Entah kenapa pagi ini terasa berbeda saat Can datang ke perusahaan. Kemudian, pria itu disambut manis oleh Emine yang berdiri di depan meja kerjanya, menyapa Can yang membalas singkat dan segera masuk ke ruangan.
Sebenarnya perasaan pria itu semakin tidak keruan hanya dalam satu malam. Bersikap normal dan menganggap semuanya menjadi hal lalu sangat sulit bagi pria itu.
Bahkan, pekerjaan yang ia selesaikan dan interaksi Akira padanya cukup mengabur. Pikiran pria keturunan Turki itu dipenuhi oleh satu nama; Emine.
“Selamat pagi Tuan Sener.”
Can mendongak.
Belum sampai satu menit ia duduk di kursi kebesaran, lalu mengingat dan memahami perasaan yang menyusup aneh. Perempuan yang memenuhi pikirannya masuk dengan senyum manis, membawa satu bekal, sesuai keinginannya.
Emine meletakkan tas yang sudah terisi bekal sarapan pagi bersama peralatannya. “Aku sudah membuatkan sarapan pagi untukmu, Can.”
Manik coklat itu bersitatap cukup lama dengan Emine.
Ia merasa tidak asing dengan senyum dan tatapan teduh Emine pagi ini. Bahkan, perempuan yang terlihat lebih nakal di atas ranjang, tidak terlihat.
Emine menjadi perempuan lugu dan sangat sopan di balik hubungan mereka yang melewati batas malam itu.
“Apa boleh aku menyusunnya sekarang?” tanyanya pelan, masih berdiri di seberang Can.
Can menelan saliva, lalu mengangguk samar.
Emine tersenyum kecil. Ia segera beralih ke sisi kursi Can, membuka dan meletakkan satu per satu bekal yang sudah disiapkannya. Can melihat jemari tangan itu bekerja, lalu Emine pergi keluar dan kembali dengan segelas minum. “Kau bisa menikmati makananmu dan aku akan kembali untuk memberikan beberapa berkas yang harus kau tandatangani,” jelas Emine dan berniat berlalu.
Namun, langkahnya terhenti dan manik hazel itu melirik pergelangan tangan yang digenggam Can. “Ada apa?”
“Apa kau memiliki saudari kembar?”
“Apa?”
Emine mengernyit bingung.
Can jauh lebih bingung dengan sikap Emine yang tidak biasa. Pertemuan awal, perempuan itu sangat berani dan tidak takut jika ia dipecat karena satu kecupan di bibir Can. Bahkan, perempuan itu menantangnya untuk tidur kembali, sekalipun Emine sudah kehilangan keperawanan.
Ia masih tidak mengerti dengan perkenalan singkat bersama Emine.
“Ya. Apa kau memiliki saudari kembar? Aku sedang mendapati satu kebingungan, mengenai perubahan sikapmu dari nakal menjadi manis dan lembut seperti ini.” suara penuh tanya itu sangat jelas tertangkap indera pendengaran Emine.
Emine nyaris tidak berkedip.
Beberapa detik ia terdiam sampai rona merah dan senyum kecil tidak dapat ia tahan untuk terulas. “Aku memang perempuan manis dan lembut.”
“Mungkin, kesan pertemuan pertama kita adalah sikap andal tersembunyi yang aku punya secara tidak sadar.”
Can mengernyit.
Emine melepas pelan cekalan tangan Can, lalu menatap pria itu dengan senyum penuh arti, melipat kedua tangan di dada. “Emine yang kau lihat hari ini adalah Emine yang sebenarnya.”
“Dia terlihat nakal karena ingin dekat dan merasakan kehangatan seorang pria tampan dan dewasa, bernama Yavuz Can Sener. Dia mengubah sifatnya agar dengan mudah mendapatkan apa yang diimpikannya.”
“Kau ... aku ... aku tidak habis pikir.”
Emine tertawa kecil saat Can menyandarkan tubuhnya di kursi, lalu memijat pelipis. “Aku baru mengenalmu belum sampai satu bulan, Emine. Tapi kau sangat mudah membuatku merasa bingung, lalu menjawab semua hal yang kurasakan terdengar mudah.”
“Sikap dan perasaanmu berbanding terbalik dengan apa yang kurasakan hingga hari ini.”
“Seharusnya posisi kita sebaliknya. Kau yang gelisah, merasa sedih, kecewa dan aku yang bisa tenang layaknya pria berengsek yang terbiasa dekat dan meniduri perempuan,” jelas Can, membuat Emine menipiskan bibir.
Can merasakan kepalanya benar-benar berdenyut.
“Kau ingin mengetahui tentangku lebih jauh, Sayang?”
Pria itu mendongak, melihat Emine menumpukan satu tangan di atas meja. Kemudian, tangan satu lagi bersandar di tangan kursi milik Can.
Tubuh Emine sedikit menunduk, mensejajarkan tatapan keduanya. Sejenak, ia tenggelam pada sorot manik coklat yang dulu memancarkan sesuatu yang dapat mendebarkan jantung Emine.
Emine tidak mendapatkan Can membalas ucapannya. Tapi sorot manik coklat itu menyiratkan tanda tanya lebih banyak mengenai Emine.
Seulas senyum tipis itu membuat Can terpaku. Ia seperti tidak asing melihat senyum manis Emine dalam jarak dekat. “Mulailah mencurahkan perhatianmu untukku, Can.”
“Tatap aku sebagai perempuan spesial di matamu. Anggap aku sebagai perempuan terdekat yang kau butuhkan, sekalipun itu harus dilabeli dan disebut sebagai perempuan simpanan. Aku tidak mempermasalahkannya.”
Napas Can tercekat dengan penuturan Emine.
Namun, sorot mata itu tidak sedang bercanda. Emine meminta Can melabeli apa pun Emine, tapi perempuan itu meminta Can selalu berakhir membutuhkannya.
“Aku mengagumimu sejak awal, Can. Kita sudah menikmati satu malam panjang bersama dan aku semakin terpikat dengan dirimu,” jelas Emine.
“Jadi, kenalilah diriku lebih jauh dengan menjadikanku sebagai perempuan yang kau butuhkan dan jangan terus berpikir mengenai perasaan istrimu.”
“Karena aku tidak akan melakukan kesalahan dengan menjelaskan hubungan kita padanya.”
Jantung Can berdegup kuat saat kecupan manis singgah di sudut bibirnya. Ia terpaku, melihat Emine menjauhkan tubuhnya dan kembali menegak. Emine tersenyum kecil, lalu berjalan keluar ruangan meninggalkan Can.
Apa yang diucapkan Emine. Satu per satu kembali pria itu pikirkan dan pahami. Selalu ada penekanan di mana Emine bukanlah perempuan licik yang akan memanfaatkan kekayaan seorang pria ataupun suami orang.
Hanya satu permintaan yang ditekankan Emine.
Can tidak perlu mempertahankan benteng kokoh untuk sekadar menatap Emine dan menuntaskan keinginannya, jika pria itu membutuhkan sesuatu atau ingin merasakan apa pun dari kedekatannya bersama Emine.
**
Di luar ruangan.
Emine terdiam di depan pintu kerja Can.
Ia tersenyum getir, memegang bagian jantungnya yang selalu berdebar jika berada di dekat Can.
“Aku tetaplah Ayse-mu, Can. Aku perempuan yang dulu terlihat lugu dan polos di matamu. Kau yang mengajariku tentang banyak hal, termasuk bagaimana kau memantik hasratku dan membuatku berakhir selalu ingin terlihat sebagai perempuan dewasa.”
Ia ingin mengungkapkan kerinduan, lalu menanggalkan semua sikap dan sandiwara yang ia bangun untuk dirinya sendiri di depan Can. Emine ingin kembali pada titik di mana ia bisa merayu, menjahili Can dan begitupula sebaliknya.
Momen manis jauh lebih ia rindukan.
Ia bahagia saat Can begitu peka di dua tahun sebelumnya. Pria itu memulai kemesraan. Pria itu juga yang selalu memantik hasrat muda Emine.
Kedua tangan Emine terkepal kuat.
Ia tidak bisa terlalu larut dalam kelemahannya lagi. “Aku tidak bisa terus bersedih. Can sudah ada di dekatku dan aku harus melakukan apa yang Susan dan Fuat katakan,” tekan Emine, menarik napas dan mengembuskan pelan.
Emosi perempuan itu harus stabil.
Ia berjalan ke meja kerja, lalu membuka ponsel dan tersenyum miring, berhasil mengambil foto dirinya bersama Can ketika pria itu terlelap.
Emine akan menyimpan dan menjadikan beberapa foto sebagai bumerang; menyakiti perasaan Akira.
**
Rapat internal siang ini telah usai. Emine sibuk membereskan berkas Can di posisi pria itu duduk. Karena Can berada di luar ruangan, berbicara beberapa hal ringan dengan lelaki yang menjabat sebagai General Manajer tersebut. “Terimakasih atas undangan Anda, Tuan. Dengan senang hati saya akan datang menghadiri pesta pernikahan putri Anda.” Can tersenyum kecil. Ia sudah menganggap lelaki tiga tahun lebih tua dari Ayahnya adalah orangtuanya juga. Can diajarkan untuk beradaptasi dan menyelaraskan apa yang sudah diminta orangtuanya. Bahkan, ketika ia tidak mengingat apa pun, hatinya selalu saja menyukai pertemuan dengan banyak orang dari beberapa kalangan berbeda. “Sungguh suatu kehormatan jika Anda datang, Tuan.” “Sebenarnya saya ingin mengadakan pesta di Ankara. Hanya saja, calon suami putri saya memang meminta kami untuk menyiapkan di sana. Mengingat Ibu dari calon menantu saya sedang sakit dan berada di kursi roda.” Can mengucapkan turut kesedihannya dan berdoa agar wanita itu se
Emine memelotot sempurna dengan tubuh menegang, mendapati kali pertama Fuat mencium pipi Emine. Bahkan, tangan kanan pria itu menahan tengkuknya agar menempelkan bibir ranum Emine semakin lekat. Wajah Emine memerah dan merambat hingga ke leher jenjang, menatap tajam Fuat dan bersiap memberontak. Namun, gerakan itu terhenti seiring rasa kaget Emine. “Jangan terlihat kaku atau menyerangku, Ayse. Di belakangmu ada Tuan Sener,” bisik Fuat. “Dia berdiri di halaman depan lobi,” lanjut pria itu tepat di sisi wajah Emine, tanpa mengubah posisi sebelum menyelesaikan kalimat. Perempuan itu menatap Fuat dengan pupil melebar, memberikan kode dan pria itu ikut membalas dalam sorot mata. “Maaf, tapi dari ucapanmu beberapa menit lalu. Maka, kau harus membuat cinta pertamamu cemburu.” Emine terkejut. Sorot mata Fuat menyampaikan sikap tegas. Bahkan, Emine menegang saat kedua bahunya di pegang erat Fuat, menunjukkan dirinya yang memang sangat dekat dengan seorang pria. “Ingat. Jika dia bertanya,
“Apa sekarang kau bisa mengakui rasa cemburumu, Sayang?” Can membuang pandangan, meskipun debaran dalam dadanya tidak keruan. Ia merasa ingin marah, membenci Emine yang tidak berucap jujur sejak awal. Bahkan, ia pun baru sadar jika terlalu membenci keadaan di mana pria asing tadi menyentuh Emine. “Seharusnya kau menyadari tentang keinginanmu, Emine,” tekan Can, berusaha meredam gairah saat jemari lentik itu membuat pola abstrak dan membelai sekilas dada bidang Can. “Jika kau sudah menyukaiku dan menerima risiko apa pun dari hubungan kita. Kau hanya bisa menerima sentuhan dari satu pria, yaitu aku.” “Kau masih bisa memiliki pilihan lain untuk mendorong atau menampar mantan kekasihmu itu,” tekan Can. Dua tubuh kembali melebur. Can benar-benar menikmati sentuhan Emine dan bagaimana mereka menciptakan desahan juga gairah yang sama memuncak. Di antara rasa yang berkecamuk di dalam dadanya. Can menikmati permainan Emine dan juga dua hasrat yang bergejolak sama. “Kenapa kau tidak me
Can memasuki apartemen kecil Emine yang berada di level paling rendah. Biaya yang mungkin hanya bisa terjangkau bagi Emine dengan fasilitas yang menurutnya pasti sudah lebih dari cukup. “Kau ingin unit yang lebih besar dan lengkap?” Can berbalik dan melihat Emine masih berdiri tidak lebih dari satu meter. Perempuan itu membiarkan Can berkeliling, melihat keseluruhan tempat tinggal Emine. “Aku sudah merasa lebih dari cukup di sini.” “Tapi apartemen ini cukup jauh dari perusahaan,” timpal Can. Emine mengedik santai, membiarkan Can mendekatinya. “Tidak masalah. Asalkan aku bisa nyaman di tempat tersebut. Aku akan tetap tinggal,” jelas Emine dan membuat Can terdiam sesaat. “Kau ingin minum sesuatu?” tawar Emine ketika tidak ada respons dari Can. “Sebentar. Aku bisa memberikanmu tempat yang lebih nyaman dan akan membuatmu mengirit pengeluaran biaya transportasi ke perusahaan.” Emine mengerjap beberapa kali saat sorot Can begitu lurus menatapnya. “Bagaimana jika kau saja yang menemp
Pintu ditutup rapat dan tidak lupa dikunci cepat. “Astaga! Apa yang sempat kulihat beberapa waktu tadi?!” Susan histeris setelah bersusah payah membungkam mulutnya. Emine tertunduk malu. Ia tidak menyangka saat ciuman dari Can yang selalu disukainya, berniat membalasnya, justru berakhir memalukan. Fuat menyeringai puas melihat raut tersipu Emine. “Aku sudah bersusah payah membungkam mulut Susan, Ayse. Untung saja dia tidak berontak berlebihan,” timpal pria itu tersenyum jahil sambil melipat kedua tangan di dada. “Ah, aku jadi merindukan seorang perempuan bisa menghangatkan ranjangku. Bukankah setelah ciuman panas akan berakhir di sebuah ranjang? Ck! Fantasi liarku mulai memengaruhi pikiran dan milikku yang perlahan menegang.” “Berengsek!” Fuat tergelak mendengar teriakan dua perempuan yang memekik, menatap horor ucapan teman pria mereka. Kedua tangan Fuat terangkat untuk memberitahu jika pria itu hanya bercanda. “Tenanglah. Aku tidak semesum itu mengenai pikiran kotorku,” cengir
Seluruh pasang mata yang memerhatikan wanita berparas cantik, meskipun sudah melahirkan seorang anak berusia dewasa, tetap menarik atensi mereka dengan wajah kencang dan tidak melupakan status wanita tersebut.Mereka memberikan salam hormat dan dibalas sangat hangat oleh wanita yang tidak segan memberikan senyum lebih ramah.Pintu menjulang tinggi itu dibuka sedikit tergesa, lalu mendapati pria dengan nama belakang Sener sedang memeriksa beberapa laporan.Manik mata itu segera bersitatap ke arah pintu, terkesiap kaget dan menghentikan aktifitasnya. “Mama?”Can menghampiri Nyonya Sener, lalu meraih tangan kanan wanita itu untuk dikecup dan dibawa ke kening. Raut bingung sangat kentara di paras tampan karena tidak mengetahui kedatangan sang Mama. “Apa ada masalah, Ma? Kenapa datang secara tiba-tiba ke mari? Seharusnya aku bisa menjemput Mama jika ingin pergi ke perusahaan.”“Mama ingin memakimu.”Jawaban tegas, singkat dan sorot kentara itu membuat kening pria itu mengernyit. “Kenapa Ma
Senyum semringah terlihat sempurna di paras wanita yang masih beberapa tahun lagi menyentuh awal lima puluh tahun, meskipun perawatan di tubuhnya akan selalu menunjang dan sangat pantas memadupadankan pakaian berkelas. “Apa yang sore ini sedang disiapkan keponakanku?” Akira berbalik, menatap bersemu Nyonya Erdem—Bibi Akira—yang datang tanpa diketahui Akira, masuk ke dalam kamar perempuan itu. Ia terlalu sibuk mempercantik kamar agar terkesan lebih romantis dan sensual untuk menyambut suami tercinta. “Aku hanya memberikan sensasi lain agar Can datang dan bisa menikmati kebersamaan kami yang sudah terasa lama tidak hidup layaknya pengantin lagi, Bibi.” Nyonya Erdem tertawa kecil melihat bibir mengerucut Akira. Ia bisa melihat kelopak mawar diberikan di atas tempat tidur, minuman di atas meja kecil sudut ruangan, lalu dengan segala aroma menggoda untuk menjalin pasangan suami istri lebih terasa hidup; bergairah. “Bagaimana dengan Reyhan? Apa tugasku untuk mengasuhnya hari ini selam
Tidak ada yang menarik saat Emine harus bertemu Can di unit apartemen. Bahkan, setelah pria itu mengajaknya dengan penerbangan yang sama hingga berakhir di penthouse di negara yang mereka singgahi. Can lebih banyak diam tanpa berniat membuka satu percakapan pun.Emosi pria itu sedang tersulut dengan suasana hati yang benar-benar buruk, tidak pantas Emine ambil kesempatan karena hanya memperparah keadaan.Namun, perasaan mencelos menatap punggung lebar duduk di sofa, membelakangi Emine sedang menuang kesekian kali wine ke dalam gelas. Pria itu sedang stres, mengalihkan pikiran waras dengan minuman yang ia harapkan bisa meredakan pusing berdenyut, menyadari jika ia sudah mulai tidak nyaman dengan status pernikahan.“Can! Hentikan! Kau hampir menghabiskan dua botol!” sentak Emine meraih botol kedua yang sudah setengah tandas.Sosok pria di hadapannya sedikit mengerang, terus meminta botol tersebut kembali ke tangannya. Tapi Emine tidak kuat lagi dan merasa asing dengan pria yang dulu jau
“Bisakah kau membagi nomor ponsel atau di mana unitmu berada, Nona Cantik?” Emine bersemu. Ia tidak menduga datang sebagai sekretaris Can ke pesta salah satu rekan kerja orangtua pria itu, justru membuat Emine kebingungan menanggapi banyak pria yang mendekat. Pria di hadapannya adalah orang kelima setelah susah payah Emine menyingkirkan yang lain. Karena jika ia melirik lagi ke sebelah kanan, maka tatapannya sudah dapat bertumpu dengan satu pria di meja tidak jauh. Can sedang mengobrol dengan beberapa rekan bisnis seusia, tapi sesekali melempar tatapan tajam ke arah Emine. Perempuan itu menelan saliva susah payah. “Aku akan langsung pulang bersama Tuan Sener malam ini, Tuan. Maafkan aku. Permisi.” Ia ingin menyelamatkan diri sebelum Can akan memusuhi Emine atau lebih parahnya perempuan itu diposisi Akira. Emine tidak ingin ditinggalkan Can begitu saja dengan kemarahan yang emosional. “Akhirnya,” cetus Emine mengembuskan napas lega setelah berdiri di tempat sepi. Segera ia mengh
Tidak ada yang menarik saat Emine harus bertemu Can di unit apartemen. Bahkan, setelah pria itu mengajaknya dengan penerbangan yang sama hingga berakhir di penthouse di negara yang mereka singgahi. Can lebih banyak diam tanpa berniat membuka satu percakapan pun.Emosi pria itu sedang tersulut dengan suasana hati yang benar-benar buruk, tidak pantas Emine ambil kesempatan karena hanya memperparah keadaan.Namun, perasaan mencelos menatap punggung lebar duduk di sofa, membelakangi Emine sedang menuang kesekian kali wine ke dalam gelas. Pria itu sedang stres, mengalihkan pikiran waras dengan minuman yang ia harapkan bisa meredakan pusing berdenyut, menyadari jika ia sudah mulai tidak nyaman dengan status pernikahan.“Can! Hentikan! Kau hampir menghabiskan dua botol!” sentak Emine meraih botol kedua yang sudah setengah tandas.Sosok pria di hadapannya sedikit mengerang, terus meminta botol tersebut kembali ke tangannya. Tapi Emine tidak kuat lagi dan merasa asing dengan pria yang dulu jau
Senyum semringah terlihat sempurna di paras wanita yang masih beberapa tahun lagi menyentuh awal lima puluh tahun, meskipun perawatan di tubuhnya akan selalu menunjang dan sangat pantas memadupadankan pakaian berkelas. “Apa yang sore ini sedang disiapkan keponakanku?” Akira berbalik, menatap bersemu Nyonya Erdem—Bibi Akira—yang datang tanpa diketahui Akira, masuk ke dalam kamar perempuan itu. Ia terlalu sibuk mempercantik kamar agar terkesan lebih romantis dan sensual untuk menyambut suami tercinta. “Aku hanya memberikan sensasi lain agar Can datang dan bisa menikmati kebersamaan kami yang sudah terasa lama tidak hidup layaknya pengantin lagi, Bibi.” Nyonya Erdem tertawa kecil melihat bibir mengerucut Akira. Ia bisa melihat kelopak mawar diberikan di atas tempat tidur, minuman di atas meja kecil sudut ruangan, lalu dengan segala aroma menggoda untuk menjalin pasangan suami istri lebih terasa hidup; bergairah. “Bagaimana dengan Reyhan? Apa tugasku untuk mengasuhnya hari ini selam
Seluruh pasang mata yang memerhatikan wanita berparas cantik, meskipun sudah melahirkan seorang anak berusia dewasa, tetap menarik atensi mereka dengan wajah kencang dan tidak melupakan status wanita tersebut.Mereka memberikan salam hormat dan dibalas sangat hangat oleh wanita yang tidak segan memberikan senyum lebih ramah.Pintu menjulang tinggi itu dibuka sedikit tergesa, lalu mendapati pria dengan nama belakang Sener sedang memeriksa beberapa laporan.Manik mata itu segera bersitatap ke arah pintu, terkesiap kaget dan menghentikan aktifitasnya. “Mama?”Can menghampiri Nyonya Sener, lalu meraih tangan kanan wanita itu untuk dikecup dan dibawa ke kening. Raut bingung sangat kentara di paras tampan karena tidak mengetahui kedatangan sang Mama. “Apa ada masalah, Ma? Kenapa datang secara tiba-tiba ke mari? Seharusnya aku bisa menjemput Mama jika ingin pergi ke perusahaan.”“Mama ingin memakimu.”Jawaban tegas, singkat dan sorot kentara itu membuat kening pria itu mengernyit. “Kenapa Ma
Pintu ditutup rapat dan tidak lupa dikunci cepat. “Astaga! Apa yang sempat kulihat beberapa waktu tadi?!” Susan histeris setelah bersusah payah membungkam mulutnya. Emine tertunduk malu. Ia tidak menyangka saat ciuman dari Can yang selalu disukainya, berniat membalasnya, justru berakhir memalukan. Fuat menyeringai puas melihat raut tersipu Emine. “Aku sudah bersusah payah membungkam mulut Susan, Ayse. Untung saja dia tidak berontak berlebihan,” timpal pria itu tersenyum jahil sambil melipat kedua tangan di dada. “Ah, aku jadi merindukan seorang perempuan bisa menghangatkan ranjangku. Bukankah setelah ciuman panas akan berakhir di sebuah ranjang? Ck! Fantasi liarku mulai memengaruhi pikiran dan milikku yang perlahan menegang.” “Berengsek!” Fuat tergelak mendengar teriakan dua perempuan yang memekik, menatap horor ucapan teman pria mereka. Kedua tangan Fuat terangkat untuk memberitahu jika pria itu hanya bercanda. “Tenanglah. Aku tidak semesum itu mengenai pikiran kotorku,” cengir
Can memasuki apartemen kecil Emine yang berada di level paling rendah. Biaya yang mungkin hanya bisa terjangkau bagi Emine dengan fasilitas yang menurutnya pasti sudah lebih dari cukup. “Kau ingin unit yang lebih besar dan lengkap?” Can berbalik dan melihat Emine masih berdiri tidak lebih dari satu meter. Perempuan itu membiarkan Can berkeliling, melihat keseluruhan tempat tinggal Emine. “Aku sudah merasa lebih dari cukup di sini.” “Tapi apartemen ini cukup jauh dari perusahaan,” timpal Can. Emine mengedik santai, membiarkan Can mendekatinya. “Tidak masalah. Asalkan aku bisa nyaman di tempat tersebut. Aku akan tetap tinggal,” jelas Emine dan membuat Can terdiam sesaat. “Kau ingin minum sesuatu?” tawar Emine ketika tidak ada respons dari Can. “Sebentar. Aku bisa memberikanmu tempat yang lebih nyaman dan akan membuatmu mengirit pengeluaran biaya transportasi ke perusahaan.” Emine mengerjap beberapa kali saat sorot Can begitu lurus menatapnya. “Bagaimana jika kau saja yang menemp
“Apa sekarang kau bisa mengakui rasa cemburumu, Sayang?” Can membuang pandangan, meskipun debaran dalam dadanya tidak keruan. Ia merasa ingin marah, membenci Emine yang tidak berucap jujur sejak awal. Bahkan, ia pun baru sadar jika terlalu membenci keadaan di mana pria asing tadi menyentuh Emine. “Seharusnya kau menyadari tentang keinginanmu, Emine,” tekan Can, berusaha meredam gairah saat jemari lentik itu membuat pola abstrak dan membelai sekilas dada bidang Can. “Jika kau sudah menyukaiku dan menerima risiko apa pun dari hubungan kita. Kau hanya bisa menerima sentuhan dari satu pria, yaitu aku.” “Kau masih bisa memiliki pilihan lain untuk mendorong atau menampar mantan kekasihmu itu,” tekan Can. Dua tubuh kembali melebur. Can benar-benar menikmati sentuhan Emine dan bagaimana mereka menciptakan desahan juga gairah yang sama memuncak. Di antara rasa yang berkecamuk di dalam dadanya. Can menikmati permainan Emine dan juga dua hasrat yang bergejolak sama. “Kenapa kau tidak me
Emine memelotot sempurna dengan tubuh menegang, mendapati kali pertama Fuat mencium pipi Emine. Bahkan, tangan kanan pria itu menahan tengkuknya agar menempelkan bibir ranum Emine semakin lekat. Wajah Emine memerah dan merambat hingga ke leher jenjang, menatap tajam Fuat dan bersiap memberontak. Namun, gerakan itu terhenti seiring rasa kaget Emine. “Jangan terlihat kaku atau menyerangku, Ayse. Di belakangmu ada Tuan Sener,” bisik Fuat. “Dia berdiri di halaman depan lobi,” lanjut pria itu tepat di sisi wajah Emine, tanpa mengubah posisi sebelum menyelesaikan kalimat. Perempuan itu menatap Fuat dengan pupil melebar, memberikan kode dan pria itu ikut membalas dalam sorot mata. “Maaf, tapi dari ucapanmu beberapa menit lalu. Maka, kau harus membuat cinta pertamamu cemburu.” Emine terkejut. Sorot mata Fuat menyampaikan sikap tegas. Bahkan, Emine menegang saat kedua bahunya di pegang erat Fuat, menunjukkan dirinya yang memang sangat dekat dengan seorang pria. “Ingat. Jika dia bertanya,
Rapat internal siang ini telah usai. Emine sibuk membereskan berkas Can di posisi pria itu duduk. Karena Can berada di luar ruangan, berbicara beberapa hal ringan dengan lelaki yang menjabat sebagai General Manajer tersebut. “Terimakasih atas undangan Anda, Tuan. Dengan senang hati saya akan datang menghadiri pesta pernikahan putri Anda.” Can tersenyum kecil. Ia sudah menganggap lelaki tiga tahun lebih tua dari Ayahnya adalah orangtuanya juga. Can diajarkan untuk beradaptasi dan menyelaraskan apa yang sudah diminta orangtuanya. Bahkan, ketika ia tidak mengingat apa pun, hatinya selalu saja menyukai pertemuan dengan banyak orang dari beberapa kalangan berbeda. “Sungguh suatu kehormatan jika Anda datang, Tuan.” “Sebenarnya saya ingin mengadakan pesta di Ankara. Hanya saja, calon suami putri saya memang meminta kami untuk menyiapkan di sana. Mengingat Ibu dari calon menantu saya sedang sakit dan berada di kursi roda.” Can mengucapkan turut kesedihannya dan berdoa agar wanita itu se