Home / Romansa / Beautiful Darkness / Chapter 2: Penolakan Pertama

Share

Chapter 2: Penolakan Pertama

last update Last Updated: 2021-10-25 11:56:56

Satu-satunya pria dalam ruangan itu menatap entitas di hadapannya.

Gadis di hadapannya duduk di atas kasur membelakangi pria itu. Rambut hitam legamnya terlihat sedikit kusut dengan poni yang menutupi dahi dan separuh wajahnya dibiarkan panjang tak beraturan. Ia bertubuh kurus, dua kali lipat lebih kurus dari yang terakhir kali pria itu lihat.

Pria itu merasakan tubuhnya menegang saat memandang sosok yang terlihat rapuh di depannya. Butuh waktu selama selama sekian detik baginya sebelum berdehem untuk menemukan suaranya yang terkubur di dasar sana. Gadis itu pasti tahu kalau ada seseorang yang memasuki kamarnya. Baiklah, ini saatnya.

“Hi, Eleanore.”

Gadis itu terlihat tenang. Akankah ia mengenali suara pria itu? Akankah ia menyadarinya? Apa yang harus pria itu lakukan jika ia menyadari siapa yang telah datang? Berbagai pikiran berkecamuk di benak Si Pria.

Pria itu melirik sebuah kursi kayu di dekatnya.

“Boleh aku duduk di sini?”

Akhirnya gadis itu menolehkan kepala ke arahnya. Jantung pria itu terasa jatuh di dasar samudera saat menatapnya. Benar dugaan Si Pria, gadis itu memang Eleanore. Ele yang ia kenal dulu. Gadis cantik yang sangat ia kenal dulu.

Sejujurnya, wajah Ele cukup banyak berbeda. Bahkan sepasang pipi chubby yang menggemaskan itu sudah lenyap. Wajahnya jauh lebih tirus, kantung matanya sangat terlihat jelas, dan matanya...

Sinar yang menghiasi mata indahnya telah sirna. Gadis itu memang memang memandang si pria, layaknya orang yang normal, namun binar itu tak ada. Ia memandangnya dengan tatapan kosong.

Pria yang tengah dilanda shock itu tak bisa lagi melihat mata berbinar yang semula sangat indah. Semuanya telah hilang. Yang ada kini hanya lah pandangan kosong dari gadis berwajah pucat ini.

Sang Pria menggosokkan telapak tangan di celana jins yang ia pakai. Rasa gugup kembali melandanya seketika. Apa yang pertama kali harus ia ucapkan?

“Kau Van?”

Itu dia. Benar itu suaranya. Suara Ele terdengar tenang saat menyebutkan namanya. Sebuah nama panggilan yang tak pernah diketahui olehnya. Nama yang masih ia rahasiakan sampai detik ini.

“Ya,” jawab Si Pria. “Err.. aku mulai bekerja disini hari ini. Aku akan mengurus segala kebutuhanmu.” Dengan tergagap-gagap ia mengucapkannya.

Ele menggerakkan sudut bibirnya, membentuk sebuah senyum sinis. Ia meraba-raba sudut ranjangnya. Si Pria yang bernama Van mengikuti pandangannya dan melihat bahwa Ele sedang mencoba meraih sebuah tongkat yang tergantung di sudut tempat tidurnya. Van tanpa ragu langsung berdiri hendak membantunya namun Ele seketika itu juga menepis uluran tangan itu.

“Biar aku bantu.” Van mencoba meraih lagi tangannya namun Ele menepis lagi tangan itu dengan agak kasar. Ele berjalan dengan mantap menuju ke pintu kamarnya.

Benar apa yang Ghani katakan padanya. Tentang hal itu. Tentang Eleanore. Tentang keadaannya saat ini.

Bahwa ia buta.

Van terkesima melihatnya berjalan. Langkah Ele begitu mantap dan tanpa keraguan. Ele mengetukkan tongkatnya ke lantai secara zig zag. Hati Van tiba-tiba saja terasa begitu sakit ketika melihatnya berjalan dengan tongkat seperti itu. Mata Van bahkan terasa sangat panas ketika mendengar Ele berdehem keras.

“Keluar,” ucap Ele dengan santai. Seperti ia sudah sering kali melakukannya. “Aku bisa mengurus semua kebutuhanku. Aku tidak butuh bantuanmu.” Ele memegang gagang pintu kamarnya.

Van memutuskan untuk memberikan waktu untuk menerimanya sebagai perawatnya. Hatinya masih terasa berat saat berjalan keluar dari kamarnya. Van menggeleng kuat. Bukan, hal itu tidak terlalu penting. Ada satu pertanyaan krusial yang harus ia cari jawabannya. Pertanyaan penting yang harus ia pecahkan adalah…

Apa yang sudah ia lakukan pada gadis itu?

Kilas Balik Sebulan yang Lalu

“Tora Van Beurden! Aku tak menyangka kau akan kembali lagi ke sini.”

Ghani menepuk pundak sahabatnya pelan sebelum melemparkan eye smile. Tora Van Beurden, Si Sahabat, bertanya-tanya dalam hati, kenapa di antara banyaknya teman yang ia miliki di sini selalu saja Ghani menjadi orang pertama yang ia tuju? Dasar bantet. Sialnya Si Bantet itu adalah sahabat karibnya. Dari zaman ia masih mengenakan popok dan berkeliaran dengan ingus yang menempel di sudut mulut, Ghani sudah menjadi teman baiknya. Itu lah dia Si-Bantet-Nan-Loyal-Ghani.

“Aku sendiri juga tak menyangka ada di sini.” Tora menyesap wine di gelasnya. Hingar bingar musik di sekelilingnya sedikit memutar ingatan di kepala. Tempat ini bagaikan telapak tangannya sendiri. Ia telah mengenal setiap sudutnya dengan baik. Bahkan setiap bartender yang menyajikan minuman di sekitarnya juga ia kenal semua.

Akan tetapi, sekarang bar ini telah banyak berubah, mulai dari penataan tempat, hiasan, cat tembok, bahkan sajian minumannya sudah banyak yang berbeda. Kursi yang biasa ia duduki di ujung ruangan telah menghilang tergantikan oleh sofa lebar bernuansa gold. Sayang sekali, padahal ia suka aromanya. Mengingatkannya akan kebiasaan buruknya di kala Sekolah Menengah Atas.

Di masa lalu, ia, Ghani, dan kawan-kawannya sering sekali mengunjungi bar ini. Bar ini menjadi pilihan favorit untuk menghabiskan waktu sembari mengisap nikotin, minum, dan melakukan berbagai hal illegal lainnya. Pergaulannya di masa lampau memang melewati batas normal, tapi hal itu lah yang menjadikan masa mudanya begitu berkesan.

Ngomong-ngomong sekolah menengah, sebuah nama terlintas di benak Tora seketika.

“Kau tahu bagaimana kabar gadis itu?”

Ghani langsung menyemburkan tequila yang tengah ia minum persis di depan sahabatnya. Pemuda itu terbatuk-batuk sambil memukuli dadanya yang seketika menjadi panas bak terbakar api. Satu pertanyaan dari Tora sukses membuatnya terkejut.

Di sisi lain, Tora mengumpat kuat. Sial betul kemejanya sedikit basah terkena cipratan minumannya itu. “Sialan, kau! Kenapa nyembur seperti itu?” Tora menepuk-nepuk kemeja hitam kesayangannya ini. Akan ia pastikan Si Bantet itu untuk mencucinya dengan bersih sepulang dari sini.

Ghani terbatuk-batuk beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan yang membuatnya luar biasa kaget.

“Aku lupa memberitahumu sesuatu.” Ghani meletakkan gelasnya yang telah kosong. “Kau benar-benar akan tercengang mendengarnya, Bro.”

Sosok yang dipanggil Bro itu meminta Mino a.k.a bartender yang sudah sangat ia kenal untuk mengisikan lagi minuman di gelas kosongnya. “Tercengang bagaimana? Dia sudah menikah?”

Ghani memukul kepala sahabatnya dengan cukup keras. “Bukan, Bodoh! Dengarkan aku dulu.” Air muka Ghani berubah. Wajahnya menjadi serius dengan kedua matanya menyipit. Itu adalah pertanda jika ia akan berbicara serius. Pria itu memutuskan untuk memusatkan perhatiannya pada Ghani.

“Eleanore buta.”

Si Pria terkesiap. Ghani mengatakannya dengan sungguh-sungguh.

Ghani memang tipikal orang yang suka bercanda. setidaknya 9 dari 10 perkataannya biasanya berisi bualan semata. Tora paham betul sifat sahabatnya yang satu itu, namun untuk pertama kalinya semenjak mereka bertemu kembali, raut wajah Ghani tidak tenang. Ia terlihat gelisah saat menatap mata Tora.

“Apa maksudmu Eleanore buta?” tanya Tora.

Ghani berkacak pinggang dan memandangnya dengan sedikit marah. “Buta, Sob. Buta! Dia tidak bisa melihat lagi!”

Tora bersiap untuk meminta penjelasan lebih lanjut lagi dari Ghani sebelum perkataan selanjutnya sukses membuat jantungnya jatuh di dasar sana.

“Dan itu semua karenamu.”

Kilas Balik Selesai

Related chapters

  • Beautiful Darkness   Chapter 3: Kamera

    “Selamat pagi, Eleanore.” Pagi berikutnya dan berhari-hari berikutnya Van datang lagi. Sudah 3 hari ini ia memaksakan diri untuk bekerja. Sudah 3 hari pula Eleanore menolaknya mentah-mentah. Walaupun telah ditolak, pria itu hanya menunggu di depan kamar Ele seharian penuh sebelum akhirnya bibi memintanya untuk pulang. Namun kali ini, rupanya ia berinisiatif untuk berusaha lebih. Pria itu masuk ke kamar Ele tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Benar-benar orang yang nekat. Tidak peduli sudah berapa kali Ele melarangnya untuk bekerja di sini, tidak peduli berapa kali Ele melarangnya untuk dekat-dekat dengannya, ia tidak menghiraukannya sekali pun. Van menganggap segala larangan Ele adalah angin lalu yang tidak perlu diperhatikan. Itu sebabnya kali ini Ele menulikan pendengarannya dan mencoba menetralkan gemuruh di dadanya yang sarat akan emosi saat Van memasuki kamarnya seenak jidat. Eleanore menyesap teh rosela favoritnya sembari duduk menghadap jendela,

    Last Updated : 2021-10-25
  • Beautiful Darkness   Chapter 4: Gangguan Panik

    Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Klik. Klik. Klik. Eleanore mengecek hasil jepretan di kameranya. Not bad. Sepertinya kemampuannya dalam membidik suatu objek semakin membaik. Ele tersenyum puas melihat gambar kupu-kupu yang ia tangkap. Ele seketika membayangkan jika dalam 10 tahun ke depan ia bisa membuka exhibition-nya sendiri. Exhibition yang dipenuhi kumpulan foto yang sudah ia abadikan semenjak ia mendapatkan kamera kesayangannya dari Sang Ibunda satu tahun yang lalu. Ele berjalan lagi menyusuri halaman depan sekolahnya. Sekarang sudah pukul 18.00 tepat. Sekolah ini hampir sunyi di kala sore hari. Apalagi hari ini hari sabtu. Jam belajar pun usai lebih awal, begitu pula dengan jam belajar Ele. Seharusnya Ele sudah pulang ke rumah. Ia merasa kurang beruntung karena harus bertemu dengan Guru Bahasa Inggris-nya karena beliau memintanya untuk membantu men

    Last Updated : 2021-10-25
  • Beautiful Darkness   Chapter 5: Pusat Komunitas

    Begitu mereka tiba di Pusat Komunitas, Eleanore bergegas keluar dengan membawa kado Yuna. Ia tidak mengatakan apa pun lagi setelah Van menenangkannya dari panic attack-nya tadi. Van sedikit heran mengapa serangan panik itu masih saja Ele alami. Dahulu, seingat pemuda itu, Ele juga ia mengalaminya saat bersamanya. Kejadiaannya adalah saat pertama kali mereka naik motor bersama. Responnya sama persis seperti tadi; tangan bergetar, keringat dingin mengalir, dan napas tersengal. Kenapa gangguan itu tidak juga kunjung sembuh? Van pikir setelah sekian lama Ele bisa mengatasi rasa paniknya. Ternyata masih belum. Van mengejar Ele masuk ke dalam Pusat Komunitas. Langkah Eleanore begitu ringan. Tanpa perlu diberi arahan, dia sudah bisa memasuki bangunan berwarna putih di depannya. Tepukan tangan dan nyanyian terdengar saat mereka masuk. Terdapat sekitar 20 orang berdiri mengelilingi seorang wanita yang sepertinya berumur awal tiga puluhan yang berdiri

    Last Updated : 2021-10-25
  • Beautiful Darkness   Chapter 6: Kencan Pertama

    Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Handphone dengan hardcase putih di saku Tora bergetar. Tora menariknya keluar sebelum melihat nama yang tertera di layar kaca ponsel itu. Rupanya Ghani menelponnya. Dengan sekali sentuhan, suara sobat karibnya itu langsung menggema di telinganya. “Tora Van Beurden! Kau gila memang!” teriak Ghani lantang. Tora terpaksa menjauhkan ponselnya dari telinga. Menurut Tora, Ghani lah yang gila karena Si Bantet itu menelpon secara mendadak dengan umpatan yang menggema di telinga. “Bangsat! Bantet gila! Apa-apaan sih kau ini!” Tora balas berteriak. Tora rasa kadang-kadang temannya itu bertingkah menyebalkan, bagaikan gadis remaja yang sedang datang bulan. Ingin rasanya ia memukul kepala Ghani dengan kamus bahasa Jepangnya barang satu-dua kali. Biar dia kapok. Sedetik kemudian Tora mendengar kekehan Ghani di ujung panggilan. “Sorry, Bro. Aku cuma ingin mena

    Last Updated : 2021-12-03
  • Beautiful Darkness   Chapter 7: Romansa Asmara

    Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Elevator yang dua insan yang tengah dibalut romansa naiki berhenti pada lantai teratas. Eleanore dan pemuda di sebelahnya berjalan keluar sambil saling melemparkan senyuman. Si pemuda menggandeng tangan Ele dan menuntunnya untuk menaiki beberapa anak tangga. Dengan tangan kirinya yang bebas, pemuda itu membuka sebuah pintu di depan mereka. Semilir angin dingin menerpa tengkuk Ele. Gadis itu merapatkan jaket milik Si Pemuda yang ia kenakan. Gadis itu melirik sosok di sebelahnya yang menyilangkan kedua tangan di dadanya. “Berjalanlah duluan,” perintah Si Pemuda. Ia memberikan senyuman yang membuat Ele menerka-nerka hal istimewa apa yang tengah disembunyikan. Ele mengerucutkan bibirnya dan berjalan mendahului Si Pemuda dengan patuh. Sedetik kemudian Ele tercengang dengan apa yang ia lihat. Dua buah kursi dan sebuah meja berukuran sedang dengan makanan yang tertata rapih sudah tersedia beberap

    Last Updated : 2021-12-04
  • Beautiful Darkness   Chapter 8: Teka Teki Rianti

    “Apa yang kau bawa?” Van menatap kotak yang berada di pangkuan Eleanore. Tak berapa lama setelah Van dan Yuna berbincang-bincang, Eleanore datang dengan membawa sebuah kotak. Kotak yang terbuat dari anyaman bambu itu kini dipegang erat oleh Ele. “Prakaryaku,” jawab Ele singkat. “Biar ku lihat.” Van mengambil kotak itu dari Ele. “Jangan!” cegah Ele namun terlambat karena Van sudah terlanjut membuka tutup kotak itu. Pria itu mengeluarkan sebuah beanie merah yang terbuat dari wol. “Topi!” Van mengatakannya tak percaya. “Kau merajut sebuah topi?” tanya Van. Wajah Eleanore terlihat sedikit masam menderngar pertanyaan itu. “Jangan ikut campur.” Tangan Ele terulur hendak mengambil beanie itu dari tangan Van, namun dengan jahil Van menjauhkan topi itu dari jangkauan Ele. “Ini sangat keren! Kau sangat berbakat, Eleanore,” ucap Van sungguh-sungguh. Pemuda itu mengamati lagi topi rajut itu. Rajuta

    Last Updated : 2021-12-05
  • Beautiful Darkness   Chapter 9: Kincir Angin

    Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu “Eleanore, bangun.” Sebuah tangan menggoyang-goyangkan badan Ele perlahan. Orang itu memanggil nama Ele selama berkali-kali tepat di telinganya. Sementara itu, sosok yang dipanggil memilih menarik selimut untuk menutupi kepala. Tubuhnya menggigil kedinginan kala selimut itu kembali disibak untuk membuatnya bangun. “Bangun, ayo. Kakak sudah membuatkan sarapan untukmu.” Ele mengumpulkan kesadarannya kala menangkap suara itu. Meski nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, Ele seketika terlonjak bangun dan mendapati Reynold sedang tersenyum cerah di tepi kasurnya. Sejak kapan kakaknya ada di rumah? “Kak, kau sudah pulang!” teriak Ele. Sesegera mungkin Ele mengalungkan lengannya ke tubuh kakak satu-satunya itu. Kerinduannya membuncah karena sudah berbulan-bulan ini kakaknya tidak pulang ke rumah. Sang Kakak selalu bepergian ke luar kota bahkan ke luar negeri

    Last Updated : 2021-12-06
  • Beautiful Darkness   Chapter 10: Rayuan Tora

    Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu “Aku mau ke pantai.” Ele memakan potongan bacon dan omelet ke mulutnya secara bersamaan. Mulut penuhnya ia paksakan untuk berbicara sementara Sang Kakak menyodorkan segelas air putih untuknya. “Pelan-pelan, Ele,” tegur Reynold. Di sebuah pagi yang tenang, Eleanore dan Reynold menghabiskan sarapan bersamanya di kamar ibu. Sosok ibundanya terlihat memakan masakan Reynold dengan lahap. Ele melirik ke arah ibunya yang tertawa saat anak sulungnya menegur yang bungsu. Seingat Ele, Sang Ibu jarang sekali terseyum akhir-akhir ini. Nafsu makannya juga turun derastis. Biasanya ibunya hanya makan satu dua sendok. Itu pun dengan paksaan darinya dan perawatnya. Akan tetapi, kali ini ibundanya dengan senang hati makan dengan wajah berbinar. Ini berarti ibunya sangat senang dengan kedatangan Reynold. “Sepertinya dia pemuda yang baik ya?” tanya ibu. Ele tersenyum men

    Last Updated : 2021-12-08

Latest chapter

  • Beautiful Darkness   Chapter 50: Pertanyaan Mendadak dari Nick

    “Bilang saja.”Ele mengernyitkan keningnya seiring dengan berhentinya lagu yang diputar Van. Lagu selanjutnya tak kunjung bisa Ele dengar. Mungkin Van sengaja menekan tombol pause karena katanya perawatnya ingin mengatakan sesuatu. Ele menunggu dalam diam, tapi tak ada satu patah kata pun yang terucap dari bibir Van.“Mau bilang apa?” tanya Ele.Van masih tak mau menjawabnya. Pria itu, tanpa sepengetahuan Ele, malah duduk gelisah sambil meracau dalam diam. Van menjambak rambutnya sendiri dan ia mengumpat tanpa suara. Ia dalam kebimbangan luar biasa karena separuh hatinya ingin mengatakan kebenaran, namun separuh lainnya merasa masih belum siap. Tapi sialnya ia sudah terlanjur mengatakan akan memberitahu Ele.“Van? Jangan diam saja!”Ele mulai kesal. Perawatnya seolah berubah menjadi orang gagu karena tak menyahut sedari tadi. Ia mulai memandang curiga ke arah Van.“Apa kau menyembunyikan sesuatu dari

  • Beautiful Darkness   Chapter 49: Teh yang Akan Tumpah

    “Sewaktu aku SMA, ayah memberikan banyak uang pada Kak Rey untuk merintis start up. Ayah tadinya akan memberikan salah satu anak perusahaannya pada Kak Rey namun kakakku menolaknya. Ia bilang jika ia ingin berusaha membangun sendiri perusahaannya tanpa campur tangan ayah. Akan tetapi, ayah tak tega. Ia akhirnya memberikan suntikan dana dan membiarkan Kak Rey menjalankan sendiri usahanya. Ia lalu pernah berkata padaku bahwa perusahaan yang seharusnya diberikan pada Kak Rey, kelak akan diberikan padaku jika aku sudah lulus kuliah. Sekarang perusahaan itu dikelola atas nama Agatha. Wanita itu merampasnya dariku.” “Sejak kapan Agatha menjalankan perusahaan itu?” “Setelah ia menikahi ayahku sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ele. “Semua mimpi burukku terjadi sepuluh tahun yang lalu.” “Apa saja yang terjadi sepuluh tahun yang lalu?” Van mencoba memancing Ele. Kendati ia tahu betul situasi sepuluh tahun silam yang dimaksud Ele, namun ia ingin mendengar sendiri secara langsung dari Ele. “Kau

  • Beautiful Darkness   Chapter 48: Rencana Pertemuan yang Sulit

    Ele dan Van berhasil kembali ke rumah sebelum petang. Satu jam setelahnya, Agatha dan Damian pulang ke rumah setelah menjalani perjalanan bisnis sekaligus liburan di Maldives. Kedua orang tua Ele itu tiba dengan membawa berbagai macam buah tangan baik berupa makanan atau pun barang. Ele yang kala itu tengah menyantap makan malamnya bersama Van buru-buru menghabiskan makanan di piringnya. Ia mencoba menghindari bertemu dengan orang tuanya sebisa mungkin. Sayangnya, ketika di suapan terakhir, Damian dan Agatha datang ke ruang makan untuk menahan Ele. Dengan wajah sumringah, Damian memberikan sebuah kotak yang dihiasi dengan pita berwarna putih di bagian atasnya. Ia meletakkan kotak itu di pangkuan anaknya. “Buka lah,” ujar Damian. Tanpa bergairah Eleanore membuka kotak itu. Rupanya Damian memberikan sebuah clutch berwarna marun yang terlihat elegan. Ele meraba-raba bentuk clutch itu lalu meletakkan kembali pemberian ayahnya ke dalam boks. Ia jelas tak tertarik sama sekali. “Kau suka

  • Beautiful Darkness   Chapter 47: Semesta Berpihak Padanya

    Selepas bertemu dengan Reynold, Van bergegas memesan tiket pulang. Ia berpacu dengan waktu. Setelahnya, pria itu langsung ngebut gila-gilaan menuju ke Pusat Komunitas untuk menjemput Ele. Beruntung baginya ia bisa mengandalkan Ghani, sahabatnya yang juga diundang ke Pusat Komunitas, untuk mengulur waktu. Dengan bantuan Ghani, Ele bisa sedikit lebih sibuk sehingga gadis itu baru minta dijemput pada pukul tujuh malam. Sesampainya di rumah, rupanya gadis itu kelelahan. Ele melewatkan makan malam dan memilih tidur lebih awal. Beruntung sekali lagi bagi Van, karena dengan begitu ia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal akibat perjalanan luar pulau yang mendadak ia lakukan dalam satu hari. Ia tidur dengan meminum obat pereda nyeri untuk meredakan rasa sakit akibat pukulan dan tendangan yang dilayangkan Reynold. Di pagi harinya, ia bangun dan menyiapkan segala keperluan Ele untuk ke rumah sakit. Agatha dan Damian yang masih belum pulang ke rumah menjadi salah satu hal baik yang m

  • Beautiful Darkness   Chapter 46: Perjanjian Reynold dan Agatha

    Kalimat yang keluar dari bibir Reynold membuat Van terhenyak. Ia kesulitan bernapas dan hanya mematung menatap kosong pada Reynold. Tubuhnya terasa luar biasa lemas. Bahkan saat dirinya dibawa keluar oleh beberapa waiter, dirinya hanya bisa pasrah. Van kehilangan kalimat yang sudah ia rangkai di kepala. Yang ada di kepalanya saat ini praktis tak ada. Ia terlampau terkejut setelah mendengar ucapan Reynold. Setelah mencari-cari alasan mengapa semua orang menyalahkannya atas kondisi Ele, akhirnya ia tahu juga penyebabnya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena Ele yang mengalami kecelakaan akibat mengejar mobilnya sepuluh tahun silam. Kecelakaan yang sama sekali tak ia ketahui. Tak ada satu pun orang yang memberitahu tentang kecelakaan itu. Ia merasa seperti idiot yang tak tahu menahu. “Brengsek Sialan! Kau membuatnya buta!” “Kak—" “Keluar kalian berdua!” Van merasakan tangannya diseret oleh seorang pria bertangan kekar. Tangan itu mencengkeram erat lengan atasnya. Saat ia

  • Beautiful Darkness   Chapter 45: Jawaban yang Dicari Selama Ini

    “Tora?”Sosok yang tengah duduk di tengah-tengah keramaian itu memanggil sebuah nama yang tentu tak asing di telinganya.Sosok yang selama ini dicari mati-matian oleh gadis yang ia kasihi memanggil nama itu dengan nada yang terlewat tenang. Akan tetapi, nada tenang yang mengalun dari bibir itu menyiratkan sesuatu yang lebih besar. Seolah-olah ia tengah menahan sesuatu yang telah lama ia pendam. Seperti akan ada badai yang datang setelah ketenangan tak menenangkan yang didengar itu menyapa gendang telinga Van.Yang dipanggil Tora lalu mengamati balik orang itu dengan pandangan menelisik. Terima kasih pada sekretarisnya yang telah berusaha keras untuk menemukan Reynold. Berkat kemampuan handal dan koneksi yang tersedia, sekretarisnya berhasil menemukan keberadaan Reynold yang ternyata tinggal di Bali selama pelariannya sepuluh tahun ini.Terima kasih pula pada Yuna yang mendadak mengajak Ele untuk datang ke Pusat Komunitas hari ini. Yuna bilang

  • Beautiful Darkness   Chapter 44: Harapan Baru untuk Ele

    Dokter mata…Ingatan Ele berkelana pada kenangan beberapa tahun silam. Kepalanya memutar ulang kenangan di masa sulitnya. Riuhnya suara orang-orang yang berlalu lalang sembari mendorong kursi roda. Bau menyengat khas dari tempat orang berobat. Gumaman-gumaman menyedihkan yang dilontarkan untuknya. Semuanya bagai mimpi buruk untuknya.Ia teringat bahwa hampir semua dokter yang ia temui mengatakan jika indera pengelihatannya tak bisa lagi diperbaiki. Semua jawaban yang ia terima selalu mengecewakan. Tak ada yang mampu membuatnya memupuk asa jika suatu saat ia akan kembali melihat terangnya dunia, birunya langit, atau indahnya warna daun yang gugur di halaman rumahnya.Sejak saat Ele aku menyerah dan menghapus segala kemungkinan yang ia impikan.“Ele?” panggil Van pelan.Ucapan-ucapan menyakitkan yang ia dengar bahkan dari ayahnya sendiri begitu mengusik batinnya. Apa lagi Agatha selalu memperlakukannya bak orang yang sama sekali ta

  • Beautiful Darkness   Chapter 43: Antara Ele, Van, dan Rintik Hujan

    Sekali lagi, Van kembali meludahkan darah yang menggenang di mulutnya.Setelahnya, ia kembali duduk di dapur di mana Ele tengah menunggunya dengan sekantung es batu yang dibebat dalam kain. Pria itu mengusap hidungnya yang berlumuran darah menggunakan tisu. Tisu itu ia remat dan ia lempar ke atas tumpukan tisu lain yang sedari tadi ia gunakan untuk menghapus darah di wajahnya. Ia memandang ke arah Ele yang dengan lembut memintanya untuk duduk tenang sementara gadis itu berniat mengurangi nyeri perawatnya.Ele menarik sebuah kursi dan duduk di depan Van. Gadis itu dengan perlahan mengulurkan tangannya dan mencari-cari wajah Van. Jemari Ele bergerilya sambil menekan pelan wajah perawatnya itu. Hingga saat Van mengaduh pelan, saat itu lah Ele menemukan bekas hantaman Yuna.“Bagian ini sakit?” tanya Ele pelan.“Tidak,” jawab Van berdusta.Ele lalu menekan bagian yang dimaksud dan mendengar geraman tertahan dari Van.&ldqu

  • Beautiful Darkness   Chapter 42: Amukan Yuna pada Van

    Suara Ele nyaris habis karena tertawa.Gadis itu menyerahkan microphone kepada Kiano alias Ghani yang tengah gila-gilaan menyanyi sambil berjoged bersama Yuna. Setelah mic itu ia serahkan, Ele kemudian menyerah lagi pada tawanya. Ia beringsut secara perlahan menuju ke sofa. Tangannya menyentuh tenggorokannya yang terasa gatal. Ia butuh minum atau tenggorokannya akan sekarat saat ini juga. Total sudah tujuh lagu ia nyanyikan bersama Yuna dan Kiano. Tak heran tenggorokannya sakit dan ia kelelahan sekali.Ele terkikik mendengarkan suara sumbang Yuna yang tengah menyanyikan lagu Good 4 U milik Olivia Rodrigo. Telinganya tak bisa menolerir lagi suara wanita itu. Bagi Ele, suara Yuna benar-benar payah. Ia terdengar sepertiorang yang akan digilas jempolnya dengan container. Sangat cempereng dan mengerikan, namun cukup menghibur baginya karena Yuna tak hanya menyanyi melainkan menari tanpa henti.Di sisi lain, Kiano ternyata memiliki suara yan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status