“Liburan pertama di seumur hidupku…” “Kamu belum pernah pergi liburan sebelumnya?” Tanya Deo dengan intonasi suara yang heran. Aku menggelengkan kepalaku secara pelan sambil tersenyum santai. “Selama ini kalo aku pergi ke luar kota atau ke luar negeri, pasti ada tujuannya. Entah buat sekolah, kerja, atau acara nikahan temen-temen aku.” Seketika Deo melepaskan pelukannya, lalu kembali berdiri di sampingku lagi, sambil menatap kedua mataku. “Jadi selama ini kalo ada hari libur, kamu ngapain aja?” “Kalo sekarang ini ya mostly aku kerja.” Jawabku sambil mengambil jepit rambutku yang ada di dalam tas. “Atau palingan aku stay at home buat istirahat, sambil sesekali work at home juga.” “Kamu memang nggak pernah pergi nge-date sama mantan pacar kamu yang dulu?” Tanya Deo yang kemudian duduk di sofa. Aku menghampiri Deo sambil menjepit rambutku. “Ya, pernah dong. Tapi kalo liburan bareng atau nge-date yang jalan-jalan, kita nggak pernah ngelakuinnya. Karena kan Gani juga seringnya dapet
“Dari aku kecil, Ayah suka bikin banyak peraturan yang harus aku taati. Salah satunya adalah, aku nggak boleh pergi ke mana pun tanpa izin dari Ayah. Dan peraturan itu berlaku sampe aku lulus SMA.” Kataku yang kemudian meneguk air mineralku terlebih dahulu. “Kamu dulu pernah hang out ke mall nggak? Atau pergi ke mana aja buat nongkrong sama temen sekolah mungkin?” “Dulu kalo aku mau pergi ke mall, pasti karena mau beli sesuatu. Dan itu pun harus ada yang nemenin. Harus minimal ada Mbok atau Pak Amir, supir aku yang dulu. Dan tentu aja, Ayah harus tau aku pergi ke mana dan mau beli apa. Jadi kalo cuma buat nongkrong, kayaknya juga nggak mungkin dapet izin dari Ayah.” “I think karena aku tuh dari kecil udah terbiasa di rumah sendirian. Makanya pas remaja, aku jadi nggak terlalu antusias buat pergi ke luar rumah tanpa ada tujuan yang jelas. Selain itu juga, temen deket aku pas zaman sekolah itu cuma ada dua orang doang. Yang pertama ada Rangga, yang kamu juga udah kenal dan sering ket
“Di tempat yang sekarang.” “Jadi kamu langsung jadi dosen S2?” “Nggak langsung sih... Awal aku terjun di kampus itu di bagian HRMD dulu selama satu tahun. Jadi aku ngerombak total semua sistem, dan nambahin beberapa yang baru juga, buat semua karyawan dan dosen. Setelah itu, aku sempet pindah ke bagian PR, tapi cuma enam bulan doang. Baru setelah itu aku full ngajar di S2. Tapi sampe sekarang, kadang-kadang aku masih suka dapet tugas jadi PR juga sih.” “Kamu bahagia nggak, sayang? Sama kerjaan kamu…” Pertanyaan dari Deo barusan membuatku tercekat. Dan aku sama sekali tidak menyangka bahwa Deo akan menanyakan hal tersebut. “Kenapa kamu nanyanya kayak gitu? Memang aku keliatan nggak bahagia ya?” Tanyaku sambil tersenyum dan menatap Deo yang ekspresi wajahnya masih terlihat serius. “Sekalipun kamu keliatan bahagia, memangnya kamu beneran bahagia?” Tanya Deo balik, sambil menatap kedua mataku. + Buseettt… Ini gue mesti ati-ati jawabnya… Status Deo itu masih mahasiswa gue soalnya.
Hari kedua aku dan Deo berada di Singapura adalah hari di mana Hanna dan Roy mengundang kita untuk hadir di acara gender reveal party bayi mereka. Selesai sarapan di hotel, aku dan Deo kemudian langsung bersiap dan mengenakan pakaian yang sudah kita siapkan sebelumnya, dari sejak kita berdua masih berada di Jakarta. - “Kamu nggak ada warna yang lebih cerahan dikit apa?” Tanyaku yang pada saat itu sangat tidak setuju dengan pilihan baju Deo, karena dia memilih celana kain yang berwarna hitam, blazer hitam, dan kaos yang berwarna dark navy. “Nggak ada, sayang… Bajuku yang biru, warnanya kayak gini semua rata-rata.” “Aku pikir kamu punya warna biru yang agak terangan dikit. Kalo tau gini kan, dari kemaren kita beli dulu…” “Memangnya kalo yang ini kenapa? Kan sama-sama biru…” “Ya kan kalo gender reveal party itu biasanya identik sama pastel colors atau warna-warna yang cerah… Apa kita nanti beli aja pas di Singapore?” “Oh, no, thank you. Aku nggak pede, sayang. Aku juga nggak cocok
“Kan masih ada aku...” Deo kemudian menggenggam tangan kananku. “Ohh, oke...” Kataku yang sebenarnya masih merasa sangat tidak oke. “Kamu nanti selama acara, jangan tinggalin aku ya? Aku beneran suka nervous kalo belum kenal soalnya. Apalagi ini keluarga kamu…” “Iya, sayang. Kamu tenang aja, nanti aku bakalan selalu di samping kamu…” Kata Deo sambil merangkulku. “Oke…” Kataku yang kemudian tersenyum kecil. “Keluarganya Hanna itu orangnya rame semua... Sebelas, dua belas, sama Hanna. Sepupu-sepupu aku yang lainnya juga orangnya pada chill rata-rata. Dan yang cowok-cowok juga nggak akan berani ganggu kamu, kalo tau kamu itu pacar aku. Trus, kalo nanti ternyata Papa sama istrinya dateng, dan kamu masih ngerasa nggak nyaman, kamu nggak harus ngobrol sama mereka. Jadi, santai aja…” “Ya jangan gitu dong. Masa Papa kamu dateng, aku diem aja dan nggak nyapa…” “Ya, daripada kamu nggak nyaman kan?” “Ya, kalo ternyata mereka dateng, aku akan tetep nyapa pokoknya.” “Ya, udah. Oke. Nanti a
Hanna langsung menggiringku dan Deo untuk menemui keluarga intinya yang sedang duduk sambil menikmati dessert dan bercengkerama satu sama lain. Lalu setelah itu, Hanna juga mengenalkanku ke keluarga inti Roy, dan ke beberapa keluarga besar Deo yang dari sisi Papanya. Sementara Deo selalu berada di sampingku, sambil sesekali bercengkerama dengan beberapa anggota keluarganya. Perasaan dan pikiranku memang tidak sekacau sebelumnya, tapi jauh di dalam diriku, aku tau, aku lumayan merasa tidak nyaman dengan situasi yang seperti ini. Sebenarnya mereka semua bersikap sangat ramah dan baik kepadaku, hanya saja, memang aku yang sangat tidak mudah untuk bisa langsung akrab dengan orang-orang yang baru saja aku temui. Akan tetapi, aku tetap berusaha untuk menutupi diriku yang sebenarnya dengan senyuman. Aku juga tetap bersikap ramah dan sopan, karena aku tidak ingin membuat Deo merasa malu di depan keluarga besarnya. Untung saja, keluarga inti Deo tidak ada satu pun yang bisa hadir di acara ka
Dinda masih belum mengetahui bahwa rencana kencan kita selanjutnya, secara sengaja dan mendadak sudah aku ganti. Setelah percakapan kita kemarin pada saat makan malam, pikiranku langsung dibayangi dengan rencana untuk mengajak Dinda pergi ke kebun binatang dan makan burger. Oleh karena itu tanpa sepengetahuan Dinda, kemarin aku langsung melakukan reservasi secara online, supaya hari ini kita tidak perlu mengantri terlalu lama untuk membeli tiket masuk ke kebun binatang yang ada di daerah Mandai Lake Road. “What are you doing?” Tanya Dinda ketika aku menunjukkan dua lembar tickets yang tadi pagi langsung aku berikan kepada staff hotel untuk dicetak. “Kamu kapan ini belinya?” Kedua matanya mendadak berair dan ekspresinya juga masih terlihat seperti tidak menyangka dengan rencanaku saat ini. “I hope you like it.” Kataku yang kemudian tersenyum kepada Dinda. “What?” Suara Dinda mendadak berubah menjadi sedikit lebih parau. “Deo…” Dan air matanya sudah tidak dapat ia bendung lagi. Denga
Berulang kali senyum Dinda mengembang, kedua mata indahnya berkaca-kaca, dan sesekali dia memelukku sambil mengucapkan terima kasih. Satu hal penting yang aku pelajari dari perjalanan kita kali ini adalah, kebahagiaan dia adalah kebahagiaanku juga. Mungkin bagi sebagian orang, pernyataanku barusan terdengar sangat klise, atau bahkan mustahil. Mungkin malah aku terdengar seperti seolah sedang menggombal saja atau berbohong. Dan mungkin juga perasaanku dianggap sebagai hal yang tidak akan pernah bisa terjadi karena terlalu baik dan indah. Namun, aku sama sekali tidak peduli jika di luar sana ada yang menganggapku tidak mungkin. Bagiku yang paling penting adalah Dinda, dan bagaimana aku yang berusaha untuk selalu memperjuangkan hubungan kita. “Udah selesai milihnya?” Tanyaku ketika Dinda menghampiriku yang sejak tadi duduk dan menunggunya belanja. “Belum. Ini…” Dinda kemudian menunjukkan pergelangan tangannya yang penuh dengan coretan lipstik berwarna merah. “…aku mau beli warna lain j
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…