“Gimana apanya?” “Ya, kan dia galak tuh. Pas kamu akhirnya punya pacar, nggak mungkin kan, Ayah kamu nggak komentar?” “Duh, Kalo Ayah mah bukan komentar lagi. Pas Ayah tau soal Gani, dia langsung minta aku buat putusin Gani. Kata Ayah, jangan pacaran sama fotografer, karena nggak punya masa depan dan duitnya juga nggak jelas.” Penjelasan dari Dinda tersebut membuat tawaku meledak begitu saja. + Jadi mendiang Pak Robert ini tipikal old Asian parent yang Indonesia banget… Udah kelewatan ngatur anaknya nggak boleh pacaran sampe lulus S2, lalu nganggep fotografer itu nggak punya masa depan dan nggak punya duit… Kira-kira dia bakalan komentar apa ya, kalo tau anaknya pacaran sama gue? + “Malah ketawa…” Dinda menatapku dengan heran. “Kenapa waktu itu kamu nggak nurut sama Ayah kamu, buat langsung putusin Gani?” Senyum di wajahku tiba-tiba memudar karena ekspresi di wajah Dinda yang mendadak berubah. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, tapi sekilas tadi, ada kesedihan yang terpa
“Karena aku sadar kalo kedokteran itu bukan passion-ku. Makanya aku gunain segala cara dan alesan, buat nolak keinginan Ayah." "Salah satunya itu, aku akhirnya cerita ke Ayah, kalo aku pernah pingsan waktu di kelas biologi. Waktu itu ada pelajaran anatomi dan aku praktek bedah hewan… Aku tuh sebenernya bisa lihat darah, tapi kalo dalam jumlah yang banyak, apalagi kalo aku sampe harus pegang pisau bedah trus nyayat-nyayat kulit binatang, itu aku udah pasti akan gemeteran, mual, pusing, dan jantungan juga. Kalo hewannya udah dalam bentuk potongan, kayak tiap kita masak ayam gitu, aku masih bisa. Tapi kalo hewannya dalam wujud hidup atau mati dalam bentuk utuh, dan aku harus bongkar-bongkar organ dalem mereka, itu yang aku nggak sanggup.” “Dan tentu aja Ayah nggak mau tau sama semua alesan dan kondisiku saat itu. Dia bilang semua masalah di dunia ini pasti ada solusinya. Makanya Ayah sempet bawa aku ke salah satu temennya yang juga terapis, biar aku nggak gampang takut dan panik kalo j
Rencana akhir pekanku kali ini seharusnya menjadi waktu santai bagiku untuk menikmati quality time bersama dengan Deo. Akan tetapi, sejak aku mengaktifkan kembali ponselku di Changi Airport tadi, notifikasi dari email, sekaligus pesan singkat yang berhubungan dengan kasus Bu Jennifer dan Pak Henry kembali masuk ke dalam ponselku. Sehingga dengan sangat terpaksa, aku harus melakukan beberapa panggilan telepon ke beberapa pihak yang bisa membantuku untuk segera menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi. Dan sampai sejauh ini, rencanaku dengan Erwin belum bisa terlaksana dengan maksimal karena Bu Jennifer masih susah untuk dihubungi dan ditemui. Sedangkan di sisi lain, Pak Dekan bersikap sangat tidak kooperatif, dan hanya bisa menuntutku untuk segera menyelesaikan konflik yang ada tanpa mau mengerti kondisi yang sedang berlangsung di lapangan seperti apa. Terus terang saja, hal tersebut cukup menguras fokus dan tenagaku, hingga pikiranku dipenuhi rasa khawatir. Dan tadi, setelah m
Deo tersenyum lalu mengangguk kecil. “Ayo…” Di dalam hotel, kita berdua langsung berbagi tugas. Deo mengurus administrasi kamar kita terlebih dahulu, sementara aku mengurus in room dining overnight, karena kita berdua sudah lumayan kelaparan. “Kamu mau pesen apa jadinya?” Tanya Deo yang baru saja muncul di sebelahku. “Aku salmon roasted, sama chocolate ice cream. Buat kita berdua ada caesar salad with grilled chicken, sama seasonal fruit platter. Aku pesenin juga buat kamu forest mushroom soup with truffle oil karena kamu kan tadi katanya pengen yang soupy dan anget-anget. Gimana? Mau nggak? Atau mau ganti sup yang lainnya?" "Yang udah kamu pilih aja. Aku suka kok." "Checked." Kataku sambil tersenyum kepada Deo. "Terus, kamu mau nambah apa lagi?” “Hmm…” Deo mengamati daftar menu yang sedang kupegang. “Aku wagyu beef burger deh…” “Ada lagi?” Deo diam sebentar sambil tetap membaca daftar menu. “Coffee ice cream... Udah itu aja.” “Okay, wait a minute…” Kataku yang kemudian langsu
“Liburan pertama di seumur hidupku…” “Kamu belum pernah pergi liburan sebelumnya?” Tanya Deo dengan intonasi suara yang heran. Aku menggelengkan kepalaku secara pelan sambil tersenyum santai. “Selama ini kalo aku pergi ke luar kota atau ke luar negeri, pasti ada tujuannya. Entah buat sekolah, kerja, atau acara nikahan temen-temen aku.” Seketika Deo melepaskan pelukannya, lalu kembali berdiri di sampingku lagi, sambil menatap kedua mataku. “Jadi selama ini kalo ada hari libur, kamu ngapain aja?” “Kalo sekarang ini ya mostly aku kerja.” Jawabku sambil mengambil jepit rambutku yang ada di dalam tas. “Atau palingan aku stay at home buat istirahat, sambil sesekali work at home juga.” “Kamu memang nggak pernah pergi nge-date sama mantan pacar kamu yang dulu?” Tanya Deo yang kemudian duduk di sofa. Aku menghampiri Deo sambil menjepit rambutku. “Ya, pernah dong. Tapi kalo liburan bareng atau nge-date yang jalan-jalan, kita nggak pernah ngelakuinnya. Karena kan Gani juga seringnya dapet
“Dari aku kecil, Ayah suka bikin banyak peraturan yang harus aku taati. Salah satunya adalah, aku nggak boleh pergi ke mana pun tanpa izin dari Ayah. Dan peraturan itu berlaku sampe aku lulus SMA.” Kataku yang kemudian meneguk air mineralku terlebih dahulu. “Kamu dulu pernah hang out ke mall nggak? Atau pergi ke mana aja buat nongkrong sama temen sekolah mungkin?” “Dulu kalo aku mau pergi ke mall, pasti karena mau beli sesuatu. Dan itu pun harus ada yang nemenin. Harus minimal ada Mbok atau Pak Amir, supir aku yang dulu. Dan tentu aja, Ayah harus tau aku pergi ke mana dan mau beli apa. Jadi kalo cuma buat nongkrong, kayaknya juga nggak mungkin dapet izin dari Ayah.” “I think karena aku tuh dari kecil udah terbiasa di rumah sendirian. Makanya pas remaja, aku jadi nggak terlalu antusias buat pergi ke luar rumah tanpa ada tujuan yang jelas. Selain itu juga, temen deket aku pas zaman sekolah itu cuma ada dua orang doang. Yang pertama ada Rangga, yang kamu juga udah kenal dan sering ket
“Di tempat yang sekarang.” “Jadi kamu langsung jadi dosen S2?” “Nggak langsung sih... Awal aku terjun di kampus itu di bagian HRMD dulu selama satu tahun. Jadi aku ngerombak total semua sistem, dan nambahin beberapa yang baru juga, buat semua karyawan dan dosen. Setelah itu, aku sempet pindah ke bagian PR, tapi cuma enam bulan doang. Baru setelah itu aku full ngajar di S2. Tapi sampe sekarang, kadang-kadang aku masih suka dapet tugas jadi PR juga sih.” “Kamu bahagia nggak, sayang? Sama kerjaan kamu…” Pertanyaan dari Deo barusan membuatku tercekat. Dan aku sama sekali tidak menyangka bahwa Deo akan menanyakan hal tersebut. “Kenapa kamu nanyanya kayak gitu? Memang aku keliatan nggak bahagia ya?” Tanyaku sambil tersenyum dan menatap Deo yang ekspresi wajahnya masih terlihat serius. “Sekalipun kamu keliatan bahagia, memangnya kamu beneran bahagia?” Tanya Deo balik, sambil menatap kedua mataku. + Buseettt… Ini gue mesti ati-ati jawabnya… Status Deo itu masih mahasiswa gue soalnya.
Hari kedua aku dan Deo berada di Singapura adalah hari di mana Hanna dan Roy mengundang kita untuk hadir di acara gender reveal party bayi mereka. Selesai sarapan di hotel, aku dan Deo kemudian langsung bersiap dan mengenakan pakaian yang sudah kita siapkan sebelumnya, dari sejak kita berdua masih berada di Jakarta. - “Kamu nggak ada warna yang lebih cerahan dikit apa?” Tanyaku yang pada saat itu sangat tidak setuju dengan pilihan baju Deo, karena dia memilih celana kain yang berwarna hitam, blazer hitam, dan kaos yang berwarna dark navy. “Nggak ada, sayang… Bajuku yang biru, warnanya kayak gini semua rata-rata.” “Aku pikir kamu punya warna biru yang agak terangan dikit. Kalo tau gini kan, dari kemaren kita beli dulu…” “Memangnya kalo yang ini kenapa? Kan sama-sama biru…” “Ya kan kalo gender reveal party itu biasanya identik sama pastel colors atau warna-warna yang cerah… Apa kita nanti beli aja pas di Singapore?” “Oh, no, thank you. Aku nggak pede, sayang. Aku juga nggak cocok