Home / Romansa / Beautiful Darkness / Chapter 7: Romansa Asmara

Share

Chapter 7: Romansa Asmara

last update Last Updated: 2021-12-04 23:54:50

Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu

Elevator yang dua insan yang tengah dibalut romansa naiki berhenti pada lantai teratas. Eleanore dan pemuda di sebelahnya berjalan keluar sambil saling melemparkan senyuman. Si pemuda menggandeng tangan Ele dan menuntunnya untuk menaiki beberapa anak tangga. Dengan tangan kirinya yang bebas, pemuda itu membuka sebuah pintu di depan mereka.

Semilir angin dingin menerpa tengkuk Ele. Gadis itu merapatkan jaket milik Si Pemuda yang ia kenakan. Gadis itu melirik sosok di sebelahnya yang menyilangkan kedua tangan di dadanya.

“Berjalanlah duluan,” perintah Si Pemuda. Ia memberikan senyuman yang membuat Ele menerka-nerka hal istimewa apa yang tengah disembunyikan. Ele mengerucutkan bibirnya dan berjalan mendahului Si Pemuda dengan patuh.

Sedetik kemudian Ele tercengang dengan apa yang ia lihat. Dua buah kursi dan sebuah meja berukuran sedang dengan makanan yang tertata rapih sudah tersedia beberapa langkah di depannya. Ia melangkah maju lagi guna memastikan. Dua porsi tenderloin berserta dua potong cheesecake dan sepiring penuh buah-buahan sudah tersaji disana. Tak lupa sebotol wine dan dua buah gelasnya tersedia pula.

Ele menelan ludahnya. Tak hanya hidangan saja yang membuatnya tercengang, namun rooftop itu sendiri juga begitu mengagumkan. Beberapa tanaman hias berjejer mengelilingi lokasi ini. Sebuah air mancur berukuran mini yang dihiasi oleh lampu yang berpendar indah juga berdiri di tengah-tengah rooftop itu.

Ele melihat tembok di sekelilingnya yang juga tak kalah indahnya. Tembok-tembok itu dilukis dengan murel berbagai bentuk dengan dominasi warna hijau. Pilihan warna alam tersebut menambah kesan kesejukan dari tempat ini. Rasanya aneh melihat rooftop yang biasanya berbentuk hanya tempat kosong, diisi dengan berbagai jenis keindahan ini. Rasanya seperti berdiri di taman kota.

Pemuda itu mengambil tangan Ele dan menarik gadis itu untuk duduk di salah satu kursi yang telah disediakan. Ia sendiri duduk di seberang Ele dengan senyumannya yang tak menghilang dari wajah tampannya.

“Kau menyiapkan semua ini?” tanya Ele kagum.

Tora mengangguk kalem. “Aku ingin membuatmu terkesan,” jawabnya.

Ele mati-matian menahan senyumannya agar tidak terlalu lebar.

“Umurmu sudah tujuh belas tahun, ‘kan?” tanya Tora.

Yang ditanyai menjawabnya dengan anggukan singkat. “Aku baru saja ulang tahun bulan lalu.”

Great. Berarti kau legal untuk minum ini,” Tora menuangkan wine ke gelas Ele dan juga menuangkannya ke gelasnya sendiri. Pemuda itu mengangkat gelasnya dan menanti Ele untuk melakukan hal yang sama.

Ele yang mengerti maksud dari Tora pun ikut mengangkat gelasnya. Suara dentingan gelas terdengar tak lama setelahnya. Tora mulai mengiris potongan steak-nya. Dengan garpu di tangan kirinya, ia menyodorkan potongan daging itu ke depan mulut Ele.

“Buka mulutmu, Pumpkin. Aaa …” Ia menggoyang-goyangkan garpu itu di depan Ele. Ele yang diperlakukan manis seperti itu tersenyum geli. Belum lagi panggilan baru yang disematkan padanya.  

“Pumpkin? Aku terdengar seperti Halloween.”

Ia mengacuhkan Ele dan menggoyangkan lagi garpu itu. “Ayo lah buka mulutmu. Kau mau tanganku seperti ini terus?” tanya Tora sembari tertawa.

Ele tertawa canggung dan mendekatkan mulutnya untuk melahap potongan daging steak itu. Tekstur daging khas dalam yang juicy dan cita rasa yang terlampau lezat membuat mata Ele membola. Ele mengunyah dengan penuh semangat, mengabaikan rona di wajahnya.

“Kau benar-benar menggemaskan, Pumpkin,” celetuk Tora. Tangan pemuda itu terjulur dan mengusap pelan pipi Ele yang terkena cipratan saus dari steak.

Wajah Ele kembali memanas. Kedua netra keduanya beradu pandang selama beberapa detik sebelum Ele memalingkan mukanya. Jantungnya bertalu-talu keras. Ia merasa sangat gugup ditatap intens oleh pemuda yang malam ini terlihat jauh lebih tampan dari biasanya.

“Apa kau akan terus memanggilku Pumpkin?” tanya Ele terbata.

Tora tersenyum miring. “Anggap saja itu panggilan sayangku.”

Setelah sesi makan malam romantic yang mendebarkan, Tora mengajak Ele untuk berjalan mendekati tepian rooftop. Mata Ele membelalak melihat kelap kelip kota yang terpampang nyata di hadapannya. Jejeran gedung pencakar langit yang berdiri kokoh dengan gemerlap lampu terlihat begitu menakjubkan dari atas sini. Hilir mudik mobil yang mencoba menembus jalanan terlihat bagaikan miniature di mata Ele. Tora benar. Di sini merupakan spot tertinggi dan terbaik untuk melihat pemandangan kota di malam hari.

“Menakjubkan. Indah sekali ya pemandangan di sini,” gumam Ele.

Tora berdiri di sebelah Si Gadis dengan pandangan yang menatap ke wajah gadis itu. “Memang indah,” balasnya.

Ele melirik Tora dan mendapati pemuda tampan itu tengah menatapnya lagi dan lagi. “Kau benar-benar tahu cara mengesankan orang.” Ele menghadapkan diri padanya. “Sudah berapa banyak gadis yang kau ajak ke sini?” Dengan lancangnya Ele melemparkan pertanyaan itu padanya.

Tora menyunggingkan senyumnya lagi. “Tak satu pun,” jawabnya. “Kau yang pertama.”

Jantung Ele terasa akan copot mendengar jawaban Tora. Ele tak sepenuhnya percaya akan jawaban itu namun entah bualan atau tidak, kata-kata manis yang keluar dari bibir Tora mampu membuatnya tersipu malu. Ia terperangkap dalam jerat buaian Si Tampan.

Pemuda yang berhasil membuat hati gadis muda itu berbunga-bunga mendekati Sang Gadis dan menarik tangannya. Ia membawa tangan lembut Ele tepat pada dadanya. Pemuda itu sedikit gugup sebelum berujar dengan kalimat lugas.

“Jadi lah kekasihku, Pumpkin.”

Ele membulatkan kedua bola matanya kaget.

“Jadi lah milikku. Aku menyukaimu,” ulang Tora.

Si Gadis yang kehilangan kemampuannya untuk bernapas merasa dadanya tiba-tiba sesak. Mulutnya terbuka saat tangan yang berada di dada pemuda itu dikecup pelan. Ele menelan ludah menyaksikan perlakuan lembut pemuda itu.

“Tapi kita baru saling kenal,” ujar Ele gamang. Ia tak ingin menyinggung perasaan Tora.

“Aku tak peduli jika kita baru saling mengenal.” Tora meremas kedua tangan Ele perlahan. “Jadi lah kekasihku, Ele, dan kita bisa lebih mengenal satu sama lain lagi.”

Mungkin otak Ele sudah terganggu. Mungkin kesadaran Ele sedikit menghilang. Mungkin wajah Tora yang sangat dekat dengannya begitu menutupi rasionalitasnya. Dengan segala kemungkinan itu, Ele menganggukkan kepalanya pelan.

Tora terlihat terkejut namun wajahnya begitu bersinar dan ia tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

“Ucapkan lah,” bisik Tora dengan suara sehalus sutera.

Suara itu menghipnotis Ele. Suara serak Tora terasa bagaikan candu baginya. Suara itu membuatnya tanpa sadar menuruti perintah yang diberikan.

“Aku mau jadi kekasihmu.”

Deretan gigi putih Tora terlihat kala senyuman indahnya tercetak lebar di wajah tampannya. Ia terlihat bingung sesaat sebelum menarik Ele kedalam pelukannya. Wajah Ele menubruk dada bidangnya yang terasa hangat. Ele dapat merasakan aroma tubuh Tora yang sangat menenangkan. Tora melingkarkan kedua tangannya di tubuh Ele sementara gadis itu dengan malu-malu meletakkan tangannya di pinggulnya.

Tora menarik tubuh Ele pelan dan terkekeh. “Astaga, Eleanore!” Pemuda itu kehilangan kata-katanya.

Tak lama kemudian Tora menghentikan kekehannya dan memandang Ele intens. Ele yang ditatap dengan pandangan seintim sebenarnya merasa gentar, namun ia berusaha untuk melihat tepat ke arah bola matanya yang berada sedikit lebih tinggi di depannya. Kedua tangan Tora menyentuh lembut pipi kanan dan kiri Ele. Sentuhannya membuat jantung Ele kembali berdentum menggila. Rasanya seperti akan meledak.

Perlahan-lahan Tora mendekatkan wajahnya ke wajah kekasihnya. Saat itu pula Ele yakin bahwa paru-parunya telah berhenti bekerja. Tubuhnya menegang dan kedua kakinya terasa seperti jelly. Hidung Tora kini menyentuh hidungnya. Ele dapat merasakan embusan napasnya yang menggelitik wajahnya. Pemuda yang tengah kasmaran itu mengusap lagi pipi Ele dan memiringkan wajahnya.

Dengan lembut, Tora menyapukan bibirnya di atas bibir Ele. Jantung Ele meledak. Ia rasa kali ini benar-benar meledak. Ele memejamkan kedua matanya dan merasakan kecupan Tora yang menulikan indera pendengarannya, mematikan syarafnya dan membuatnya melupakan segala permasalahan hidup yang ia rasakan.

Tora yang telah menanti-nantikan momen ini pun menikmati setiap detiknya. Ia tak menyangka bahwa bibir Ele akan terasa begitu manis. Lebih manis dari madu dan membuatnya ingin lebih, lagi dan lagi. Pemuda itu menyesap pelan bibir bawah Ele dan menggigitnya. Secara reflek Ele mengalungkan kedua tangannya di leher kekasihnya.

Ciuman Tora terasa begitu hangat. Buaian itu mampu membakar sekujur tubuh Ele dengan adrenalin. Tak lama kemudian, mereka berdua menyudahi kecupan itu. Tubuh Ele bergetar dengan netra yang masih terpejam erat. Tora mengusapkan ibu jarinya di kedua belah bibir Ele yang basah akan saliva.

Usapan itu membuat Ele perlahan-lahan membuka kelopak matanya. Ciuman pertamanya begitu manis. Ele tak akan melupakannya seumur hidupnya.

Kilas Balik Selesai

Related chapters

  • Beautiful Darkness   Chapter 8: Teka Teki Rianti

    “Apa yang kau bawa?” Van menatap kotak yang berada di pangkuan Eleanore. Tak berapa lama setelah Van dan Yuna berbincang-bincang, Eleanore datang dengan membawa sebuah kotak. Kotak yang terbuat dari anyaman bambu itu kini dipegang erat oleh Ele. “Prakaryaku,” jawab Ele singkat. “Biar ku lihat.” Van mengambil kotak itu dari Ele. “Jangan!” cegah Ele namun terlambat karena Van sudah terlanjut membuka tutup kotak itu. Pria itu mengeluarkan sebuah beanie merah yang terbuat dari wol. “Topi!” Van mengatakannya tak percaya. “Kau merajut sebuah topi?” tanya Van. Wajah Eleanore terlihat sedikit masam menderngar pertanyaan itu. “Jangan ikut campur.” Tangan Ele terulur hendak mengambil beanie itu dari tangan Van, namun dengan jahil Van menjauhkan topi itu dari jangkauan Ele. “Ini sangat keren! Kau sangat berbakat, Eleanore,” ucap Van sungguh-sungguh. Pemuda itu mengamati lagi topi rajut itu. Rajuta

    Last Updated : 2021-12-05
  • Beautiful Darkness   Chapter 9: Kincir Angin

    Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu “Eleanore, bangun.” Sebuah tangan menggoyang-goyangkan badan Ele perlahan. Orang itu memanggil nama Ele selama berkali-kali tepat di telinganya. Sementara itu, sosok yang dipanggil memilih menarik selimut untuk menutupi kepala. Tubuhnya menggigil kedinginan kala selimut itu kembali disibak untuk membuatnya bangun. “Bangun, ayo. Kakak sudah membuatkan sarapan untukmu.” Ele mengumpulkan kesadarannya kala menangkap suara itu. Meski nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, Ele seketika terlonjak bangun dan mendapati Reynold sedang tersenyum cerah di tepi kasurnya. Sejak kapan kakaknya ada di rumah? “Kak, kau sudah pulang!” teriak Ele. Sesegera mungkin Ele mengalungkan lengannya ke tubuh kakak satu-satunya itu. Kerinduannya membuncah karena sudah berbulan-bulan ini kakaknya tidak pulang ke rumah. Sang Kakak selalu bepergian ke luar kota bahkan ke luar negeri

    Last Updated : 2021-12-06
  • Beautiful Darkness   Chapter 10: Rayuan Tora

    Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu “Aku mau ke pantai.” Ele memakan potongan bacon dan omelet ke mulutnya secara bersamaan. Mulut penuhnya ia paksakan untuk berbicara sementara Sang Kakak menyodorkan segelas air putih untuknya. “Pelan-pelan, Ele,” tegur Reynold. Di sebuah pagi yang tenang, Eleanore dan Reynold menghabiskan sarapan bersamanya di kamar ibu. Sosok ibundanya terlihat memakan masakan Reynold dengan lahap. Ele melirik ke arah ibunya yang tertawa saat anak sulungnya menegur yang bungsu. Seingat Ele, Sang Ibu jarang sekali terseyum akhir-akhir ini. Nafsu makannya juga turun derastis. Biasanya ibunya hanya makan satu dua sendok. Itu pun dengan paksaan darinya dan perawatnya. Akan tetapi, kali ini ibundanya dengan senang hati makan dengan wajah berbinar. Ini berarti ibunya sangat senang dengan kedatangan Reynold. “Sepertinya dia pemuda yang baik ya?” tanya ibu. Ele tersenyum men

    Last Updated : 2021-12-08
  • Beautiful Darkness   Chapter 11: Pantai

    Eleanore dan tongkatnya berjalan di antara pasir putih pantai yang terhampar luas. Van mengekorinya dari jarak lima meter di belakangnya. Meski khawatir jika salah melangkah, tapi seperti biasa, gadis itu dengan keras kepala menolak bantuan perawatnya. Dari pada ia meledak lagi, Van memilih menuruti saja kemauan Ele dan berjalan di belakangnya sambil mengawasi. Kendati Ele menolak bantuan Van, namun diam-diam ia menuruti perawat tersebut saat Sang Perawat memberikan aba-aba kepadanya. Netra pria itu terpusat gadis yang berjalan tertatih dengan rambut yang tertiup angin laut. Van memandang tubuh kurus Ele yang tertutupi sweater putih oversize. Sweater kebesaran itu membuat tangan Ele menghilang di baliknya. Membuatnya terlihat menggemaskan. Van merasakan dorongan untuk memeluknya dari belakang. “Ele, ada seekor anjing di depanmu,” ujar Van memperingatkan. Kaki Eleanore menabrak tubuh anjing kecil itu. Anjing itu menggonggong dan menji

    Last Updated : 2021-12-09
  • Beautiful Darkness   Chapter 12: Percobaan Mengakhiri Hidup

    “Tora?” Sosok yang dipanggil seketika menolehkan kepalanya ke sumber suara. Tora atau Van terkejut dengan keberadaan sobat karibnya yang tengah berdiri di belakangnya. Mata sipit sahabatnya beradu pandang dengannya yang menatapnya kaget. Sedetik kemudian sahabatnya itu terlonjak dan merangkul pundak Tora dengan tangan kanannya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Van. Ia balas merangkulnya sejenak kemudian melepaskannya. “Aku sedang menginap di penginapan dekat pantai ini. Sudah 3 hari aku di sini. Ada dance battle yang diadakan besok. Kau harus datang dan melihatku membawa pulang pialanya.” Ghani mengatakannya dengan sumringah. “Omong-omong, untuk siapa es krim itu?” Ghani menatap dua buah es krim di masing-masing tangan Van. Van tersenyum simpul membayangkan ekspresi seperti apa yang akan ditunjukkan Ele nanti saat memakan makanan manis ini. Ia harap Ele mau tersenyum lagi setelah ini. “Ini untuk Eleanore,” jawab Van. “Kami sedang

    Last Updated : 2021-12-11
  • Beautiful Darkness   Chapter 13: Nasihat Reynold

    Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Samar-samar Ele merasakan udara dingin menerpa bahu telanjangnya. Kesadaran lambat laut membangunkannya ketika ia merasakan sesuatu yang basah dan hangat menyapu bahu kirinya. Ele mencoba menajamkan fokus, perlahan-lahan membuka kelopak mata dan menyadari apa yang sedang terjadi. Tora mengecup dan pelan bahunya yang sudah tak tertutupi selimut. Ele memandang wajah ngantuk kekasihnya yang saat ini menurutnya terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dari sebelumnya. “Tora,” gumam Ele. Sosok yang dipanggil itu terkekeh di belakang Ele. Tawanya terdengar serak. Menandakan jika dirinya juga baru saja bangun. Sama seperti Ele. “Aku bertanya-tanya...” Kecupan putus-putus yang Tora bubuhkan menjalar dari bahu menuju tulang selangka gadisnya. Pemuda itu perlahan memutar tubuh Ele sehingga menghadapnya. “Berapa lama aku harus mencium kelinci manis ini agar ia mau bangun,” ucap

    Last Updated : 2021-12-12
  • Beautiful Darkness   Chapter 14: Ele yang Porak Poranda

    “Tt… Ttor… Tora…” Sosok yang merasa nadinya nyaris diputus menjadi dua itu menyambar jemari gadis yang tengah terpejam matanya. Ia tidak bohong. Rasanya nyawanya seolah terlepas dari raga kala bibir Eleanore menggumamkan namanya dengan terbata. Ia masih tak menyangka bagaimana bisa namanya lah yang keluar saat gadis itu sedang berada pada alam bawah sadarnya. Dari sekian banyak orang di hidupnya, mengapa Ele memanggilnya? Apakah sedalam itu luka yang ia torehkan sehingga mantan kekasihnya itu tak bisa melupakannya bahkan setelah sepuluh tahun berlalu? Van meremas dan mengusap jemari kurus Ele secara perlahan. Pria itu menatap penuh harap padanya. Berharap Ele lekas membuka matanya secepat mungkin. “Eleanore, bangun lah,” bisiknya tepat di telinga. Ia memandang tubuh Ele yang bergerak gelisah dalam tidurnya. Pria itu kemudin membelai surai hitam pekat milik gadisnya yang berkeringat. Tanpa ragu ia menghapus peluh di dahi Ele. Mengikuti pergerak

    Last Updated : 2021-12-16
  • Beautiful Darkness   Chapter 15: Kekasih Tora

    Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu “Kak, antarkan aku. Aku terlambat!” Ele berbicara dengan Reynold dalam telepon. Semalam Sang Kakak kembali ke kantor tempatnya bekerja karena masih ada sisa pekerjaan yang perlu dibereskan. Sang Kakak memang sering menginap di kantor karena lembur, meninggalkannya dan Sang Ibunda sendirian di rumah. Ayahnya juga sama saja. Ayahnya biasanya hanya pulang tiga hingga lima kali dalam sebulan. Membuat Ele semakin muak padanya. “Iya. Cepat lah! Tora tidak bisa menjemputku.” Ele mendengar ungkapan kekesalan kakaknya karena Tora tak dapat meluangkan waktu untuk menjemput Ele, padahal pemuda itu sudah berjanji sebelumnya. Ele kemudian mendengus mendengar ucapan Reynold dalam sambungan telepon. Sudah seminggu ini kakaknya membujuknya untuk memutuskan hubungannya dengan Tora. Meski menurut Ele saran Sang Kakak sungguh konyol, namun ia mencoba memahami karena mungkin kakaknya ha

    Last Updated : 2021-12-20

Latest chapter

  • Beautiful Darkness   Chapter 50: Pertanyaan Mendadak dari Nick

    “Bilang saja.”Ele mengernyitkan keningnya seiring dengan berhentinya lagu yang diputar Van. Lagu selanjutnya tak kunjung bisa Ele dengar. Mungkin Van sengaja menekan tombol pause karena katanya perawatnya ingin mengatakan sesuatu. Ele menunggu dalam diam, tapi tak ada satu patah kata pun yang terucap dari bibir Van.“Mau bilang apa?” tanya Ele.Van masih tak mau menjawabnya. Pria itu, tanpa sepengetahuan Ele, malah duduk gelisah sambil meracau dalam diam. Van menjambak rambutnya sendiri dan ia mengumpat tanpa suara. Ia dalam kebimbangan luar biasa karena separuh hatinya ingin mengatakan kebenaran, namun separuh lainnya merasa masih belum siap. Tapi sialnya ia sudah terlanjur mengatakan akan memberitahu Ele.“Van? Jangan diam saja!”Ele mulai kesal. Perawatnya seolah berubah menjadi orang gagu karena tak menyahut sedari tadi. Ia mulai memandang curiga ke arah Van.“Apa kau menyembunyikan sesuatu dari

  • Beautiful Darkness   Chapter 49: Teh yang Akan Tumpah

    “Sewaktu aku SMA, ayah memberikan banyak uang pada Kak Rey untuk merintis start up. Ayah tadinya akan memberikan salah satu anak perusahaannya pada Kak Rey namun kakakku menolaknya. Ia bilang jika ia ingin berusaha membangun sendiri perusahaannya tanpa campur tangan ayah. Akan tetapi, ayah tak tega. Ia akhirnya memberikan suntikan dana dan membiarkan Kak Rey menjalankan sendiri usahanya. Ia lalu pernah berkata padaku bahwa perusahaan yang seharusnya diberikan pada Kak Rey, kelak akan diberikan padaku jika aku sudah lulus kuliah. Sekarang perusahaan itu dikelola atas nama Agatha. Wanita itu merampasnya dariku.” “Sejak kapan Agatha menjalankan perusahaan itu?” “Setelah ia menikahi ayahku sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ele. “Semua mimpi burukku terjadi sepuluh tahun yang lalu.” “Apa saja yang terjadi sepuluh tahun yang lalu?” Van mencoba memancing Ele. Kendati ia tahu betul situasi sepuluh tahun silam yang dimaksud Ele, namun ia ingin mendengar sendiri secara langsung dari Ele. “Kau

  • Beautiful Darkness   Chapter 48: Rencana Pertemuan yang Sulit

    Ele dan Van berhasil kembali ke rumah sebelum petang. Satu jam setelahnya, Agatha dan Damian pulang ke rumah setelah menjalani perjalanan bisnis sekaligus liburan di Maldives. Kedua orang tua Ele itu tiba dengan membawa berbagai macam buah tangan baik berupa makanan atau pun barang. Ele yang kala itu tengah menyantap makan malamnya bersama Van buru-buru menghabiskan makanan di piringnya. Ia mencoba menghindari bertemu dengan orang tuanya sebisa mungkin. Sayangnya, ketika di suapan terakhir, Damian dan Agatha datang ke ruang makan untuk menahan Ele. Dengan wajah sumringah, Damian memberikan sebuah kotak yang dihiasi dengan pita berwarna putih di bagian atasnya. Ia meletakkan kotak itu di pangkuan anaknya. “Buka lah,” ujar Damian. Tanpa bergairah Eleanore membuka kotak itu. Rupanya Damian memberikan sebuah clutch berwarna marun yang terlihat elegan. Ele meraba-raba bentuk clutch itu lalu meletakkan kembali pemberian ayahnya ke dalam boks. Ia jelas tak tertarik sama sekali. “Kau suka

  • Beautiful Darkness   Chapter 47: Semesta Berpihak Padanya

    Selepas bertemu dengan Reynold, Van bergegas memesan tiket pulang. Ia berpacu dengan waktu. Setelahnya, pria itu langsung ngebut gila-gilaan menuju ke Pusat Komunitas untuk menjemput Ele. Beruntung baginya ia bisa mengandalkan Ghani, sahabatnya yang juga diundang ke Pusat Komunitas, untuk mengulur waktu. Dengan bantuan Ghani, Ele bisa sedikit lebih sibuk sehingga gadis itu baru minta dijemput pada pukul tujuh malam. Sesampainya di rumah, rupanya gadis itu kelelahan. Ele melewatkan makan malam dan memilih tidur lebih awal. Beruntung sekali lagi bagi Van, karena dengan begitu ia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal akibat perjalanan luar pulau yang mendadak ia lakukan dalam satu hari. Ia tidur dengan meminum obat pereda nyeri untuk meredakan rasa sakit akibat pukulan dan tendangan yang dilayangkan Reynold. Di pagi harinya, ia bangun dan menyiapkan segala keperluan Ele untuk ke rumah sakit. Agatha dan Damian yang masih belum pulang ke rumah menjadi salah satu hal baik yang m

  • Beautiful Darkness   Chapter 46: Perjanjian Reynold dan Agatha

    Kalimat yang keluar dari bibir Reynold membuat Van terhenyak. Ia kesulitan bernapas dan hanya mematung menatap kosong pada Reynold. Tubuhnya terasa luar biasa lemas. Bahkan saat dirinya dibawa keluar oleh beberapa waiter, dirinya hanya bisa pasrah. Van kehilangan kalimat yang sudah ia rangkai di kepala. Yang ada di kepalanya saat ini praktis tak ada. Ia terlampau terkejut setelah mendengar ucapan Reynold. Setelah mencari-cari alasan mengapa semua orang menyalahkannya atas kondisi Ele, akhirnya ia tahu juga penyebabnya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena Ele yang mengalami kecelakaan akibat mengejar mobilnya sepuluh tahun silam. Kecelakaan yang sama sekali tak ia ketahui. Tak ada satu pun orang yang memberitahu tentang kecelakaan itu. Ia merasa seperti idiot yang tak tahu menahu. “Brengsek Sialan! Kau membuatnya buta!” “Kak—" “Keluar kalian berdua!” Van merasakan tangannya diseret oleh seorang pria bertangan kekar. Tangan itu mencengkeram erat lengan atasnya. Saat ia

  • Beautiful Darkness   Chapter 45: Jawaban yang Dicari Selama Ini

    “Tora?”Sosok yang tengah duduk di tengah-tengah keramaian itu memanggil sebuah nama yang tentu tak asing di telinganya.Sosok yang selama ini dicari mati-matian oleh gadis yang ia kasihi memanggil nama itu dengan nada yang terlewat tenang. Akan tetapi, nada tenang yang mengalun dari bibir itu menyiratkan sesuatu yang lebih besar. Seolah-olah ia tengah menahan sesuatu yang telah lama ia pendam. Seperti akan ada badai yang datang setelah ketenangan tak menenangkan yang didengar itu menyapa gendang telinga Van.Yang dipanggil Tora lalu mengamati balik orang itu dengan pandangan menelisik. Terima kasih pada sekretarisnya yang telah berusaha keras untuk menemukan Reynold. Berkat kemampuan handal dan koneksi yang tersedia, sekretarisnya berhasil menemukan keberadaan Reynold yang ternyata tinggal di Bali selama pelariannya sepuluh tahun ini.Terima kasih pula pada Yuna yang mendadak mengajak Ele untuk datang ke Pusat Komunitas hari ini. Yuna bilang

  • Beautiful Darkness   Chapter 44: Harapan Baru untuk Ele

    Dokter mata…Ingatan Ele berkelana pada kenangan beberapa tahun silam. Kepalanya memutar ulang kenangan di masa sulitnya. Riuhnya suara orang-orang yang berlalu lalang sembari mendorong kursi roda. Bau menyengat khas dari tempat orang berobat. Gumaman-gumaman menyedihkan yang dilontarkan untuknya. Semuanya bagai mimpi buruk untuknya.Ia teringat bahwa hampir semua dokter yang ia temui mengatakan jika indera pengelihatannya tak bisa lagi diperbaiki. Semua jawaban yang ia terima selalu mengecewakan. Tak ada yang mampu membuatnya memupuk asa jika suatu saat ia akan kembali melihat terangnya dunia, birunya langit, atau indahnya warna daun yang gugur di halaman rumahnya.Sejak saat Ele aku menyerah dan menghapus segala kemungkinan yang ia impikan.“Ele?” panggil Van pelan.Ucapan-ucapan menyakitkan yang ia dengar bahkan dari ayahnya sendiri begitu mengusik batinnya. Apa lagi Agatha selalu memperlakukannya bak orang yang sama sekali ta

  • Beautiful Darkness   Chapter 43: Antara Ele, Van, dan Rintik Hujan

    Sekali lagi, Van kembali meludahkan darah yang menggenang di mulutnya.Setelahnya, ia kembali duduk di dapur di mana Ele tengah menunggunya dengan sekantung es batu yang dibebat dalam kain. Pria itu mengusap hidungnya yang berlumuran darah menggunakan tisu. Tisu itu ia remat dan ia lempar ke atas tumpukan tisu lain yang sedari tadi ia gunakan untuk menghapus darah di wajahnya. Ia memandang ke arah Ele yang dengan lembut memintanya untuk duduk tenang sementara gadis itu berniat mengurangi nyeri perawatnya.Ele menarik sebuah kursi dan duduk di depan Van. Gadis itu dengan perlahan mengulurkan tangannya dan mencari-cari wajah Van. Jemari Ele bergerilya sambil menekan pelan wajah perawatnya itu. Hingga saat Van mengaduh pelan, saat itu lah Ele menemukan bekas hantaman Yuna.“Bagian ini sakit?” tanya Ele pelan.“Tidak,” jawab Van berdusta.Ele lalu menekan bagian yang dimaksud dan mendengar geraman tertahan dari Van.&ldqu

  • Beautiful Darkness   Chapter 42: Amukan Yuna pada Van

    Suara Ele nyaris habis karena tertawa.Gadis itu menyerahkan microphone kepada Kiano alias Ghani yang tengah gila-gilaan menyanyi sambil berjoged bersama Yuna. Setelah mic itu ia serahkan, Ele kemudian menyerah lagi pada tawanya. Ia beringsut secara perlahan menuju ke sofa. Tangannya menyentuh tenggorokannya yang terasa gatal. Ia butuh minum atau tenggorokannya akan sekarat saat ini juga. Total sudah tujuh lagu ia nyanyikan bersama Yuna dan Kiano. Tak heran tenggorokannya sakit dan ia kelelahan sekali.Ele terkikik mendengarkan suara sumbang Yuna yang tengah menyanyikan lagu Good 4 U milik Olivia Rodrigo. Telinganya tak bisa menolerir lagi suara wanita itu. Bagi Ele, suara Yuna benar-benar payah. Ia terdengar sepertiorang yang akan digilas jempolnya dengan container. Sangat cempereng dan mengerikan, namun cukup menghibur baginya karena Yuna tak hanya menyanyi melainkan menari tanpa henti.Di sisi lain, Kiano ternyata memiliki suara yan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status