengambil napas lalu dia keluarkan secara perlahan. Dia sudah siap untuk mengomeli Indah.“Oke. Gue ga akan teriak. Asal lo denger ucapan gue. Bisa ‘kan?” tanya Sofi yang langsung mendapat balasan anggukkan dari Indah. Indah membuka telinganya.“Denger ya, Ndah. Kemarin, lo pingsan. Kalau gue jadi lo, lebih baik ga masuk aja dulu 2 hari buat istirahat. Masalah absen tinggal titip surat sakit ke temen kelas. Gue pasti bakal istirahatin tubuh gue dibandingkan harus memaksakan diri sampai pingsan kek lo. Ngerti ga maksud gue?” kata Sofi.Indah melihat Sofi tanpa memperlihatkan e
Naufal berjalan meninggalkan Reynaldi dan Indah di kantin dengan rasa malu karena Reynaldi yang mengetahui perasaannya. Dan selama seminggu, dia menahan rasa cemburu dan berpikir buruk ke Reynaldi. Dia berpikir alasan mengapa Reynaldi dekat dengan Indah karena dia menyukai Indah. Dia termakan dengan gosipan dari Anggun dan teman-temannya. Naufal berjalan semakin cepat berusaha untuk bersembunyi di ruang OSIS.‘Anjir. Malu gue.’ pikir Naufal.Ketika dia akan memasuki ruang OSIS, Bagas berdiam diri di depan pintu ruang OSIS. Naufal bingung melihat Bagas yang hanya menghalangi pintu dan tidak masuk ke dalam sambil menatap dirinya sedang berjalan.Naufal menghampiri Bagas lalu bertanya padanya, “Anak-anak udah beres kerjain tugasnya?”“Gue serahin ke Anggun. Lama-lama gue bosen juga nunggu yang lain beres.” kata Bagas.“Sudah gue duga lo pasti ga akan mau lama-lama di kelas.” kata Naufal sambil m