"Azka akan menggantikan posisi kamu."
Dona memilih diam dan tidak bereaksi apapun saat Bima mengatakannya di ruangan dengan Azka disampingnya, Dona sendiri tidak melihat keberadaan Endi atau orang pusat. Ayahnya tidak akan melibatkan orang pusat dalam mengambil keputusan untuk perusahaan yang sudah di pegang olehnya, opa sudah percaya penuh pada ayahnya."Nantinya Azka yang akan memegang perusahaan ini sama agency sedangkan kamu...""Kapan aku harus keluar?" Dona memotong kalimat Bima dengan nada datar "Sekarang?""Dona! Kamu apa-apaan sih, sayang. Siapa yang menyuruh kamu keluar dari sini?" Via membuka suaranya dengan nada sedihnya."Kamu nggak keluar hanya saja posisi kamu dibawah Azka, dia masih butuh bimbingan disini secara sudah lama nggak megang perusahaan." Bima menjelaskan dengan nada yang berusaha untuk sabar."Vivi ikut sama aku, Azka cari asisten sendiri!""Nggak! Vivi akan sama Azka dan kamu dengan asisten"Sudah selesai? Nggak akan ketemu di kantor lagi?"Fandi tertawa mendengar kalimat Dona "Nggak ketemu di kantor tapi unit kita sebelahan dan kamu lebih banyak disini daripada disana." Dona langsung mengerucutkan bibirnya "Bagaimana dengan Azka? Bisa mengikuti dengan baik?""Sejauh ini iya, kita berdua sampai pusing buat ngajarin dia." Dona mengungkapkan kekesalannya "Vivi itu stok sabarnya besar coba kalau sama aku udah habis Azka."Fandi menggelengkan kepalanya "Dia kembaranmu loh.""Nah itu...kita itu beda banget dalam banyak hal. Jenis kelamin, kebiasaan, selera apapun itu dan banyak lagi. Aku kadang suka mikir apa kesamaan kita, tapi nggak pernah dapat." Fandi mengacak rambut Dona pelan "Kuliah bagaimana? Laporan magang selesai?""Selesai dan hasil memuaskan.""Dua teman kamu juga sama memuaskannya?" Fandi menganggukkan kepalanya "Cewek itu...gimana?"Fandi mengerutkan keningnya "Clara? Dia baik-baik saja, semuanya b
"Udah deh mending kamu balik sana!" Dona memijat keningnya mendengar suara kekesalan Vivi, sangat tahu bagaimana perasaan Vivi saat ini. Azka sejak beberapa minggu kemarin tidak mendengarkan semua yang Vivi ajarkan, pikirannya bukan pada perusahaan melainkan membuat musik atau menghubungi musisi agar bisa mendapatkan lagu untuk penyanyi yang ada di agency.Bukan hanya Vivi yang lelah dan mengeluarkan kalimat kekesalan, beberapa kali Dona juga melakukan hal yang sama tapi saat mereka hanya berdua tanpa adanya Vivi. Pekerjaan Vivi bukan hanya mengajarkan Azka saja, tapi memastikan pekerjaan Bima dan juga Dona berjalan sebagaimana mestinya. Vivi adalah asisten kepercayaan Bima, bukan karena statusnya sebagai sahabat Dona dan mantan Azka tapi memang dia sangat bagus dalam bekerja.Fandi sendiri awal mula belajar ke Vivi untuk mengikuti cara kerja Bima, posisi Fandi adalah menjadi asisten pribadi Bima dan semenjak magangnya selesai pekerjaan tersebut kembali s
"Mau temani aku?" Dona mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Fandi "Seno nemani Sasa dan Dika liburan, mereka kesini soalnya Lita mau liburan.""Lita itu adik kamu?" Fandi menganggukkan kepalanya "Seno itu kakak pertamamu? Cuman berempat? Istrinya?""Maksudku Seno dan keluarganya, Lita mah ngikut aja." Fandi menggaruk kepalanya yang tidak gatal "Jadi gimana?" "Mereka tinggal dimana? Memang sudah datang?""Ini jemput ke airport, rencananya tidur sini tapi kayaknya Lita aja kalau Seno mau di hotel aja.""Hotel kita gimana?" Dona memberikan usul yang mendapatkan tatapan bingung dari Fandi, seketika memukul keningnya pelan "Kamu belum tahu kalau H&D Group punya hotel disini? Leo sebenarnya sebulan sekali kesini buat ngecek." "Mahal pasti, mana ada uang mereka." Fandi seketika menggelengkan kepalanya."Udah gampang, pakai kamarku aja nanti. Kita jemput jam berapa? Aku siap-siap dulu." "Setengah jam lagi beran
"Memang ada hubungan apa?" Dona dan Fandi saling menatap satu sama lain ketika mendapatkan pertanyaan yang tidak terduga dari Berry, tampaknya Fandi melupakan sesuatu tentang Berry yang tahu banyak hal."Kenapa kamu bisa tanya itu?" Seno membuka suaranya terlebih dahulu karena Dona dan Fandi yang tidak mengeluarkan suara."Akang lupa kalau Teh Rina kerja di rumah sakit? Rumah Sakit Wijaya," jawab Berry yang diangguki Seno "Rumah sakit itu masuk di H&D Group, kan?" Berry mengalihkan pandangannya kearah Dona yang menelan saliva kasar."Teh Rina itu sepupu kamu?" Berry menganggukkan kepalanya saat Fandi bertanya "Kenapa aku nggak ketemu dia?""Kamu pernah kesana?" Fandi menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan Berry "Ngapain kamu? Oh yang pulang kemarin itu? Ada hubungan sama magang? Memang jabatan kamu apa di magang?""Asisten direktur dan kesana urusan kerjaan sama Dona, kalau Dona di pusat sedangkan aku di rumah sakit. Kenapa
"Gimana ketemu sama saudara Fandi?"Dona tersenyum lebar mendengar pertanyaan kembarannya, Azka. Mereka memang banyak perbedaan, tapi tetap memantau dari jauh. Dona yakin jika Azka berusaha dekat dengan Fandi, hal yang pernah dilakukan dulu saat bersama mantannya. Perbedaannya adalah pada saat itu Azka sudah memberikan peringatan tentang sang mantan, tapi Dona tidak mendengarkan dan sekarang Fandi seakan mendukung hubungan mereka."Kamu dukung banget aku sama Fandi, padahal sebelumnya nggak pernah memberi dukungan. Memang ada bedanya dengan sebelumnya?""Kamu tahu jawabannya, Don." Azka menjawab dengan nada malasnya yang ditanggapi dengan suara tawa Dona "Aku sudah bicara banyak sama Fandi dan memang dia baik untuk saat ini, tapi aku sudah memberikan ancaman.""Nggak usah lebay!" Dona menatap malas kembarannya yang tidak jauh berbeda dengan saudara laki-laki mereka "Jangan alasan kalau apa yang kamu katakan dan lakukan adalah bentuk kasih sayang."
"Orang tuamu bakal datang berarti?" Dona mengangkat kepalanya agar bisa melihat Fandi."Kamu mau bukain kamar kaya Seno?" "Mungkin," jawab Dona melepaskan pelukan dari Fandi "Memang kenapa? Kamu merasa sesuatu?""Aku nggak enak sama keluargamu, takut mereka berpikir dekatin kamu karena ada maunya." Dona pernah berpikir sama seperti yang dikatakan Fandi, hal itu pernah dibicarakan dengan kedua orang tuanya dan jawabannya adalah semua harus di diskusikan. Fandi belum menjadi bagian dari mereka, apalagi keluarganya. Dona yang membawa keluarga Fandi ke hotel mereka secara otomatis harus mengeluarkan uang pribadi, walaupun harga yang dibayar tidak sebanyak aslinya."Biarkan mereka tinggal disini, nggak usah di hotel." Dona memilih menganggukkan kepalanya mendengar kalimat dengan nada tegas Fandi "Kamu nggak masalah, kan?" Dona mengerutkan kening "Kita nggak tidur bersama.""Apaan sih."Melangkahkan kakinya ke dapur, perutny
"Kita akhirnya bertemu lagi," ucap Marni, ibu Fandi.Dona mencium punggung tangan kedua orang tua Fandi, sebuah tarikan lembut didapat dengan memeluknya erat disertai belaian lembut pada punggungnya. Melepaskan pelukan ibunya Fandi dengan memegang kedua tangan diikuti senyum lebarnya pada orang tua Fandi."Sudah wisuda, kamu lanjut ngajar?" Fandi menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan ayahnya, Waluyo."Kalian nggak ada rencana menikah?" Marni menatap Dona dan Fandi bergantian yang seketika hanya saling memandang "Jangan sampai kaya Hardian yang hamil duluan, kasihan anaknya nggak bisa pakai nama kita jadi akan lebih baiknya kalian segera menikah.""Masih banyak yang harus kami bicarakan, bu." Fandi mengambil jawaban aman."Mereka sudah dewasa, bu. Kita sekarang fokus dengan wisuda Fandi bukan membahas hal lain." Waluyo memberikan peringatan, ekspresi wajah Marni tampak sedih.Dona yang melihat perubahan ekspresi ibunya Fandi
"Akhirnya kita lulus juga," ucap Clara dengan ekspresi bahagia "Mana calonmu?""Kenapa? Mau kamu apakan? Nggak usah aneh-aneh." Fandi mengatakan dengan ekspresi datarnya.Clara berdecih mendengar kalimat Fandi dengan nada suaranya "Terima kasih banyak waktu itu membolehkan aku ikut magang di perusahaan besar itu, aku sempat nggak tahu mau kemana dan kamu sangat membantu."Suasana wisuda berlangsung tenang, memanggil satu per satu nama mereka yang sudah lulus untuk maju di depan. Fandi melangkah dengan jantungnya berdetak kencang, walaupun bukan pertama kali tetap saja membuat perasaannya tidak menentu dan saat bersalaman dengan kepala universitas dan fakultas serta dosen yang membimbing dirinya semakin tidak bisa menahan diri untuk mengeluarkan air mata."Selamat!" Satu per satu mengucapkan selamat, Fandi tersenyum lebar dan tidak lupa memeluk Clara sebagai bentuk pertemuan terakhirnya mungkin, semoga saja mereka bisa bertemu lagi nanti
"Sudah tidur mereka?""Barusan, ada apa?" "Aku nggak menyangka kita bisa melewati semua masalah, punya anak-anak yang lucu.""Kamu nggak kasih aku istirahat, masa setiap tahun melahirkan kaya kejar target aja." Dona mengerucutkan bibirnya yang langsung mendapatkan ciuman singkat dari Fandi."Kamu hebat dan luar biasa, melahirkan tiga anak setiap tahun." "Kamu yang kebangetan nggak biarin aku istirahat." Dona mengerucutkan bibirnya "Tapi...waktu lihat mereka lahir rasa sakit seketika hilang, aku langsung jadi penasaran kalau punya lagi akan mirip siapa.""Tapi...kenapa anak kita dan Azka nggak ada yang kembar ya?" "Mau kembar?" Dona menatap tanda tanya."Bukan gitu, kalian berdua kan kembar terus kenapa anak kalian nggak ada yang kembar?"Dona mengangkat bahunya "Belum mungkin, sekarang juga nggak kembar.""Apa kita buat kembar setelah ini lahir?" Dona membelalakkan matanya mendengar kalimat
"Kamu mau ke Singapore aja? Sudah yakin? Memang nggak pecah itu kepala diisi belajar mulu?""Aku buat karya ilmiah disana, setidaknya sampai anak kita lahir.""Kita disini juga nggak ada masalah.""Kasihan ayah sama bunda kamu, mereka pastinya butuh anak disana. Anggap aja sebagai bakti ke orang tua.""Gimana sama mama dan papa?""Disini ada banyak anak-anaknya, beda sama ayah dan bunda. Anaknya cuman kamu sama Azka, apalagi Azka lebih senang di agency daripada ngurus perusahaan disana. Azka bilang pecah kepalanya kalau urus perusahaan disana, dia coba udah gatal pengen keluar."Dona berdecih mendengar kata-kata yang Azka ucapkan ke Fandi, Azka memang nggak suka lihat angka atau apapun itu. Azka lebih menyukai suara musik, membuat musik membuat jiwanya tenang, tidak salah jika opanya menyiapkan masa depan mereka masing-masing."Dia bukan pecah kepala aja, tapi gatal pantatnya kalau kelamaan duduk lihat angka dan baca per
"Tokcer juga.""Jelas!" Fandi berkata dengan nada bangga dan penuh kesombongan."Kita sama sekali nggak membayangkan kamu bakal hamil lebih cepat.""Sama, ma. Kita sama sekali nggak nyangka bakal secepat ini.""Kita jadi ikut bahagia waktu Fandi kasih kabar lewat pesan, percaya nggak percaya. Apalagi kalian langsung pisah, kamu sibuk sama kerjaan dan Fandi juga sama."Dona dan Fandi hanya tersenyum mendengar kalimat sang mama, sebenarnya memang tidak bisa ditebak sama sekali. Dona tidak merasakan apapun sama sekali ketika di Singapore, masalah pekerjaan membuat Dona yang tidak merasakan tanda-tandanya. Saat bertemu Fandi seketika terjadi perubahan dan mereka segera memutuskan perika menggunakan alat tes kehamilan yang dijual umum, hasilnya positif dan tanpa menunggu waktu langsung menuju dokter kandungan di rumah sakit. Hasilnya tidak jauh berbeda, tapi bagusnya mereka langsung mengetahui usia kehamilan yang ternyata sudah ada dari sebelu
"Kenapa, bang?""Masih lama Dona?""Abang ini aneh, masih ada satu jam kali."Fandi menghirup udara banyak agar sedikit lebih tenang, biarkan Lita menganggap dirinya merindukan Dona padahal memikirkan hal yang tidak penting."Pekerjaanmu bagaimana?" Fandi membuka pembicaraan terlebih dahulu.Lita menghembuskan napas panjangnya "Aku masuk waktu lagi banyak event, makanya aku sering pulang malam. Apartemen yang diminta Mbak Dona tempati bisa membuat aku nggak perlu dengar mama ngomel.""Kamu jadi kerja di H&D?" Fandi memastikan kembali.Lita menganggukkan kepala tanpa ragu "Kurang dua tahap lagi, bang. Aku juga sering ketemu Tama buat tanya-tanya, kadang kalau luang juga ke cafenya Mbak Naila buat belajar.""Memang ditempatin dimana?" Fandi tidak tahu pembicaraan kedua wanita tersebut."Rencananya sih agency, Mbak Dona minta aku disana bantuin Mas Azka. Mbak Reina yang mantan istrinya sudah nggak disana,
"Hubungan jarak jauh? Memang enak? Sudah menikah tapi pisah.""Sementara, lagian cuman beberapa hari.""Tetap saja nggak enak secara nggak ada yang menghangatkan, hubungi Ratih aja.""Kami sudah berakhir lama."Fandi meninggalkan meja setelah tidak ada pembicaraan lebih lanjut, pembicaraan yang tidak memberikan manfaat apapun. Dua hari setelah di rumah Vivi memberi kabar untuk ke Singapore dimana ada perusahaan yang membutuhkan dipastikan dan Dona sangat ahli dalam hal itu. Disamping itu harus melakukan rapat bulanan yang mengharuskan Dona dan ayahnya berada disana."Maaf, pak.""Pras, sudah mau wisuda?" Fandi menatap mahasiswa yang baru lulus atau bisa dikatakan telat."Ya, akhirnya.""Kemana setelah ini?" "Belum tahu, pak. Saya sudah bekerja di event organizer, bukan pekerjaan di firma hukum tapi setidaknya saya bekerja dengan posisi bagus.""Bagus kalau begitu, apa kamu nggak ingin melanjut
"Dalam...ahh...lebih....ahh...."Dona meremas rambut Fandi atas apa yang dilakukan dibawah, jilatan yang dilakukan dengan memasukkan jemarinya membuat Dona bergerak tidak menentu, menarik kepala Fandi menghentikan kegaiatannya dibawah sana. Melumat kasar bibirnya menyalurkan hasrat dan gairahnya, mendorong tubuh Fandi agar berbaring dan berganti dengannya.Memberikan sentuhan pada tubuh Fandi dengan gerakan sensual, melihat itu Fandi hanya bisa mendesah dengan meremas rambut Dona, bibirnya sudah beralih ke bawah dengan memegang milik Fandi. Memasukkan kedalam mulut, memberikan jilatan pada kepalanya sebelum memasukkan kedalam mulut, gerakan maju mundur dilakukan yang membuat Fandi mendesah keras atas perbuatan Dona, mendengar suara Fandi membuat Don semangat.Memberikan tatapan menggoda dibawah sana disertai dengan jilatan kasar pada milik Fandi yang diikuti dengan gerakan tangannya yang bermain pada telurnya, Fandi mendesah keras atas semua yang Dona laku
"Habis menikah itu wajahnya bahagia, masa daritadi cemberut.""Berisik!""Kenapa memang dia, Don?"Dona memilih tersenyum mendengar pertanyaan Reno, setelah proses akad kemarin dimana Dona memberitahukan jika palang merah seketika Fandi berubah. Fandi tetap perhatian padanya, tapi ekspresi wajahnya seperti orang lemas dan tidak ada gairah."Kalau lihat ekspresinya bisa dibilang Dona lagi palang merah," ucap Lucas yang tidak tahu darimana "Memang yakin? Apa jangan alasan aja biar kalian...""Abang, tolong mulutnya! Ada anak-anak disini." Anggi langsung menegur Lucas yang membuatnya terdiam "Jangan gangguin Dona, mending disini bantuin aku."Dona menahan tawa melihat ekspresi wajah Lucas, pria itu berjalan mendekati Anggi yang sedang bersama anak-anak. Pemandangan yang selalu dilihat setiap kali mereka berkumpul, tahta tertinggi saat berada di rumah adalah wanita. Lucas sangat mengikuti apa yang opa katakan, berbeda dengan Leo yang
"SAH!"Suara teriakan terdengar keras ketika proses selesai, lantunan doa mereka semua panjatkan setelah mendengar satu kata yang membuat napas lega. Beberapa menit lalu jantungnya berdetak kencang, memegang tangan Bima dan mengucapkan kalimat sakral.Menunggu kedatangan Dona yang berada dalam kamar, jantung Fandi semakin berdetak kencang. Acara pingitan yang dilakukan orang tua mereka membuatnya tidak saling bertemu, tapi mereka berdua selalu mempunyai cara bisa berhubungan walaupun tidak bisa lama.Suara musik terdengar, Fandi berdiri menatap pintu masuk menunggu kedatangan Dona. Pintu terbuka, menahan napas ketika membayangkan apa yang akan dilihatnya nanti. Senyum lebar menghiasi wajah mereka berdua, tidak melepaskan tatapan satu sama lain dan hanya fokus pada satu objek. Langkah Dona semakin dekat sampai akhirnya dihadapan Fandi, dokumentasi diambil dan mereka memulai langsung apa yang menjadi susunan acara dari wedding organizer.Tanda tanga
"Kang, makasih banyak."Membalas pelukan Lita saat melingkarkan tangannya di perut, membelai rambut Lita dengan memberikan ciuman lembut. "Kenapa jadi melow gini?" Lita melepaskan pelukan dengan tatapan selidik."Memang salah kalau cium adik sendiri?" Fandi melangkahkan kakinya menuju ranjang."Ya udah, aku mau ke penginapan sebelah. Kang, Dara tidur sini memang nggak boleh?" Lita memberikan tatapan memohon."Mau tidur dimana? Kamu aja tidur kalau nggak sama mama ya disini, kamu mau tidur disana nanti? Kalau itu ijin mama bukan aku.""Enaknya jadi orang dewasa, aku juga pengen nikah.""Lulus dulu sana baru nikah." Fandi memperingati Lita "Ingat jadi cewek harus punya harga diri! Jangan mau disentuh seenaknya." "Pengalaman banget," goda Lita yang membuat Fandi mengacak rambutnya "Aku pergi dulu."Matanya tidak lepas melihat punggung Lita yang semakin menjauh, banyak hal yang sudah terjadi didalam hidup