Kesepakatan yang telah aku buat bersama dengan Dinda semalam, sejujurnya masih menyisahkan berbagai macam pertanyaan untukku. Firasatku mengatakan bahwa, ada hal lain yang saat ini belum bisa diungkapkan oleh Dinda kepadaku. Aku masih belum mengetahui secara pasti. Tapi kemungkinan besar, ada hal penting yang mendasari keinginan Dinda untuk merahasiakan hubungan pribadi kita berdua.Sejak aku berusaha menemui kekasihku itu di ruangan kerjanya untuk mengembalikan buku absensi, aku bisa melihat dengan jelas bahwa ada yang berbeda dari Dinda. Namun, bukan karena sikap dia yang mendadak menjadi lebih sensitif dan ketus. Justru setelah diskusi semalam, aku jadi lebih sadar lagi, bahwa kemarahan Dinda itu sebenarnya adalah perisai bagi dirinya untuk menutupi sesuatu. Seperti ada sisi lain dari hidupnya yang ia kubur sangat dalam, supaya tidak ada satu orang pun yang sanggup membongkarnya. Bahkan sorot mata Dinda yang biasanya berbicara pun, mendadak menjadi sebuah teka-teki yang tidak mudah
Malam ini aku harus melakukan salah satu rutinitas yang sudah dalam tiga minggu terakhir ini aku tunda karena kesibukanku sendiri. Biasanya aku selalu memperkerjakan beberapa supir ojek online untuk melakukannya, sementara aku tetap tinggal di dalam rumah. Namun kali ini, mendadak aku merasa ingin untuk terjun langsung ke lapangan, dan melihat sendiri situasinya.Pakaianku sudah berganti dengan kaos, celana, dan jaket yang baru saja aku beli secara acak di salah satu ruko yang ada di pinggir jalan. Lekuk tubuhku dan sebagian besar kulitku juga cukup berhasil aku tutupi dengan kostum yang serba longgar, panjang, dan berlapis. Sandal jepit yang kubeli dengan harga tiga puluh lima ribu rupiah, juga sudah menggantikan heels yang ada di kedua kakiku sebelumnya.Kali ini, rambutku sengaja aku ikat asal-asalan. Dan aksesoris yang aku kenakan hanya topi, masker berwarna biru muda, dan kacamata non minus yang juga baru saja aku beli di salah satu emperan ruko yang aku lewati tadi. Semua warna
Mulutnya pada ngeri semua kalo julid. Entah siapaaa lagi itu yang mereka hakimi… Kayak nggak punya kaca nih ibu-ibu… Udah berasa paling hebat aja sedunia…Biarpun gue nggak ada urusan apa pun sama mereka, atau pun orang yang lagi mereka gosipin, tetep kan aja… Gue nggak mau kalo targetin orang yang mulutnya ngalahin cabe setan kayak gitu. Yang ada rencana gue bisa gagal total nanti…Tapi gue nggak bisa kayak gini terlalu lama nih… Ini udah jam enam lewat soalnya… Gue bisa kemaleman nanti selesainya…Tapi masalahnya, gue mau targetin siapa?Buseeettt… Susah bener nyari orang yang tampangnya meyakinkan dan bisa dipercaya…Tunggu dulu deh… Itu di gang sebelah, ada banyak anak kecil main bola…Apa mereka aja ya? Kayaknya masih pada polos-polos kalo dari mukanya… Harusnya sih nggak ada yang otak mesum atau lambe turah ya… Tapi… mereka mau nggak ya, kalo gue gangguin pas lagi seru-serunya main bola gitu?Apa gue coba dulu aja kali ya? Daripada gue kemaleman… Toh mereka juga bakalan gue kasi
“Ini, Kak Lala kasih kamu catatan di kertas juga.” Aku menyerahkan selembar kertas yang sudah kusiapkan dari beberapa jam yang lalu. “Di kertas ini, udah Kak Lala tulis semua tugas Aji. Sama kayak yang tadi Kak Lala udah kasih tau ke Aji. Kertas ini, Aji pegang, Aji jaga baik-baik ya? Soalnya buat bantuin Aji nanti, biar Aji nggak lupa. Gimana? Mudah kan?”“Mudah, Kak Lala.”“Trus, nanti Aji juga harus kasih kertasnya ini ke Ibu yang jualan di warung itu ya?”“Iya, Kak Lala.”“Trus, Aji minta tolong sama Ibunya buat tulis semua harga dan sisa jualan yang masih ada di kertas ini... Ini udah Kak Lala tulis semua, biar Ibunya yang baca. Jadi Aji nggak akan bingung dan lupa. Gimana? Mudah kan?”“Yang nulis semua nanti harus Ibunya ya, Kak Lala?”“Iya. Bener banget! Aji pinter deh! Yang nulis nanti biar Ibunya aja. Aji tugasnya cuma bilang aja, kayak yang tadi Kak Lala udah jelasin… Trus, Aji tunjukin kertas ini ke Ibu yang punya warung bubur itu… Trus, kalau Ibunya sudah selesai tulis, ke
Beberapa menit kemudian, Aji berjalan cepat ke arahku. “Kak Lala, udah, Kak.” Aji kemudian duduk di sebelahku, lalu menyerahkan kembali selembar kertas yang tadi aku berikan kepadanya.“Coba Kak Lala baca dulu ya?”“Iya, Kak Lala.”Aku memeriksa semua tulisan yang sudah ditambahkan di selembar kertas yang ada di tangan kananku sekarang ini. Semuanya sesuai dengan harapan dan rencanaku. Aku tersenyum kepada Aji, sambil memegang pundaknya. “Aji hebat. Aji pinter deh! Makasih banyak ya, Aji. Kak Lala seneng banget bisa minta tolong sama Aji.”“Iya, Kak Lala. Sama-sama.”“Nah! Sekarang semuanya… giliran kita lakuin tugas yang kedua ya?”“Iya, Kak Lala!” Jawab mereka bertujuh secara kompak.Aku meminta ketujuh anak kecil untuk duduk melingkar di lantai emperan ruko. Baru setelah itu, aku berusaha menjelaskan kepada mereka lagi, mengenai rencanaku yang selanjutnya. Tentu saja, aku harus menyampaikannya secara berulang kali, dan dengan bahasa yang lebih mudah untuk dipahami mereka bertujuh.
+Aduh, sayang… kamu di mana sih ini?Di apartemen nggak ada, hape juga malah nggak aktif…Aku telepon klinik juga katanya kamu udah pulang dari tadi…Apa gue telepon kampus aja ya? Kali aja, Dinda balik lagi ke kampus…Tapi kalo gue telepon kampus, memang masih ada orang jam segini? Tapi ngapain ya Dinda balik kampus?Kenapa hapenya nggak aktif sama sekali? Kayak nggak biasanya ini…Apa jangan-jangan Dinda masih ngambek ya sama gue?Ah, nggak deh. Kan kita udah ML lagi…Kita juga seharian ini fine-fine aja…Trus ini dia di mana coba?Nggak ada kabar sama sekali…Bikin gue nggak tenang aja…Semoga nggak ada apa-apa deh di jalan…+Sekitar lima menit kemudian, tubuhku segera bangkit berdiri, lalu berjalan menuju ke pintu masuk apartemen Dinda, karena aku mendengar seperti suara plastik yang sedang diremas-remas.+Ini dia nih, akhirnya udah pulang…+Hal pertama yang dilakukan Dinda ketika melihat aku yang berjalan menghampirinya adalah berteriak dengan suara yang sedikit kencang. “Kam
Waktu menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh enam menit. Omelette, beberapa macam sayur rebus, dan dada ayam panggang sudah matang. Orange cold pressed juice pun sudah siap di kitchen island. Sembari menunggu Dinda yang saat ini masih berada di dalam kamar mandi, aku memilih untuk membersihkan dapur dan peralatan masak yang kotor terlebih dahulu.“Kamu nggak jadi ngeringin rambut?” Tanyaku ketika melihat Dinda yang berjalan menghampiriku. Dia masih menggunakan bathrobe dan rambutnya juga masih setengah basah.“Nanti dulu deh. Aku udah laper banget soalnya…” Jawab Dinda sambil memelukku dari belakang.Aku tersenyum sambil mengelus tangannya yang melingkari perutku. “Ya udah, ayo. Makan dulu. Aku juga laper.”Aku menggiring Dinda untuk duduk di sebelahku. Kita berdua segera menikmati makan malam yang bisa dibilang cukup terlambat ini. Tapi, jika mengetahui kebiasaan Dinda sehari-hari itu seperti apa, tidak ada kata terlambat untuk makan, karena Dinda sendiri memiliki jam makan yang
Deo segera mengakhiri percakapannya di telepon, kemudian langsung memelukku kembali. “Sayang, aku mendadak harus meeting sama orang audio dulu. Belum tau selesainya jam berapa. Tapi, nanti kalau kamu udah selesai, kamu tetep kabarin aku ya?”“Oke. Nanti kalo misalnya kamu belum selesai, aku pulangnya naik taksi aja nggak apa-apa kok.”“No. Jangan. Kamu kabarin aku aja pokoknya, biar aku yang atur waktunya. Tapi, kalo misal aku belum selesai, kamu mau nungguin aku dulu nggak? Aku usahain cepet pokoknya.”“Nggak usah buru-buru. Selesaiin dulu kerjaan kamu dengan baik. Aku nungguin kamu juga nggak masalah. Toh aku cuma di Arutala photo-shoot-nya. Di sini juga banyak temen-temen aku.”“Oke, aku janji. Pokoknya habis ini, kita quality time bareng.”“Hmm…” Dinda mengangguk dan tersenyum. “Oke.”“Aku pergi dulu.” Kataku kemudian mengecup kening Dinda.“Ati-ati ya di jalan.”“Iya…” Kita berdua lalu berciuman sekali lagi, sebelum akhirnya Deo kembali masuk ke dalam lift dan pergi meninggalkank
Segala cara aku lakukan untukku bisa mengalihkan perhatianku dari perasaan gelisah yang sejak kemarin menghantuiku. Mendadak selera makanku hilang begitu saja. Aku mencoba untuk bekerja pun juga malah berakhir dengan melamun. Lagu-lagu yang aku dengarkan untuk membuat perasaan cemasku lebih tenang juga sama sekali tidak bekerja. Dinda masih belum pulang, dan belum memberiku kabar, dan rasanya waktu sedang berjalan dengan sangat lambat. + Gue tiduran di kamar aja apa ya? Kali aja gue bisa beneran ketiduran dan berhenti overthinking? + Mencoba untuk tidur adalah cara yang saat ini sedang aku coba untuk membunuh perasaan cemasku. Tubuhku berbaring lurus, kedua mataku terpejam, akan tetapi pikiranku masih saja terus berjalan. Aku lalu mengambil ponselku yang terletak di atas nakas. + Dinda kok lama? Lagi apa ya dia? Gue dengerin lagu lagi aja deh… Gue sambungin speaker aja… Biar kencengnya satu ruangan dan bisa ngalahin kencengnya pikiran gue… + Aku kembali memejamkan kedua m
“Sori ya, aku telat. Macet banget tadi.” Kata Gani yang terdengar seperti habis berlari. “It’s okay. Aku juga baru aja nyampe kok.” Kataku dengan intonasi suara yang santai. “Kita pesen dulu aja ya? Kamu mau makan apa?” “Kamu aja yang pesen, aku nggak usah.” “Yah, jangan kayak gitu dong… Masa aku makan sendiri sih?” “Aku buru-buru soalnya. Tapi kalo kamu mau makan, pesen aja nggak apa-apa.” “Ya udah, aku pesenin makanan sama cemilan buat kita ngobrol dulu ya? Kamu mau apa?” “Es Americano aja.” + Gue bales chat Deo nanti aja deh, kalo udah selesai… Biar gue fokus dulu ngobrolnya sama Gani… Toh, Deo udah gue kasih tau kalo gue udah di kafe… Gila, gue padahal nggak ngapa-ngapain dan Cuma mau nyelesaiin masalah gue sama Gani aja, tapi rasanya kok aneh ya? Berasa kayak gue jahat banget dan udah nyelingkuhin Deo secara halus… Tapi, nggak lah. Gue kan cuma mau ngobrol doang sama Gani. Bukan ngajakin dia balikan… Ini gue yang bayar apa Gani yang bayar ya? Dia sih bilangnya mau
Di saat Gagas, Desi, dan Fatima sedang sibuk membicarakan kemenangan kita di pengadilan tadi pagi, aku sibuk memikirkan Dinda yang malam ini akan bertemu dengan Gani. Sejujurnya aku merasa sangat gelisah sekali dan rasanya aku ingin mempercepat waktu supaya pikiranku bergerak menjadi lebih tenang. “Kevin di mana sih ini? Kok lama bener.” Tanya Fatima sambil mengamati jam tangannya. “Masih bimbingan dia.” Jawab Gagas. “Kita tunggu lima menit lagi aja. Kalo dia nggak dateng, kita pesen dulu berarti.” Kata Desi. “Pesen sekarang aja gimana? Buat makanannya lumayan lama soalnya. Sambil nunggu Kevin, sambil nunggu makanan dateng. Perut gue udah nggak kuat nih.” “Ya udah. Kevin gimana tapi?” Tanya Fatima. “Kita pesenin, atau dia nanti aja pesennya pas udah dateng?” “Pesenin aja. Kan kuahnya dipisah, jadi nggak akan medhok mienya.” “Gue nggak tau ya Kevin sukanya apa…” Kata Desi. “Dia mah apa aja suka. Pesenin komplit aja, kan kita juga belum pada makan dari tadi.” Kata Gagas. “Ya, u
Di rumah, aku lumayan heran dengan Dinda yang baru saja pulang kerja, dan langsung terlihat kebingungan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. “Kamu nyari apa sih, sayang?” Tanyaku sambil mengamati Dinda yang membuka beberapa laci di ruang tengah. “Ini…” + Ini? Ada apa ya ini? Dinda keliatan nggak kayak biasanya… + “Ini apa?” “Kamu jangan marah ya tapi?” Dinda menatapku dengan sorot mata yang khawatir. “Aku lagi nyari kalung pemberian. Tapi, aku lupa taruh di mana.” + Kalung? Oh, kalung dari Gani nih pasti… + “Kamu duduk dulu sebentar. Aku ambilin kalungnya.” Kataku yang kemudian bergegas menuju ruang kerjaku terlebih dahulu. + Dinda mendadak sadar kehilangan kalungnya, atau ada apa ya? Gue kirain dia udah lupa sama kalungnya… + “Ini bukan yang kamu cari?” Tanyaku sambil menunjukkan kalung yang pada saat itu tidak sengaja aku temukan. “Iya, ini…” Jawab Dinda sambil mengamati kalungnya yang berwarna rosegold itu. “Dari Gani kan itu?” “Iya… Kalungnya kok bisa
“Yo, besok jam sembilan pagi, lo bisa ngeluangin waktu buat hadir di persidangan nggak?” Tanya Kevin yang baru saja duduk di depanku. “Bisa.” Jawabku sambil tetap fokus dengan pekerjaanku sendiri karena aku sudah tidak terlalu kaget dengan berita ini. “Lo bawa surat panggilannya nggak?” “Bawa, nih. Gue memang mau tunjukin ke lo sekalian.” “Gagas sama yang lainnya udah tau?” Tanyaku sambil membuka amplop coklat dan mengeluarkan satu lembar kertas putih yang berisikan undangan untuk menghadiri pengadilan. “Udah. Ini Gagas lagi nemui Fatima sama Desi… Gue sampe tadi mampir ke pos polisi sebentar buat tanya ini logo suratnya asli atau nggak. Menurut lo asli kan ya ini, Yo? Bukan hoax.” “Iya, ini asli.” Jawabku dengan intonasi suara yang penuh keyakikan. “Lo udah siap buat besok?” “Ya, siap. Hadapi aja besok.” Jawab Kevin sambil mengeluarkan laptopnya. “Nanti gue mau nemuin Bu Dinda dulu. Besok gue pagi ada jadwal konsultasi, semoga dia nggak keberatan kalo gue minta jamnya dimunduri
“Halo, iya, kenapa, Sal?” Tanyaku yang baru saja bangun tidur dan ke luar dari kamar tidur karena aku tidak ingin menganggu Deo yang sedang tertidur nyenyak. “Dinda! Gue ada kabar baik buat lo!” Kata Salma dengan intonasi suara yang penuh dengan semangat. “Sal, ini masih setengah empat dan lo kenapa bisa sesemangat ini?” “Gue baru mau tidur ini. Dengerin gue baik-baik ya. Lo udah bangun kan?” “Udah… Apa buruan? Gue mau balik tidur lagi…” “Jadi, mahasiswa lo yang begajulan dan anarkis keroyokan itu, semuanya, udah berhasil ditangkep dan diamanin di dalem sel. Surat panggilan buat sidang juga udah selesai dibuat, jadi bilangin ke laki lo, dia sama temen-temennya harus siap. Karena hari ini dikirim, dan lusa kalian maju ke persidangan?” “Lusa? Kok bisa cepet banget sih, Sal? Ini gue nggak ngelindur kan ya ngomong sama lo?” “Nggak, Dinda. Ini beneran. Gue tadinya dapet jadwal buat kalian hari Jumat pagi. Tapi, mendadak gue dikabarin dan tanggalnya dipercepat. Gue sendiri juga sempe
“Kamu kalo belum ngantuk, cerita aja, sayang…” “Kamu memang belum ngantuk?” Tanya Dinda balik. “Belum.” Jawabku sambil memiringkan badanku untuk menatap ke arah Dinda yang berbaring terlentang di sebelahku. “Tadi, sebenernya itu, aku sama Bu Jenny lebih banyak ngobrolin berbagai macam hal di luar kepentingan aku. Terutama kita ngobrolin soal makanan sih, karena Bu Jenny hobi kuliner gitu. Dan untungnya aku bisa masak, dan tau sama masalah dapur, jadi aku bisa cepet nyambung sama dia.” “Kalo soal Pak Henry, ya…” Dinda menghela nafas pelan terlebih dahulu. “Ternyata bener firasat aku. Memang dia yang nggak beres…” Kata Dinda yang kemudian terdiam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar kita. “Kenapa Pak Henry?” “Korupsi.” Jawab Dinda dengan pelan. “Jualan kursi mahasiswa juga.” Aku mengernyitkan dahiku yang bagian tengah. “Maksudnya jualan kursi mahasiswa?” “Ya, jadi kalo ada calon mahasiswa yang mau daftar, Pak Henry bisa jamin buat orang itu bisa diterima tanpa tes, asa
“Gimana tadi, sayang? Lancar kan?” Tanyaku langsung ketika Dinda berjalan menghampiriku. Dia tidak menjawab pertanyaaku barusan dan memilih untuk langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku tersenyum dan membalas pelukannya, sambil menciumi bagian kepalanya. “Aku anggep, pelukan dari kamu ini artinya rencana yang kita susun, akhirnya berjalan dengan lancar.” “Lancar banget.” Jawab Dinda sambil memelukku dan menatap kedua mataku. Kedua matanya berkaca-kaca dan bahkan terlihat seperti hampir menangis. “Thank you.” Katanya yang kemudian mengecup bibirku dengan lembut. “Aku udah beliin kopi pesenan kamu. Mau makan siang bareng nggak?” “Ugh, aku nggak bisa. Tadi aku dapet telepon dari orang HRD, dan aku mesti ketemuan sama mereka dulu.” “Ya udah, kamu habis itu balik ke gedung S1 atau S2.” “S2. Ada yang harus aku urus dulu sebelum resign. Maaf ya?” “Okay, tapi kamu jangan lupa makan ya, sayang?” “Iya…” “Karena urusan pentingnya biar kamu lancar buat resign, ya udah, nggak apa-apa. Se
Senin, tepat pukul sepuluh pagi, jantungku mendadak berdegup lebih cepat daripada biasanya karena aku sedang menunggu Bu Jenny untuk pergi ke bakery shop langganan dia. Pikiranku saat ini terbelah menjadi dua antara keselamatan Deo, dan Bu Jenny yang sebentar lagi akan muncul. Aku tau dan aku percaya dengan kemampuan Deo, hanya saja aku benar-benar khawatir dengannya. Dia sudah berani mengambil resiko untuk membantuku dan sekarang aku yang malah takut kehilangannya. + Dinda, tenang ya, Dinda… Semuanya bakalan baik-baik aja… Lo jangan terlalu overthinking dan parno nggak jelas. Tujuan lo kan bukan mau jahatin orang, jadi lo nggak perlu ketakutan berlebihan kayak gini… Inget, Deo udah berusaha banyak, sampe rela ngelakuin hal yang beresiko banget buat dia… Jadi lo mesti bisa fokus, dan kerjain semuanya dengan baik… Jangan bikin usaha yang udah Deo lakuin buat lo, jadi berantakan dan berakhir sia-sia… Pokoknya lo pasti bisa! Lo tinggal pura-pura nggak sengaja ketemu Bu Jenny…