"Kamu juga harus inget, kita itu tinggal di mana? Orang yang suka ikut campur urusan orang lain tanpa diminta, sukanya berasumsi buruk, menghakimi seenaknya, menjatuhkan, dan nyebarin fitnah itu, populasinya membludak.”Deo diam sejenak, dia lalu menghela nafas pelan lagi. “Iya, aku paham maksud kamu... Tapi ini dua sisi di dalam satu koin loh. Kalau alasannya mengenai conflict of interest, itu artinya aku boleh bahas semua hal tentang perkuliahan aku ke kamu, selama jam kerja kamu.”+Well, that’s good!+“Tentu aja boleh.” Aku tersenyum senang sambil menatap Deo. “Kita memang pacaran, tapi kalau di kampus, status kamu mahasiswa dan aku dosen. Aku nggak akan pernah ngelarang kamu, selama yang kamu bahas itu bener-bener masalah perkuliahan ya. Bukan hal yang sifatnya personal. Dan aku juga akan tetep profesional sebagai dosen. Jadi, nggak ada perlakuan khusus atau spesial buat kamu.”“Iya, aku paham. Berarti kalo aku kangen, aku tinggal cari bahan obrolan seputar kuliah aja, biar bisa
Kesepakatan yang telah aku buat bersama dengan Dinda semalam, sejujurnya masih menyisahkan berbagai macam pertanyaan untukku. Firasatku mengatakan bahwa, ada hal lain yang saat ini belum bisa diungkapkan oleh Dinda kepadaku. Aku masih belum mengetahui secara pasti. Tapi kemungkinan besar, ada hal penting yang mendasari keinginan Dinda untuk merahasiakan hubungan pribadi kita berdua.Sejak aku berusaha menemui kekasihku itu di ruangan kerjanya untuk mengembalikan buku absensi, aku bisa melihat dengan jelas bahwa ada yang berbeda dari Dinda. Namun, bukan karena sikap dia yang mendadak menjadi lebih sensitif dan ketus. Justru setelah diskusi semalam, aku jadi lebih sadar lagi, bahwa kemarahan Dinda itu sebenarnya adalah perisai bagi dirinya untuk menutupi sesuatu. Seperti ada sisi lain dari hidupnya yang ia kubur sangat dalam, supaya tidak ada satu orang pun yang sanggup membongkarnya. Bahkan sorot mata Dinda yang biasanya berbicara pun, mendadak menjadi sebuah teka-teki yang tidak mudah
Malam ini aku harus melakukan salah satu rutinitas yang sudah dalam tiga minggu terakhir ini aku tunda karena kesibukanku sendiri. Biasanya aku selalu memperkerjakan beberapa supir ojek online untuk melakukannya, sementara aku tetap tinggal di dalam rumah. Namun kali ini, mendadak aku merasa ingin untuk terjun langsung ke lapangan, dan melihat sendiri situasinya.Pakaianku sudah berganti dengan kaos, celana, dan jaket yang baru saja aku beli secara acak di salah satu ruko yang ada di pinggir jalan. Lekuk tubuhku dan sebagian besar kulitku juga cukup berhasil aku tutupi dengan kostum yang serba longgar, panjang, dan berlapis. Sandal jepit yang kubeli dengan harga tiga puluh lima ribu rupiah, juga sudah menggantikan heels yang ada di kedua kakiku sebelumnya.Kali ini, rambutku sengaja aku ikat asal-asalan. Dan aksesoris yang aku kenakan hanya topi, masker berwarna biru muda, dan kacamata non minus yang juga baru saja aku beli di salah satu emperan ruko yang aku lewati tadi. Semua warna
Mulutnya pada ngeri semua kalo julid. Entah siapaaa lagi itu yang mereka hakimi… Kayak nggak punya kaca nih ibu-ibu… Udah berasa paling hebat aja sedunia…Biarpun gue nggak ada urusan apa pun sama mereka, atau pun orang yang lagi mereka gosipin, tetep kan aja… Gue nggak mau kalo targetin orang yang mulutnya ngalahin cabe setan kayak gitu. Yang ada rencana gue bisa gagal total nanti…Tapi gue nggak bisa kayak gini terlalu lama nih… Ini udah jam enam lewat soalnya… Gue bisa kemaleman nanti selesainya…Tapi masalahnya, gue mau targetin siapa?Buseeettt… Susah bener nyari orang yang tampangnya meyakinkan dan bisa dipercaya…Tunggu dulu deh… Itu di gang sebelah, ada banyak anak kecil main bola…Apa mereka aja ya? Kayaknya masih pada polos-polos kalo dari mukanya… Harusnya sih nggak ada yang otak mesum atau lambe turah ya… Tapi… mereka mau nggak ya, kalo gue gangguin pas lagi seru-serunya main bola gitu?Apa gue coba dulu aja kali ya? Daripada gue kemaleman… Toh mereka juga bakalan gue kasi
“Ini, Kak Lala kasih kamu catatan di kertas juga.” Aku menyerahkan selembar kertas yang sudah kusiapkan dari beberapa jam yang lalu. “Di kertas ini, udah Kak Lala tulis semua tugas Aji. Sama kayak yang tadi Kak Lala udah kasih tau ke Aji. Kertas ini, Aji pegang, Aji jaga baik-baik ya? Soalnya buat bantuin Aji nanti, biar Aji nggak lupa. Gimana? Mudah kan?”“Mudah, Kak Lala.”“Trus, nanti Aji juga harus kasih kertasnya ini ke Ibu yang jualan di warung itu ya?”“Iya, Kak Lala.”“Trus, Aji minta tolong sama Ibunya buat tulis semua harga dan sisa jualan yang masih ada di kertas ini... Ini udah Kak Lala tulis semua, biar Ibunya yang baca. Jadi Aji nggak akan bingung dan lupa. Gimana? Mudah kan?”“Yang nulis semua nanti harus Ibunya ya, Kak Lala?”“Iya. Bener banget! Aji pinter deh! Yang nulis nanti biar Ibunya aja. Aji tugasnya cuma bilang aja, kayak yang tadi Kak Lala udah jelasin… Trus, Aji tunjukin kertas ini ke Ibu yang punya warung bubur itu… Trus, kalau Ibunya sudah selesai tulis, ke
Beberapa menit kemudian, Aji berjalan cepat ke arahku. “Kak Lala, udah, Kak.” Aji kemudian duduk di sebelahku, lalu menyerahkan kembali selembar kertas yang tadi aku berikan kepadanya.“Coba Kak Lala baca dulu ya?”“Iya, Kak Lala.”Aku memeriksa semua tulisan yang sudah ditambahkan di selembar kertas yang ada di tangan kananku sekarang ini. Semuanya sesuai dengan harapan dan rencanaku. Aku tersenyum kepada Aji, sambil memegang pundaknya. “Aji hebat. Aji pinter deh! Makasih banyak ya, Aji. Kak Lala seneng banget bisa minta tolong sama Aji.”“Iya, Kak Lala. Sama-sama.”“Nah! Sekarang semuanya… giliran kita lakuin tugas yang kedua ya?”“Iya, Kak Lala!” Jawab mereka bertujuh secara kompak.Aku meminta ketujuh anak kecil untuk duduk melingkar di lantai emperan ruko. Baru setelah itu, aku berusaha menjelaskan kepada mereka lagi, mengenai rencanaku yang selanjutnya. Tentu saja, aku harus menyampaikannya secara berulang kali, dan dengan bahasa yang lebih mudah untuk dipahami mereka bertujuh.
+Aduh, sayang… kamu di mana sih ini?Di apartemen nggak ada, hape juga malah nggak aktif…Aku telepon klinik juga katanya kamu udah pulang dari tadi…Apa gue telepon kampus aja ya? Kali aja, Dinda balik lagi ke kampus…Tapi kalo gue telepon kampus, memang masih ada orang jam segini? Tapi ngapain ya Dinda balik kampus?Kenapa hapenya nggak aktif sama sekali? Kayak nggak biasanya ini…Apa jangan-jangan Dinda masih ngambek ya sama gue?Ah, nggak deh. Kan kita udah ML lagi…Kita juga seharian ini fine-fine aja…Trus ini dia di mana coba?Nggak ada kabar sama sekali…Bikin gue nggak tenang aja…Semoga nggak ada apa-apa deh di jalan…+Sekitar lima menit kemudian, tubuhku segera bangkit berdiri, lalu berjalan menuju ke pintu masuk apartemen Dinda, karena aku mendengar seperti suara plastik yang sedang diremas-remas.+Ini dia nih, akhirnya udah pulang…+Hal pertama yang dilakukan Dinda ketika melihat aku yang berjalan menghampirinya adalah berteriak dengan suara yang sedikit kencang. “Kam
Waktu menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh enam menit. Omelette, beberapa macam sayur rebus, dan dada ayam panggang sudah matang. Orange cold pressed juice pun sudah siap di kitchen island. Sembari menunggu Dinda yang saat ini masih berada di dalam kamar mandi, aku memilih untuk membersihkan dapur dan peralatan masak yang kotor terlebih dahulu.“Kamu nggak jadi ngeringin rambut?” Tanyaku ketika melihat Dinda yang berjalan menghampiriku. Dia masih menggunakan bathrobe dan rambutnya juga masih setengah basah.“Nanti dulu deh. Aku udah laper banget soalnya…” Jawab Dinda sambil memelukku dari belakang.Aku tersenyum sambil mengelus tangannya yang melingkari perutku. “Ya udah, ayo. Makan dulu. Aku juga laper.”Aku menggiring Dinda untuk duduk di sebelahku. Kita berdua segera menikmati makan malam yang bisa dibilang cukup terlambat ini. Tapi, jika mengetahui kebiasaan Dinda sehari-hari itu seperti apa, tidak ada kata terlambat untuk makan, karena Dinda sendiri memiliki jam makan yang