Malam yang ditunggu pun tiba, di mana semua siswa sudah berkumpul di lantai bawah untuk menyambut pesta. Semua orang terlihat begitu rapi dan juga cantik malam ini.
"Apa pakaian ku terlalu terbuka?" tanya Nasya untuk kesekian kalinya. Pasalnya dress soft pink yang di pinjamkan Ratu hanya sampai menutupi betis Nasya.
Helaan napas kasar terdengar dari mulut Ratu, "Kau ini kenapa sih? Dari tadi bertanya hal yang sama terus." Kesalnya.
"Aku tidak percaya diri untuk ini Ratu, percayalah padaku!" jawab gadis pendek nan imut itu gugup, ia bahkan masih saja berusaha menurunkan dress yang dipakai sampai ke mata kaki.
"Jangan begitu, kamu tenang saja. Ada aku bukan disamping dirimu Nasya," jawab Ratu menggenggam tangan sahabatnya yakin.
Tatapan kagum terpancar jelas ketika Nasya dan Ratu berjalan menuju tempat minuman. Kedua gadis itu menampilkan ekspresi yang berbeda, Ratu dengan wajah yakin dan Nadya dengan rasa gugup.
"Hei, lihatlah si anak beasiswa itu. Kayaknya mau menggoda orang-orang di sini. Lumayan buat uang jajan dia kan?" sindir Rihanna keras membuat tubuh Nasya gemetar menahan marah.
"Jaga mulutmu itu sialan!" jawab Ratu menunjuk pada Rihanna, keduanya bertatap satu sama lain sampai ada suara heboh yang membuat mereka kehilangan fokus.
"Pak Eri, ada yang mabuk di luar!" teriak ketua OSIS keras, ia membuat semua siswa lainnya menjadi terkejut bukan main. Pak Eri selaku ketua pembimbing berlari mendekati Reyhan, sang ketua OSIS.
"Cepat, antarkan bapak ke sana." Keduanya berlari keluar, "Kalian semua tetap berada di sini. Jangan ada yang keluar ya." Ingat pak Eri.
Galen yang sedari tadi sibuk di sudut ruangan menunggu kehadiran kedua sahabatnya berdiri, dengan wajah datar dan aura menyeramkan pemuda itu berjalan melewati beberapa siswa yang menatap dirinya.
"Galen! Mau kemana?" tanya Rihanna yang mencegat langkah kaki pemuda tampan tersebut, gadis itu tampak begitu menggoda Galen dengan pakaian yang dia naikkan ke atas.
"Kau terlihat haus belaian Rihanna!" sarkas Ratu yang membuat kedua gadis itu kembali mengibarkan bendera perang. Nasya berusaha menarik paksa sahabatnya dari sana agar tidak terjadi keributan lebih dalam.
Galen menepis tubuh Rihanna, "Menepi lah! Jangan halangi jalanku!"
"Kau tidak mendengar ucapan pak Eri tadi? Jangan ada yang berkeliaran terlebih dahulu Galen," jawab Rihanna dengan nada manja. Namun, tetap di abaikan oleh pemuda itu.
Rihanna yang sudah menyadari ini terjadi dengan sengaja menyodok mulut Galen dengan minuman yang ia pegang, seringai jahat terpancar di wajahnya.
"Apa kau ingin mati?!" bentak Galen keras, ia bahkan mendorong tubuh Rihanna dengan begitu kuat membuat gadis itu langsung tersungkur dengan lutut yang terasa perih.
Dia menyeringai seram, "Lihat saja. Kau akan mencari diriku nanti nya!"
Galen mengabaikan perkataan Rihanna, ia menghapus jejak minuman yang menempel di area bibir dan pipi. Dengan langkah lebar, pemuda itu meninggalkan tempat pesta penutupan, persetan dengan kedatangan kedua sahabatnya.
Semua orang menahan tawa dengan keadaan Rihanna sekarang, sungguh sangat tidak tahu malu sekali. Sudah jelas bahwa Galen memasang lampu merah yang berarti tidak ada seorang pun yang boleh menerobos.
Sedangkan Nasya sudah khawatir sejak tadi, keringat dingin masih saja mengalir ketika beberapa orang melihat dirinya. Dengan sentakan pelan ia menarik tangan Ratu, "Aku tidak nyaman dengan ini semua Ratu."
"Bersabarlah Nasya, sampai pesta ini selesai dan kau tidak akan memakai ini lagi." Ratu mencoba meyakinkan sahabatnya yang terlalu memikirkannya pendapat orang-orang.
"Tapi ... Sepertinya ini akan lama," lirih Nasya lagi. Helaan napas kasar terdengar begitu jelas dari mulut Ratu. Gadis itu memegangi pelipis nya dan menarik tangan Nasya untuk duduk di sebuah kursi kosong, gadis pendek nan mungil tersebut menurut saja mengikuti langkah kaki Ratu.
"Kita duduk di sini dulu, sampai pak Eri datang. Aku sangat yakin pasti anak IPS yang membuat ulah," ucap Ratu yang hanya di angguki oleh Nasya.
****
Sudah satu jam lebih semua orang menanti kehadiran pak Eri, bahkan pembimbing yang lainnya juga ikut turun tangan menyelesaikan masalah yang terjadi. Ratu berdiri dari duduknya dan menatap ke arah Nasya, "Apa kau ingin ikut? Aku mau ke toilet."
Gadis mungil itu menggelengkan kepala, "Tidak. Aku di sini saja menunggu kehadiranmu, jangan lama-lama."
"Iya. Aku tidak akan lama Nasya," jawab Ratu kemudian berlari ke arah pintu keluar. Selepas kepergian Ratu ada beberapa pemuda yang menghampiri Nasya.
Mereka tertawa mengejek dan mengapit tubuh Nasya, "Apa kau ingin kami temani?"
Gadis itu tampak tidak suka dengan perlakuan mereka, ia bergegas berdiri dan menyusul langkah Ratu. Akan tetapi pemuda-pemuda tersebut mengikuti langkahnya dari belakang, membuat Nasya begitu ketakutan. Ia berlari tak tentu arah, sesekali melihat ke arah belakang.
Kakinya berbelok pada lorong menuju tempat penginapan lelaki, dia bahkan tidak sadar di mana sekarang. Hanya satu tujuan Nasya sekarang yaitu mencari tempat untuk sembunyi agar tidak di tangkap oleh orang-orang tadi.
Kepala Nasya menjulur melihat keadaan, helaan napas lega keluar dari mulutnya. Akan tetapi jantung nya berdetak lebih kencang ketika tak tahu ada di mana ia sekarang, dengan mengandalkan langkah kakinya saja untuk menyusuri lorong gelap.
"Nghh ...."
Nasya terkejut ketika mendengar lenguhan panjang dengan suara berat, perasan takut merayapi tubuhnya. Dengan cepat gadis itu membalikkan badan akan tetapi suara seseorang meminta tolong membuat ia mengurungkan niat.
"Si-siapa di sana?" tanya gadis tersebut gemetar. Bisa saja itu adalah orang mabuk yang di katakan oleh ketua OSIS tadi, "Jawab aku!"
"Tolong ... Ini sangat panas dan ... menyiksa!" teriaknya tertahan. Dengan rasa kasihan dan penasaran Nasya berjalan mendekati lorong gelap di ujung sana. Entah kenapa kakinya membawa ia ke sana, dan terlihat seorang pemuda yang sangat ia kenal.
"Galen?" lirih gadis mungil itu sambil mendekati tubuh Galen, ia menepuk bahu dan juga pipi pemuda tersebut agar sadar. Akan tetapi aroma khas dan juga wajah memerah membuat Nasya yakin bahwa Galen dalam keadaan mabuk. Dia berdiri berniat mencari bantuan orang lain akan tetapi tarikan di tangannya, membuat ia kehilangan keseimbangan kemudian jatuh di atas tubuh Galen.
"Apa yang ...." Mata Nasya membulat ketika Galen membisik kan sesuatu.
"Antar aku ke kamar, siapapun kau." Pemuda itu tampak menahan sesuatu, Nasya dengan polosnya mengiyakan ucapan Galen dan melihat kunci kamar yang disodorkan.
Beberapa langkah dari sana, mereka berdua sudah sampai. Dengan sudah payah Nasya membuka pintu, belum lagi dengan berat badan Galen yang harus ia tahan. Gadis itu membuka pintu dan membawa Galen untuk masuk ke dalam kamar, merebahkan tubuh tegap tingginya di atas ranjang.
"Aku akan segera pergi ...," ujar Nasya pelan. Ia berjalan menuju pintu keluar akan tetapi di saat tangannya akan memegang handle pintu, tubuhnya tertarik ke belakang. Matanya membulat ketika Galen sudah berdiri didepan nya dengan tangan yang memutar kunci.
"Apa yang ...." Perlahan Nasya memundurkan langkah kakinya kebelakang, akan tetapi kalah cepat dengan Galen yang bisa menangkap tubuhnya cepat, mata gadis itu membulat ketika bibir mereka bertemu untuk waktu yang singkat.
"Bantu aku menghilangkan penyiksaan ini ...," lirih pemuda itu sambil mendorong tubuh Nasya ke atas ranjang, dengan segala kekuatan gadis itu mencoba menahan pergerakan Galen. Akan tetapi kekuatan pemuda itu lebih besar darinya, membuat ia hanya bisa menangis tanpa henti.
Malam itu tepat di mana Nasya harus kehilangan sesuatu yang berharga dari hidupnya. Sebuah mahkota yang ia jaga begitu baik, hilang dalam satu malam.
Nasya menangis sejadi-jadinya ketika bayangan semalam masih berputar jelas di benaknya. Kepala wanita itu terangkat ketika mendengar suara erangan yang bersumber dari arah tempat tidur.Mata keduanya saling bertemu, dapat dilihat bahwa Galen begitu terkejut melihat keadaan Nasya. pemuda itu bergegas menjadikan seprai sebagai alasan tubuhnya."Apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Galen tak suka, ia berjalan menuruni ranjang dan melihat pakaian berserakan di lantai.Tatapan bertanya dan pemikiran aneh berputar di kepala lelaki itu, "Jangan bilang ... kalau kita ...."Wanita yang sejak tadi menangis kembali menitikkan air mata, ia bahkan menyembunyikan wajahnya di dalam lipatan kaki yang sudah terasa perih dan kaku."Keluar dari sini sekarang Nasya!" usir Galen lantang sambil melemparkan sebuah kemeja dan celana pendek ke arah Nasya.Kepala wanita l
Nasya berjalan dengan begitu lunglai menuju rumahnya, keringat sudah membasahi baju putih abu yang di pakai. Di depan sana Nasya dapat melihat sebuah mobil berwarna hitam terparkir indah di depan rumah."Mobil siapa itu? Apa salah satu pelanggan Ayah?" tanya Nasya lirih. Ia memasuki restoran yang tampak begitu sepi. Hanya ada sang Ayah dan juga pria dewasa yang sepertinya seumur dengan Ayahnya, dengan langkah ringan Nasya berjalan mendekati tangga menuju lantai dua."Apa sudah pulang sekolahnya?" tanya Carel membuat Nasya menghentikan langkah kakinya."Iya. Aku baru saja pulang Ayah," jawab wanita itu dengan pelan. Ia mengernyit ketika sang Ayah melambaikan tangan ke arahnya.Carel memandang orang yang duduk didepannya, kemudian menyuruh Nasya untuk memberi salam, "Kenalkan dia sahabat Ayah sewaktu kecil dulu, namanya Dimas.""Halo Paman, aku Nasya." Wanita mungil tersebut membungkukkan ba
Pagi ini Nasya terlambat datang ke sekolah, karena tadi malam dirinya tak bisa tidur. Dan sekarang dia harus menjalankan hukuman yang diberikan oleh Pak Kusuma sebagai guru piket yang bertanggung jawab, dia memberikan hukuman yaitu membersihkan lapangan olahraga.Matanya menangkap teman sekelasnya sedang pemanasan yang dipimpin oleh ketua Abian. Beberapa anak perempuan menertawakan Nasya yang sibuk memungut sampah, "Hei! Lihat di sana. Ada anak beasiswa yang terlambat!"Gelak tawa berderai keras, Nasya menulikan telinga dengan apa yang mereka katakan. Wanita tersebut tetap menjalankan hukumannya."Mungkin dia kelelahan setelah melayani pelanggan semalam," ucap Rihanna membuat yang lainnya tertawa, Ratu yang mendengar hal itu menjadi geram. Gadis itu baru saja akan meremas mulut Rihanna, akan tetapi terhenti ketika guru olahraga datang bersama beberapa siswa laki-laki."Baiklah, pagi ini kita semua akan m
Keputusan telah dibuat, Nasya dan juga Galen sudah rersmi menjadi pasangan suami istri. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing ketika para tamu yang berasal dari kenalan Ayah dan Ibu Galen berpamitan pergi.Pernikahan mereka tidak dibuka secara publik, mengingat bahwa keduanya masih sekolah. Dimas dan Carlos sudah memperhitungkan itu matang-matang, jadi hanya orang-orang terdekat saja yang menghadiri pernikahan mereka.Nasya berdiri ketika Stelle dan Keina melambaikan tangan agar ia segera mendekat pada mereka. Wanita hamil itu tampak menampilkan wajah sendu, Keina membawa tubuh putrinya ke dalam kamar dan memeluk Nasya erat."Jaga dirimu Nak, Ibu tidak akan berada di dekatmu lagi. Kamu ingat bukan kalau sekarang dirimu sudah menikah," ujar Keina menatap kedua bola mata Nasya yang berkaca-ksca, "Tapi jangan khawatir, Kapan-kapan Ibu akan datang bersama Ayah."Nasya mengangguk paham, ia kembali memeluk tu
Nasya merapatkan selimut yang ia pakai, ketika di rasa angin segar menusuk kulitnya. Akan tetapi ia tersadar bahwa semalam dirinya tidur di sofa dan tak memakai selimut.Manik matanya terbuka lebar, ia langsung duduk dan berlari ke kamar mandi ketika perutnya begitu bergejolak. Tubuhnya terasa lemas, akan tetapi ada tangan kekar yang menopang tubuh Nasya."Galen?" tanya wanita itu lirih, ia dapat mencium aroma maskulin dari tubuh Galen dan itu membuat dirinya tenang.Lelaki itu kembali membawa tubuh istrinya ke atas ranjang, memberikan selimut dan juga minyak angin yang tersimpan di dalam laci lemari kecil di samping ranjang, "Pakai.""Terima kasih," ucap Nasya mengambil benda itu dari tangan suaminya, ia mencium aroma minyak kayu putih dan menyandarkan tubuh di kepala ranjang. Tak ada lagi pembicaraan dari mereka, Galen yang duduk di tepi ranjang hanya diam."Hm ... Apa kamu yan
Nasya menerima pakaian kotor miliknya yang diulurkan oleh pemuda di depannya, wanita itu menganggukkan kepala dan tersenyum, "Terima kasih Reyhan."Ya, memang Reyhan yang tadi datang membantu Nasya. Karena merasa khawatir wanita itu tak kunjung kembali, padahal bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi, dan juga Reyhan sempat mendengar pembicaraan Rihanna bersama kedua temannya. Bergegas saja Reyhan menyusul Nasya.Pintu UKS dibuka dengan kasar, membuat keduanya menoleh. Di sana Ratu datang dengan wajah yang begitu khawatir, "Apa kau baik-baik saja?"Dia berlari mendekati Nasya, memeriksa tubuh sahabatnya itu dengan teliti. Takut saja ada yang lecet, maka ia tak segan-segan memukul wajah Rihanna. Helaan napas lega keluar dari mulut Ratu."Untung saja kau tak apa Nasya. Aku baru saja membaca pesanmu, dan bergegas menuju toilet. Akan tetapi aku tak menemukanmu di sana, bergegas saja aku ke sini," ujar R
Nasya memuntahkan isi perutnya ke wastafel, tubuhnya terasa lemas sekarang. Setelah mencuci mulut dan wajah wanita itu kembali berjalan menuju ranjang, dan melihat sosok Galen masih tertidur tenang.Nasya menghirup aroma kayu putih yang ia simpan di bawah bantal, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Bibirnya bergetar hebat, belum lagi dengan rasa pusing yang mendera kepalanya.Dia tersentak ketika merasakan pergerakan dari kasur sebelahnya, yang menandakan bahwa Galen sudah bangun. Dengan perlahan Nasya melirik suaminya yang duduk di tepi ranjang, lelaki tampan tersebut mengacak-acak rambutnya kasar kemudian berjalan menuju kamar mandi.Tak lama kemudian Galen sudah siap dengan pakaian sekolahnya, lelaki itu menatap Nasya sebentar kemudian melenggang pergi."Aku harus pergi sekolah, jika tidak aku akan ketinggalan pelajaran." Nasya bangkit dari ranjang, berjalan sambil berpegangan pada dinding. Tubuhnya terasa b
Wanita berbadan dua itu membuka pintu rumah dengan pelan, matanya melihat sosok Galen yang sudah duduk di atas sofa ruang tengah dengan mata yang fokus pada laptop. Wajahnya terlihat begitu serius membuat Nasya merasakan debaran aneh, ia memegangi dadanya yang berdegup kencang."Sudah puas melihatku?" tanya Galen mengangkat kepala. Matanya terlihat begitu sayu, mungkin ia kelelahan."Maaf, aku tidak bermaksud." Wanita itu menundukkan kepala, ia membalikkan badan dan berniat pergi dari sana. Langkahnya terhenti ketika mengingat sesuatu, mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu.Galen menatap istri mungilnya itu tajam, "Apa lagi? Tak bisakah kau pergi dan tidak mengangguk konsentrasi ku lagi?""Ba-baiklah, aku minta maaf." Nasya menaiki tangga dengan terburu-buru, mendengar ucapa Galen barusan membuat ia jatuh kembali. Padahal tadi dirinya begitu bahagia ketika tahu bahwa pemuda itu merangkul tubuhnya erat, b
Rahmi mengelus perut buncitnya dengan pelan, matanya tak henti-hentinya menatap Nasya yang begitu shock. Tangannya terulur menyentuh jemari Nasya, "Boleh aku bercerita?" Wanita berambut hitam itu mengangkat kepala kemudian mengangguk, "Boleh." "Kau tahu lima tahun yang lalu, aku memutuskan untuk kembali lagi bersama suamiku. Meninggalkan Galen karena dia jelas-jelas memilihmu Nasya, bahkan setelah dia sadar dari koma orang pertama yang ia cari adalah dirimu, kau mungkin tak melihat bagaimana kacaunya Galen saat tahu bahwa kamu meninggalkan nya," jelas Rahmi menerawang, "Tapi ... Aku melihat segalanya. Dari dia yang tak semangat menjalani hari, bahkan selalu membuat ulah di kampus. Membuat Paman Dimas menjadi khawatir, untung saja Galen masih bisa menyelesaikan kuliahnya dan bekerja setelah itu." "Darimana kau tahu itu?" tanya Nasya. Rahmi mengedipkan mata dan tersenyum pada Nasya, "Bibi
Gelak tawa berderai di meja tempat Nasya duduk makan ice cream bersama Gavin dan juga Reyhan, setiap orang yang memandang pasti mengira mereka adalah keluarga. Tapi kenyataannya tidak, buktinya saja Gavin memandang tak suka pada sosok lelaki di depannya."Ibu kapan kita akan pulang?" tanya bocah itu menyela ucapan Reyhan yang baru saja akan keluar, langsung saja keduanya menoleh."Setelah berbelanja bahan makanan baru kita akan pulang," jawab wanita berambut hitam itu, dia mengecek semua benda yang ada di dalam tas kemudian berdiri, "Ayo kita pergi sekarang Gavin. Sepertinya Tantemu tidak akan puas berbelanja, hm ... Apa kau mau ikut Reyhan?"Pria itu menolehkan kepala, alisnya sedikit terangkat, "Apa boleh?""Tentu saja. Bener begitu kan Gavin?""Tidak!" tolak bocah itu cepat. Ia menyilangkan tangan dengan kepala yang menggeleng, tak lupa tatapan tajam yang sedari tadi dilayangk
Sesuai permintaan Ratu semalam, hari ini mereka bertiga sudah berada di Mall. Menemani Ratu yang berjalan ke sana kemari hanya untuk mencari pakaian dalam, diikuti oleh Nasya dan Gavin yang sepertinya sudah mulai bosan mengikuti langkah Ratu."Model apa yang kau inginkan Ratu?" tanya Nasya dengan wajah masam, sudah setengah jam mereka berjalan bolak-balik sedangkan yang dicari tak kunjung bertemu.Gadis itu berdecak kesal, "Jangan mengeluh dulu, aku hanya ingin berputar-putar saja.""Rempong sekali. Cepatlah Tante kaki kecilnya ini sudah lelah," sahut Gavin pedas. Dia mencibir ketika Ratu memelototi dirinya, tak perlu memasang wajah takut bukan.Nasya tampak menghela napas. Ibu muda itu menarik Gavin ke dalam gendongannya, "Cepat selesaikan pencarianmu itu, aku akan membawa Gavin untuk berisitirahat. Jika sudah selesai telpon saja aku, sampai nanti."Bergegas pergi dari sana adalah jalan yang
Ini sudah tiga hari semenjak pengusiran Galen. Nasya mengurung diri di dalam kamar, mengabaikan sang Ibu yang sedari tadi mengetuk pintu. Pikirannya kacau ketika wajah Galen terlintas bak kaset rusak, hatinya sesak dan tak tenang, "Aku benci dia.""Nasya ayo buka pintunya, biarkan Ibu masuk!" teriak Keina keras, sejak tadi wanita paruh baya itu membujuk Nasya. Akan tetapi tak ada angsuran apapun, dia menoleh ketika mendengar langkah kaki yang mendekat."Nenek ...," panggil Gavin lirih dengan mata berkaca-kaca. Kaki kecil itu melangkah mendekat, tangannya terangkat untuk mengetuk pintu kamar, "Ibu ... Gavin ingin memeluk Ibu."Seketika Nasya mendongak mendengar suara Gavin, dia berdiri dan berlari menuju pintu. Saat pintu terbuka putranya itu langsung berhambur memeluk tubuh Nasya erat, dapat dipastikan bahwa bocah tersebut menangis."Kau mengurung diri sampai lupa dengan putramu sendiri," sindir Keina pelan. Mer
Pagi ini Nasya terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara berisik dari lantai bawah, kepalanya menoleh ke samping dan mengernyit ketika tak menemukan putranya di ranjang. Kakinya melangkah menuju ke arah jendela untuk membuka gorden kemudian membuka pintu kamar melihat apa yang sedang terjadi di bawah sana.Keina dan juga Carel tampak sibuk memindahkan meja dan kursi yang biasanya digunakan pengunjung restoran, begitupun dengan Gavin yang ikut membawa tempat sendok."Ibu, Ayah kenapa semuanya dipindahkan?" tanya Nasya heran."Kami akan menutup restoran ini Nasya." Keina menjawab disela-sela ia membawa meja menuju gudang belakang."Kenapa? Bukankah cuma ini penghasilan Ayah dan Ibu?"Carlos tampak menghela napas, tangannya terangkat untuk menghapus keringat yang bercucuran di dahinya, "Iya. Itu dulu sebelum Ayah dan Ibu kehabisan modal, kamu tahu bukan orang-orang zaman sekarang lebih
Di sebuah kamar yang temaram terlihat seorang pria dengan botol alkohol ditangannya, ia menyandarkan tubuh pada ranjang dengan mata menatap keluar jendela. Dia melempar botol kosong itu ke arah tembok kamar, menciptakan bunyi nyaring yang memekakkan telinga.Pintu kamar terbuka lebar, menampakkan sosok kedua orangtuanya. Stelle berlari dengan tergopoh-gopoh,"Galen apa yang terjadi? Katakan padaku kenapa?!"Tak ada jawaban apapun dari Galen, pria itu hanya terkekeh geli dengan pandangan yang mulai mengabur. Stelle menepuk pipi putranya pelan, namun hal itu tetap tak membuat Galen bergeming. Dimas yang sedari tadi berdiri di pintu melangkahkan kaki masuk, lelaki paruh baya tersebut memandang kondisi putranya dalam diam."Apa ini ada sangkut pautnya dengan Nasya? Katakan padaku!" teriak wanita paruh baya itu menahan kesal, dia menatap tepat di kedua bola mata Galen."Ibu tahu? Dia melarangku untuk menemuinya," jawab pr
Gavin menarik tangan kedua orangtuanya tak sabaran. Mereka berjalan menuju gerbang masuk sebuah taman bermain, bocah lelaki itu bahkan mengabaikan dirinya yang limbung kehilangan keseimbangan ketika tak sengaja menabrak batu kerikil.Dengan sigap Galen langsung menangkap putranya, pria itu terkekeh pelan kemudian menyuruh Gavin untuk menunggu bersama Nasya selagi dirinya mengantri membeli tiket masuk."Ibu aku ingin makan permen kapas, apa di sini ada orang yang menjualnya?" tanya bocah itu sambil celingak-celinguk menatap sekeliling."Jangan banyak memakan permen kapas, apa kamu ingin tubuhmu dipenuhi semut?" goda Nasya menggelitik perut putranya, kedua manusia itu tertawa.Gavin berjalan mundur untuk menghindari serangan sang Ibu, "Aku tidak takut. Jika permen kapas membuatku bahagia, Ibu bisa apa?""Kamu menantang Ibu?" tanya Nasya kesal.Galen berjalan mendekati keduanya,
Sudah seminggu sejak Galen datang berkunjung bersama Ibunya, kadang ia hanya menitipkan bunga ataupun makanan manis untuk Gavin. Kalau soal bunga sudah pasti itu untuk Nasya, walaupun sudah ditolak oleh Nasya pria tersebut tetap mengirim bunga dihari berikutnya.Seperti saat ini Nasya memandang bunga mawar didepannya bosan, berkali-kali ia menghela napas kasar membuat Ratu yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya memandang heran. Gadis itu menyilangkan kaki dan menyandarkan tubuh pada sofa."Mau sampai kapan kau menatap bunga itu? Apa kau merindukan Galen?" tanya Ratu, matanya melirik Nasya sebentar kemudian fokus kembali pada layar ponsel.Tak ada jawaban apapun dari Nasya, Ibu muda itu mengulurkan tangan untuk memegang bunga mawar, dengan kepala yang ditumpukan di atas meja."Yasudah terserah, aku akan pergi keluar bersama pacarku. Sampai nanti," pamit Ratu mengambil tas dan mengumpulkan beberapa barang yang sempat
Suasana kamar Nasya menjadi hening seketika, Keina melepas pelukannya dan menatap sang putri dengan senyuman lembut. Tangan itu terulur untuk sekedar mengusap air mata yang masih menempel di pipi Nasya, "Kau tahu? Galen tidak akan mengambil Gavin dari kita.""Tidak ada yang tahu apa yang ia pikirkan Ibu," jawab Ibu muda itu menggelengkan kepala. Menolak semua kemungkinan yang akan terjadi, dirinya tak siap dengan semuanya.Keina memindahkan tangannya pada puncuk kepala Nasya, "Gavin pasti sedang bertanya-tanya sekarang. Apa hubunganmu dengan Galen, Ibu sangat yakin dengan itu.""Lalu apa yang harus aku lakukan Ibu?" tanya Nasya."Katakan pada Gavin bahwa Galen adalah ayahnya, dan satu lagi ... Jangan berpikir buruk tentang Galen lagi, dia juga pasti merindukan darah dagingnya sendiri Nasya, biarkan saja dia menemui Gavin, kau harus ingat bahwa dia adalah salah satu alasan kenapa Gavin hadir di dunia ini." Wanita par