Nasya menangis sejadi-jadinya ketika bayangan semalam masih berputar jelas di benaknya. Kepala wanita itu terangkat ketika mendengar suara erangan yang bersumber dari arah tempat tidur.
Mata keduanya saling bertemu, dapat dilihat bahwa Galen begitu terkejut melihat keadaan Nasya. pemuda itu bergegas menjadikan seprai sebagai alasan tubuhnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Galen tak suka, ia berjalan menuruni ranjang dan melihat pakaian berserakan di lantai.
Tatapan bertanya dan pemikiran aneh berputar di kepala lelaki itu, "Jangan bilang ... kalau kita ...."
Wanita yang sejak tadi menangis kembali menitikkan air mata, ia bahkan menyembunyikan wajahnya di dalam lipatan kaki yang sudah terasa perih dan kaku.
"Keluar dari sini sekarang Nasya!" usir Galen lantang sambil melemparkan sebuah kemeja dan celana pendek ke arah Nasya.
Kepala wanita langsung mendongak, "Apa ... Maksudmu?"
"Apa kau tuli? Keluar dari sini sekarang, aku tahu pasti kau bukan yang menjebak diriku? Kau memasukkan sesuatu dalam minuman yang aku minum tadi malam. Ayo cepat katakan!" ujar Galen masih dengan wajah datar.
Nasya menghapus air matanya, ia berdiri dengan susah payah dan mengambil pakaian yang dilempar oleh Galen tadi, "Aku tidak seperti yang kau bayangkan, setidaknya aku masih mempunyai hati nurani membantu mu yang mabuk berat semalam. Apa ini ucapan terima kasih yang kau berikan?"
"Kau pembohong, bagaimana mungkin perempuan bisa masuk ke dalam kawasan lelaki. Sekarang kau pergi dari sini dan anggap ini semua selesai."
Nasya dengan sakit hati melangkah keluar dari kamar Galen, dengan langkah tertatih dan juga air mata. Apa dia salah untuk berbaik hati membantu Galen tadi malam? Lorong kawasan tidur lelaki begitu kosong dan sunyi, wanita tersebut berjalan dengan susah payah kembali menuju kamarnya.
Pasti Ratu menunggumu khawatir dirinya sekarang, Nasya menghabiskan begitu banyak waktu untuk kembali kamar, membuka pintu kamar dengan begitu pelan dan melihat sosok Ratu tidur di atas sofa. Sepertinya gadis itu menunggu kehadiran Nasya semenjak tadi.
Wanita pendek tersebut melangkah menuju kamar mandi, menyalakan shower dan membiarkan air dingin membasahi seluruh tubuhnya yang terasa perih dan sakit. Air mata kembali menetes mengingat apa yang terjadi padanya, rasa bersalah langsung saja menghantui diri Nasya.
****
Ratu memandang wajah pucat Nasya, ia sudah bertanya tadi kenapa wanita itu tak pulang tadi malam. Akan tetapi tak dijawab oleh Nasya yang membuat Ratu menyimpan kata-kata nya. Bus berhenti di halaman sekolah mereka, semua siswa turun dengan tergesa-gesa.
Begitu pula dengan Nasya yang tampak tak semangat, ia melihat sang Ayah sudah menunggu dengan sepeda yang biasa ia gunakan ke pasar. Entah kenapa senyuman yang diberikan sang Ayah membuat dunianya berputar, rasa bersalah itu kembali muncul.
"Bagaimana dengan studi tour kamu Nasya? Apa menyenangkan?" tanya sang Ayah dengan semangat. Akan tetapi melihat wajah sang Anak yang begitu lesu membuat ia terdiam, "Mungkin kamu lelah. Ayo naik, kita pulang sekarang. Ibu memasak sesuatu yang enak hari ini."
Sepeda tua milik Ayah Nasya bergerak dengan pelan, hembusan angin sore membuat Nasya memejamkan mata. Tangannya bertengger pada pinggang lelaki hebatnya.
"Kalian sudah pulang? Ayo masuk Nasya, Ibu memasakkan makanan kesukaan mu sayang," ujar Ibu Nasya senang. Ia kembali terdiam ketika sang suami memberi kode bahwa putri mereka sedang lelah.
Ketika memegang bahu putri tunggalnya, "Naiklah ke atas. Mungkin kamu lelah dengan perjalanannya, untuk makanannya nanti saja." Ia mengiring tubuh putrinya menuju kamar.
Kening Keina mengernyit ketika melihat Nasya yang kesusahan menaiki tangga, namun ia menggelengkan kepala pelan. Mungkin itu efek kelelahan Nasya.
"Tidurlah. Pakaian kotormu biar Ibu saja yang mencucinya," ucap Keina merebahkan tubuh Nasya ke atas ranjang, menyelimuti tubuh mungil wanita itu dengan lembut.
Setelah Ibu Nasya keluar dari kamar, air mata dan juga isakan tangis terdengar di keheningan kamar Nasya. Wanita itu merasa sangat bersalah, ia begitu kotor dan menjijikkan sekarang.
"Apa ... yang harus aku lakukan Tuhan?" tanya wanita itu memeluk guling. Air mata jatuh membasahi bantal yang ia pakai, Nasya mendudukkan tubuhnya di atas ranjang kemudian memeluk kedua lututnya yang terasa seperti jelly.
"Kenapa rasanya ... Begitu sesak di sini?" Nasya menepuk dadanya keras, lagi-lagi perkataan Galen tadi kembali terngiang di kepalanya, ia benci dengan itu.
Kakinya menendang-nendang selimut kasar, "Aku hancur ... Aku hancur Tuhan, kenapa harus begini?"
****
Nasya dengan susah payah membuka mata, sinar matahari langsung saja masuk memenuhi ruangan kamarnya.
"Apa kamu sudah bangun?" tanya sang Ibu dengan nada khawatir. Wanita tersebut tampak berjalan mendekati Nasya, "Biarkan Ibu mengompres kepalamu agar tak panas lagi."
Nasya mengernyit ketika handuk dingin mengenai kepalanya, "Apa ... Aku demam?"
"Iya. Mungkin ini efek kelelahan studi tour kemarin, jangan khawatir Ibu sudah menelpon wali kelasmu tadi, dan juga Ratu menitip salam padamu sayang," ucap Keina mengusap rambut sang putri dengan lembut.
"Istirahat lah, Ibu akan kembali nanti." Ibu Nasya berdiri dan berjalan keluar dari kamar. Helaan napas kasar keluar dari mulut wanita tersebut, ia meresapi rasa dingin yang menguar dari handuk di atas kepalanya.
"Kenapa harus sakit? Kenapa tidak lenyap saja?" tanya Nasya lirih sambil memejamkan mata. Entah kenapa ia merasa tidak berguna lagi sekarang, bahkan untuk bernapas saja terasa begitu sesak.
Nasya berjalan dengan begitu lunglai menuju rumahnya, keringat sudah membasahi baju putih abu yang di pakai. Di depan sana Nasya dapat melihat sebuah mobil berwarna hitam terparkir indah di depan rumah."Mobil siapa itu? Apa salah satu pelanggan Ayah?" tanya Nasya lirih. Ia memasuki restoran yang tampak begitu sepi. Hanya ada sang Ayah dan juga pria dewasa yang sepertinya seumur dengan Ayahnya, dengan langkah ringan Nasya berjalan mendekati tangga menuju lantai dua."Apa sudah pulang sekolahnya?" tanya Carel membuat Nasya menghentikan langkah kakinya."Iya. Aku baru saja pulang Ayah," jawab wanita itu dengan pelan. Ia mengernyit ketika sang Ayah melambaikan tangan ke arahnya.Carel memandang orang yang duduk didepannya, kemudian menyuruh Nasya untuk memberi salam, "Kenalkan dia sahabat Ayah sewaktu kecil dulu, namanya Dimas.""Halo Paman, aku Nasya." Wanita mungil tersebut membungkukkan ba
Pagi ini Nasya terlambat datang ke sekolah, karena tadi malam dirinya tak bisa tidur. Dan sekarang dia harus menjalankan hukuman yang diberikan oleh Pak Kusuma sebagai guru piket yang bertanggung jawab, dia memberikan hukuman yaitu membersihkan lapangan olahraga.Matanya menangkap teman sekelasnya sedang pemanasan yang dipimpin oleh ketua Abian. Beberapa anak perempuan menertawakan Nasya yang sibuk memungut sampah, "Hei! Lihat di sana. Ada anak beasiswa yang terlambat!"Gelak tawa berderai keras, Nasya menulikan telinga dengan apa yang mereka katakan. Wanita tersebut tetap menjalankan hukumannya."Mungkin dia kelelahan setelah melayani pelanggan semalam," ucap Rihanna membuat yang lainnya tertawa, Ratu yang mendengar hal itu menjadi geram. Gadis itu baru saja akan meremas mulut Rihanna, akan tetapi terhenti ketika guru olahraga datang bersama beberapa siswa laki-laki."Baiklah, pagi ini kita semua akan m
Keputusan telah dibuat, Nasya dan juga Galen sudah rersmi menjadi pasangan suami istri. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing ketika para tamu yang berasal dari kenalan Ayah dan Ibu Galen berpamitan pergi.Pernikahan mereka tidak dibuka secara publik, mengingat bahwa keduanya masih sekolah. Dimas dan Carlos sudah memperhitungkan itu matang-matang, jadi hanya orang-orang terdekat saja yang menghadiri pernikahan mereka.Nasya berdiri ketika Stelle dan Keina melambaikan tangan agar ia segera mendekat pada mereka. Wanita hamil itu tampak menampilkan wajah sendu, Keina membawa tubuh putrinya ke dalam kamar dan memeluk Nasya erat."Jaga dirimu Nak, Ibu tidak akan berada di dekatmu lagi. Kamu ingat bukan kalau sekarang dirimu sudah menikah," ujar Keina menatap kedua bola mata Nasya yang berkaca-ksca, "Tapi jangan khawatir, Kapan-kapan Ibu akan datang bersama Ayah."Nasya mengangguk paham, ia kembali memeluk tu
Nasya merapatkan selimut yang ia pakai, ketika di rasa angin segar menusuk kulitnya. Akan tetapi ia tersadar bahwa semalam dirinya tidur di sofa dan tak memakai selimut.Manik matanya terbuka lebar, ia langsung duduk dan berlari ke kamar mandi ketika perutnya begitu bergejolak. Tubuhnya terasa lemas, akan tetapi ada tangan kekar yang menopang tubuh Nasya."Galen?" tanya wanita itu lirih, ia dapat mencium aroma maskulin dari tubuh Galen dan itu membuat dirinya tenang.Lelaki itu kembali membawa tubuh istrinya ke atas ranjang, memberikan selimut dan juga minyak angin yang tersimpan di dalam laci lemari kecil di samping ranjang, "Pakai.""Terima kasih," ucap Nasya mengambil benda itu dari tangan suaminya, ia mencium aroma minyak kayu putih dan menyandarkan tubuh di kepala ranjang. Tak ada lagi pembicaraan dari mereka, Galen yang duduk di tepi ranjang hanya diam."Hm ... Apa kamu yan
Nasya menerima pakaian kotor miliknya yang diulurkan oleh pemuda di depannya, wanita itu menganggukkan kepala dan tersenyum, "Terima kasih Reyhan."Ya, memang Reyhan yang tadi datang membantu Nasya. Karena merasa khawatir wanita itu tak kunjung kembali, padahal bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi, dan juga Reyhan sempat mendengar pembicaraan Rihanna bersama kedua temannya. Bergegas saja Reyhan menyusul Nasya.Pintu UKS dibuka dengan kasar, membuat keduanya menoleh. Di sana Ratu datang dengan wajah yang begitu khawatir, "Apa kau baik-baik saja?"Dia berlari mendekati Nasya, memeriksa tubuh sahabatnya itu dengan teliti. Takut saja ada yang lecet, maka ia tak segan-segan memukul wajah Rihanna. Helaan napas lega keluar dari mulut Ratu."Untung saja kau tak apa Nasya. Aku baru saja membaca pesanmu, dan bergegas menuju toilet. Akan tetapi aku tak menemukanmu di sana, bergegas saja aku ke sini," ujar R
Nasya memuntahkan isi perutnya ke wastafel, tubuhnya terasa lemas sekarang. Setelah mencuci mulut dan wajah wanita itu kembali berjalan menuju ranjang, dan melihat sosok Galen masih tertidur tenang.Nasya menghirup aroma kayu putih yang ia simpan di bawah bantal, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Bibirnya bergetar hebat, belum lagi dengan rasa pusing yang mendera kepalanya.Dia tersentak ketika merasakan pergerakan dari kasur sebelahnya, yang menandakan bahwa Galen sudah bangun. Dengan perlahan Nasya melirik suaminya yang duduk di tepi ranjang, lelaki tampan tersebut mengacak-acak rambutnya kasar kemudian berjalan menuju kamar mandi.Tak lama kemudian Galen sudah siap dengan pakaian sekolahnya, lelaki itu menatap Nasya sebentar kemudian melenggang pergi."Aku harus pergi sekolah, jika tidak aku akan ketinggalan pelajaran." Nasya bangkit dari ranjang, berjalan sambil berpegangan pada dinding. Tubuhnya terasa b
Wanita berbadan dua itu membuka pintu rumah dengan pelan, matanya melihat sosok Galen yang sudah duduk di atas sofa ruang tengah dengan mata yang fokus pada laptop. Wajahnya terlihat begitu serius membuat Nasya merasakan debaran aneh, ia memegangi dadanya yang berdegup kencang."Sudah puas melihatku?" tanya Galen mengangkat kepala. Matanya terlihat begitu sayu, mungkin ia kelelahan."Maaf, aku tidak bermaksud." Wanita itu menundukkan kepala, ia membalikkan badan dan berniat pergi dari sana. Langkahnya terhenti ketika mengingat sesuatu, mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu.Galen menatap istri mungilnya itu tajam, "Apa lagi? Tak bisakah kau pergi dan tidak mengangguk konsentrasi ku lagi?""Ba-baiklah, aku minta maaf." Nasya menaiki tangga dengan terburu-buru, mendengar ucapa Galen barusan membuat ia jatuh kembali. Padahal tadi dirinya begitu bahagia ketika tahu bahwa pemuda itu merangkul tubuhnya erat, b
Pagi ini semua siswa dihebohkan karena berita yang tertulis di mading sekolah, bahkan ada beberapa foto juga di sana sebagai bukti. Nasya baru saja datang dengan buku tebal di tangannya, wanita itu berniat akan mengembalikan buku tersebut ke perpustakaan sekolah.Ujian pertama akan di mulai beberapa menit lagi, akan tetapi ia merasa heran ketika melihat tatapan sinis yang ditujukan padanya."Ada apa dengan mereka?" tanya Nasya tak mengerti, langkah kakinya terhenti ketika melihat sudah banyak orang yang berdiri di depan kelasnya. Dengan rasa percaya diri Nasya berjalan pelan melewati mereka akan tetapi tubuhnya malah terdorong keras ketembok membuat ia meringis kesakitan."Masih bisa bersikap normal, padahal dirinya sedang viral. Benar-benar perempuan tak tahu malu sekali," ujar seorang gadis yang tampaknya adalah ketua dari mereka."Apa maksudmu?" tanya Nasya tidak mengerti. Ia memegang tangan san
Rahmi mengelus perut buncitnya dengan pelan, matanya tak henti-hentinya menatap Nasya yang begitu shock. Tangannya terulur menyentuh jemari Nasya, "Boleh aku bercerita?" Wanita berambut hitam itu mengangkat kepala kemudian mengangguk, "Boleh." "Kau tahu lima tahun yang lalu, aku memutuskan untuk kembali lagi bersama suamiku. Meninggalkan Galen karena dia jelas-jelas memilihmu Nasya, bahkan setelah dia sadar dari koma orang pertama yang ia cari adalah dirimu, kau mungkin tak melihat bagaimana kacaunya Galen saat tahu bahwa kamu meninggalkan nya," jelas Rahmi menerawang, "Tapi ... Aku melihat segalanya. Dari dia yang tak semangat menjalani hari, bahkan selalu membuat ulah di kampus. Membuat Paman Dimas menjadi khawatir, untung saja Galen masih bisa menyelesaikan kuliahnya dan bekerja setelah itu." "Darimana kau tahu itu?" tanya Nasya. Rahmi mengedipkan mata dan tersenyum pada Nasya, "Bibi
Gelak tawa berderai di meja tempat Nasya duduk makan ice cream bersama Gavin dan juga Reyhan, setiap orang yang memandang pasti mengira mereka adalah keluarga. Tapi kenyataannya tidak, buktinya saja Gavin memandang tak suka pada sosok lelaki di depannya."Ibu kapan kita akan pulang?" tanya bocah itu menyela ucapan Reyhan yang baru saja akan keluar, langsung saja keduanya menoleh."Setelah berbelanja bahan makanan baru kita akan pulang," jawab wanita berambut hitam itu, dia mengecek semua benda yang ada di dalam tas kemudian berdiri, "Ayo kita pergi sekarang Gavin. Sepertinya Tantemu tidak akan puas berbelanja, hm ... Apa kau mau ikut Reyhan?"Pria itu menolehkan kepala, alisnya sedikit terangkat, "Apa boleh?""Tentu saja. Bener begitu kan Gavin?""Tidak!" tolak bocah itu cepat. Ia menyilangkan tangan dengan kepala yang menggeleng, tak lupa tatapan tajam yang sedari tadi dilayangk
Sesuai permintaan Ratu semalam, hari ini mereka bertiga sudah berada di Mall. Menemani Ratu yang berjalan ke sana kemari hanya untuk mencari pakaian dalam, diikuti oleh Nasya dan Gavin yang sepertinya sudah mulai bosan mengikuti langkah Ratu."Model apa yang kau inginkan Ratu?" tanya Nasya dengan wajah masam, sudah setengah jam mereka berjalan bolak-balik sedangkan yang dicari tak kunjung bertemu.Gadis itu berdecak kesal, "Jangan mengeluh dulu, aku hanya ingin berputar-putar saja.""Rempong sekali. Cepatlah Tante kaki kecilnya ini sudah lelah," sahut Gavin pedas. Dia mencibir ketika Ratu memelototi dirinya, tak perlu memasang wajah takut bukan.Nasya tampak menghela napas. Ibu muda itu menarik Gavin ke dalam gendongannya, "Cepat selesaikan pencarianmu itu, aku akan membawa Gavin untuk berisitirahat. Jika sudah selesai telpon saja aku, sampai nanti."Bergegas pergi dari sana adalah jalan yang
Ini sudah tiga hari semenjak pengusiran Galen. Nasya mengurung diri di dalam kamar, mengabaikan sang Ibu yang sedari tadi mengetuk pintu. Pikirannya kacau ketika wajah Galen terlintas bak kaset rusak, hatinya sesak dan tak tenang, "Aku benci dia.""Nasya ayo buka pintunya, biarkan Ibu masuk!" teriak Keina keras, sejak tadi wanita paruh baya itu membujuk Nasya. Akan tetapi tak ada angsuran apapun, dia menoleh ketika mendengar langkah kaki yang mendekat."Nenek ...," panggil Gavin lirih dengan mata berkaca-kaca. Kaki kecil itu melangkah mendekat, tangannya terangkat untuk mengetuk pintu kamar, "Ibu ... Gavin ingin memeluk Ibu."Seketika Nasya mendongak mendengar suara Gavin, dia berdiri dan berlari menuju pintu. Saat pintu terbuka putranya itu langsung berhambur memeluk tubuh Nasya erat, dapat dipastikan bahwa bocah tersebut menangis."Kau mengurung diri sampai lupa dengan putramu sendiri," sindir Keina pelan. Mer
Pagi ini Nasya terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara berisik dari lantai bawah, kepalanya menoleh ke samping dan mengernyit ketika tak menemukan putranya di ranjang. Kakinya melangkah menuju ke arah jendela untuk membuka gorden kemudian membuka pintu kamar melihat apa yang sedang terjadi di bawah sana.Keina dan juga Carel tampak sibuk memindahkan meja dan kursi yang biasanya digunakan pengunjung restoran, begitupun dengan Gavin yang ikut membawa tempat sendok."Ibu, Ayah kenapa semuanya dipindahkan?" tanya Nasya heran."Kami akan menutup restoran ini Nasya." Keina menjawab disela-sela ia membawa meja menuju gudang belakang."Kenapa? Bukankah cuma ini penghasilan Ayah dan Ibu?"Carlos tampak menghela napas, tangannya terangkat untuk menghapus keringat yang bercucuran di dahinya, "Iya. Itu dulu sebelum Ayah dan Ibu kehabisan modal, kamu tahu bukan orang-orang zaman sekarang lebih
Di sebuah kamar yang temaram terlihat seorang pria dengan botol alkohol ditangannya, ia menyandarkan tubuh pada ranjang dengan mata menatap keluar jendela. Dia melempar botol kosong itu ke arah tembok kamar, menciptakan bunyi nyaring yang memekakkan telinga.Pintu kamar terbuka lebar, menampakkan sosok kedua orangtuanya. Stelle berlari dengan tergopoh-gopoh,"Galen apa yang terjadi? Katakan padaku kenapa?!"Tak ada jawaban apapun dari Galen, pria itu hanya terkekeh geli dengan pandangan yang mulai mengabur. Stelle menepuk pipi putranya pelan, namun hal itu tetap tak membuat Galen bergeming. Dimas yang sedari tadi berdiri di pintu melangkahkan kaki masuk, lelaki paruh baya tersebut memandang kondisi putranya dalam diam."Apa ini ada sangkut pautnya dengan Nasya? Katakan padaku!" teriak wanita paruh baya itu menahan kesal, dia menatap tepat di kedua bola mata Galen."Ibu tahu? Dia melarangku untuk menemuinya," jawab pr
Gavin menarik tangan kedua orangtuanya tak sabaran. Mereka berjalan menuju gerbang masuk sebuah taman bermain, bocah lelaki itu bahkan mengabaikan dirinya yang limbung kehilangan keseimbangan ketika tak sengaja menabrak batu kerikil.Dengan sigap Galen langsung menangkap putranya, pria itu terkekeh pelan kemudian menyuruh Gavin untuk menunggu bersama Nasya selagi dirinya mengantri membeli tiket masuk."Ibu aku ingin makan permen kapas, apa di sini ada orang yang menjualnya?" tanya bocah itu sambil celingak-celinguk menatap sekeliling."Jangan banyak memakan permen kapas, apa kamu ingin tubuhmu dipenuhi semut?" goda Nasya menggelitik perut putranya, kedua manusia itu tertawa.Gavin berjalan mundur untuk menghindari serangan sang Ibu, "Aku tidak takut. Jika permen kapas membuatku bahagia, Ibu bisa apa?""Kamu menantang Ibu?" tanya Nasya kesal.Galen berjalan mendekati keduanya,
Sudah seminggu sejak Galen datang berkunjung bersama Ibunya, kadang ia hanya menitipkan bunga ataupun makanan manis untuk Gavin. Kalau soal bunga sudah pasti itu untuk Nasya, walaupun sudah ditolak oleh Nasya pria tersebut tetap mengirim bunga dihari berikutnya.Seperti saat ini Nasya memandang bunga mawar didepannya bosan, berkali-kali ia menghela napas kasar membuat Ratu yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya memandang heran. Gadis itu menyilangkan kaki dan menyandarkan tubuh pada sofa."Mau sampai kapan kau menatap bunga itu? Apa kau merindukan Galen?" tanya Ratu, matanya melirik Nasya sebentar kemudian fokus kembali pada layar ponsel.Tak ada jawaban apapun dari Nasya, Ibu muda itu mengulurkan tangan untuk memegang bunga mawar, dengan kepala yang ditumpukan di atas meja."Yasudah terserah, aku akan pergi keluar bersama pacarku. Sampai nanti," pamit Ratu mengambil tas dan mengumpulkan beberapa barang yang sempat
Suasana kamar Nasya menjadi hening seketika, Keina melepas pelukannya dan menatap sang putri dengan senyuman lembut. Tangan itu terulur untuk sekedar mengusap air mata yang masih menempel di pipi Nasya, "Kau tahu? Galen tidak akan mengambil Gavin dari kita.""Tidak ada yang tahu apa yang ia pikirkan Ibu," jawab Ibu muda itu menggelengkan kepala. Menolak semua kemungkinan yang akan terjadi, dirinya tak siap dengan semuanya.Keina memindahkan tangannya pada puncuk kepala Nasya, "Gavin pasti sedang bertanya-tanya sekarang. Apa hubunganmu dengan Galen, Ibu sangat yakin dengan itu.""Lalu apa yang harus aku lakukan Ibu?" tanya Nasya."Katakan pada Gavin bahwa Galen adalah ayahnya, dan satu lagi ... Jangan berpikir buruk tentang Galen lagi, dia juga pasti merindukan darah dagingnya sendiri Nasya, biarkan saja dia menemui Gavin, kau harus ingat bahwa dia adalah salah satu alasan kenapa Gavin hadir di dunia ini." Wanita par