Dinda masih belum mengetahui bahwa rencana kencan kita selanjutnya, secara sengaja dan mendadak sudah aku ganti. Setelah percakapan kita kemarin pada saat makan malam, pikiranku langsung dibayangi dengan rencana untuk mengajak Dinda pergi ke kebun binatang dan makan burger. Oleh karena itu tanpa sepengetahuan Dinda, kemarin aku langsung melakukan reservasi secara online, supaya hari ini kita tidak perlu mengantri terlalu lama untuk membeli tiket masuk ke kebun binatang yang ada di daerah Mandai Lake Road. “What are you doing?” Tanya Dinda ketika aku menunjukkan dua lembar tickets yang tadi pagi langsung aku berikan kepada staff hotel untuk dicetak. “Kamu kapan ini belinya?” Kedua matanya mendadak berair dan ekspresinya juga masih terlihat seperti tidak menyangka dengan rencanaku saat ini. “I hope you like it.” Kataku yang kemudian tersenyum kepada Dinda. “What?” Suara Dinda mendadak berubah menjadi sedikit lebih parau. “Deo…” Dan air matanya sudah tidak dapat ia bendung lagi. Denga
Berulang kali senyum Dinda mengembang, kedua mata indahnya berkaca-kaca, dan sesekali dia memelukku sambil mengucapkan terima kasih. Satu hal penting yang aku pelajari dari perjalanan kita kali ini adalah, kebahagiaan dia adalah kebahagiaanku juga. Mungkin bagi sebagian orang, pernyataanku barusan terdengar sangat klise, atau bahkan mustahil. Mungkin malah aku terdengar seperti seolah sedang menggombal saja atau berbohong. Dan mungkin juga perasaanku dianggap sebagai hal yang tidak akan pernah bisa terjadi karena terlalu baik dan indah. Namun, aku sama sekali tidak peduli jika di luar sana ada yang menganggapku tidak mungkin. Bagiku yang paling penting adalah Dinda, dan bagaimana aku yang berusaha untuk selalu memperjuangkan hubungan kita. “Udah selesai milihnya?” Tanyaku ketika Dinda menghampiriku yang sejak tadi duduk dan menunggunya belanja. “Belum. Ini…” Dinda kemudian menunjukkan pergelangan tangannya yang penuh dengan coretan lipstik berwarna merah. “…aku mau beli warna lain j
Ketika kita bisa mengenali seseorang dengan sangat baik, maka kita bisa memahami setiap kebiasaan dari orang tersebut, apa yang orang itu suka dan tidak suka, juga memahami bagaimana suasana pikiran dan hatinya. Karena hal tersebut lah, aku cukup bisa mengenali Dinda dengan sangat baik. Aku juga bisa langsung menyadari jika ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran dan hati kekasihku itu. Sejak kita berdua tadi duduk dan menunggu boarding time, Dinda hampir tidak mengeluarkan sepatah kata pun, dan memilih untuk membaca buku dari tabletnya. Padahal sudah tidak ada Desi dan Rika di sekitar kita, namun Dinda tetap memilih untuk bersikap seperti orang yang sama sekali tidak mengenaliku. Baru setelah kita berada di dalam taksi untuk menuju ke apartemen, Dinda langsung duduk sambil memeluk lenganku dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Perlahan Dinda mulai berbicara lagi, namun sikap dia masih tidak seperti biasanya. “Kita tadi nggak jadi beli lipstik buat kamu kerja. Besok kamu ke kampu
“Ya sampe kamu lulus lah. Sampe status kamu bukan mahasiswa aku lagi.”+Buset dah!Nggak bisa nge-date di luar dong berarti…+“Sayang, masa kita jadi nggak pernah jalan bareng lagi karena takut ketemu orang-orang kampus sih?”“Ya, abisnya gimana dong? Beresiko banget, Deo.”+Ini mendingan gue tanyain sekarang deh…Kalo gue tunda-tunda lagi, bisa ribut mulu nanti sama Dinda…Gue harus gali terus ke dia soal alesan yang sebenernya itu apaan.Kenapa Dinda bisa takut banget kalo hubungan kita diketahui orang-orang kampus?Padahal kan pihak kampus sendiri juga nggak pernah ada peraturan yang ngelarang mahasiswa buat pacaran sama dosennya…Dan kita juga nggak ngerugiin pihak kampus sama sekali.Kita sama-sama single yang mutusin buat pacaran.Status kita bukan selingkuhan atau simpenan masing-masing, jadi nggak ada yang perlu kita takutin dong harusnya?Lagian, hubungan gue sama Dinda nggak akan ngerugiin pihak kampus atau pihak mana pun juga…+“Sayang, sebenernya apa sih alasan kamu ya
“Ya, karena kita itu temen baik. Gimana nggak mau deket coba? Erwin itu satu-satunya dosen yang umurnya nggak beda jauh sama aku, jadi topik obrolan kita pasti banyak yang nyambung. Erwin juga bisa aku percaya. Dia itu orangnya kalo kerja bisa totalitas, jujur, dan profesional, makanya aku sering banget nunjuk dia buat ada di tim kerja aku. Jadi, wajar dong kalo aku sama Erwin sering barengan. Dan kalo pun aku berduaan sama cowok siapa pun itu, kan bukan artinya aku otomatis pacaran sama dia?”“Lagian kalo pun aku pacaran sama Erwin, kenapa juga bisa jadi masalah buat orang lain? Toh kerjaan kita sama-sama beres, dan kita berdua tetep bisa profesional. Kenapa jadi orang lain yang ikut campur, dan ngerasa berhak untuk menghakimi kehidupan pribadi kita?” Tanya Dinda dengan ekspresi yang sedikit kesal. “Tapi aku nggak pernah pacaran sama Erwin ya. Tadi itu cuma perumpamaan aja.” Kata Dinda yang kemudian menambahi penjelasannya dengan cepat.“Kadang tuh pikiran orang lain tentang aku, suk
“Makanya kan dia mempermasalahkan Erwin banget. Kalo dari segi latar belakang keluarga, keluarganya Erwin itu sebenernya nggak buruk kok, menurutku mereka orang-orang yang baik, biarpun bukan berasal dari keluarga yang punya reputasi sosial. Dan kalo dari segi latar belakang ekonomi, Erwin sama aku memang nggak sama, tapi kan yang penting kualitas dari Erwin sendiri, bukan malah seberapa banyak uang yang dia punya sekarang.”“Tapi ya Ayah mana mau peduli soal kualitas karakter. Dia itu lebih suka mandang orang dari reputasi dan pencapaiannya. Dia ngukur kualitas orang dari status sosial, latar belakang pendidikan, dan status ekonominya.”“Memang sih, Ayah itu kepengen yang terbaik buat aku. Dan at some point, aku tuh bisa paham kenapa Ayah kayak gitu. Ayah nggak kepengen nantinya aku dan keturunanku hidup susah. Tapi kan tetep aja nyebelin. Caranya Ayah itu salah banget. Udah gitu Ayah juga bikin malu aku di depan Erwin. Untung Erwin nggak seenaknya menilai aku cuma gara-gara Ayah yan
“Apalagi kamu yang statusnya masih mahasiswa. Udah pasti Tante nggak akan setuju dan nggak suka sama kamu…”“Deo, kamu itu lagi skripsi. Kuliah kamu juga sebentar lagi selesai. Kalo cuma gara-gara aku, trus Tante aku marah dan kamu dicoret gitu aja, kan jadi sia-sia usaha kamu selama ini buat kuliah. Kan sayang juga kalo kamu sampe nggak bisa wisuda? Aku nggak mau ya kalo kamu sampe gagal gara-gara aku…”“Sayang, asal kamu tau aja ya… Ijazah atau sertifikat itu buat aku nggak penting, dan bukan tolak ukur keberhasilanku. Aku mau wisuda atau nggak wisuda juga nggak masalah. Masa depanku nggak akan terganggu gara-gara kuliahku. Karena kan aku punya riwayat pendidikan, dan kerjaan yang lebih dari cukup buat aku bisa tetep kerja, hasilin uang, dan nabung buat masa depan kita berdua.”“Selain itu juga, kamu tau sendiri kan alesan aku kenapa kuliah psikologi itu apa. Jadi, kalo sampe aku nggak punya ijazah ya udah. Jujur aja, aku bodo amat. Yang penting buat aku, materi yang aku butuhin itu
“Iya. Sejahat itu mereka.” Jawab Dinda dengan tegas. “Aku itu kalo ambil keputusan nggak bisa cuma setengah-setengah aja. Aku nggak sekedar parno-parno yang nggak jelas atau nggak beralasan ya... Terus menurut kamu, kalo sampe kamu kena masalah gara-gara aku, memangnya kamu pikir, aku bisa bersikap biasa aja dan seolah nggak terjadi apa-apa gitu?” + Seksi bener pacar gue kalo lagi kayak gini… Dia care… Dia mikirin gue dan masa depan gue sampe sedetil ini… + “Oke, sayang…” Kataku sambil bergerak untuk memeluk Dinda. “Sekarang aku bisa ngerti. Dan aku jadi sadar juga… Makasih ya… Kamu selama ini udah mikirin aku dan hubungan kita sampe jangka panjang dan sampe sedetil ini…” + Dan itu artinya, Dinda sayang sama gue… Sekalipun dia belum bilang apa-apa ke gue, tapi gue tau kalo dia sayang sama gue… Dan keyakinan gue ini bukan semata-mata karena gue yang ge’er sendirian… Tindakan Dinda, semua ucapan dia, dan semua yang dia lakuin itu udah secara langsung ungkapin kalo dia sayang