Angin sore berhembus menerbangkan rambut hitam lurus milik Galen, dia menatap ke sekeliling berharap agar orang yang membuat janji dengannya tadi siang datang lebih cepat. Suara langkah kaki terdengar begitu jelas membuat pemuda tersebut segera menoleh.
"Kenapa kau lama sekali? Cepat katakan! Apa tujuanmu menemuiku sekarang?" tanya Galen dengan wajah datar.
Perempuan yang berdiri di depan pemuda tampan itu menatap penuh ragu kemudian mengambil sesuatu di dalam tas, benda pipih berwarna putih tersebut terulur ke arah Galen.
"Aku ... Hamil," lirih perempuan itu sambil menundukkan kepala. Dia tidak mau melihat bagaimana reaksi yang akan diberikan oleh pemuda di hadapannya.
Benda pipih berwarna putih tersebut terhempas ke tanah, ketika tangan besar pemuda di depannya menepis dengan kuat, "Itu bukan urusanku. Apa hanya ini yang ingin kau katakan? Sungguh, membuang waktuku saja!" Dia berbalik badan.
"A-apa? Kenapa ... Kau berbicara begitu Galen?!" bentak perempuan itu tak terima, air mata bahkan sudah jatuh melewati kedua pipinya yang tembem.
"Aku tidak meminta mu untuk menolong ku hari itu Nasya, jadi jangan salahkan aku." Pemuda tersebut dengan santai menjawab kemudian pergi meninggalkan gadis bernama Nasya itu sendirian.
Tangan Nasya bergetar hebat ketika mengambil test kehamilan yang di tepis oleh Galen tadi, dengan telaten ia kembali memasukkan benda itu ke dalam tas.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang Tuhan?" tanya Nasya gemetar. Perempuan itu memandang kepergian Galen dengan tatapan sendu dan juga marah.
****
Pagi ini Nasya sudah siap dengan seragam sekolah berwarna putih abu, ia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Perlahan tangan putih milik Nasya mengelus perut yang masih rata, akan tetapi ia tahu bahwa di sana sudah ada kehidupan baru.
Sebuah janin yang sepertinya datang tidak sesuai waktu, dia menggelengkan kepala mengenyahkan sebuah pemikiran yang begitu aneh. Bergegas saja Nasya meraih tas yang terletak di atas ranjang, membuka pintu kamar dan turun ke lantai bawah.
Suara kayu berderit adalah ciri khas rumah Nasya, ia tinggal di sebuah rumah kayu dengan dua lantai. Lantai pertama untuk kedua orang tuanya membuka restoran kecil dan lantai kedua untuk mereka tinggal.
"Pagi Nasya, ayo makan dulu." Keina memanggil anak perempuan semata wayangnya agar segera mendekat.
Dengan langkah kecil Nasya mendekat dan merasa aneh ketika mencium aroma masakan sang Ibu, "Aku ... Aku harus berangkat sekolah Bu, perutku masih kenyang." Kemudian berlari ke luar rumah.
"Hei! Kau belum makan apapun, Nasya ayo kembali!" teriak sang Ibu begitu nyaring sehingga menggelar di rumah kecil mereka. Ayah Nasya yang tadinya sibuk membaca koran menatap dengan heran.
"Biarkan saja Keina, mungkin dia sedang terburu-buru," jawab Carel Ayahnya Nasya santai.
Perempuan berbadan dua tersebut duduk di halte bus, ia membuka tas dan mengambil benda pipih di dalamnya. Dia tersenyum kecil ketika melihat pesan dari Ratu, sahabatnya. Akan tetapi fokusnya teralihkan pada foto seseorang yang berada di galerinya. Di sana wajah Galen terpampang begitu jelas, sudut bibirnya terangkat ke atas.
"Untuk apa aku menyimpan foto ini? Sungguh bodoh sekali," rutuk Nasya memukul kepalanya pelan.
****
Suasana sekolah sudah mulai ramai ketika Nasya menginjakkan kaki di sana, beberapa orang akan menatap dirinya sinis karena Nasya adalah anak beasiswa. Entah kenapa status orang yang sekolah karena beasiswa begitu rendah di mata siswa lainnya.
"Nasya ayo ke sini!" teriak seorang gadis yang sudah menunggu kehadiran perempuan itu di depan pintu kelas.
"Kenapa kau terlihat begitu antusias?" tanya Nasya begitu penasaran.
Gadis itu tampak menatap sekeliling dan menarik tubuh Nasya mendekat, "Kau tahu ada satu anak beasiswa yang dikeluarkan dari sekolah karena ia sedang hamil, sungguh malang sekali bukan?"
Detak jantung Nasya berdegup lebih cepat, rasa takut memenuhi rongga dada. Dengan gemetar tangannya memegangi kepala dan mengundang tanya di benak Ratu.
"Kenapa Nasya? Apa ada yang sakit?" tanya gadis itu begitu khawatir, ia memapah tubuh sahabatnya itu masuk ke dalam kelas, membawanya menuju tempat duduk. Ratu mengulurkan air minum miliknya, "Minumlah ini."
Masih dengan tangan gemetar Nasya mengambil botol tersebut, ia meminum air dengan begitu cepat.
"Ada apa denganmu Nasya?" tanya Ratu lagi ketika melihat bahwa sahabatnya itu sudah sedikit baikan setelah meminum air.
Nasya menggelengkan kepalanya, "Aku ... Aku tak apa Ratu, hanya sedang haus saja. Lagipula tadi Pagi aku tidak sempat sarapan." Nasya berbohong, padahal sudah jelas tadi Pagi sang Ibu sudah menyiapkan makanan untuknya.
"Aku pikir kau kenapa, apa ingin aku belikan makanan?" tanya Ratu lagi masih dengan nada khawatir.
"Tidak, aku tidak apa Ratu. Jangan begitu khawatir," kekeh Raina yang membuat Ratu kesal.
"Kau ini!" ujar gadis itu kesal sambil memukul bahu Nasya. Keduanya pun tertawa, tanpa mereka sadari bahwa semenjak tadi ada satu pasang mata yang tak henti-hentinya menatap pada Nasya.
Suasana Pagi yang cerah membuat semua siswa begitu semangat, hari ini siswa tingkat akhir akan melakukan perjalanan studi tour ke area pegunungan. Banyak dari mereka yang membawa tas besar, baik itu berisi makanan maupun pakaian yang akan dipakai di sana nanti."Nasya? Apa kau membawa cemilan lebih?" tanya Ratu penuh harap, sangat di sayangkan karena ia tidak membawa tas cemilan yang sudah di siapkan semalam. Akan sangat terlambat jika Ratu kembali pulang untuk menjemput itu saja, bisa jadi ketika ia sampai di sekolah kembali maka bus sudah berangkat.Gadis cantik nan imut itu mengangguk, "Iya. Aku bawa lebih, tenang saja. Aku akan membaginya padamu nanti Ratu sayang.""Aaahh ... Terimakasih, aku sangat senang!" teriak Ratu memeluk tubuh Nasya yang lebih pendek darinya, hal tersebut membuat orang-orang menatap mereka berdua dengan sinis."Hei! Jangan berisik, kalian pikir ini hutan?!" bentak Rihanna yang sejak tadi
Malam yang ditunggu pun tiba, di mana semua siswa sudah berkumpul di lantai bawah untuk menyambut pesta. Semua orang terlihat begitu rapi dan juga cantik malam ini."Apa pakaian ku terlalu terbuka?" tanya Nasya untuk kesekian kalinya. Pasalnya dress soft pink yang di pinjamkan Ratu hanya sampai menutupi betis Nasya.Helaan napas kasar terdengar dari mulut Ratu, "Kau ini kenapa sih? Dari tadi bertanya hal yang sama terus." Kesalnya."Aku tidak percaya diri untuk ini Ratu, percayalah padaku!" jawab gadis pendek nan imut itu gugup, ia bahkan masih saja berusaha menurunkan dress yang dipakai sampai ke mata kaki."Jangan begitu, kamu tenang saja. Ada aku bukan disamping dirimu Nasya," jawab Ratu menggenggam tangan sahabatnya yakin.Tatapan kagum terpancar jelas ketika Nasya dan Ratu berjalan menuju tempat minuman. Kedua gadis itu menampilkan ekspresi yang berbeda, Ratu dengan wajah yakin dan Nadya
Nasya menangis sejadi-jadinya ketika bayangan semalam masih berputar jelas di benaknya. Kepala wanita itu terangkat ketika mendengar suara erangan yang bersumber dari arah tempat tidur.Mata keduanya saling bertemu, dapat dilihat bahwa Galen begitu terkejut melihat keadaan Nasya. pemuda itu bergegas menjadikan seprai sebagai alasan tubuhnya."Apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Galen tak suka, ia berjalan menuruni ranjang dan melihat pakaian berserakan di lantai.Tatapan bertanya dan pemikiran aneh berputar di kepala lelaki itu, "Jangan bilang ... kalau kita ...."Wanita yang sejak tadi menangis kembali menitikkan air mata, ia bahkan menyembunyikan wajahnya di dalam lipatan kaki yang sudah terasa perih dan kaku."Keluar dari sini sekarang Nasya!" usir Galen lantang sambil melemparkan sebuah kemeja dan celana pendek ke arah Nasya.Kepala wanita l
Nasya berjalan dengan begitu lunglai menuju rumahnya, keringat sudah membasahi baju putih abu yang di pakai. Di depan sana Nasya dapat melihat sebuah mobil berwarna hitam terparkir indah di depan rumah."Mobil siapa itu? Apa salah satu pelanggan Ayah?" tanya Nasya lirih. Ia memasuki restoran yang tampak begitu sepi. Hanya ada sang Ayah dan juga pria dewasa yang sepertinya seumur dengan Ayahnya, dengan langkah ringan Nasya berjalan mendekati tangga menuju lantai dua."Apa sudah pulang sekolahnya?" tanya Carel membuat Nasya menghentikan langkah kakinya."Iya. Aku baru saja pulang Ayah," jawab wanita itu dengan pelan. Ia mengernyit ketika sang Ayah melambaikan tangan ke arahnya.Carel memandang orang yang duduk didepannya, kemudian menyuruh Nasya untuk memberi salam, "Kenalkan dia sahabat Ayah sewaktu kecil dulu, namanya Dimas.""Halo Paman, aku Nasya." Wanita mungil tersebut membungkukkan ba
Pagi ini Nasya terlambat datang ke sekolah, karena tadi malam dirinya tak bisa tidur. Dan sekarang dia harus menjalankan hukuman yang diberikan oleh Pak Kusuma sebagai guru piket yang bertanggung jawab, dia memberikan hukuman yaitu membersihkan lapangan olahraga.Matanya menangkap teman sekelasnya sedang pemanasan yang dipimpin oleh ketua Abian. Beberapa anak perempuan menertawakan Nasya yang sibuk memungut sampah, "Hei! Lihat di sana. Ada anak beasiswa yang terlambat!"Gelak tawa berderai keras, Nasya menulikan telinga dengan apa yang mereka katakan. Wanita tersebut tetap menjalankan hukumannya."Mungkin dia kelelahan setelah melayani pelanggan semalam," ucap Rihanna membuat yang lainnya tertawa, Ratu yang mendengar hal itu menjadi geram. Gadis itu baru saja akan meremas mulut Rihanna, akan tetapi terhenti ketika guru olahraga datang bersama beberapa siswa laki-laki."Baiklah, pagi ini kita semua akan m
Keputusan telah dibuat, Nasya dan juga Galen sudah rersmi menjadi pasangan suami istri. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing ketika para tamu yang berasal dari kenalan Ayah dan Ibu Galen berpamitan pergi.Pernikahan mereka tidak dibuka secara publik, mengingat bahwa keduanya masih sekolah. Dimas dan Carlos sudah memperhitungkan itu matang-matang, jadi hanya orang-orang terdekat saja yang menghadiri pernikahan mereka.Nasya berdiri ketika Stelle dan Keina melambaikan tangan agar ia segera mendekat pada mereka. Wanita hamil itu tampak menampilkan wajah sendu, Keina membawa tubuh putrinya ke dalam kamar dan memeluk Nasya erat."Jaga dirimu Nak, Ibu tidak akan berada di dekatmu lagi. Kamu ingat bukan kalau sekarang dirimu sudah menikah," ujar Keina menatap kedua bola mata Nasya yang berkaca-ksca, "Tapi jangan khawatir, Kapan-kapan Ibu akan datang bersama Ayah."Nasya mengangguk paham, ia kembali memeluk tu
Nasya merapatkan selimut yang ia pakai, ketika di rasa angin segar menusuk kulitnya. Akan tetapi ia tersadar bahwa semalam dirinya tidur di sofa dan tak memakai selimut.Manik matanya terbuka lebar, ia langsung duduk dan berlari ke kamar mandi ketika perutnya begitu bergejolak. Tubuhnya terasa lemas, akan tetapi ada tangan kekar yang menopang tubuh Nasya."Galen?" tanya wanita itu lirih, ia dapat mencium aroma maskulin dari tubuh Galen dan itu membuat dirinya tenang.Lelaki itu kembali membawa tubuh istrinya ke atas ranjang, memberikan selimut dan juga minyak angin yang tersimpan di dalam laci lemari kecil di samping ranjang, "Pakai.""Terima kasih," ucap Nasya mengambil benda itu dari tangan suaminya, ia mencium aroma minyak kayu putih dan menyandarkan tubuh di kepala ranjang. Tak ada lagi pembicaraan dari mereka, Galen yang duduk di tepi ranjang hanya diam."Hm ... Apa kamu yan
Nasya menerima pakaian kotor miliknya yang diulurkan oleh pemuda di depannya, wanita itu menganggukkan kepala dan tersenyum, "Terima kasih Reyhan."Ya, memang Reyhan yang tadi datang membantu Nasya. Karena merasa khawatir wanita itu tak kunjung kembali, padahal bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi, dan juga Reyhan sempat mendengar pembicaraan Rihanna bersama kedua temannya. Bergegas saja Reyhan menyusul Nasya.Pintu UKS dibuka dengan kasar, membuat keduanya menoleh. Di sana Ratu datang dengan wajah yang begitu khawatir, "Apa kau baik-baik saja?"Dia berlari mendekati Nasya, memeriksa tubuh sahabatnya itu dengan teliti. Takut saja ada yang lecet, maka ia tak segan-segan memukul wajah Rihanna. Helaan napas lega keluar dari mulut Ratu."Untung saja kau tak apa Nasya. Aku baru saja membaca pesanmu, dan bergegas menuju toilet. Akan tetapi aku tak menemukanmu di sana, bergegas saja aku ke sini," ujar R
Rahmi mengelus perut buncitnya dengan pelan, matanya tak henti-hentinya menatap Nasya yang begitu shock. Tangannya terulur menyentuh jemari Nasya, "Boleh aku bercerita?" Wanita berambut hitam itu mengangkat kepala kemudian mengangguk, "Boleh." "Kau tahu lima tahun yang lalu, aku memutuskan untuk kembali lagi bersama suamiku. Meninggalkan Galen karena dia jelas-jelas memilihmu Nasya, bahkan setelah dia sadar dari koma orang pertama yang ia cari adalah dirimu, kau mungkin tak melihat bagaimana kacaunya Galen saat tahu bahwa kamu meninggalkan nya," jelas Rahmi menerawang, "Tapi ... Aku melihat segalanya. Dari dia yang tak semangat menjalani hari, bahkan selalu membuat ulah di kampus. Membuat Paman Dimas menjadi khawatir, untung saja Galen masih bisa menyelesaikan kuliahnya dan bekerja setelah itu." "Darimana kau tahu itu?" tanya Nasya. Rahmi mengedipkan mata dan tersenyum pada Nasya, "Bibi
Gelak tawa berderai di meja tempat Nasya duduk makan ice cream bersama Gavin dan juga Reyhan, setiap orang yang memandang pasti mengira mereka adalah keluarga. Tapi kenyataannya tidak, buktinya saja Gavin memandang tak suka pada sosok lelaki di depannya."Ibu kapan kita akan pulang?" tanya bocah itu menyela ucapan Reyhan yang baru saja akan keluar, langsung saja keduanya menoleh."Setelah berbelanja bahan makanan baru kita akan pulang," jawab wanita berambut hitam itu, dia mengecek semua benda yang ada di dalam tas kemudian berdiri, "Ayo kita pergi sekarang Gavin. Sepertinya Tantemu tidak akan puas berbelanja, hm ... Apa kau mau ikut Reyhan?"Pria itu menolehkan kepala, alisnya sedikit terangkat, "Apa boleh?""Tentu saja. Bener begitu kan Gavin?""Tidak!" tolak bocah itu cepat. Ia menyilangkan tangan dengan kepala yang menggeleng, tak lupa tatapan tajam yang sedari tadi dilayangk
Sesuai permintaan Ratu semalam, hari ini mereka bertiga sudah berada di Mall. Menemani Ratu yang berjalan ke sana kemari hanya untuk mencari pakaian dalam, diikuti oleh Nasya dan Gavin yang sepertinya sudah mulai bosan mengikuti langkah Ratu."Model apa yang kau inginkan Ratu?" tanya Nasya dengan wajah masam, sudah setengah jam mereka berjalan bolak-balik sedangkan yang dicari tak kunjung bertemu.Gadis itu berdecak kesal, "Jangan mengeluh dulu, aku hanya ingin berputar-putar saja.""Rempong sekali. Cepatlah Tante kaki kecilnya ini sudah lelah," sahut Gavin pedas. Dia mencibir ketika Ratu memelototi dirinya, tak perlu memasang wajah takut bukan.Nasya tampak menghela napas. Ibu muda itu menarik Gavin ke dalam gendongannya, "Cepat selesaikan pencarianmu itu, aku akan membawa Gavin untuk berisitirahat. Jika sudah selesai telpon saja aku, sampai nanti."Bergegas pergi dari sana adalah jalan yang
Ini sudah tiga hari semenjak pengusiran Galen. Nasya mengurung diri di dalam kamar, mengabaikan sang Ibu yang sedari tadi mengetuk pintu. Pikirannya kacau ketika wajah Galen terlintas bak kaset rusak, hatinya sesak dan tak tenang, "Aku benci dia.""Nasya ayo buka pintunya, biarkan Ibu masuk!" teriak Keina keras, sejak tadi wanita paruh baya itu membujuk Nasya. Akan tetapi tak ada angsuran apapun, dia menoleh ketika mendengar langkah kaki yang mendekat."Nenek ...," panggil Gavin lirih dengan mata berkaca-kaca. Kaki kecil itu melangkah mendekat, tangannya terangkat untuk mengetuk pintu kamar, "Ibu ... Gavin ingin memeluk Ibu."Seketika Nasya mendongak mendengar suara Gavin, dia berdiri dan berlari menuju pintu. Saat pintu terbuka putranya itu langsung berhambur memeluk tubuh Nasya erat, dapat dipastikan bahwa bocah tersebut menangis."Kau mengurung diri sampai lupa dengan putramu sendiri," sindir Keina pelan. Mer
Pagi ini Nasya terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara berisik dari lantai bawah, kepalanya menoleh ke samping dan mengernyit ketika tak menemukan putranya di ranjang. Kakinya melangkah menuju ke arah jendela untuk membuka gorden kemudian membuka pintu kamar melihat apa yang sedang terjadi di bawah sana.Keina dan juga Carel tampak sibuk memindahkan meja dan kursi yang biasanya digunakan pengunjung restoran, begitupun dengan Gavin yang ikut membawa tempat sendok."Ibu, Ayah kenapa semuanya dipindahkan?" tanya Nasya heran."Kami akan menutup restoran ini Nasya." Keina menjawab disela-sela ia membawa meja menuju gudang belakang."Kenapa? Bukankah cuma ini penghasilan Ayah dan Ibu?"Carlos tampak menghela napas, tangannya terangkat untuk menghapus keringat yang bercucuran di dahinya, "Iya. Itu dulu sebelum Ayah dan Ibu kehabisan modal, kamu tahu bukan orang-orang zaman sekarang lebih
Di sebuah kamar yang temaram terlihat seorang pria dengan botol alkohol ditangannya, ia menyandarkan tubuh pada ranjang dengan mata menatap keluar jendela. Dia melempar botol kosong itu ke arah tembok kamar, menciptakan bunyi nyaring yang memekakkan telinga.Pintu kamar terbuka lebar, menampakkan sosok kedua orangtuanya. Stelle berlari dengan tergopoh-gopoh,"Galen apa yang terjadi? Katakan padaku kenapa?!"Tak ada jawaban apapun dari Galen, pria itu hanya terkekeh geli dengan pandangan yang mulai mengabur. Stelle menepuk pipi putranya pelan, namun hal itu tetap tak membuat Galen bergeming. Dimas yang sedari tadi berdiri di pintu melangkahkan kaki masuk, lelaki paruh baya tersebut memandang kondisi putranya dalam diam."Apa ini ada sangkut pautnya dengan Nasya? Katakan padaku!" teriak wanita paruh baya itu menahan kesal, dia menatap tepat di kedua bola mata Galen."Ibu tahu? Dia melarangku untuk menemuinya," jawab pr
Gavin menarik tangan kedua orangtuanya tak sabaran. Mereka berjalan menuju gerbang masuk sebuah taman bermain, bocah lelaki itu bahkan mengabaikan dirinya yang limbung kehilangan keseimbangan ketika tak sengaja menabrak batu kerikil.Dengan sigap Galen langsung menangkap putranya, pria itu terkekeh pelan kemudian menyuruh Gavin untuk menunggu bersama Nasya selagi dirinya mengantri membeli tiket masuk."Ibu aku ingin makan permen kapas, apa di sini ada orang yang menjualnya?" tanya bocah itu sambil celingak-celinguk menatap sekeliling."Jangan banyak memakan permen kapas, apa kamu ingin tubuhmu dipenuhi semut?" goda Nasya menggelitik perut putranya, kedua manusia itu tertawa.Gavin berjalan mundur untuk menghindari serangan sang Ibu, "Aku tidak takut. Jika permen kapas membuatku bahagia, Ibu bisa apa?""Kamu menantang Ibu?" tanya Nasya kesal.Galen berjalan mendekati keduanya,
Sudah seminggu sejak Galen datang berkunjung bersama Ibunya, kadang ia hanya menitipkan bunga ataupun makanan manis untuk Gavin. Kalau soal bunga sudah pasti itu untuk Nasya, walaupun sudah ditolak oleh Nasya pria tersebut tetap mengirim bunga dihari berikutnya.Seperti saat ini Nasya memandang bunga mawar didepannya bosan, berkali-kali ia menghela napas kasar membuat Ratu yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya memandang heran. Gadis itu menyilangkan kaki dan menyandarkan tubuh pada sofa."Mau sampai kapan kau menatap bunga itu? Apa kau merindukan Galen?" tanya Ratu, matanya melirik Nasya sebentar kemudian fokus kembali pada layar ponsel.Tak ada jawaban apapun dari Nasya, Ibu muda itu mengulurkan tangan untuk memegang bunga mawar, dengan kepala yang ditumpukan di atas meja."Yasudah terserah, aku akan pergi keluar bersama pacarku. Sampai nanti," pamit Ratu mengambil tas dan mengumpulkan beberapa barang yang sempat
Suasana kamar Nasya menjadi hening seketika, Keina melepas pelukannya dan menatap sang putri dengan senyuman lembut. Tangan itu terulur untuk sekedar mengusap air mata yang masih menempel di pipi Nasya, "Kau tahu? Galen tidak akan mengambil Gavin dari kita.""Tidak ada yang tahu apa yang ia pikirkan Ibu," jawab Ibu muda itu menggelengkan kepala. Menolak semua kemungkinan yang akan terjadi, dirinya tak siap dengan semuanya.Keina memindahkan tangannya pada puncuk kepala Nasya, "Gavin pasti sedang bertanya-tanya sekarang. Apa hubunganmu dengan Galen, Ibu sangat yakin dengan itu.""Lalu apa yang harus aku lakukan Ibu?" tanya Nasya."Katakan pada Gavin bahwa Galen adalah ayahnya, dan satu lagi ... Jangan berpikir buruk tentang Galen lagi, dia juga pasti merindukan darah dagingnya sendiri Nasya, biarkan saja dia menemui Gavin, kau harus ingat bahwa dia adalah salah satu alasan kenapa Gavin hadir di dunia ini." Wanita par