Keputusan telah dibuat, Nasya dan juga Galen sudah rersmi menjadi pasangan suami istri. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing ketika para tamu yang berasal dari kenalan Ayah dan Ibu Galen berpamitan pergi.
Pernikahan mereka tidak dibuka secara publik, mengingat bahwa keduanya masih sekolah. Dimas dan Carlos sudah memperhitungkan itu matang-matang, jadi hanya orang-orang terdekat saja yang menghadiri pernikahan mereka.
Nasya berdiri ketika Stelle dan Keina melambaikan tangan agar ia segera mendekat pada mereka. Wanita hamil itu tampak menampilkan wajah sendu, Keina membawa tubuh putrinya ke dalam kamar dan memeluk Nasya erat.
"Jaga dirimu Nak, Ibu tidak akan berada di dekatmu lagi. Kamu ingat bukan kalau sekarang dirimu sudah menikah," ujar Keina menatap kedua bola mata Nasya yang berkaca-ksca, "Tapi jangan khawatir, Kapan-kapan Ibu akan datang bersama Ayah."
Nasya mengangguk paham, ia kembali memeluk tubuh sang Ibu. Dirinya merasa tak ingin pergi dari rumah, akan tetapi dia harus melakukan itu karena tanggungjawab yang ia jalankan.
"Tidak usah terlalu khawatir Keina, aku akan mengatakan pada Galen untuk menjaga Nasya. Dan sesekali aku juga akan mengunjungi mereka berdua pastinya," ucap Stelle yang sedari tadi menyimak pembicaraan Keina dan Nasya.
Stelle mendekat pada menantunya itu. Ia mengelus rambut Nasya sayang, "Jangan terlalu banyak pikiran. Kalau Galen nakal katakan saja pada Ibu."
"Hm." Nasya mengangguk paham. Ia juga memeluk tubuh Stelle erat.
"Dan pastikan bahwa cucu kami mendapat asupan yang cukup. Kamu harus rutin memeriksakan perkembangan cucu kami nantinya, benar begitu Keina?" Stelle menyikut perut Keina. Wanita paruh baya itu mengangguk kan kepala mengiyakan perkataan Stelle.
Carlos berdiri di depan pintu kamar Nasya, "Apa semuanya sudah siap? Kalian akan segera pergi Nak."
Nasya menoleh pada Ayahnya, ia tersenyum ketika sang Ayah merentangkan tangan. Dengan langkah pelan Nasya memeluk tubuh lelaki yang menjadi pahlawan di hidupnya, "Apa Nasya harus pergi secepat ini Ayah?"
"Jangan khawatir Nak, kami akan tetap mengunjungi mu nanti. Ayo keluar Galen sudah menunggu sejak tadi," jawab sang Ayah mengiring Nasya keluar dari kamar dengan koper besar di tangannya.
Mereka sudah sampai di halaman rumah, Nasya melambaikan tangan ketika mobil yang membawa dirinya pergi bersama Galen dan kedua orangtuanya.
****
Sesampainya di rumah Galen, wanita itu menarik kopernya sendiri. Ia sedikit kesusahan ketika melewati jalanan berbatu, Galen yang sudah kesal menunggu Nasya yang begitu lama mengambil alih kopernya.
"Kau begitu lamban, aku sudah sangat lelah sekarang." Galen mendahului Nasya, membuat Stelle dan Dimas geleng-geleng kepala melihat tingkah putranya.
Stelle membawa Nasya untuk duduk di ruang keluarga terlebih dahulu, ia memberikan Nasya air putih karena merasa bahwa gadis itu pasti kehausan.
"Jika kau ingin istirahat maka pergi saja ke kamar Galen, di sana ada pintu bercat hitam. Itu kamar Galen," ucap Stelle yang hanya di balas wajah cengo oleh Nasya. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu akan tetapi tak bisa.
"Apa ada yang kau khawatirkan Nasya?" Dimas angkat bicara.
"Hm ... apa Nasya harus tidur berdua dengan Galen?"
"Jadi, kau ingin tidur di mana lagi kalau bukan di kamarku?" cerocos Galen yang langsung saja memotong ucapan Nasya. Lelaki itu berjalan santai menuju dapur untuk mengambil minuman dingin, "Ayah kapan kami akan pindah?"
"Terserah mu saja Galen, karena rumah yang ingin kau huni nanti sudah dibereskan oleh bawahan Ayah." Dimas menjawab pertanyaan Galen, memang benar bahwa mereka akan tinggal di rumah yang berbeda. Dan rumah itu adalah rumah milik Galen sendiri.
Lelaki itu membeli rumah sederhana dari hasil perusahaan yang ia kelola, dari kelas satu SMA, Dimas sudah mengajari Galen untuk mengelola perusahaan. Dan ternyata lelaki itu dapat menanganinya dengan begitu cepat.
"Jalankan pekerjaan mu dengan baik Galen, jangan hura-hura tak menentu. Ingat kalau sekarang kau sudah punya istri. Jangan sesekali membuang waktumu," ujar Dimas membuat Galen langsung kesal dan menggerutu.
"Hm."
Stelle memandang pada putranya, "Dan jangan berani-berani menyakiti Nasya. Kalau kamu tak ingin Ibu hajar, paham?"
Lagi-lagi Galen membuat bola matanya bosan, "Hei kau! Jangan kemana-mana. Aku akan kembali, kita akan pergi sekarang."
Dimas menatap tajam ke arah Galen, "Kenapa kau berbicara begitu kasar?"
Galen mengabaikan hal itu, ia tetap berjalan menaiki tangga menuju kamar. Mengambil koper yang sudah di siapkan oleh Ibunya tadi Pagi, lelaki itu mengganti pakaiannya dan bergegas turun, "Ayo pergi. Ayah dan Ibu aku berangkat dulu."
Keduanya kembali memasuki mobil, mereka sempat berpamitan secara singkat mengingat Galen yang begitu terburu-buru. Stelle memandang khawatir pada sang suami, "Apa Galen akan menjaga Nasya dengan baik? Kita tidak tahu bukan apa yang ada di dalam benak anak nakal itu."
"Kita lihat saja Stelle, jangan terlalu memusingkan nya." Dimas berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan Stelle yang masing diam menatap kepergian sang putra dan juga menantunya.
"Semoga saja Galen tidak membuat aku kecewa nantinya," ujar Stelle menutup pintu rumah.
****
Nasya asik memandang keluar jendela mobil, mengabaikan keheningan yang terjadi di antara keduanya. Entah kenapa Galen menjadi begitu dingin ketika bersama dirinya, tapi ketika berhadapan dengan Ayah dan Ibu lelaki itu tampak sedikit berubah walaupun cara bicaranya masih datar dan kasar.
Tak ada dari mereka yang ingin membuka pembicaraan sampai keduanya sampai di sebuah rumah sederhana milik Galen, lelaki itu langsung saja memarkirkan mobil miliknya dan keluar begitu saja. Meninggalkan Nasya yang gelagapan sendiri.
Ia mengikuti langkah kaki Galen yang mendahuluinya, wanita itu tampak bingung. Apa yang harus ia lakukan sekarang, di mana letak kamarnya? Dan pada akhirnya ia memutuskan untuk menunggu di sofa saja, sampai Galen kembali.
"Rumah ini begitu sederhana," ujar Nasya memandang kagum interior khas dari rumahnya sekarang. Dia menatap ke arah tangga menunggu Galen turun dari sana, akan tetapi tak ada tanda-tanda bahwa lelaki itu akan turun.
"Apa ia melupakan ku?" tanya Nasya lirih. Ia mencoba mencari kesibukan lain, seperti mengecek ponsel yang sejak Pagi belum ia pegang. Banyak panggilan dan pesan masuk dari Ratu, yang menanyakan kenapa ia tak masuk sekolah.
Nasya mengetik pesan pada Ratu, mengatakan bahwa ia sedang ada urusan keluarga. Setelah melakukan itu Nasya kembali menatap tangga berharap Galen segera datang dan menunjukkan kamarnya di mana.
Namun, sudah lama ia menanti sosok Galen tetap tak kunjung datang. Mata Nasya sudah terasa berat, ia memutuskan untuk tidur sebentar di atas sofa sembari menunggu Galen. Entah ia akan datang atau tidak, wanita itu merebahkan tubuhnya di atas sofa, "Apa dia benar-benar melupakan ku?"
Mata Nasya perlahan menutup, ia mengelus perutnya sebentar, tak lama kemudian terdengar dengkuran halus yang menandakan bahwa Nasya sudah masuk ke alam mimpi.
Nasya merapatkan selimut yang ia pakai, ketika di rasa angin segar menusuk kulitnya. Akan tetapi ia tersadar bahwa semalam dirinya tidur di sofa dan tak memakai selimut.Manik matanya terbuka lebar, ia langsung duduk dan berlari ke kamar mandi ketika perutnya begitu bergejolak. Tubuhnya terasa lemas, akan tetapi ada tangan kekar yang menopang tubuh Nasya."Galen?" tanya wanita itu lirih, ia dapat mencium aroma maskulin dari tubuh Galen dan itu membuat dirinya tenang.Lelaki itu kembali membawa tubuh istrinya ke atas ranjang, memberikan selimut dan juga minyak angin yang tersimpan di dalam laci lemari kecil di samping ranjang, "Pakai.""Terima kasih," ucap Nasya mengambil benda itu dari tangan suaminya, ia mencium aroma minyak kayu putih dan menyandarkan tubuh di kepala ranjang. Tak ada lagi pembicaraan dari mereka, Galen yang duduk di tepi ranjang hanya diam."Hm ... Apa kamu yan
Nasya menerima pakaian kotor miliknya yang diulurkan oleh pemuda di depannya, wanita itu menganggukkan kepala dan tersenyum, "Terima kasih Reyhan."Ya, memang Reyhan yang tadi datang membantu Nasya. Karena merasa khawatir wanita itu tak kunjung kembali, padahal bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi, dan juga Reyhan sempat mendengar pembicaraan Rihanna bersama kedua temannya. Bergegas saja Reyhan menyusul Nasya.Pintu UKS dibuka dengan kasar, membuat keduanya menoleh. Di sana Ratu datang dengan wajah yang begitu khawatir, "Apa kau baik-baik saja?"Dia berlari mendekati Nasya, memeriksa tubuh sahabatnya itu dengan teliti. Takut saja ada yang lecet, maka ia tak segan-segan memukul wajah Rihanna. Helaan napas lega keluar dari mulut Ratu."Untung saja kau tak apa Nasya. Aku baru saja membaca pesanmu, dan bergegas menuju toilet. Akan tetapi aku tak menemukanmu di sana, bergegas saja aku ke sini," ujar R
Nasya memuntahkan isi perutnya ke wastafel, tubuhnya terasa lemas sekarang. Setelah mencuci mulut dan wajah wanita itu kembali berjalan menuju ranjang, dan melihat sosok Galen masih tertidur tenang.Nasya menghirup aroma kayu putih yang ia simpan di bawah bantal, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Bibirnya bergetar hebat, belum lagi dengan rasa pusing yang mendera kepalanya.Dia tersentak ketika merasakan pergerakan dari kasur sebelahnya, yang menandakan bahwa Galen sudah bangun. Dengan perlahan Nasya melirik suaminya yang duduk di tepi ranjang, lelaki tampan tersebut mengacak-acak rambutnya kasar kemudian berjalan menuju kamar mandi.Tak lama kemudian Galen sudah siap dengan pakaian sekolahnya, lelaki itu menatap Nasya sebentar kemudian melenggang pergi."Aku harus pergi sekolah, jika tidak aku akan ketinggalan pelajaran." Nasya bangkit dari ranjang, berjalan sambil berpegangan pada dinding. Tubuhnya terasa b
Wanita berbadan dua itu membuka pintu rumah dengan pelan, matanya melihat sosok Galen yang sudah duduk di atas sofa ruang tengah dengan mata yang fokus pada laptop. Wajahnya terlihat begitu serius membuat Nasya merasakan debaran aneh, ia memegangi dadanya yang berdegup kencang."Sudah puas melihatku?" tanya Galen mengangkat kepala. Matanya terlihat begitu sayu, mungkin ia kelelahan."Maaf, aku tidak bermaksud." Wanita itu menundukkan kepala, ia membalikkan badan dan berniat pergi dari sana. Langkahnya terhenti ketika mengingat sesuatu, mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu.Galen menatap istri mungilnya itu tajam, "Apa lagi? Tak bisakah kau pergi dan tidak mengangguk konsentrasi ku lagi?""Ba-baiklah, aku minta maaf." Nasya menaiki tangga dengan terburu-buru, mendengar ucapa Galen barusan membuat ia jatuh kembali. Padahal tadi dirinya begitu bahagia ketika tahu bahwa pemuda itu merangkul tubuhnya erat, b
Pagi ini semua siswa dihebohkan karena berita yang tertulis di mading sekolah, bahkan ada beberapa foto juga di sana sebagai bukti. Nasya baru saja datang dengan buku tebal di tangannya, wanita itu berniat akan mengembalikan buku tersebut ke perpustakaan sekolah.Ujian pertama akan di mulai beberapa menit lagi, akan tetapi ia merasa heran ketika melihat tatapan sinis yang ditujukan padanya."Ada apa dengan mereka?" tanya Nasya tak mengerti, langkah kakinya terhenti ketika melihat sudah banyak orang yang berdiri di depan kelasnya. Dengan rasa percaya diri Nasya berjalan pelan melewati mereka akan tetapi tubuhnya malah terdorong keras ketembok membuat ia meringis kesakitan."Masih bisa bersikap normal, padahal dirinya sedang viral. Benar-benar perempuan tak tahu malu sekali," ujar seorang gadis yang tampaknya adalah ketua dari mereka."Apa maksudmu?" tanya Nasya tidak mengerti. Ia memegang tangan san
Nasya terbangun dari tidurnya, ia menggeliat dan melihat ranjang di sebelahnya kosong, pikirannya langsung tertuju pada Galen. Setelah kejadian itu Nasya mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak berharap lagi pada Galen.Perutnya berbunyi meminta untuk di isi, bergegas saja Nasya berjalan keluar kamar. Dia memasuki ruang tengah yang langsung menuju dapur, matanya menatap kosong pada ruangan itu."Apa Galen tidak pulang?" tanya wanita tersebut di dalam hati, dengan cepat ia menggelengkan kepala mengusir pemikiran yang masih bersangkutan dengan Galen.Setelah selesai dengan sarapannya, Nasya memutuskan untuk segera pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, hitung-hitung menghemat biaya karena uang bulanan yang sempat di berikan oleh kedua orangtuanya hampir habis. Dia tidak mau meminta uang pada Galen Walaupun itu sudah tanggungjawab lelaki tersebut.Baginya akan lebih baik diberi oleh lelaki itu sendiri daripada haru
Nasya sudah siap dengan seragam sekolahnya, wanita itu tampak begitu segar walaupun raut wajahnya masih sedikit pucat. Setelah dua hari libur atas perintah Dokter dan paksaan dari orang tuanya, sekarang ia memaksakan diri untuk sekolah.Karena dia sudah ketinggalan ujian, jadi ia berniat untuk melakukan susulan. Dia menuruni tangga dengan pelan, matanya melihat sosok Galen yang duduk di atas sofa ruang tengah dengan pandangan yang tertuju pada dirinya.Pria itu langsung berdiri ketika Nasya meliriknya, dia berjalan mendekat dan menarik tangan istrinya, "Pakai ini. Aku tak ingin kau membuat masalah yang menjerumuskan diriku di sana."Ia memberikan sejumlah uang, setelah melakukan hal tersebut langsung saja Galen pergi meninggalkan Nasya yang mematung menatap kepergian suaminya."Apa diriku benar-benar menjadi beban bagi Galen?" lirih nya sendu. Tangannya terulur untuk mengunci pintu, dan berangkat menuju sekola
Perlahan mata Nasya terbuka dan menyipit ketika merasakan sinar matahari yang masuk melalui jendela. Wanita itu mencoba untuk duduk akan tetapi tidak bisa karena kakinya yang sakit, ia memandang sekitar dan menyadari bahwa dirinya sudah di rumah.Kakinya juga sudah di beri obat, bahkan bibir Nasya sudah diberi salep. Pintu kamar terbuka menampakkan sosok Galen yang datang sambil membawa bubur, dia mengernyit keningnya heran. Kenapa dirinya bisa tiba di rumah padahal kemarin Tari hampir saja membunuhnya."Makanlah ini dulu, kau pingsan dari kemarin. Dan belum makan apapun, pikirkan tentang anakmu juga," ucap Galen meletakkan gelas air di dekat ranjang, ia menyendokkan bubur ke mulut istirnya yang masih terkatup.Helaan napas kasar terdengar ketika Nasya tidak membuka mulutnya, "Nanti aku akan menceritakan semuanya, ayo makan."Setelah mendengar ucapan Galen, Nasya menganggukkan kepala paham. Ia membuka mulutnya dan m
Rahmi mengelus perut buncitnya dengan pelan, matanya tak henti-hentinya menatap Nasya yang begitu shock. Tangannya terulur menyentuh jemari Nasya, "Boleh aku bercerita?" Wanita berambut hitam itu mengangkat kepala kemudian mengangguk, "Boleh." "Kau tahu lima tahun yang lalu, aku memutuskan untuk kembali lagi bersama suamiku. Meninggalkan Galen karena dia jelas-jelas memilihmu Nasya, bahkan setelah dia sadar dari koma orang pertama yang ia cari adalah dirimu, kau mungkin tak melihat bagaimana kacaunya Galen saat tahu bahwa kamu meninggalkan nya," jelas Rahmi menerawang, "Tapi ... Aku melihat segalanya. Dari dia yang tak semangat menjalani hari, bahkan selalu membuat ulah di kampus. Membuat Paman Dimas menjadi khawatir, untung saja Galen masih bisa menyelesaikan kuliahnya dan bekerja setelah itu." "Darimana kau tahu itu?" tanya Nasya. Rahmi mengedipkan mata dan tersenyum pada Nasya, "Bibi
Gelak tawa berderai di meja tempat Nasya duduk makan ice cream bersama Gavin dan juga Reyhan, setiap orang yang memandang pasti mengira mereka adalah keluarga. Tapi kenyataannya tidak, buktinya saja Gavin memandang tak suka pada sosok lelaki di depannya."Ibu kapan kita akan pulang?" tanya bocah itu menyela ucapan Reyhan yang baru saja akan keluar, langsung saja keduanya menoleh."Setelah berbelanja bahan makanan baru kita akan pulang," jawab wanita berambut hitam itu, dia mengecek semua benda yang ada di dalam tas kemudian berdiri, "Ayo kita pergi sekarang Gavin. Sepertinya Tantemu tidak akan puas berbelanja, hm ... Apa kau mau ikut Reyhan?"Pria itu menolehkan kepala, alisnya sedikit terangkat, "Apa boleh?""Tentu saja. Bener begitu kan Gavin?""Tidak!" tolak bocah itu cepat. Ia menyilangkan tangan dengan kepala yang menggeleng, tak lupa tatapan tajam yang sedari tadi dilayangk
Sesuai permintaan Ratu semalam, hari ini mereka bertiga sudah berada di Mall. Menemani Ratu yang berjalan ke sana kemari hanya untuk mencari pakaian dalam, diikuti oleh Nasya dan Gavin yang sepertinya sudah mulai bosan mengikuti langkah Ratu."Model apa yang kau inginkan Ratu?" tanya Nasya dengan wajah masam, sudah setengah jam mereka berjalan bolak-balik sedangkan yang dicari tak kunjung bertemu.Gadis itu berdecak kesal, "Jangan mengeluh dulu, aku hanya ingin berputar-putar saja.""Rempong sekali. Cepatlah Tante kaki kecilnya ini sudah lelah," sahut Gavin pedas. Dia mencibir ketika Ratu memelototi dirinya, tak perlu memasang wajah takut bukan.Nasya tampak menghela napas. Ibu muda itu menarik Gavin ke dalam gendongannya, "Cepat selesaikan pencarianmu itu, aku akan membawa Gavin untuk berisitirahat. Jika sudah selesai telpon saja aku, sampai nanti."Bergegas pergi dari sana adalah jalan yang
Ini sudah tiga hari semenjak pengusiran Galen. Nasya mengurung diri di dalam kamar, mengabaikan sang Ibu yang sedari tadi mengetuk pintu. Pikirannya kacau ketika wajah Galen terlintas bak kaset rusak, hatinya sesak dan tak tenang, "Aku benci dia.""Nasya ayo buka pintunya, biarkan Ibu masuk!" teriak Keina keras, sejak tadi wanita paruh baya itu membujuk Nasya. Akan tetapi tak ada angsuran apapun, dia menoleh ketika mendengar langkah kaki yang mendekat."Nenek ...," panggil Gavin lirih dengan mata berkaca-kaca. Kaki kecil itu melangkah mendekat, tangannya terangkat untuk mengetuk pintu kamar, "Ibu ... Gavin ingin memeluk Ibu."Seketika Nasya mendongak mendengar suara Gavin, dia berdiri dan berlari menuju pintu. Saat pintu terbuka putranya itu langsung berhambur memeluk tubuh Nasya erat, dapat dipastikan bahwa bocah tersebut menangis."Kau mengurung diri sampai lupa dengan putramu sendiri," sindir Keina pelan. Mer
Pagi ini Nasya terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara berisik dari lantai bawah, kepalanya menoleh ke samping dan mengernyit ketika tak menemukan putranya di ranjang. Kakinya melangkah menuju ke arah jendela untuk membuka gorden kemudian membuka pintu kamar melihat apa yang sedang terjadi di bawah sana.Keina dan juga Carel tampak sibuk memindahkan meja dan kursi yang biasanya digunakan pengunjung restoran, begitupun dengan Gavin yang ikut membawa tempat sendok."Ibu, Ayah kenapa semuanya dipindahkan?" tanya Nasya heran."Kami akan menutup restoran ini Nasya." Keina menjawab disela-sela ia membawa meja menuju gudang belakang."Kenapa? Bukankah cuma ini penghasilan Ayah dan Ibu?"Carlos tampak menghela napas, tangannya terangkat untuk menghapus keringat yang bercucuran di dahinya, "Iya. Itu dulu sebelum Ayah dan Ibu kehabisan modal, kamu tahu bukan orang-orang zaman sekarang lebih
Di sebuah kamar yang temaram terlihat seorang pria dengan botol alkohol ditangannya, ia menyandarkan tubuh pada ranjang dengan mata menatap keluar jendela. Dia melempar botol kosong itu ke arah tembok kamar, menciptakan bunyi nyaring yang memekakkan telinga.Pintu kamar terbuka lebar, menampakkan sosok kedua orangtuanya. Stelle berlari dengan tergopoh-gopoh,"Galen apa yang terjadi? Katakan padaku kenapa?!"Tak ada jawaban apapun dari Galen, pria itu hanya terkekeh geli dengan pandangan yang mulai mengabur. Stelle menepuk pipi putranya pelan, namun hal itu tetap tak membuat Galen bergeming. Dimas yang sedari tadi berdiri di pintu melangkahkan kaki masuk, lelaki paruh baya tersebut memandang kondisi putranya dalam diam."Apa ini ada sangkut pautnya dengan Nasya? Katakan padaku!" teriak wanita paruh baya itu menahan kesal, dia menatap tepat di kedua bola mata Galen."Ibu tahu? Dia melarangku untuk menemuinya," jawab pr
Gavin menarik tangan kedua orangtuanya tak sabaran. Mereka berjalan menuju gerbang masuk sebuah taman bermain, bocah lelaki itu bahkan mengabaikan dirinya yang limbung kehilangan keseimbangan ketika tak sengaja menabrak batu kerikil.Dengan sigap Galen langsung menangkap putranya, pria itu terkekeh pelan kemudian menyuruh Gavin untuk menunggu bersama Nasya selagi dirinya mengantri membeli tiket masuk."Ibu aku ingin makan permen kapas, apa di sini ada orang yang menjualnya?" tanya bocah itu sambil celingak-celinguk menatap sekeliling."Jangan banyak memakan permen kapas, apa kamu ingin tubuhmu dipenuhi semut?" goda Nasya menggelitik perut putranya, kedua manusia itu tertawa.Gavin berjalan mundur untuk menghindari serangan sang Ibu, "Aku tidak takut. Jika permen kapas membuatku bahagia, Ibu bisa apa?""Kamu menantang Ibu?" tanya Nasya kesal.Galen berjalan mendekati keduanya,
Sudah seminggu sejak Galen datang berkunjung bersama Ibunya, kadang ia hanya menitipkan bunga ataupun makanan manis untuk Gavin. Kalau soal bunga sudah pasti itu untuk Nasya, walaupun sudah ditolak oleh Nasya pria tersebut tetap mengirim bunga dihari berikutnya.Seperti saat ini Nasya memandang bunga mawar didepannya bosan, berkali-kali ia menghela napas kasar membuat Ratu yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya memandang heran. Gadis itu menyilangkan kaki dan menyandarkan tubuh pada sofa."Mau sampai kapan kau menatap bunga itu? Apa kau merindukan Galen?" tanya Ratu, matanya melirik Nasya sebentar kemudian fokus kembali pada layar ponsel.Tak ada jawaban apapun dari Nasya, Ibu muda itu mengulurkan tangan untuk memegang bunga mawar, dengan kepala yang ditumpukan di atas meja."Yasudah terserah, aku akan pergi keluar bersama pacarku. Sampai nanti," pamit Ratu mengambil tas dan mengumpulkan beberapa barang yang sempat
Suasana kamar Nasya menjadi hening seketika, Keina melepas pelukannya dan menatap sang putri dengan senyuman lembut. Tangan itu terulur untuk sekedar mengusap air mata yang masih menempel di pipi Nasya, "Kau tahu? Galen tidak akan mengambil Gavin dari kita.""Tidak ada yang tahu apa yang ia pikirkan Ibu," jawab Ibu muda itu menggelengkan kepala. Menolak semua kemungkinan yang akan terjadi, dirinya tak siap dengan semuanya.Keina memindahkan tangannya pada puncuk kepala Nasya, "Gavin pasti sedang bertanya-tanya sekarang. Apa hubunganmu dengan Galen, Ibu sangat yakin dengan itu.""Lalu apa yang harus aku lakukan Ibu?" tanya Nasya."Katakan pada Gavin bahwa Galen adalah ayahnya, dan satu lagi ... Jangan berpikir buruk tentang Galen lagi, dia juga pasti merindukan darah dagingnya sendiri Nasya, biarkan saja dia menemui Gavin, kau harus ingat bahwa dia adalah salah satu alasan kenapa Gavin hadir di dunia ini." Wanita par