"Aku tahu kok."
Dona menatap tidak percaya dengan kalimat yang keluar dari bibir Fandi beserta ekspresi wajahnya yang tidak terlalu terkejut saat diberitahu jika semua itu adalah tes yang dilakukan ayahnya."Kamu harusnya menolak.""Buat apa? Nilaiku akan minus depan ayah dan keluargamu." Fandi memberikan jawaban dan reaksi santai "Anggap saja aku belajar bisnis."Dona melipat kedua tangannya di dada, memberikan tatapan lelah pada Fandi yang masih terlihat santai. Pertemuan dengan pemegang saham beberapa jam lalu dimana sebenarnya Fandi bisa mengatasinya dengan baik, Dona juga melihat ekspresi puas yang terpancar dari kedua orang tuanya."Aku nggak tahu akan di tes apalagi," ucap Fandi yang menarik perhatian Dona."Kamu harusnya nggak mengalami semua ini, kedua orang tuaku hanya takut aku..." Dona menundukkan kepalanya tidak bisa melanjutkan kalimatnya."Aku beneran nggak masalah, aku paham dengan apa yang orang tuamu la"Apa maksudnya, Cla?" Fandi menahan emozi dihadapan Clara."Memang apa yang abang tanyakan?" "Nggak usah pura-pura! Kamu yang menempel di mading kantor, tidak hanya itu kamu juga yang menyebarkan tindakan kita. Apa yang kamu inginkan, Cla? Kita sudah sepakat untuk nggak pakai perasaan dan kamu bukan hanya melakukan sama aku saja. Please, Cla! Kita di luar negeri dimana semua serba bebas dan melakukan itu dianggap biasa saja." Fandi menatap malas pada Clara."Apa yang akang takutkan? Aku nggak yakin akang benar cinta sama dia, akang pasti hanya menginginkan sesuatu disana, bukan? Akang dekatin dia demi tujuan akang sendiri yang bahkan aku dan Gabriel nggak tahu apa." Clara menatap kesal pada Fandi."Sok tahu!" Fandi mengatakan dengan nada kesalnya "Kamu nggak tahu apa-apa tentang aku, Cla!" Clara terkesiap mendengar nada kesal dan tatapan tajam Fandi padanya, suasana hening menemani mereka dan tidak ada yang membuka suara sama sekali. Fa
"Kamu nggak papa? Baik-baik saja?" Fandi mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Dona "Tugas dari ayah sama Endi pasti membuat kamu lelah belum lagi ngerjain laporan magang."Fandi mengangguk paham "Aku nggak ada masalah sama apa yang ayah kamu lakukan selama masih berhubungan dengan pekerjaan.""Setelah itu kamu lulus? Balik ke kampus?" "Mungkin, memang kenapa? Aku belum memutuskan sama sekali." Fandi menatap Dona yang hanya diam memandang langit dari balkon kamarnya, beberapa hari ini Dona lebih banyak menghabiskan waktu di apartemennya dibanding miliknya sendiri. Dona beralasan ada Vivi disana, walaupun bagi Fandi bukan alasan yang masuk akal, bukan tidak senang hanya merasa ada sesuatu yang disembunyikan."Ada yang mau kamu bicarakan?" Fandi bertanya hati-hati.Tidak ada jawaban dari bibir Dona, pandangannya masih mengarah pada langit malam. Fandi yang menatap itu hanya bisa menghembuskan napas panjang dan lelah, tidak b
"Kenapa tiba-tiba datang ke rumah?" Via memicingkan matanya melihat kedatangan Dona.Dona tidak mendengarkan nada protes bundanya, memeluk tubuhnya dan mencium kedua pipinya. Tatapan Dona mengarah pada ayah dan kembarannya yang semakin berantakan, mendekati mereka dan langsung mencium pipi ayahnya pemberitahuan, ekspresi jijik tampak di wajah Azka."Jijik banget sih," komen Azka memberikan ekspresi ingin muntah."Biarin!" Dona menjulurkan lidahnya untuk menggoda Azka "Kenapa masih disini? Bini dua harus diperhatikan malah disini lama.""Cerai."Dona memberikan tatapan terkejut, memilih duduk disamping Bima dengan memberikan tatapan penuh selidik. Via tidak lama bergabung bersama dengan duduk disamping Bima, sehingga Bima diapit kedua wanita yang berbeda usia."Cerai gimana? Sama yang mana? Wulan atau Reina?" Dona bertanya secara beruntun."Keduanya.""Apa!" Dona nyaris teriak "Memang kenapa? Masalah apa? Aku lih
"Kamu tahu?" Dona menatap tidak percaya.Vivi mengangguk lemah, tidak menyadari tatapan Dona yang sudah tampak emosi dikarenakan posisi Vivi sedang memasukkan barang belanjaan Dona dalam lemari es."Kenapa aku nggak dikasih tahu?""Aku baru tahu kemarin pulang kerja dan kamu sibuk sama Fandi, aku pusing bahkan baru makan setengah jam yang lalu karena terpaksa." Vivi menutup lemari es dan tatapan mereka bertemu "Semua mantan aku paling malas sama kembaranmu dan kamu tahu alasannya."Keheningan menyapa mereka, Dona dan Vivi yang diam-diam saling mencuri pandang dan tidak tahu harus mengatakan apa, pikiran mereka berjalan masing-masing tanpa ada yang membuka suaranya."Alasan dia cerai apa?" Dona membuka suaranya terlebih dahulu "Kedua istrinya itu cantik, baik dan sabar. Azka mau cari yang kaya gimana lagi?""Cari yang pedang bukan donat," sahut Vivi asal yang tidak mendapatkan respon apapun dari Dona "Azka memang nggak pernah curh
"Ada masalah?" Fandi menatap lekat Dona yang langsung menggelengkan kepalanya "Kamu bisa cerita sama aku kalau mau.""Bukan masalah serius, aku hanya pusing saja." Dona memejamkan matanya.Pembicaraannya dengan Vivi dan keputusan kedua orang tuanya sudah membuatnya pusing, mengetahui Fandi pulang dari kegiatannya yang dilakukan Dona adalah berpamitan pada Vivi. Dona beranggapan bertemu dengan Fandi bisa menenangkan perasaannya, tapi tampaknya melihat wajahnya seketika merasa bersalah dimana hanya memanfaatkan saja."Apa yang kamu bicarakan sama Vivi?""Pembicaraan wanita," jawab Dona tidak bersemangat."Mau jalan-jalan? Kalau kita di Indonesia pastinya aku udah ajak kamu ke Puncak, tapi disini...aku belum pernah kemana-mana." Fandi menggaruk lehernya yang tidak gatal dengan senyum tidak enaknya "Universal Studio gimana?""Memang sudah pernah kesana?" Dona menatap ingin tahu yang hanya diangguki Fandi "Sama siapa?""Rame-
"Azka akan menggantikan posisi kamu." Dona memilih diam dan tidak bereaksi apapun saat Bima mengatakannya di ruangan dengan Azka disampingnya, Dona sendiri tidak melihat keberadaan Endi atau orang pusat. Ayahnya tidak akan melibatkan orang pusat dalam mengambil keputusan untuk perusahaan yang sudah di pegang olehnya, opa sudah percaya penuh pada ayahnya."Nantinya Azka yang akan memegang perusahaan ini sama agency sedangkan kamu...""Kapan aku harus keluar?" Dona memotong kalimat Bima dengan nada datar "Sekarang?" "Dona! Kamu apa-apaan sih, sayang. Siapa yang menyuruh kamu keluar dari sini?" Via membuka suaranya dengan nada sedihnya."Kamu nggak keluar hanya saja posisi kamu dibawah Azka, dia masih butuh bimbingan disini secara sudah lama nggak megang perusahaan." Bima menjelaskan dengan nada yang berusaha untuk sabar."Vivi ikut sama aku, Azka cari asisten sendiri!""Nggak! Vivi akan sama Azka dan kamu dengan asisten
"Sudah selesai? Nggak akan ketemu di kantor lagi?"Fandi tertawa mendengar kalimat Dona "Nggak ketemu di kantor tapi unit kita sebelahan dan kamu lebih banyak disini daripada disana." Dona langsung mengerucutkan bibirnya "Bagaimana dengan Azka? Bisa mengikuti dengan baik?""Sejauh ini iya, kita berdua sampai pusing buat ngajarin dia." Dona mengungkapkan kekesalannya "Vivi itu stok sabarnya besar coba kalau sama aku udah habis Azka."Fandi menggelengkan kepalanya "Dia kembaranmu loh.""Nah itu...kita itu beda banget dalam banyak hal. Jenis kelamin, kebiasaan, selera apapun itu dan banyak lagi. Aku kadang suka mikir apa kesamaan kita, tapi nggak pernah dapat." Fandi mengacak rambut Dona pelan "Kuliah bagaimana? Laporan magang selesai?""Selesai dan hasil memuaskan.""Dua teman kamu juga sama memuaskannya?" Fandi menganggukkan kepalanya "Cewek itu...gimana?"Fandi mengerutkan keningnya "Clara? Dia baik-baik saja, semuanya b
"Udah deh mending kamu balik sana!" Dona memijat keningnya mendengar suara kekesalan Vivi, sangat tahu bagaimana perasaan Vivi saat ini. Azka sejak beberapa minggu kemarin tidak mendengarkan semua yang Vivi ajarkan, pikirannya bukan pada perusahaan melainkan membuat musik atau menghubungi musisi agar bisa mendapatkan lagu untuk penyanyi yang ada di agency.Bukan hanya Vivi yang lelah dan mengeluarkan kalimat kekesalan, beberapa kali Dona juga melakukan hal yang sama tapi saat mereka hanya berdua tanpa adanya Vivi. Pekerjaan Vivi bukan hanya mengajarkan Azka saja, tapi memastikan pekerjaan Bima dan juga Dona berjalan sebagaimana mestinya. Vivi adalah asisten kepercayaan Bima, bukan karena statusnya sebagai sahabat Dona dan mantan Azka tapi memang dia sangat bagus dalam bekerja.Fandi sendiri awal mula belajar ke Vivi untuk mengikuti cara kerja Bima, posisi Fandi adalah menjadi asisten pribadi Bima dan semenjak magangnya selesai pekerjaan tersebut kembali s
"Sudah tidur mereka?""Barusan, ada apa?" "Aku nggak menyangka kita bisa melewati semua masalah, punya anak-anak yang lucu.""Kamu nggak kasih aku istirahat, masa setiap tahun melahirkan kaya kejar target aja." Dona mengerucutkan bibirnya yang langsung mendapatkan ciuman singkat dari Fandi."Kamu hebat dan luar biasa, melahirkan tiga anak setiap tahun." "Kamu yang kebangetan nggak biarin aku istirahat." Dona mengerucutkan bibirnya "Tapi...waktu lihat mereka lahir rasa sakit seketika hilang, aku langsung jadi penasaran kalau punya lagi akan mirip siapa.""Tapi...kenapa anak kita dan Azka nggak ada yang kembar ya?" "Mau kembar?" Dona menatap tanda tanya."Bukan gitu, kalian berdua kan kembar terus kenapa anak kalian nggak ada yang kembar?"Dona mengangkat bahunya "Belum mungkin, sekarang juga nggak kembar.""Apa kita buat kembar setelah ini lahir?" Dona membelalakkan matanya mendengar kalimat
"Kamu mau ke Singapore aja? Sudah yakin? Memang nggak pecah itu kepala diisi belajar mulu?""Aku buat karya ilmiah disana, setidaknya sampai anak kita lahir.""Kita disini juga nggak ada masalah.""Kasihan ayah sama bunda kamu, mereka pastinya butuh anak disana. Anggap aja sebagai bakti ke orang tua.""Gimana sama mama dan papa?""Disini ada banyak anak-anaknya, beda sama ayah dan bunda. Anaknya cuman kamu sama Azka, apalagi Azka lebih senang di agency daripada ngurus perusahaan disana. Azka bilang pecah kepalanya kalau urus perusahaan disana, dia coba udah gatal pengen keluar."Dona berdecih mendengar kata-kata yang Azka ucapkan ke Fandi, Azka memang nggak suka lihat angka atau apapun itu. Azka lebih menyukai suara musik, membuat musik membuat jiwanya tenang, tidak salah jika opanya menyiapkan masa depan mereka masing-masing."Dia bukan pecah kepala aja, tapi gatal pantatnya kalau kelamaan duduk lihat angka dan baca per
"Tokcer juga.""Jelas!" Fandi berkata dengan nada bangga dan penuh kesombongan."Kita sama sekali nggak membayangkan kamu bakal hamil lebih cepat.""Sama, ma. Kita sama sekali nggak nyangka bakal secepat ini.""Kita jadi ikut bahagia waktu Fandi kasih kabar lewat pesan, percaya nggak percaya. Apalagi kalian langsung pisah, kamu sibuk sama kerjaan dan Fandi juga sama."Dona dan Fandi hanya tersenyum mendengar kalimat sang mama, sebenarnya memang tidak bisa ditebak sama sekali. Dona tidak merasakan apapun sama sekali ketika di Singapore, masalah pekerjaan membuat Dona yang tidak merasakan tanda-tandanya. Saat bertemu Fandi seketika terjadi perubahan dan mereka segera memutuskan perika menggunakan alat tes kehamilan yang dijual umum, hasilnya positif dan tanpa menunggu waktu langsung menuju dokter kandungan di rumah sakit. Hasilnya tidak jauh berbeda, tapi bagusnya mereka langsung mengetahui usia kehamilan yang ternyata sudah ada dari sebelu
"Kenapa, bang?""Masih lama Dona?""Abang ini aneh, masih ada satu jam kali."Fandi menghirup udara banyak agar sedikit lebih tenang, biarkan Lita menganggap dirinya merindukan Dona padahal memikirkan hal yang tidak penting."Pekerjaanmu bagaimana?" Fandi membuka pembicaraan terlebih dahulu.Lita menghembuskan napas panjangnya "Aku masuk waktu lagi banyak event, makanya aku sering pulang malam. Apartemen yang diminta Mbak Dona tempati bisa membuat aku nggak perlu dengar mama ngomel.""Kamu jadi kerja di H&D?" Fandi memastikan kembali.Lita menganggukkan kepala tanpa ragu "Kurang dua tahap lagi, bang. Aku juga sering ketemu Tama buat tanya-tanya, kadang kalau luang juga ke cafenya Mbak Naila buat belajar.""Memang ditempatin dimana?" Fandi tidak tahu pembicaraan kedua wanita tersebut."Rencananya sih agency, Mbak Dona minta aku disana bantuin Mas Azka. Mbak Reina yang mantan istrinya sudah nggak disana,
"Hubungan jarak jauh? Memang enak? Sudah menikah tapi pisah.""Sementara, lagian cuman beberapa hari.""Tetap saja nggak enak secara nggak ada yang menghangatkan, hubungi Ratih aja.""Kami sudah berakhir lama."Fandi meninggalkan meja setelah tidak ada pembicaraan lebih lanjut, pembicaraan yang tidak memberikan manfaat apapun. Dua hari setelah di rumah Vivi memberi kabar untuk ke Singapore dimana ada perusahaan yang membutuhkan dipastikan dan Dona sangat ahli dalam hal itu. Disamping itu harus melakukan rapat bulanan yang mengharuskan Dona dan ayahnya berada disana."Maaf, pak.""Pras, sudah mau wisuda?" Fandi menatap mahasiswa yang baru lulus atau bisa dikatakan telat."Ya, akhirnya.""Kemana setelah ini?" "Belum tahu, pak. Saya sudah bekerja di event organizer, bukan pekerjaan di firma hukum tapi setidaknya saya bekerja dengan posisi bagus.""Bagus kalau begitu, apa kamu nggak ingin melanjut
"Dalam...ahh...lebih....ahh...."Dona meremas rambut Fandi atas apa yang dilakukan dibawah, jilatan yang dilakukan dengan memasukkan jemarinya membuat Dona bergerak tidak menentu, menarik kepala Fandi menghentikan kegaiatannya dibawah sana. Melumat kasar bibirnya menyalurkan hasrat dan gairahnya, mendorong tubuh Fandi agar berbaring dan berganti dengannya.Memberikan sentuhan pada tubuh Fandi dengan gerakan sensual, melihat itu Fandi hanya bisa mendesah dengan meremas rambut Dona, bibirnya sudah beralih ke bawah dengan memegang milik Fandi. Memasukkan kedalam mulut, memberikan jilatan pada kepalanya sebelum memasukkan kedalam mulut, gerakan maju mundur dilakukan yang membuat Fandi mendesah keras atas perbuatan Dona, mendengar suara Fandi membuat Don semangat.Memberikan tatapan menggoda dibawah sana disertai dengan jilatan kasar pada milik Fandi yang diikuti dengan gerakan tangannya yang bermain pada telurnya, Fandi mendesah keras atas semua yang Dona laku
"Habis menikah itu wajahnya bahagia, masa daritadi cemberut.""Berisik!""Kenapa memang dia, Don?"Dona memilih tersenyum mendengar pertanyaan Reno, setelah proses akad kemarin dimana Dona memberitahukan jika palang merah seketika Fandi berubah. Fandi tetap perhatian padanya, tapi ekspresi wajahnya seperti orang lemas dan tidak ada gairah."Kalau lihat ekspresinya bisa dibilang Dona lagi palang merah," ucap Lucas yang tidak tahu darimana "Memang yakin? Apa jangan alasan aja biar kalian...""Abang, tolong mulutnya! Ada anak-anak disini." Anggi langsung menegur Lucas yang membuatnya terdiam "Jangan gangguin Dona, mending disini bantuin aku."Dona menahan tawa melihat ekspresi wajah Lucas, pria itu berjalan mendekati Anggi yang sedang bersama anak-anak. Pemandangan yang selalu dilihat setiap kali mereka berkumpul, tahta tertinggi saat berada di rumah adalah wanita. Lucas sangat mengikuti apa yang opa katakan, berbeda dengan Leo yang
"SAH!"Suara teriakan terdengar keras ketika proses selesai, lantunan doa mereka semua panjatkan setelah mendengar satu kata yang membuat napas lega. Beberapa menit lalu jantungnya berdetak kencang, memegang tangan Bima dan mengucapkan kalimat sakral.Menunggu kedatangan Dona yang berada dalam kamar, jantung Fandi semakin berdetak kencang. Acara pingitan yang dilakukan orang tua mereka membuatnya tidak saling bertemu, tapi mereka berdua selalu mempunyai cara bisa berhubungan walaupun tidak bisa lama.Suara musik terdengar, Fandi berdiri menatap pintu masuk menunggu kedatangan Dona. Pintu terbuka, menahan napas ketika membayangkan apa yang akan dilihatnya nanti. Senyum lebar menghiasi wajah mereka berdua, tidak melepaskan tatapan satu sama lain dan hanya fokus pada satu objek. Langkah Dona semakin dekat sampai akhirnya dihadapan Fandi, dokumentasi diambil dan mereka memulai langsung apa yang menjadi susunan acara dari wedding organizer.Tanda tanga
"Kang, makasih banyak."Membalas pelukan Lita saat melingkarkan tangannya di perut, membelai rambut Lita dengan memberikan ciuman lembut. "Kenapa jadi melow gini?" Lita melepaskan pelukan dengan tatapan selidik."Memang salah kalau cium adik sendiri?" Fandi melangkahkan kakinya menuju ranjang."Ya udah, aku mau ke penginapan sebelah. Kang, Dara tidur sini memang nggak boleh?" Lita memberikan tatapan memohon."Mau tidur dimana? Kamu aja tidur kalau nggak sama mama ya disini, kamu mau tidur disana nanti? Kalau itu ijin mama bukan aku.""Enaknya jadi orang dewasa, aku juga pengen nikah.""Lulus dulu sana baru nikah." Fandi memperingati Lita "Ingat jadi cewek harus punya harga diri! Jangan mau disentuh seenaknya." "Pengalaman banget," goda Lita yang membuat Fandi mengacak rambutnya "Aku pergi dulu."Matanya tidak lepas melihat punggung Lita yang semakin menjauh, banyak hal yang sudah terjadi didalam hidup