"Gimana ketemu sama saudara Fandi?"
Dona tersenyum lebar mendengar pertanyaan kembarannya, Azka. Mereka memang banyak perbedaan, tapi tetap memantau dari jauh. Dona yakin jika Azka berusaha dekat dengan Fandi, hal yang pernah dilakukan dulu saat bersama mantannya. Perbedaannya adalah pada saat itu Azka sudah memberikan peringatan tentang sang mantan, tapi Dona tidak mendengarkan dan sekarang Fandi seakan mendukung hubungan mereka."Kamu dukung banget aku sama Fandi, padahal sebelumnya nggak pernah memberi dukungan. Memang ada bedanya dengan sebelumnya?""Kamu tahu jawabannya, Don." Azka menjawab dengan nada malasnya yang ditanggapi dengan suara tawa Dona "Aku sudah bicara banyak sama Fandi dan memang dia baik untuk saat ini, tapi aku sudah memberikan ancaman.""Nggak usah lebay!" Dona menatap malas kembarannya yang tidak jauh berbeda dengan saudara laki-laki mereka "Jangan alasan kalau apa yang kamu katakan dan lakukan adalah bentuk kasih sayang.""Orang tuamu bakal datang berarti?" Dona mengangkat kepalanya agar bisa melihat Fandi."Kamu mau bukain kamar kaya Seno?" "Mungkin," jawab Dona melepaskan pelukan dari Fandi "Memang kenapa? Kamu merasa sesuatu?""Aku nggak enak sama keluargamu, takut mereka berpikir dekatin kamu karena ada maunya." Dona pernah berpikir sama seperti yang dikatakan Fandi, hal itu pernah dibicarakan dengan kedua orang tuanya dan jawabannya adalah semua harus di diskusikan. Fandi belum menjadi bagian dari mereka, apalagi keluarganya. Dona yang membawa keluarga Fandi ke hotel mereka secara otomatis harus mengeluarkan uang pribadi, walaupun harga yang dibayar tidak sebanyak aslinya."Biarkan mereka tinggal disini, nggak usah di hotel." Dona memilih menganggukkan kepalanya mendengar kalimat dengan nada tegas Fandi "Kamu nggak masalah, kan?" Dona mengerutkan kening "Kita nggak tidur bersama.""Apaan sih."Melangkahkan kakinya ke dapur, perutny
"Kita akhirnya bertemu lagi," ucap Marni, ibu Fandi.Dona mencium punggung tangan kedua orang tua Fandi, sebuah tarikan lembut didapat dengan memeluknya erat disertai belaian lembut pada punggungnya. Melepaskan pelukan ibunya Fandi dengan memegang kedua tangan diikuti senyum lebarnya pada orang tua Fandi."Sudah wisuda, kamu lanjut ngajar?" Fandi menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan ayahnya, Waluyo."Kalian nggak ada rencana menikah?" Marni menatap Dona dan Fandi bergantian yang seketika hanya saling memandang "Jangan sampai kaya Hardian yang hamil duluan, kasihan anaknya nggak bisa pakai nama kita jadi akan lebih baiknya kalian segera menikah.""Masih banyak yang harus kami bicarakan, bu." Fandi mengambil jawaban aman."Mereka sudah dewasa, bu. Kita sekarang fokus dengan wisuda Fandi bukan membahas hal lain." Waluyo memberikan peringatan, ekspresi wajah Marni tampak sedih.Dona yang melihat perubahan ekspresi ibunya Fandi
"Akhirnya kita lulus juga," ucap Clara dengan ekspresi bahagia "Mana calonmu?""Kenapa? Mau kamu apakan? Nggak usah aneh-aneh." Fandi mengatakan dengan ekspresi datarnya.Clara berdecih mendengar kalimat Fandi dengan nada suaranya "Terima kasih banyak waktu itu membolehkan aku ikut magang di perusahaan besar itu, aku sempat nggak tahu mau kemana dan kamu sangat membantu."Suasana wisuda berlangsung tenang, memanggil satu per satu nama mereka yang sudah lulus untuk maju di depan. Fandi melangkah dengan jantungnya berdetak kencang, walaupun bukan pertama kali tetap saja membuat perasaannya tidak menentu dan saat bersalaman dengan kepala universitas dan fakultas serta dosen yang membimbing dirinya semakin tidak bisa menahan diri untuk mengeluarkan air mata."Selamat!" Satu per satu mengucapkan selamat, Fandi tersenyum lebar dan tidak lupa memeluk Clara sebagai bentuk pertemuan terakhirnya mungkin, semoga saja mereka bisa bertemu lagi nanti
"Kamu nggak akan balik sini?" Dona menatap apartemen Fandi dengan tatapan sedih."Kalau kesini pastinya bukan tinggal disini, apa aku harus beli apartemen disini?" Fandi mengatakan tanpa menatap Dona dan memilih menata pakaiannya kedalam koper.Dona menggelengkan kepalanya "Aku ada apartemen di sebelah kamu ini, jadi kalau kamu datang kita tinggal disana.""Vivi?" Dona menepuk keningnya pelan "Nanti aku pikirkan gimana.""Memang punya banyak uang? Bukankah kamu dosen, dapat uang darimana? Bukan aku memandang sebelah mata tapi...." Dona memberikan tatapan penuh selidik dan seketika terdiam ketika menyadari pertanyaannya yang bisa melukai perasaan Fandi."Aku tahu dan paham, pekerjaanku memang dosen tapi aku juga ada proyek lain belum lagi kantor lawyer yang aku buat sama teman-teman. Cuman kalau dibandingkan dengan keluarga besarmu jelas kalah, tapi setidaknya aku bisa menghidupi kamu dan anak kita nanti." Fandi menatap Dona yang menganggu
"Seksi?" Fandi melempar sofa kearah Reno "Aku tanya sebenarnya ini, aku belum bertemu sama dia.""Aku juga penasaran sama cewek ini," sahut Wima yang semakin membuat ekspresi wajah Fandi menahan emosi "Bukan masalah seksinya, tapi wanita ini hebat bisa membuat dosen membuka hatinya.""Sialan! Aku kira kamu bakal belain ternyata nggak jauh beda sama suami laknatmu ini." Fandi menatap kesal pada pasangan suami istri dihadapannya "Harusnya aku istirahat malah disuruh kesini, memang laknat kalian berdua.""Language, Fan." Wima memberikan teguran yang membuat Fandi mengucapkan maaf tanpa suara pada Reno "Tapi jujur aku memang penasaran."Fandi membuka ponselnya, mencari foto Dona yang sudah masuk ke folder sendiri dan memang dirinya siapkan jika kedua pasangan yang mengesalkan dan disayanginya ingin tahu. Fandi jelas tidak bisa berhadapan langsung dengan kedua pasangan yang sedang menatap kearahnya, mengulurkan ponselnya pada mereka berdua setelah janj
"Kamu selesaikan laporan ini," ucap Bima memberikan laporan pada Dona yang tampak lelah "Kamu tahu kalau Azka nggak tertarik sama beginian dan masih dalam proses belajar."Dona membuat bola matanya malas, meskipun begitu tetap melakukan apa yang dikatakan ayahnya. Menyelesaikan pekerjaan dengan cepat agar bisa bertemu dengan Fandi secepatnya, mereka selama ini menghabiskan waktu melalui sambungan ponsel dan tidak bisa terlalu lama.Pekerjaan yang membuat semuanya tidak bisa berlama-lama, Dona tidak tahu bagaimana bisa Fandi mendapatkan proyek untuk menangani sesuatu. Fandi juga mengatakan akan mengerjakan karya ilmiah bersama rekan dosen dan mahasiswa andalannya. Dona lebih banyak berada di perusahaan menyelesaikan pekerjaan sebelum ditinggalkan, ditemani Vivi dan ayahnya sedangkan Azka tidak tahu berada dimana."Ayah itu suka pilih kasih," ucap Dona setelah selesai semua dan Vivi keluar dari ruangan.Bima mengerutkan keningnya "Kenapa bisa bilang
"Sejak kamu datang dari Singapore rasanya nggak pernah berhenti," ucap salah satu rekan dosennya, Farhan.Fandi tersenyum mendengarnya "Rezeki nggak boleh ditolak, anggap saja begitu."Fandi mengakui sejak kedatangannya secara tiba-tiba diberi kepercayaan mengerjakan karya ilmiah dan tidak hanya itu kantor firma hukumnya mendapatkan kepercayaan menangani kasus. Fandi tidak menghubungkan dengan Dona atau keluarganya sama sekali, walaupun mereka memiliki perusahaan besar tapi tidak akan sampai sejauh ini."Dengar-dengar dapat cewek sana?" Farhan memberikan nada menggoda."Semoga saja jodoh," ucap Fandi meminta doa hubungannya dengan Dona."Kamu tahu kenapa Retno mau ikutan?" Fandi mengerutkan keningnya "Kamu nggak tahu alasan dia langsung setuju?""Bukannya fakultas memilih karena pintar?" Fandi memberikan alasan yang dirinya tahu."Kamu sama sekali nggak tahu gosip yang ada." Farhan menggelengkan kepalanya mendengar perta
"Bagaimana kabar Fandi?" Dona mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan sang ayah ketika baru datang bersama dengan Azka di belakangnya, melihat dengan tatapan tanda tanya yang tampaknya tidak disadari sang ayah."Bunda kepo, tanya mulu makanya ayah tanya ke kamu sekarang." Azka mengatakan dengan suara pelan yang diangguki Dona."Baik, Fandi memang lagi sibuk jadi memang hubungi kalau sempat.""Bisa kamu?" Bima memberikan tatapan selidik yang membuat Dona menelan saliva kasar "Ayah kenal kamu dengan baik jadi tahu kalau kamu nggak bisa.""Fandi mengubah Dona dengan baik," ucap Azka yang menaik turunkan alisnya.Dona menundukkan kepalanya dan yakin jika wajahnya sudah memerah sekarang, Azka benar jika Fandi mengubah dirinya dan terbukti dengan rutinnya Dona mendatangi psikiater dan psikolog secara bersamaan. Hal yang mungkin sudah disadari kedua orang tuanya sejak kedekatannya dengan Fandi dan itu juga alasan mereka setuju denga