Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu
Klik.
Klik.
Klik.
Eleanore mengecek hasil jepretan di kameranya. Not bad. Sepertinya kemampuannya dalam membidik suatu objek semakin membaik.
Ele tersenyum puas melihat gambar kupu-kupu yang ia tangkap. Ele seketika membayangkan jika dalam 10 tahun ke depan ia bisa membuka exhibition-nya sendiri. Exhibition yang dipenuhi kumpulan foto yang sudah ia abadikan semenjak ia mendapatkan kamera kesayangannya dari Sang Ibunda satu tahun yang lalu.
Ele berjalan lagi menyusuri halaman depan sekolahnya. Sekarang sudah pukul 18.00 tepat. Sekolah ini hampir sunyi di kala sore hari. Apalagi hari ini hari sabtu. Jam belajar pun usai lebih awal, begitu pula dengan jam belajar Ele.
Seharusnya Ele sudah pulang ke rumah. Ia merasa kurang beruntung karena harus bertemu dengan Guru Bahasa Inggris-nya karena beliau memintanya untuk membantu menerjemahkan dokumen berbahasa inggris. Ele heran, kenapa guru itu tidak meminta murid ranking satu saja, sih? Kenapa harus dirinya?
Tapi ya sudahlah. Toh ia selalu memberinya nilai sempurna di setiap quiz.
“Jalan-jalan di sore hari, huh?”
Gadis bersurai hitam itu menjatuhkan kamera yang sedang ia pegang. Sebelum benda itu menyentuh tanah, laki-laki di hadapannya itu sudah menadahkan tangannya dan berhasil menangkapnya. Ele terkesiap, begitu pula dengan laki-laki itu. Ia membuang napas lega.
“Hampir saja,” ucap lelaki itu dengan cengiran. Si Lelaki mengulurkan kamera Ele dan sebelum Ele meraihnya, sosok itu sudah mengalungkan tali yang terhubung di kamera itu ke leher Si Gadis. Napas Ele tercekat saat tubuh tinggi laki-laki itu berdiri tepat di depannya. Ia dapat merasakan embusan napas lelaki itu yang menggelitik poninya.
“Lebih baik kau mengalungkannya seperti ini dari pada harus memegangnya,” ucap Si Lelaki serak. Untuk sejenak Ele lupa apa yang sedang dan akan ia lakukan. Ele tidak dapat menemukan suaranya ketika wajah lawan bicaranya berjarak hanya lima senti di depannya.
Ele kemudian mencubit lengannya sendiri untuk menyadarkannya dari lamunan. Gadis itu mundur satu langkah sebelum memukul bahu lelaki itu pelan. “Kau yang mengagetkanku!” omelnya. Ia menarik napas dan membuangnya perlahan.
Apa-apaan ini? Kenapa orang itu bisa mempengaruhinya seperti ini?
Eleanore mencubit pahanya keras-keras untuk mengembalikan kesadarannya yang nyaris hilang terbawa lamunan.
“Apa yang kau lakukan di sini? Kau 'kan tidak sekolah di sini?” cercar Ele guna menghilangkan kegugupannya. Ia memperhatikan laki-laki itu yang jelas menggunakan seragam yang berbeda dari yang ia kenakan.
Pemuda itu tersenyum. Memperlihatkan senyumnya yang berbentuk kotak. Baru kali ini Ele melihat bentuk senyuman kotak seperti itu. Sosok di hadapannya itu terlihat unik.
Pemuda di depan Ele tersebut menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Aku melihatmu berjalan kemari di jalan utama tadi. Jadi ku putuskan untuk bermain sebentar ke sekolahmu.” Ia tersenyum lagi.
“Oh, jadi kau mengikutiku?” tanya Ele sembari mengangkat kedua alisnya. Laki-laki itu memperlihatkan seringainya yang Ele jamin bisa membuat puluhan gadis di luar sana meleleh.
“Yah, anggap saja begitu. Seharian ini aku belum melihatmu.”
Ele menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Entah mengapa ia merasa salah tingkah mendengarkan jawaban yang terlontar dari bibir pemuda itu.
“Apakah aku artis? Kau fansku? Kenapa juga kau mau mengikutiku?” tanya Ele sembari berlalu. Ele nyaris tersenyum mendengarkan jawabannya. Sekuat tenaga Ele harus mempertahankan kontrol diri agar tidak terlena dengan apa pun jawaban yang akan ia dengar.
Rupanya lelaki itu tidak tinggal diam. Ia mengikuti langkah Ele. Diam-diam dalam hati Ele sedikit senang melihatnya.
“Kau suka memotret?” tanya laki-laki itu tiba-tiba. Ia berjalan dengan langkah panjang. Sekarang ia berjalan di depan Ele dengan keadaan terbalik alias berjalan mundur. Tubuhnya sepenuhnya menghadap tubuh Si Gadis.
Si Lelaki berjalan dengan tenang sembari menyelipkan kedua tangan di saku celananya. Ele memperhatikan tubuh itu dengan saksama. Badan orang itu tergolong kurus dan kakinya jenjang. Tubuhnya jauh lebih tinggi darinya. Biar Ele tebak, mungkin sekitar 178 cm?
Ele juga memperhatikan rambut lurus milik pemuda itu yang berwarna cokelat tua dengan poni yang sebagian menutupi dahinya. Rambut lembut itu melambai-lambai tertiup angin. Memang cuaca saat ini sedikit berangin dari biasanya. Ele merapatkan sweater yang ia kenakan.
Kemudian indera pengelihatan Ele terpatri memperhatikan sepasang piercing hitam bulat yang terpasang di kedua telinga orang itu. Bagaimana bisa seorang siswa SMA mengenakan anting di kedua telinganya tanpa tertangkap Tim Kedisiplinan Sekolah? Brengseknya, dilihat dari jauh maupun dari dekat, ia terlampau menawan.
Ele menelan ludahnya.
“Eleanore?” Tora melambaikan telapak tangannya di depan Ele. Gadis itu mengerjap dan memfokuskan lagi pandangannya pada Tora, sosok yang mengikutinya.
“Ya. Aku suka memotret,” ucap Ele lugas. “Fotografi adalah hobiku.” Ele mengelus kamera dengan sayang ketika menjawabnya.
Tora mengangguk-anggukkan kepalanya mendengarkan jawaban Ele.
“Kalau begitu foto aku!” Tiba-tiba saja ia sudah berpose di depan Ele dengan mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V dan meletakkannya diantara mata kirinya. Ele gelagapan menyalakan tombol on sebelum akhirnya memotonya beberapa kali. Ele melihat hasilnya.
“Sempurna. Aku memang tampan,” sahut Tora tanpa melihat hasil jepretan Ele sama sekali.
Dalam hati Ele mengiyakan.
“Astaga, narsisnya,” jawab Ele berkebalikan. Jujur, menurut Ele Tora memang terlihat tampan, baik dalam foto maupun aslinya, namun mana mungkin Ele mau mengakuinya secara langsung? Bisa-bisa ia dicap agresif olehnya.
“Keluar lah denganku besok malam, Eleanore.” Tiba-tiba ia berhenti. Kedua tangannya menyentuh bahu Ele dan memutarnya sehingga menghadap padanya. “Pukul 8 malam. Aku akan menjemputmu di depan rumahmu.”
Tangan kanannya terulur dan menyentuh pipi kiri Ele. Ele menahan napas. Secara mendadak kehilangan kemampuan untuk mengalirkan udara bersih ke paru-paru. Mata cokelat Tora menatapnya tajam. Tatapannya membuat tubuh Ele serasa mengecil. Matanya sangat indah. Binar netranya lebih indah dan lebih jernih dari mata Ele. Bagaimana bisa ada makhluk sesempurna dia?
Kilas Balik Selesai
***
“Tidak.”
Eleanore menjawab penawaran Van dengan tegas. Van dapat merasakan jika Ele sedang memikirkan sesuatu setelah Van mengusulkannya untuk membeli kamera.
Kamera.
Kamera.
Kamera.
Sial. Bodohnya!
Van nyaris membenturkan kepalanya ke atas kemudi.
Eleanore juga suka kamera. Ele suka sekali mengambil gambar. Kenapa dirinya malah mengingatkannya dengan keadaannya yang seperti ini?
Van nyaris membuka kaca dan melemparkan kepalanya keluar. Ia tidak ingin mengungkit lagi masalah kamera itu. Sudah bagus Eleanore mau keluar dari kamarnya. Ia tak ingin membuat mood gadis itu rusak lagi.
Ia bahkan akan berterimakasih pada Yuna dan mengucapkan betapa bahagianya dirinya karena Yuna berulang tahun. Jika Yuna tidak berulang tahun, mungkin Eleanore tidak akan mau keluar dari kamarnya semudah tadi.
Van menjaga nada suaranya supaya tetap normal lagi.
“Bagaimana dengan tas?”
Eleanore terdiam. Ia terlihat seperti sedang memikirkannya. Van memperhatikan wajah cantik Ele yang duduk merenung di sebelahnya.
Mata pria itu masih tertuju pada sepasang mata gadis ini. Memang matanya terlihat normal, senormal biasanya, namun mata itu kosong. Van bertanya-tanya, kebutaan jenis apakah yang dideritanya? Apakah buta permanen atau sebagian? Van harus mencaritahunya.
Ingin rasanya Van mengulurkan tangan, menyentuh wajah Ele, dan mencium kelopak matanya. Hatinya terasa sakit melihat Eleanore begitu kelam.
“Earphone,” jawabnya. “Aku mau membelikannya earphone saja.”
Van mengangguk antusias. “Great! Mari kita beli earphone untuk Yuna!” ucap Van kelewat antusias.
Untungnya, lalu lintas hari ini tidak semacet biasanya. Jadi dalam waktu 20 menit, mereka berdua sudah tiba di pusat perbelanjaan elektronik terlengkap di kota. Sebelum Eleanore membuka pintu, Van membuka dashboard dan meletakkan tongkat berwarna putih di tangan Ele.
“Aku bisa melakukannya. Berhenti lah menolongku.”
Nadanya masih sama ketus seperti biasanya. Van mengabaikan keketusan Ele dan memilih bergegas keluar lalu membukakan pintu untuknya. Dengan berbagai macam penolakan dan teriakan yang Eleanore keluarkan, akhirnya mereka memasuki tempat itu.
Sebelum melangkah lebih dalam, Ele sempat menghentikan langkahnya. Dalam sepersekian detik ia terlihat ragu-ragu. Van melihat sekeliling. Beberapa pembeli yang berada di sana berkasak-kusuk sembari melihat ke arah Ele.
“Pegang tanganku,” ucap Van sembari menggenggam tangan kirinya. Secepat kilat Ele menepis tangan Van.
“Tidak mau!” tolaknya dengan kepala menunduk. “Aku bisa jalan sendiri,” kekeuh-nya keras kepala.
Sebelum dapat berjalan lebih jauh Van buru-buru menghentikannya dengan memasukkan tangan kirinya ke dalam saku jaket bomber merah yang Van kenakan. Ia terlihat kaget dan hendak menarik tangannya, namun tangan kanan Van menahannya untuk tetap berada di dalam saku.
“Ku mohon, Pumpkin. Di sini banyak terdapat barang yang mudah pecah. Percaya padaku,” ucap Van perlahan. Tangan Ele yang berada di saku Van menegang. Van menatap wajah Ele yang terlihat sedikit kaget.
“Kenapa kau memanggilku Pumpkin?”
Van menelan ludahnya.
Sial, double sial. Ia kelepasan memanggil Ele dengan panggilan sayang yang dulu sempat ia tujukan untuknya. Van berdehem sejenak.
“Karena kau imut. Sudahlah, ayo pilih earphonenya.” Van membimbing Ele untuk berjalan di sebelahnya guna mengalihkan perhatian. Ele berjalan dengan langkah ragu-ragu. Ele juga menggerutu sepanjang langkahnya namun Van mengabaikannya. Sama halnya seperti ia mengabaikan tatapan orang-orang yang menatap janggal Ele, seolah-olah ia adalah makhluk luar angkasa berkepala empat.
“Sudah tiba. Kau mau earphone warna apa?”
Eleanore memberitahu Van warna kesukaan Yuna. Setelah mempertimbangkan beberapa pilihan, akhirnya mereka memutuskan untuk membeli sebuah earphone berwarna hitam putih dengan motif tengkorak di sisi kanan dan kiri. Menurut Ele, itu akan cocok untuk Yuna.
Setelah menuntaskan pembayaran, mereka kembali ke tempat parkir. Kado untuk Yuna telah terbungkus rapi di tangan Van. Setelah masuk ke dalam mobil, Ele menghempaskan tubuhnya dengan keras dan duduk di sebelah Van. Pemuda itu menatap Ele khawatir.
Wajah Ele dipenuhi oleh peluh. Kedua tangan yang berada di pangkuannya terlihat bergetar. Benar-benar bergetar bagaikan tersengat arus listrik. Ia bernapas pendek-pendek.
“Eleanore, kau baik-baik saja?” tanya Van panik. Ia terdiam dengan tangan yang masih bergetar. Dengan panik Van mencari botol air mineral dan membukakannya.
“Minumlah, Pumpkin.” Van meletakkan botol itu di kedua tangannya. Dengan hati-hati, Ele menenggaknya dan menyerahkan botol itu pada Van. Tangannya masih bergetar. Keringat pun tak berhenti mengalir di pelipisnya.
“Ele, tenang lah.”
Dengan keberanian ekstra, kedua tangan Van merengkuh tangannya yang berkeringat dingin dan bergetar. Van meremasnya perlahan.
Yang membuat Van kaget, Ele tidak menolaknya. Karena tak ada penolakan, maka Van melanjutkannya selama hampir 5 menit penuh sembari menggumamkan kata-kata yang dapat menenangkannya.
Secara perlahan, getaran di tangan Ele mereda. Ele menolehkan wajahnya pada Van.
“Aku mendengar mereka,” ucap Ele dengan suara kecil. “Mereka mengataiku buta.”
Melihat cara Eleanore mengatakannya dan respon di tubuhnya, hati Van semakin terasa sangat sakit.
“Jangan dengarkan, Pumpkin.” Van meremas tangannya lagi.
“Ada aku di sini.”
Begitu mereka tiba di Pusat Komunitas, Eleanore bergegas keluar dengan membawa kado Yuna. Ia tidak mengatakan apa pun lagi setelah Van menenangkannya dari panic attack-nya tadi. Van sedikit heran mengapa serangan panik itu masih saja Ele alami. Dahulu, seingat pemuda itu, Ele juga ia mengalaminya saat bersamanya. Kejadiaannya adalah saat pertama kali mereka naik motor bersama. Responnya sama persis seperti tadi; tangan bergetar, keringat dingin mengalir, dan napas tersengal. Kenapa gangguan itu tidak juga kunjung sembuh? Van pikir setelah sekian lama Ele bisa mengatasi rasa paniknya. Ternyata masih belum. Van mengejar Ele masuk ke dalam Pusat Komunitas. Langkah Eleanore begitu ringan. Tanpa perlu diberi arahan, dia sudah bisa memasuki bangunan berwarna putih di depannya. Tepukan tangan dan nyanyian terdengar saat mereka masuk. Terdapat sekitar 20 orang berdiri mengelilingi seorang wanita yang sepertinya berumur awal tiga puluhan yang berdiri
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Handphone dengan hardcase putih di saku Tora bergetar. Tora menariknya keluar sebelum melihat nama yang tertera di layar kaca ponsel itu. Rupanya Ghani menelponnya. Dengan sekali sentuhan, suara sobat karibnya itu langsung menggema di telinganya. “Tora Van Beurden! Kau gila memang!” teriak Ghani lantang. Tora terpaksa menjauhkan ponselnya dari telinga. Menurut Tora, Ghani lah yang gila karena Si Bantet itu menelpon secara mendadak dengan umpatan yang menggema di telinga. “Bangsat! Bantet gila! Apa-apaan sih kau ini!” Tora balas berteriak. Tora rasa kadang-kadang temannya itu bertingkah menyebalkan, bagaikan gadis remaja yang sedang datang bulan. Ingin rasanya ia memukul kepala Ghani dengan kamus bahasa Jepangnya barang satu-dua kali. Biar dia kapok. Sedetik kemudian Tora mendengar kekehan Ghani di ujung panggilan. “Sorry, Bro. Aku cuma ingin mena
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Elevator yang dua insan yang tengah dibalut romansa naiki berhenti pada lantai teratas. Eleanore dan pemuda di sebelahnya berjalan keluar sambil saling melemparkan senyuman. Si pemuda menggandeng tangan Ele dan menuntunnya untuk menaiki beberapa anak tangga. Dengan tangan kirinya yang bebas, pemuda itu membuka sebuah pintu di depan mereka. Semilir angin dingin menerpa tengkuk Ele. Gadis itu merapatkan jaket milik Si Pemuda yang ia kenakan. Gadis itu melirik sosok di sebelahnya yang menyilangkan kedua tangan di dadanya. “Berjalanlah duluan,” perintah Si Pemuda. Ia memberikan senyuman yang membuat Ele menerka-nerka hal istimewa apa yang tengah disembunyikan. Ele mengerucutkan bibirnya dan berjalan mendahului Si Pemuda dengan patuh. Sedetik kemudian Ele tercengang dengan apa yang ia lihat. Dua buah kursi dan sebuah meja berukuran sedang dengan makanan yang tertata rapih sudah tersedia beberap
“Apa yang kau bawa?” Van menatap kotak yang berada di pangkuan Eleanore. Tak berapa lama setelah Van dan Yuna berbincang-bincang, Eleanore datang dengan membawa sebuah kotak. Kotak yang terbuat dari anyaman bambu itu kini dipegang erat oleh Ele. “Prakaryaku,” jawab Ele singkat. “Biar ku lihat.” Van mengambil kotak itu dari Ele. “Jangan!” cegah Ele namun terlambat karena Van sudah terlanjut membuka tutup kotak itu. Pria itu mengeluarkan sebuah beanie merah yang terbuat dari wol. “Topi!” Van mengatakannya tak percaya. “Kau merajut sebuah topi?” tanya Van. Wajah Eleanore terlihat sedikit masam menderngar pertanyaan itu. “Jangan ikut campur.” Tangan Ele terulur hendak mengambil beanie itu dari tangan Van, namun dengan jahil Van menjauhkan topi itu dari jangkauan Ele. “Ini sangat keren! Kau sangat berbakat, Eleanore,” ucap Van sungguh-sungguh. Pemuda itu mengamati lagi topi rajut itu. Rajuta
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu “Eleanore, bangun.” Sebuah tangan menggoyang-goyangkan badan Ele perlahan. Orang itu memanggil nama Ele selama berkali-kali tepat di telinganya. Sementara itu, sosok yang dipanggil memilih menarik selimut untuk menutupi kepala. Tubuhnya menggigil kedinginan kala selimut itu kembali disibak untuk membuatnya bangun. “Bangun, ayo. Kakak sudah membuatkan sarapan untukmu.” Ele mengumpulkan kesadarannya kala menangkap suara itu. Meski nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, Ele seketika terlonjak bangun dan mendapati Reynold sedang tersenyum cerah di tepi kasurnya. Sejak kapan kakaknya ada di rumah? “Kak, kau sudah pulang!” teriak Ele. Sesegera mungkin Ele mengalungkan lengannya ke tubuh kakak satu-satunya itu. Kerinduannya membuncah karena sudah berbulan-bulan ini kakaknya tidak pulang ke rumah. Sang Kakak selalu bepergian ke luar kota bahkan ke luar negeri
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu “Aku mau ke pantai.” Ele memakan potongan bacon dan omelet ke mulutnya secara bersamaan. Mulut penuhnya ia paksakan untuk berbicara sementara Sang Kakak menyodorkan segelas air putih untuknya. “Pelan-pelan, Ele,” tegur Reynold. Di sebuah pagi yang tenang, Eleanore dan Reynold menghabiskan sarapan bersamanya di kamar ibu. Sosok ibundanya terlihat memakan masakan Reynold dengan lahap. Ele melirik ke arah ibunya yang tertawa saat anak sulungnya menegur yang bungsu. Seingat Ele, Sang Ibu jarang sekali terseyum akhir-akhir ini. Nafsu makannya juga turun derastis. Biasanya ibunya hanya makan satu dua sendok. Itu pun dengan paksaan darinya dan perawatnya. Akan tetapi, kali ini ibundanya dengan senang hati makan dengan wajah berbinar. Ini berarti ibunya sangat senang dengan kedatangan Reynold. “Sepertinya dia pemuda yang baik ya?” tanya ibu. Ele tersenyum men
Eleanore dan tongkatnya berjalan di antara pasir putih pantai yang terhampar luas. Van mengekorinya dari jarak lima meter di belakangnya. Meski khawatir jika salah melangkah, tapi seperti biasa, gadis itu dengan keras kepala menolak bantuan perawatnya. Dari pada ia meledak lagi, Van memilih menuruti saja kemauan Ele dan berjalan di belakangnya sambil mengawasi. Kendati Ele menolak bantuan Van, namun diam-diam ia menuruti perawat tersebut saat Sang Perawat memberikan aba-aba kepadanya. Netra pria itu terpusat gadis yang berjalan tertatih dengan rambut yang tertiup angin laut. Van memandang tubuh kurus Ele yang tertutupi sweater putih oversize. Sweater kebesaran itu membuat tangan Ele menghilang di baliknya. Membuatnya terlihat menggemaskan. Van merasakan dorongan untuk memeluknya dari belakang. “Ele, ada seekor anjing di depanmu,” ujar Van memperingatkan. Kaki Eleanore menabrak tubuh anjing kecil itu. Anjing itu menggonggong dan menji
“Tora?” Sosok yang dipanggil seketika menolehkan kepalanya ke sumber suara. Tora atau Van terkejut dengan keberadaan sobat karibnya yang tengah berdiri di belakangnya. Mata sipit sahabatnya beradu pandang dengannya yang menatapnya kaget. Sedetik kemudian sahabatnya itu terlonjak dan merangkul pundak Tora dengan tangan kanannya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Van. Ia balas merangkulnya sejenak kemudian melepaskannya. “Aku sedang menginap di penginapan dekat pantai ini. Sudah 3 hari aku di sini. Ada dance battle yang diadakan besok. Kau harus datang dan melihatku membawa pulang pialanya.” Ghani mengatakannya dengan sumringah. “Omong-omong, untuk siapa es krim itu?” Ghani menatap dua buah es krim di masing-masing tangan Van. Van tersenyum simpul membayangkan ekspresi seperti apa yang akan ditunjukkan Ele nanti saat memakan makanan manis ini. Ia harap Ele mau tersenyum lagi setelah ini. “Ini untuk Eleanore,” jawab Van. “Kami sedang
“Bilang saja.”Ele mengernyitkan keningnya seiring dengan berhentinya lagu yang diputar Van. Lagu selanjutnya tak kunjung bisa Ele dengar. Mungkin Van sengaja menekan tombol pause karena katanya perawatnya ingin mengatakan sesuatu. Ele menunggu dalam diam, tapi tak ada satu patah kata pun yang terucap dari bibir Van.“Mau bilang apa?” tanya Ele.Van masih tak mau menjawabnya. Pria itu, tanpa sepengetahuan Ele, malah duduk gelisah sambil meracau dalam diam. Van menjambak rambutnya sendiri dan ia mengumpat tanpa suara. Ia dalam kebimbangan luar biasa karena separuh hatinya ingin mengatakan kebenaran, namun separuh lainnya merasa masih belum siap. Tapi sialnya ia sudah terlanjur mengatakan akan memberitahu Ele.“Van? Jangan diam saja!”Ele mulai kesal. Perawatnya seolah berubah menjadi orang gagu karena tak menyahut sedari tadi. Ia mulai memandang curiga ke arah Van.“Apa kau menyembunyikan sesuatu dari
“Sewaktu aku SMA, ayah memberikan banyak uang pada Kak Rey untuk merintis start up. Ayah tadinya akan memberikan salah satu anak perusahaannya pada Kak Rey namun kakakku menolaknya. Ia bilang jika ia ingin berusaha membangun sendiri perusahaannya tanpa campur tangan ayah. Akan tetapi, ayah tak tega. Ia akhirnya memberikan suntikan dana dan membiarkan Kak Rey menjalankan sendiri usahanya. Ia lalu pernah berkata padaku bahwa perusahaan yang seharusnya diberikan pada Kak Rey, kelak akan diberikan padaku jika aku sudah lulus kuliah. Sekarang perusahaan itu dikelola atas nama Agatha. Wanita itu merampasnya dariku.” “Sejak kapan Agatha menjalankan perusahaan itu?” “Setelah ia menikahi ayahku sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ele. “Semua mimpi burukku terjadi sepuluh tahun yang lalu.” “Apa saja yang terjadi sepuluh tahun yang lalu?” Van mencoba memancing Ele. Kendati ia tahu betul situasi sepuluh tahun silam yang dimaksud Ele, namun ia ingin mendengar sendiri secara langsung dari Ele. “Kau
Ele dan Van berhasil kembali ke rumah sebelum petang. Satu jam setelahnya, Agatha dan Damian pulang ke rumah setelah menjalani perjalanan bisnis sekaligus liburan di Maldives. Kedua orang tua Ele itu tiba dengan membawa berbagai macam buah tangan baik berupa makanan atau pun barang. Ele yang kala itu tengah menyantap makan malamnya bersama Van buru-buru menghabiskan makanan di piringnya. Ia mencoba menghindari bertemu dengan orang tuanya sebisa mungkin. Sayangnya, ketika di suapan terakhir, Damian dan Agatha datang ke ruang makan untuk menahan Ele. Dengan wajah sumringah, Damian memberikan sebuah kotak yang dihiasi dengan pita berwarna putih di bagian atasnya. Ia meletakkan kotak itu di pangkuan anaknya. “Buka lah,” ujar Damian. Tanpa bergairah Eleanore membuka kotak itu. Rupanya Damian memberikan sebuah clutch berwarna marun yang terlihat elegan. Ele meraba-raba bentuk clutch itu lalu meletakkan kembali pemberian ayahnya ke dalam boks. Ia jelas tak tertarik sama sekali. “Kau suka
Selepas bertemu dengan Reynold, Van bergegas memesan tiket pulang. Ia berpacu dengan waktu. Setelahnya, pria itu langsung ngebut gila-gilaan menuju ke Pusat Komunitas untuk menjemput Ele. Beruntung baginya ia bisa mengandalkan Ghani, sahabatnya yang juga diundang ke Pusat Komunitas, untuk mengulur waktu. Dengan bantuan Ghani, Ele bisa sedikit lebih sibuk sehingga gadis itu baru minta dijemput pada pukul tujuh malam. Sesampainya di rumah, rupanya gadis itu kelelahan. Ele melewatkan makan malam dan memilih tidur lebih awal. Beruntung sekali lagi bagi Van, karena dengan begitu ia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal akibat perjalanan luar pulau yang mendadak ia lakukan dalam satu hari. Ia tidur dengan meminum obat pereda nyeri untuk meredakan rasa sakit akibat pukulan dan tendangan yang dilayangkan Reynold. Di pagi harinya, ia bangun dan menyiapkan segala keperluan Ele untuk ke rumah sakit. Agatha dan Damian yang masih belum pulang ke rumah menjadi salah satu hal baik yang m
Kalimat yang keluar dari bibir Reynold membuat Van terhenyak. Ia kesulitan bernapas dan hanya mematung menatap kosong pada Reynold. Tubuhnya terasa luar biasa lemas. Bahkan saat dirinya dibawa keluar oleh beberapa waiter, dirinya hanya bisa pasrah. Van kehilangan kalimat yang sudah ia rangkai di kepala. Yang ada di kepalanya saat ini praktis tak ada. Ia terlampau terkejut setelah mendengar ucapan Reynold. Setelah mencari-cari alasan mengapa semua orang menyalahkannya atas kondisi Ele, akhirnya ia tahu juga penyebabnya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena Ele yang mengalami kecelakaan akibat mengejar mobilnya sepuluh tahun silam. Kecelakaan yang sama sekali tak ia ketahui. Tak ada satu pun orang yang memberitahu tentang kecelakaan itu. Ia merasa seperti idiot yang tak tahu menahu. “Brengsek Sialan! Kau membuatnya buta!” “Kak—" “Keluar kalian berdua!” Van merasakan tangannya diseret oleh seorang pria bertangan kekar. Tangan itu mencengkeram erat lengan atasnya. Saat ia
“Tora?”Sosok yang tengah duduk di tengah-tengah keramaian itu memanggil sebuah nama yang tentu tak asing di telinganya.Sosok yang selama ini dicari mati-matian oleh gadis yang ia kasihi memanggil nama itu dengan nada yang terlewat tenang. Akan tetapi, nada tenang yang mengalun dari bibir itu menyiratkan sesuatu yang lebih besar. Seolah-olah ia tengah menahan sesuatu yang telah lama ia pendam. Seperti akan ada badai yang datang setelah ketenangan tak menenangkan yang didengar itu menyapa gendang telinga Van.Yang dipanggil Tora lalu mengamati balik orang itu dengan pandangan menelisik. Terima kasih pada sekretarisnya yang telah berusaha keras untuk menemukan Reynold. Berkat kemampuan handal dan koneksi yang tersedia, sekretarisnya berhasil menemukan keberadaan Reynold yang ternyata tinggal di Bali selama pelariannya sepuluh tahun ini.Terima kasih pula pada Yuna yang mendadak mengajak Ele untuk datang ke Pusat Komunitas hari ini. Yuna bilang
Dokter mata…Ingatan Ele berkelana pada kenangan beberapa tahun silam. Kepalanya memutar ulang kenangan di masa sulitnya. Riuhnya suara orang-orang yang berlalu lalang sembari mendorong kursi roda. Bau menyengat khas dari tempat orang berobat. Gumaman-gumaman menyedihkan yang dilontarkan untuknya. Semuanya bagai mimpi buruk untuknya.Ia teringat bahwa hampir semua dokter yang ia temui mengatakan jika indera pengelihatannya tak bisa lagi diperbaiki. Semua jawaban yang ia terima selalu mengecewakan. Tak ada yang mampu membuatnya memupuk asa jika suatu saat ia akan kembali melihat terangnya dunia, birunya langit, atau indahnya warna daun yang gugur di halaman rumahnya.Sejak saat Ele aku menyerah dan menghapus segala kemungkinan yang ia impikan.“Ele?” panggil Van pelan.Ucapan-ucapan menyakitkan yang ia dengar bahkan dari ayahnya sendiri begitu mengusik batinnya. Apa lagi Agatha selalu memperlakukannya bak orang yang sama sekali ta
Sekali lagi, Van kembali meludahkan darah yang menggenang di mulutnya.Setelahnya, ia kembali duduk di dapur di mana Ele tengah menunggunya dengan sekantung es batu yang dibebat dalam kain. Pria itu mengusap hidungnya yang berlumuran darah menggunakan tisu. Tisu itu ia remat dan ia lempar ke atas tumpukan tisu lain yang sedari tadi ia gunakan untuk menghapus darah di wajahnya. Ia memandang ke arah Ele yang dengan lembut memintanya untuk duduk tenang sementara gadis itu berniat mengurangi nyeri perawatnya.Ele menarik sebuah kursi dan duduk di depan Van. Gadis itu dengan perlahan mengulurkan tangannya dan mencari-cari wajah Van. Jemari Ele bergerilya sambil menekan pelan wajah perawatnya itu. Hingga saat Van mengaduh pelan, saat itu lah Ele menemukan bekas hantaman Yuna.“Bagian ini sakit?” tanya Ele pelan.“Tidak,” jawab Van berdusta.Ele lalu menekan bagian yang dimaksud dan mendengar geraman tertahan dari Van.&ldqu
Suara Ele nyaris habis karena tertawa.Gadis itu menyerahkan microphone kepada Kiano alias Ghani yang tengah gila-gilaan menyanyi sambil berjoged bersama Yuna. Setelah mic itu ia serahkan, Ele kemudian menyerah lagi pada tawanya. Ia beringsut secara perlahan menuju ke sofa. Tangannya menyentuh tenggorokannya yang terasa gatal. Ia butuh minum atau tenggorokannya akan sekarat saat ini juga. Total sudah tujuh lagu ia nyanyikan bersama Yuna dan Kiano. Tak heran tenggorokannya sakit dan ia kelelahan sekali.Ele terkikik mendengarkan suara sumbang Yuna yang tengah menyanyikan lagu Good 4 U milik Olivia Rodrigo. Telinganya tak bisa menolerir lagi suara wanita itu. Bagi Ele, suara Yuna benar-benar payah. Ia terdengar sepertiorang yang akan digilas jempolnya dengan container. Sangat cempereng dan mengerikan, namun cukup menghibur baginya karena Yuna tak hanya menyanyi melainkan menari tanpa henti.Di sisi lain, Kiano ternyata memiliki suara yan