“Aku merindukan sentuhanmu, Can.”
Oksigen di dalam mobil menjadi terkuras hitungan detik. Ia begitu sulit menelan saliva saat suara di seberang sana berucap rindu, begitupula suara yang terkesan manis di dengar Can.
Ia membetulkan letak AirPods, meskipun tidak ada yang salah.
Can berusaha untuk fokus mengemudikan mobil. Ia dalam perjalanan pulang dari rumah orangtuanya sendirian dan ikut makan malam di sana.
“Sayang? Kau baik-baik saja di sana? Atau aku menganggumu? Aku bisa menutup panggilan—“
“—tidak.”
“Hanya saja aku belum terbiasa mendengarkan kalimat mesramu.”
Can mengakui dengan sangat polos.
Bahkan, ia bisa merasakan kedua pipi bersih tanpa bulu halus di sekitar rahang, terasa memanas. Pria itu salah tingkah dan semakin merasa kalah saat tawa di seberang sana mengusik dirinya.
“Emine. Aku tidak ingin berada di posisi seperti ini. Bagaimanapun aku adalah atasanmu yang harus kau hormati.”
Can mengeluarkan statusnya di perusahaan yang juga menjadi tempat Emine mencari pekerjaan sebagai salah satu penunjang hidupnya. Kemudian, sepersekian detik suara di seberang sana hanya berganti dengan kekehan kecil dan permintaan maaf Emine begitu lembut.
“Apa kau tidak membutuhkanku malam ini, Can? Ranjangku terasa dingin dan kamarku sangat sepi.”
Can mengembuskan napas berat.
Pikirannya sudah tersugesti begitu cepat. Ia sedang berusaha menenangkan diri sendiri, memilih untuk menjawab tidak, secara tegas. “Besok pagi kita ada rapat. Apa kau lupa?”
Nada sedih dan kesal itu sedikit membuat kedua sudut bibir Can berkedut. “Aku harus menutup panggilan telepon ini. Kau mengingatkanku dengan pekerjaan yang sudah tadi pagi kau titipkan padaku. Aku harus segera menyelesaikannya,” keluh Emine.
Kening Can mengernyit, melirik sekilas arloji coklat. “Kau baru ingin mengerjakan sekarang?”
“Tidak. Aku sudah cukup jauh menyelesaikannya. Apa yang kuucapkan tadi hanya sekadar candaan dan mungkin ... kesedihanku tidak bisa membawamu ke mari.”
“Berhentilah berpikir mesum, Emine,” tegas Can.
Perempuan di seberang sana tergelak.
“Besok, aku ingin sekali membawakan sarapan untukmu jika diperbolehkan.”
“Bawa saja.”
“Aku boleh membawanya?!”
Can tersenyum tipis dan mengangguk. “Bawa saja, aku akan memakannya.”
“Sungguh, aku sangat menyukai pria yang bisa menghargai usahaku. Termasuk saat usahaku membawanya ke atas ranjang berhasil. Jadi, aku tau sebatas mana sikap nakalku.”
Pria itu menggeleng samar mendengar ucapan Emine tersebut.
“Oh, iya. Tiga hari lagi jadwalmu untuk berada di Istanbul. Apa mulai besok harus kupesan tiket pesawatnya?”
“Ya. Pesankan tiga tiket dengan asisten pribadiku,” jelas Can dan membuat perempuan di seberang sana menyanggupi.
Can membiarkan Emine berhenti memberikan atensi dan memperpanjang obrolan. Sepertinya perempuan itu tengah bingung mencari bahan pembicaraan. “Sekarang kau tengah berada di jalan untuk pulang. Lebih baik kita akhiri saja telepon ini,” ungkap Emine tampak salah tingkah.
Senyum kecil Can terulas di paras tampannya.
“Aku atau dirimu yang mematikan telepon ini?”
Can mempertahankan senyum kecilnya, mendengar pertanyaan santai Emine. “Kau saja.”
“Manis sekali!”
Embusan napas pelan terdengar di telinga Can. “Can ... istirahatlah setelah ini. Kurasa pekerjaanmu sudah usai dari tadi siang. Aku yakin, kau bukan pria yang ingin mengulur waktu mengerjakan sesuatu.”
“Semoga besok harimu menyenangkan dan kau selalu mendapatkan kebahagiaan yang hatimu inginkan.”
Panggilan telepon diputuskan Emine.
Can spontan tertegun.
Pedal rem ia injak dengan mengambil posisi parkir secara mendadak di pinggir trotoar. Jantungnya berdebar bersama desiran dalam tubuh yang hadir mendengar ucapan Emine. Ia tidak tahu maksud dari ucapan tersebut terlalu sederhana, tapi mampu membuat fungsi tubuh Can enggan terkesan biasa.
“Mulai detik ini kau yang lebih dominan, Ayse.”
Emine—Ayse—adalah dua nama berbeda untuk satu orang yang dimaksud. Perempuan itu mendongak, melihat kedua temannya berdiri di sisi sofa Emine.
Perempuan itu mendengarkan percakapan ia bersama Can pada dua teman baiknya; Susan dan Fuat. Dua teman yang membantu Emine melakukan semua ini mulai dari titik terendahnya hingga berani untuk mengambil tindakan.
“Kalian sangat mengenalku lebih dari dua tahun ini. Di saat Can tidak mengingatku sedikitpun, aku harus menjadi dirinya, terlihat lebih peka dan mendekat. Sedangkan dia? Masih begitu asing menerimaku, jika bukan aku yang memulai semuanya.”
Emine kembali pada sorot seorang Ayse. Ia kembali pada identitas sebenarnya, menampilkan sorot sendu dan terkesan nanar memandang lurus. Kedua jemari tangannya tertaut di atas pangkuan, meremat dan menahan gejolak rasa pedih.
Can tidak mengingat Ayse.
Lantas, tidak akan mengubah segalanya jika dirinya dikenal sebagai Emine. Ia hanya perlu menciptakan banyak momen bersama Can, menggali kembali perasaan pria itu untuknya.
“Aku menginginkan dia selalu menyimpan perasaan yang sama. Bukan terkesan menjadi asing dan mengaburkan perasaannya untukku,” lirih Emine tertunduk.
Satu bulir air mata turun dengan kedua bahu bergetar.
Perempuan berambut pirang tersebut mengambil duduk di samping Emine, merangkul bahu rapuh itu. “Ayse ... bersabarlah. Tuan Sener memang melupakan siapa dirimu, tapi dia akan tetap tau dan merasakan kesan saat bersamamu. Kami berdua percaya akan hal itu.”
“Kau hanya harus berusaha untuk menciptakan momen lebih banyak bersamanya,” tambah Susan ketika sorot mata mereka bertemu.
Susan tidak pernah menduga kisah cinta Emine akan jauh lebih buruk dibandingkan saat perempuan itu harus tumbuh tanpa orangtua. Pernah mencecap kehidupan pilu di panti asuhan, lalu mencoba menata hidup dan semua tidak selaras.
Bahkan, Susan mendapati teman yang seprofesi dulunya di restoran bintang lima tersebut, harus merasakan luka di tubuh dan trauma akan kelicikan seseorang.
“Ayse, kau tidak boleh menyerah. Kita sedang memulai semuanya,” timpal Fuat, mantan pegawai kasir di restoran.
Pria itu berjongkok di depan Emine, menatap lurus dengan sugesti yang diharapkannya bisa membuat Emine sadar akan kesempatan besar ini. “Tuan Sener berhasil mendengar permintaanmu. Dia juga tidak menolak saat kalian tidur untuk kali kedua, kan? Itu permulaan yang sangat bagus.”
“Jika kau masih percaya Tuan Sener adalah orang yang sama. Momen yang kalian butuhkan bukan sekadar kehangatan di atas ranjang. Tapi kau bisa memulai semuanya dengan perhatian manis. Lakukan saja seperti seorang Ayse, bukan Emine.”
“Emine yang dilihat pria itu adalah untuk kali pertama kedatanganmu saja. Selebihnya, ciptakan kesan di matanya dan buatlah dia mengingat kenangan kalian, Ayse,” jelas Fuat.
Pria itu meraih kedua tangan Emine di atas pangkuan.
Ia mengenggam erat, lalu meraih satu tangan Susan untuk tertumpu di sana. Senyum dua teman baik Emine menenangkannya. Ketiganya berpelukan untuk saling menyemangati. “Emine yang ditatapnya telah redup.”
“Kau harus lebih banyak memperlihatkan seorang Ayse, perempuan yang kali pertama membuat pria itu menatapmu dengan sorot berbeda,” timpal Susan.
“Dan mampu membuatnya kembali jatuh cinta padamu,” tekan Fuat, menatap tegas Emine.
**
Entah kenapa pagi ini terasa berbeda saat Can datang ke perusahaan. Kemudian, pria itu disambut manis oleh Emine yang berdiri di depan meja kerjanya, menyapa Can yang membalas singkat dan segera masuk ke ruangan. Sebenarnya perasaan pria itu semakin tidak keruan hanya dalam satu malam. Bersikap normal dan menganggap semuanya menjadi hal lalu sangat sulit bagi pria itu. Bahkan, pekerjaan yang ia selesaikan dan interaksi Akira padanya cukup mengabur. Pikiran pria keturunan Turki itu dipenuhi oleh satu nama; Emine. “Selamat pagi Tuan Sener.” Can mendongak. Belum sampai satu menit ia duduk di kursi kebesaran, lalu mengingat dan memahami perasaan yang menyusup aneh. Perempuan yang memenuhi pikirannya masuk dengan senyum manis, membawa satu bekal, sesuai keinginannya. Emine meletakkan tas yang sudah terisi bekal sarapan pagi bersama peralatannya. “Aku sudah membuatkan sarapan pagi untukmu, Can.” Manik coklat itu bersitatap cukup lama dengan Emine. Ia merasa tidak asing dengan senyum
Rapat internal siang ini telah usai. Emine sibuk membereskan berkas Can di posisi pria itu duduk. Karena Can berada di luar ruangan, berbicara beberapa hal ringan dengan lelaki yang menjabat sebagai General Manajer tersebut. “Terimakasih atas undangan Anda, Tuan. Dengan senang hati saya akan datang menghadiri pesta pernikahan putri Anda.” Can tersenyum kecil. Ia sudah menganggap lelaki tiga tahun lebih tua dari Ayahnya adalah orangtuanya juga. Can diajarkan untuk beradaptasi dan menyelaraskan apa yang sudah diminta orangtuanya. Bahkan, ketika ia tidak mengingat apa pun, hatinya selalu saja menyukai pertemuan dengan banyak orang dari beberapa kalangan berbeda. “Sungguh suatu kehormatan jika Anda datang, Tuan.” “Sebenarnya saya ingin mengadakan pesta di Ankara. Hanya saja, calon suami putri saya memang meminta kami untuk menyiapkan di sana. Mengingat Ibu dari calon menantu saya sedang sakit dan berada di kursi roda.” Can mengucapkan turut kesedihannya dan berdoa agar wanita itu se
Emine memelotot sempurna dengan tubuh menegang, mendapati kali pertama Fuat mencium pipi Emine. Bahkan, tangan kanan pria itu menahan tengkuknya agar menempelkan bibir ranum Emine semakin lekat. Wajah Emine memerah dan merambat hingga ke leher jenjang, menatap tajam Fuat dan bersiap memberontak. Namun, gerakan itu terhenti seiring rasa kaget Emine. “Jangan terlihat kaku atau menyerangku, Ayse. Di belakangmu ada Tuan Sener,” bisik Fuat. “Dia berdiri di halaman depan lobi,” lanjut pria itu tepat di sisi wajah Emine, tanpa mengubah posisi sebelum menyelesaikan kalimat. Perempuan itu menatap Fuat dengan pupil melebar, memberikan kode dan pria itu ikut membalas dalam sorot mata. “Maaf, tapi dari ucapanmu beberapa menit lalu. Maka, kau harus membuat cinta pertamamu cemburu.” Emine terkejut. Sorot mata Fuat menyampaikan sikap tegas. Bahkan, Emine menegang saat kedua bahunya di pegang erat Fuat, menunjukkan dirinya yang memang sangat dekat dengan seorang pria. “Ingat. Jika dia bertanya,
“Apa sekarang kau bisa mengakui rasa cemburumu, Sayang?” Can membuang pandangan, meskipun debaran dalam dadanya tidak keruan. Ia merasa ingin marah, membenci Emine yang tidak berucap jujur sejak awal. Bahkan, ia pun baru sadar jika terlalu membenci keadaan di mana pria asing tadi menyentuh Emine. “Seharusnya kau menyadari tentang keinginanmu, Emine,” tekan Can, berusaha meredam gairah saat jemari lentik itu membuat pola abstrak dan membelai sekilas dada bidang Can. “Jika kau sudah menyukaiku dan menerima risiko apa pun dari hubungan kita. Kau hanya bisa menerima sentuhan dari satu pria, yaitu aku.” “Kau masih bisa memiliki pilihan lain untuk mendorong atau menampar mantan kekasihmu itu,” tekan Can. Dua tubuh kembali melebur. Can benar-benar menikmati sentuhan Emine dan bagaimana mereka menciptakan desahan juga gairah yang sama memuncak. Di antara rasa yang berkecamuk di dalam dadanya. Can menikmati permainan Emine dan juga dua hasrat yang bergejolak sama. “Kenapa kau tidak me
Can memasuki apartemen kecil Emine yang berada di level paling rendah. Biaya yang mungkin hanya bisa terjangkau bagi Emine dengan fasilitas yang menurutnya pasti sudah lebih dari cukup. “Kau ingin unit yang lebih besar dan lengkap?” Can berbalik dan melihat Emine masih berdiri tidak lebih dari satu meter. Perempuan itu membiarkan Can berkeliling, melihat keseluruhan tempat tinggal Emine. “Aku sudah merasa lebih dari cukup di sini.” “Tapi apartemen ini cukup jauh dari perusahaan,” timpal Can. Emine mengedik santai, membiarkan Can mendekatinya. “Tidak masalah. Asalkan aku bisa nyaman di tempat tersebut. Aku akan tetap tinggal,” jelas Emine dan membuat Can terdiam sesaat. “Kau ingin minum sesuatu?” tawar Emine ketika tidak ada respons dari Can. “Sebentar. Aku bisa memberikanmu tempat yang lebih nyaman dan akan membuatmu mengirit pengeluaran biaya transportasi ke perusahaan.” Emine mengerjap beberapa kali saat sorot Can begitu lurus menatapnya. “Bagaimana jika kau saja yang menemp
Pintu ditutup rapat dan tidak lupa dikunci cepat. “Astaga! Apa yang sempat kulihat beberapa waktu tadi?!” Susan histeris setelah bersusah payah membungkam mulutnya. Emine tertunduk malu. Ia tidak menyangka saat ciuman dari Can yang selalu disukainya, berniat membalasnya, justru berakhir memalukan. Fuat menyeringai puas melihat raut tersipu Emine. “Aku sudah bersusah payah membungkam mulut Susan, Ayse. Untung saja dia tidak berontak berlebihan,” timpal pria itu tersenyum jahil sambil melipat kedua tangan di dada. “Ah, aku jadi merindukan seorang perempuan bisa menghangatkan ranjangku. Bukankah setelah ciuman panas akan berakhir di sebuah ranjang? Ck! Fantasi liarku mulai memengaruhi pikiran dan milikku yang perlahan menegang.” “Berengsek!” Fuat tergelak mendengar teriakan dua perempuan yang memekik, menatap horor ucapan teman pria mereka. Kedua tangan Fuat terangkat untuk memberitahu jika pria itu hanya bercanda. “Tenanglah. Aku tidak semesum itu mengenai pikiran kotorku,” cengir
Seluruh pasang mata yang memerhatikan wanita berparas cantik, meskipun sudah melahirkan seorang anak berusia dewasa, tetap menarik atensi mereka dengan wajah kencang dan tidak melupakan status wanita tersebut.Mereka memberikan salam hormat dan dibalas sangat hangat oleh wanita yang tidak segan memberikan senyum lebih ramah.Pintu menjulang tinggi itu dibuka sedikit tergesa, lalu mendapati pria dengan nama belakang Sener sedang memeriksa beberapa laporan.Manik mata itu segera bersitatap ke arah pintu, terkesiap kaget dan menghentikan aktifitasnya. “Mama?”Can menghampiri Nyonya Sener, lalu meraih tangan kanan wanita itu untuk dikecup dan dibawa ke kening. Raut bingung sangat kentara di paras tampan karena tidak mengetahui kedatangan sang Mama. “Apa ada masalah, Ma? Kenapa datang secara tiba-tiba ke mari? Seharusnya aku bisa menjemput Mama jika ingin pergi ke perusahaan.”“Mama ingin memakimu.”Jawaban tegas, singkat dan sorot kentara itu membuat kening pria itu mengernyit. “Kenapa Ma
Senyum semringah terlihat sempurna di paras wanita yang masih beberapa tahun lagi menyentuh awal lima puluh tahun, meskipun perawatan di tubuhnya akan selalu menunjang dan sangat pantas memadupadankan pakaian berkelas. “Apa yang sore ini sedang disiapkan keponakanku?” Akira berbalik, menatap bersemu Nyonya Erdem—Bibi Akira—yang datang tanpa diketahui Akira, masuk ke dalam kamar perempuan itu. Ia terlalu sibuk mempercantik kamar agar terkesan lebih romantis dan sensual untuk menyambut suami tercinta. “Aku hanya memberikan sensasi lain agar Can datang dan bisa menikmati kebersamaan kami yang sudah terasa lama tidak hidup layaknya pengantin lagi, Bibi.” Nyonya Erdem tertawa kecil melihat bibir mengerucut Akira. Ia bisa melihat kelopak mawar diberikan di atas tempat tidur, minuman di atas meja kecil sudut ruangan, lalu dengan segala aroma menggoda untuk menjalin pasangan suami istri lebih terasa hidup; bergairah. “Bagaimana dengan Reyhan? Apa tugasku untuk mengasuhnya hari ini selam
“Bisakah kau membagi nomor ponsel atau di mana unitmu berada, Nona Cantik?” Emine bersemu. Ia tidak menduga datang sebagai sekretaris Can ke pesta salah satu rekan kerja orangtua pria itu, justru membuat Emine kebingungan menanggapi banyak pria yang mendekat. Pria di hadapannya adalah orang kelima setelah susah payah Emine menyingkirkan yang lain. Karena jika ia melirik lagi ke sebelah kanan, maka tatapannya sudah dapat bertumpu dengan satu pria di meja tidak jauh. Can sedang mengobrol dengan beberapa rekan bisnis seusia, tapi sesekali melempar tatapan tajam ke arah Emine. Perempuan itu menelan saliva susah payah. “Aku akan langsung pulang bersama Tuan Sener malam ini, Tuan. Maafkan aku. Permisi.” Ia ingin menyelamatkan diri sebelum Can akan memusuhi Emine atau lebih parahnya perempuan itu diposisi Akira. Emine tidak ingin ditinggalkan Can begitu saja dengan kemarahan yang emosional. “Akhirnya,” cetus Emine mengembuskan napas lega setelah berdiri di tempat sepi. Segera ia mengh
Tidak ada yang menarik saat Emine harus bertemu Can di unit apartemen. Bahkan, setelah pria itu mengajaknya dengan penerbangan yang sama hingga berakhir di penthouse di negara yang mereka singgahi. Can lebih banyak diam tanpa berniat membuka satu percakapan pun.Emosi pria itu sedang tersulut dengan suasana hati yang benar-benar buruk, tidak pantas Emine ambil kesempatan karena hanya memperparah keadaan.Namun, perasaan mencelos menatap punggung lebar duduk di sofa, membelakangi Emine sedang menuang kesekian kali wine ke dalam gelas. Pria itu sedang stres, mengalihkan pikiran waras dengan minuman yang ia harapkan bisa meredakan pusing berdenyut, menyadari jika ia sudah mulai tidak nyaman dengan status pernikahan.“Can! Hentikan! Kau hampir menghabiskan dua botol!” sentak Emine meraih botol kedua yang sudah setengah tandas.Sosok pria di hadapannya sedikit mengerang, terus meminta botol tersebut kembali ke tangannya. Tapi Emine tidak kuat lagi dan merasa asing dengan pria yang dulu jau
Senyum semringah terlihat sempurna di paras wanita yang masih beberapa tahun lagi menyentuh awal lima puluh tahun, meskipun perawatan di tubuhnya akan selalu menunjang dan sangat pantas memadupadankan pakaian berkelas. “Apa yang sore ini sedang disiapkan keponakanku?” Akira berbalik, menatap bersemu Nyonya Erdem—Bibi Akira—yang datang tanpa diketahui Akira, masuk ke dalam kamar perempuan itu. Ia terlalu sibuk mempercantik kamar agar terkesan lebih romantis dan sensual untuk menyambut suami tercinta. “Aku hanya memberikan sensasi lain agar Can datang dan bisa menikmati kebersamaan kami yang sudah terasa lama tidak hidup layaknya pengantin lagi, Bibi.” Nyonya Erdem tertawa kecil melihat bibir mengerucut Akira. Ia bisa melihat kelopak mawar diberikan di atas tempat tidur, minuman di atas meja kecil sudut ruangan, lalu dengan segala aroma menggoda untuk menjalin pasangan suami istri lebih terasa hidup; bergairah. “Bagaimana dengan Reyhan? Apa tugasku untuk mengasuhnya hari ini selam
Seluruh pasang mata yang memerhatikan wanita berparas cantik, meskipun sudah melahirkan seorang anak berusia dewasa, tetap menarik atensi mereka dengan wajah kencang dan tidak melupakan status wanita tersebut.Mereka memberikan salam hormat dan dibalas sangat hangat oleh wanita yang tidak segan memberikan senyum lebih ramah.Pintu menjulang tinggi itu dibuka sedikit tergesa, lalu mendapati pria dengan nama belakang Sener sedang memeriksa beberapa laporan.Manik mata itu segera bersitatap ke arah pintu, terkesiap kaget dan menghentikan aktifitasnya. “Mama?”Can menghampiri Nyonya Sener, lalu meraih tangan kanan wanita itu untuk dikecup dan dibawa ke kening. Raut bingung sangat kentara di paras tampan karena tidak mengetahui kedatangan sang Mama. “Apa ada masalah, Ma? Kenapa datang secara tiba-tiba ke mari? Seharusnya aku bisa menjemput Mama jika ingin pergi ke perusahaan.”“Mama ingin memakimu.”Jawaban tegas, singkat dan sorot kentara itu membuat kening pria itu mengernyit. “Kenapa Ma
Pintu ditutup rapat dan tidak lupa dikunci cepat. “Astaga! Apa yang sempat kulihat beberapa waktu tadi?!” Susan histeris setelah bersusah payah membungkam mulutnya. Emine tertunduk malu. Ia tidak menyangka saat ciuman dari Can yang selalu disukainya, berniat membalasnya, justru berakhir memalukan. Fuat menyeringai puas melihat raut tersipu Emine. “Aku sudah bersusah payah membungkam mulut Susan, Ayse. Untung saja dia tidak berontak berlebihan,” timpal pria itu tersenyum jahil sambil melipat kedua tangan di dada. “Ah, aku jadi merindukan seorang perempuan bisa menghangatkan ranjangku. Bukankah setelah ciuman panas akan berakhir di sebuah ranjang? Ck! Fantasi liarku mulai memengaruhi pikiran dan milikku yang perlahan menegang.” “Berengsek!” Fuat tergelak mendengar teriakan dua perempuan yang memekik, menatap horor ucapan teman pria mereka. Kedua tangan Fuat terangkat untuk memberitahu jika pria itu hanya bercanda. “Tenanglah. Aku tidak semesum itu mengenai pikiran kotorku,” cengir
Can memasuki apartemen kecil Emine yang berada di level paling rendah. Biaya yang mungkin hanya bisa terjangkau bagi Emine dengan fasilitas yang menurutnya pasti sudah lebih dari cukup. “Kau ingin unit yang lebih besar dan lengkap?” Can berbalik dan melihat Emine masih berdiri tidak lebih dari satu meter. Perempuan itu membiarkan Can berkeliling, melihat keseluruhan tempat tinggal Emine. “Aku sudah merasa lebih dari cukup di sini.” “Tapi apartemen ini cukup jauh dari perusahaan,” timpal Can. Emine mengedik santai, membiarkan Can mendekatinya. “Tidak masalah. Asalkan aku bisa nyaman di tempat tersebut. Aku akan tetap tinggal,” jelas Emine dan membuat Can terdiam sesaat. “Kau ingin minum sesuatu?” tawar Emine ketika tidak ada respons dari Can. “Sebentar. Aku bisa memberikanmu tempat yang lebih nyaman dan akan membuatmu mengirit pengeluaran biaya transportasi ke perusahaan.” Emine mengerjap beberapa kali saat sorot Can begitu lurus menatapnya. “Bagaimana jika kau saja yang menemp
“Apa sekarang kau bisa mengakui rasa cemburumu, Sayang?” Can membuang pandangan, meskipun debaran dalam dadanya tidak keruan. Ia merasa ingin marah, membenci Emine yang tidak berucap jujur sejak awal. Bahkan, ia pun baru sadar jika terlalu membenci keadaan di mana pria asing tadi menyentuh Emine. “Seharusnya kau menyadari tentang keinginanmu, Emine,” tekan Can, berusaha meredam gairah saat jemari lentik itu membuat pola abstrak dan membelai sekilas dada bidang Can. “Jika kau sudah menyukaiku dan menerima risiko apa pun dari hubungan kita. Kau hanya bisa menerima sentuhan dari satu pria, yaitu aku.” “Kau masih bisa memiliki pilihan lain untuk mendorong atau menampar mantan kekasihmu itu,” tekan Can. Dua tubuh kembali melebur. Can benar-benar menikmati sentuhan Emine dan bagaimana mereka menciptakan desahan juga gairah yang sama memuncak. Di antara rasa yang berkecamuk di dalam dadanya. Can menikmati permainan Emine dan juga dua hasrat yang bergejolak sama. “Kenapa kau tidak me
Emine memelotot sempurna dengan tubuh menegang, mendapati kali pertama Fuat mencium pipi Emine. Bahkan, tangan kanan pria itu menahan tengkuknya agar menempelkan bibir ranum Emine semakin lekat. Wajah Emine memerah dan merambat hingga ke leher jenjang, menatap tajam Fuat dan bersiap memberontak. Namun, gerakan itu terhenti seiring rasa kaget Emine. “Jangan terlihat kaku atau menyerangku, Ayse. Di belakangmu ada Tuan Sener,” bisik Fuat. “Dia berdiri di halaman depan lobi,” lanjut pria itu tepat di sisi wajah Emine, tanpa mengubah posisi sebelum menyelesaikan kalimat. Perempuan itu menatap Fuat dengan pupil melebar, memberikan kode dan pria itu ikut membalas dalam sorot mata. “Maaf, tapi dari ucapanmu beberapa menit lalu. Maka, kau harus membuat cinta pertamamu cemburu.” Emine terkejut. Sorot mata Fuat menyampaikan sikap tegas. Bahkan, Emine menegang saat kedua bahunya di pegang erat Fuat, menunjukkan dirinya yang memang sangat dekat dengan seorang pria. “Ingat. Jika dia bertanya,
Rapat internal siang ini telah usai. Emine sibuk membereskan berkas Can di posisi pria itu duduk. Karena Can berada di luar ruangan, berbicara beberapa hal ringan dengan lelaki yang menjabat sebagai General Manajer tersebut. “Terimakasih atas undangan Anda, Tuan. Dengan senang hati saya akan datang menghadiri pesta pernikahan putri Anda.” Can tersenyum kecil. Ia sudah menganggap lelaki tiga tahun lebih tua dari Ayahnya adalah orangtuanya juga. Can diajarkan untuk beradaptasi dan menyelaraskan apa yang sudah diminta orangtuanya. Bahkan, ketika ia tidak mengingat apa pun, hatinya selalu saja menyukai pertemuan dengan banyak orang dari beberapa kalangan berbeda. “Sungguh suatu kehormatan jika Anda datang, Tuan.” “Sebenarnya saya ingin mengadakan pesta di Ankara. Hanya saja, calon suami putri saya memang meminta kami untuk menyiapkan di sana. Mengingat Ibu dari calon menantu saya sedang sakit dan berada di kursi roda.” Can mengucapkan turut kesedihannya dan berdoa agar wanita itu se