Rencana akhir pekanku kali ini seharusnya menjadi waktu santai bagiku untuk menikmati quality time bersama dengan Deo. Akan tetapi, sejak aku mengaktifkan kembali ponselku di Changi Airport tadi, notifikasi dari email, sekaligus pesan singkat yang berhubungan dengan kasus Bu Jennifer dan Pak Henry kembali masuk ke dalam ponselku. Sehingga dengan sangat terpaksa, aku harus melakukan beberapa panggilan telepon ke beberapa pihak yang bisa membantuku untuk segera menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi. Dan sampai sejauh ini, rencanaku dengan Erwin belum bisa terlaksana dengan maksimal karena Bu Jennifer masih susah untuk dihubungi dan ditemui. Sedangkan di sisi lain, Pak Dekan bersikap sangat tidak kooperatif, dan hanya bisa menuntutku untuk segera menyelesaikan konflik yang ada tanpa mau mengerti kondisi yang sedang berlangsung di lapangan seperti apa. Terus terang saja, hal tersebut cukup menguras fokus dan tenagaku, hingga pikiranku dipenuhi rasa khawatir. Dan tadi, setelah m
Deo tersenyum lalu mengangguk kecil. “Ayo…” Di dalam hotel, kita berdua langsung berbagi tugas. Deo mengurus administrasi kamar kita terlebih dahulu, sementara aku mengurus in room dining overnight, karena kita berdua sudah lumayan kelaparan. “Kamu mau pesen apa jadinya?” Tanya Deo yang baru saja muncul di sebelahku. “Aku salmon roasted, sama chocolate ice cream. Buat kita berdua ada caesar salad with grilled chicken, sama seasonal fruit platter. Aku pesenin juga buat kamu forest mushroom soup with truffle oil karena kamu kan tadi katanya pengen yang soupy dan anget-anget. Gimana? Mau nggak? Atau mau ganti sup yang lainnya?" "Yang udah kamu pilih aja. Aku suka kok." "Checked." Kataku sambil tersenyum kepada Deo. "Terus, kamu mau nambah apa lagi?” “Hmm…” Deo mengamati daftar menu yang sedang kupegang. “Aku wagyu beef burger deh…” “Ada lagi?” Deo diam sebentar sambil tetap membaca daftar menu. “Coffee ice cream... Udah itu aja.” “Okay, wait a minute…” Kataku yang kemudian langsu
“Liburan pertama di seumur hidupku…” “Kamu belum pernah pergi liburan sebelumnya?” Tanya Deo dengan intonasi suara yang heran. Aku menggelengkan kepalaku secara pelan sambil tersenyum santai. “Selama ini kalo aku pergi ke luar kota atau ke luar negeri, pasti ada tujuannya. Entah buat sekolah, kerja, atau acara nikahan temen-temen aku.” Seketika Deo melepaskan pelukannya, lalu kembali berdiri di sampingku lagi, sambil menatap kedua mataku. “Jadi selama ini kalo ada hari libur, kamu ngapain aja?” “Kalo sekarang ini ya mostly aku kerja.” Jawabku sambil mengambil jepit rambutku yang ada di dalam tas. “Atau palingan aku stay at home buat istirahat, sambil sesekali work at home juga.” “Kamu memang nggak pernah pergi nge-date sama mantan pacar kamu yang dulu?” Tanya Deo yang kemudian duduk di sofa. Aku menghampiri Deo sambil menjepit rambutku. “Ya, pernah dong. Tapi kalo liburan bareng atau nge-date yang jalan-jalan, kita nggak pernah ngelakuinnya. Karena kan Gani juga seringnya dapet
“Dari aku kecil, Ayah suka bikin banyak peraturan yang harus aku taati. Salah satunya adalah, aku nggak boleh pergi ke mana pun tanpa izin dari Ayah. Dan peraturan itu berlaku sampe aku lulus SMA.” Kataku yang kemudian meneguk air mineralku terlebih dahulu. “Kamu dulu pernah hang out ke mall nggak? Atau pergi ke mana aja buat nongkrong sama temen sekolah mungkin?” “Dulu kalo aku mau pergi ke mall, pasti karena mau beli sesuatu. Dan itu pun harus ada yang nemenin. Harus minimal ada Mbok atau Pak Amir, supir aku yang dulu. Dan tentu aja, Ayah harus tau aku pergi ke mana dan mau beli apa. Jadi kalo cuma buat nongkrong, kayaknya juga nggak mungkin dapet izin dari Ayah.” “I think karena aku tuh dari kecil udah terbiasa di rumah sendirian. Makanya pas remaja, aku jadi nggak terlalu antusias buat pergi ke luar rumah tanpa ada tujuan yang jelas. Selain itu juga, temen deket aku pas zaman sekolah itu cuma ada dua orang doang. Yang pertama ada Rangga, yang kamu juga udah kenal dan sering ket
“Di tempat yang sekarang.” “Jadi kamu langsung jadi dosen S2?” “Nggak langsung sih... Awal aku terjun di kampus itu di bagian HRMD dulu selama satu tahun. Jadi aku ngerombak total semua sistem, dan nambahin beberapa yang baru juga, buat semua karyawan dan dosen. Setelah itu, aku sempet pindah ke bagian PR, tapi cuma enam bulan doang. Baru setelah itu aku full ngajar di S2. Tapi sampe sekarang, kadang-kadang aku masih suka dapet tugas jadi PR juga sih.” “Kamu bahagia nggak, sayang? Sama kerjaan kamu…” Pertanyaan dari Deo barusan membuatku tercekat. Dan aku sama sekali tidak menyangka bahwa Deo akan menanyakan hal tersebut. “Kenapa kamu nanyanya kayak gitu? Memang aku keliatan nggak bahagia ya?” Tanyaku sambil tersenyum dan menatap Deo yang ekspresi wajahnya masih terlihat serius. “Sekalipun kamu keliatan bahagia, memangnya kamu beneran bahagia?” Tanya Deo balik, sambil menatap kedua mataku. + Buseettt… Ini gue mesti ati-ati jawabnya… Status Deo itu masih mahasiswa gue soalnya.
Hari kedua aku dan Deo berada di Singapura adalah hari di mana Hanna dan Roy mengundang kita untuk hadir di acara gender reveal party bayi mereka. Selesai sarapan di hotel, aku dan Deo kemudian langsung bersiap dan mengenakan pakaian yang sudah kita siapkan sebelumnya, dari sejak kita berdua masih berada di Jakarta. - “Kamu nggak ada warna yang lebih cerahan dikit apa?” Tanyaku yang pada saat itu sangat tidak setuju dengan pilihan baju Deo, karena dia memilih celana kain yang berwarna hitam, blazer hitam, dan kaos yang berwarna dark navy. “Nggak ada, sayang… Bajuku yang biru, warnanya kayak gini semua rata-rata.” “Aku pikir kamu punya warna biru yang agak terangan dikit. Kalo tau gini kan, dari kemaren kita beli dulu…” “Memangnya kalo yang ini kenapa? Kan sama-sama biru…” “Ya kan kalo gender reveal party itu biasanya identik sama pastel colors atau warna-warna yang cerah… Apa kita nanti beli aja pas di Singapore?” “Oh, no, thank you. Aku nggak pede, sayang. Aku juga nggak cocok
“Kan masih ada aku...” Deo kemudian menggenggam tangan kananku. “Ohh, oke...” Kataku yang sebenarnya masih merasa sangat tidak oke. “Kamu nanti selama acara, jangan tinggalin aku ya? Aku beneran suka nervous kalo belum kenal soalnya. Apalagi ini keluarga kamu…” “Iya, sayang. Kamu tenang aja, nanti aku bakalan selalu di samping kamu…” Kata Deo sambil merangkulku. “Oke…” Kataku yang kemudian tersenyum kecil. “Keluarganya Hanna itu orangnya rame semua... Sebelas, dua belas, sama Hanna. Sepupu-sepupu aku yang lainnya juga orangnya pada chill rata-rata. Dan yang cowok-cowok juga nggak akan berani ganggu kamu, kalo tau kamu itu pacar aku. Trus, kalo nanti ternyata Papa sama istrinya dateng, dan kamu masih ngerasa nggak nyaman, kamu nggak harus ngobrol sama mereka. Jadi, santai aja…” “Ya jangan gitu dong. Masa Papa kamu dateng, aku diem aja dan nggak nyapa…” “Ya, daripada kamu nggak nyaman kan?” “Ya, kalo ternyata mereka dateng, aku akan tetep nyapa pokoknya.” “Ya, udah. Oke. Nanti a
Hanna langsung menggiringku dan Deo untuk menemui keluarga intinya yang sedang duduk sambil menikmati dessert dan bercengkerama satu sama lain. Lalu setelah itu, Hanna juga mengenalkanku ke keluarga inti Roy, dan ke beberapa keluarga besar Deo yang dari sisi Papanya. Sementara Deo selalu berada di sampingku, sambil sesekali bercengkerama dengan beberapa anggota keluarganya. Perasaan dan pikiranku memang tidak sekacau sebelumnya, tapi jauh di dalam diriku, aku tau, aku lumayan merasa tidak nyaman dengan situasi yang seperti ini. Sebenarnya mereka semua bersikap sangat ramah dan baik kepadaku, hanya saja, memang aku yang sangat tidak mudah untuk bisa langsung akrab dengan orang-orang yang baru saja aku temui. Akan tetapi, aku tetap berusaha untuk menutupi diriku yang sebenarnya dengan senyuman. Aku juga tetap bersikap ramah dan sopan, karena aku tidak ingin membuat Deo merasa malu di depan keluarga besarnya. Untung saja, keluarga inti Deo tidak ada satu pun yang bisa hadir di acara ka