Beranda / Romansa / Beautiful Darkness / Chapter 3: Kamera

Share

Chapter 3: Kamera

last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-25 11:58:32

“Selamat pagi, Eleanore.”

Pagi berikutnya dan berhari-hari berikutnya Van datang lagi. Sudah 3 hari ini ia memaksakan diri untuk bekerja. Sudah 3 hari pula Eleanore menolaknya mentah-mentah. Walaupun telah ditolak, pria itu hanya menunggu di depan kamar Ele seharian penuh sebelum akhirnya bibi memintanya untuk pulang. Namun kali ini, rupanya ia berinisiatif untuk berusaha lebih. Pria itu masuk ke kamar Ele tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

Benar-benar orang yang nekat.

Tidak peduli sudah berapa kali Ele melarangnya untuk bekerja di sini, tidak peduli berapa kali Ele melarangnya untuk dekat-dekat dengannya, ia tidak menghiraukannya sekali pun. Van menganggap segala larangan Ele adalah angin lalu yang tidak perlu diperhatikan. Itu sebabnya kali ini Ele menulikan pendengarannya dan mencoba menetralkan gemuruh di dadanya yang sarat akan emosi saat Van memasuki kamarnya seenak jidat.

Eleanore menyesap teh rosela favoritnya sembari duduk menghadap jendela, total abai akan ocehan perawat barunya yang sok akrab.

Woah ... lihat lah kamar ini. Kenapa begitu suram, ya? Kurasa bibi-bibi itu salah memilihkan warna untukmu, bukan? Warna gorden ini terlihat kusam dan tidak sesuai denganmu.” Ia mengoceh sembari membuka lebar gorden yang sengaja Ele buka sedikit. Di detik berikutnya, pria itu membuka lebar kedua jendela kamar Ele. Ele mengernyit merasakan hangatnya cahaya yang menerpa wajahnya.

“Apa-apaan kau ini?” protes Ele.

Van tidak menjawab gerutuan itu dan menyambar cangkir yang sedang Ele pegang. “Di luar cuaca sedang cerah. Kenapa tidak berjalan-jalan sebentar? Aku akan menemanimu keluar kalau kau mau.”

Ele mendengus. Mau itu cuaca cerah atau hujan badai pun tak akan bisa berpengaruh padanya. Toh ia tidak dapat menikmatinya sedikit pun.

“Ayo kita keluar! Katakan, kau mau pergi kemana hari ini? Taman kota? Kebun binatang? Taman bermain?”

Ele berdiri dari tempat duduknya seketika. Van sepertinya kaget dengan sikap Ele, terdengar dari reaksi tertahannya. Ele berpikir jika pria itu benar-benar orang yang tidak tahu malu. Tidak sadar kah ia kalau Ele tak peduli dengan apa pun?

“Keluar. Aku tak ingin pergi kemana-mana,” jawab Ele dengan nada sedingin mungkin. Ele masih mencoba menetralkan amarahnya yang belum sampai di puncak.

“Oh ayo lah, Eleanore. Kau harus keluar dan jalan-jalan sebentar saja.” Van menarik tangan Ele dan Ele langsung menepisnya.

“Berani-beraninya kau!” teriak Ele. Ele mengambil tongkat dan memukuli pria itu dengan asal menggunakan tongkat di tangannya. Pria itu mengaduh beberapa kali sebelum akhirnya mengambil tongkat tersebut.

“Hentikan, oke? Itu sakit.” Van merengek seperti bayi.

“Kembalikan tongkatku!” teriak Ele marah. Ele benar-benar benci jika harus berdiam tanpa memegang tongkat. Benda itu bagaikan nyawa baginya. Ia terlalu bergantung padanya.

Pemuda itu terkekeh sebentar. “Aku akan mengembalikannya asal kau mau keluar barang sebentar saja.”

“Apakah menyenangkan—“  Ele mengumpulkan suaranya. “Apakah menyenangkan mengerjai orang buta sepertiku? Bagimu itu menyenangkan?”

Van terdiam seketika. Di sisi lain, Ele menahan panas yang menerpa kedua matanya yang menyeruak seketika. Ele sangat benci terlihat lemah di depan orang lain, dan jika ketidaksempurnaannya begitu menyenangkan bagi orang lain, maka ...

“Bukan begitu.” Pria itu mengambil tangan kanan Ele. Ele berjengit sedikit kaget sebelum Van meletakan tongkatnya di antara jemarinya. Ele meremas barang itu dan berbalik memunggunginya.

“Aku hanya mencoba menjadi temanmu, Eleanore. Kau butuh seseorang yang bukan hanya menjadi perawatmu saja melainkan juga menjadi teman. Teman berbicara, bermain, melakukan hal yang kau suka, apapun itu. Aku disini untuk membantumu.” Suaranya lirih namun terdengar tegas. Sebutir air mata Eleanore turun begitu saja. Ele mengusapnya kasar menggunakan lengan bajunya.

“Berhenti lah membuatku terlihat lemah.” Ele menggumamkannya.

Van, di sisi lain, mengembuskan napasnya perlahan. Ia harus ekstra sabar ketika menghadapi Ele. “Aku tidak membuatmu terlihat lemah. Aku hanya ingin kau berbicara dengan seseorang.” Van mencoba meraih tangan kiri Ele sebelum Ele menepisnya lagi dan lagi.

Van mengumpat dalam hati. Tak bisa berbohong, ia cukup kesal dengan sikap Ele yang kerap menolak bantuannya. Ia memejamkan matanya sebentar sebelum kembali berujar dengan nada riang yang dibuat-buat.

“Hari ini, aku mendengarnya dari bibi. Katanya teman satu komunitasmu berulang tahun, ‘kan? Mari datang dan membawakannya kado!”

Ele nyaris melupakannya. Hari ini ulang tahun Yuna, salah satu teman dekatnya. Bagaimana Ele bisa lupa?

Jika diingat-ingat lagi, sudah sebulan ini Ele tidak mengunjungi pusat komunitas. Ele merasa terlalu malas untuk bertemu banyak orang. Ia begitu sungkan melontarkan basa-basi bahkan pada teman dekatnya sendiri, namun ia rasa Yuna benar-benar sudah baik kepadanya selama 10 tahun belakangan ini. Bagaimana bisa ia tega tidak datang?

Akan tetapi, menarik lagi kata-kata yang sudah ia lontarkan ...

“Ayo lah, Eleanore. Aku akan menemanimu mencarikan kado untuknya. Bagaimana? Setuju?”

Eleanore menarik napas dan menghitung sampai 3 sebelum membalikkan tubuhnya dengan gerakan sekaku robot.

“Baiklah,” jawab Ele pada akhirnya.

***

Satu jam kemudian Eleanore telah duduk manis di dalam mobil Van. Ele meletakkan benda keramatnya di dashboard dan mengenakan sunglasses kesayangannya. Tangan kanannya meraba-raba hoodie putih yang ia kenakan, takut kalau-kalau ia salah memakainya.

Ia rasa tidak.

Ia memalingkan wajahnya ketika Van masuk dan duduk di kursi kemudi.

“Jadi kado apa yang ingin kau berikan pada temanmu?” tanya Van membuka percakapan. “Coba pikirkan benda kesukaannya.” Ia menyalakan mesin. Dengan perlahan mobil melaju menembus jalanan ibukota.

“Tak perlu diberi tahu. Aku sedang memikirkannya,” jawab Ele ketus. Ele menggerutu sendiri di samping Van.

Pria itu terkekeh. Ele menoleh ke arah Van sambal bertanya-tanya apakah nada bicaranya kurang tajam? Ele heran, bagaimana bisa perawat itu malah tertawa mendengar suaranya yang sama sekali tidak bisa disebut ramah. Sepertinya Ele harus melancarkan aksi lain yang membuat perawatnya tidak betah berlama-lama berada di dekatnya.

“Kata bibi, temanmu itu—“

“Yuna,” koreksi Ele. “Dia punya nama.” Ele tak suka jika ada orang yang tidak memanggil nama orang dengan benar.

“Ah iya. Yuna.” Van melanjutkan “Kata bibi, dia adalah orang yang suka jalan-jalan, ya?”

Ele mendengus pelan. Membayangkan Yuna memiliki hobi jalan-jalan benar-benar terasa konyol menurutnya. Yang Ele tahu, Yuna begitu mencintai kasurnya sebesar ia mencintai nyawanya. Bagaimana bisa hobinya jalan-jalan jika Yuna saja tipikal orang yang malas bergerak.

“Jangan sok tahu,” jawab Ele galak. “Yuna bukan tipe orang yang suka bepergian.” Ele memalingkan wajahnya menghadap lurus ke depan. Gadis itu bisa merasakan mobil perlahan-lahan berhenti. Lampu merah, ia rasa.

“Benarkah? Ah bibi! Kenapa dia salah memberikan informasi, sih,” ujar Van. “Katanya dia suka mengumpulkan foto pemandangan. Bukankah dia suka jalan-jalan?”

“Dia memang suka memoto pemandangan. Tapi jalan-jalan bukanlah hobinya. Dia akan memotret pemandangan saat dia diajak pergi oleh temannya saja. Kalau tidak ada yang mengajaknya pergi, ya dia lebih suka berdiam diri di rumah,” jelas Ele.

“Kalau begitu belikan saja dia kamera!”

Kamera.

Ingatan Ele kembali melayang setelah mendengarkan kata kamera.

Bab terkait

  • Beautiful Darkness   Chapter 4: Gangguan Panik

    Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Klik. Klik. Klik. Eleanore mengecek hasil jepretan di kameranya. Not bad. Sepertinya kemampuannya dalam membidik suatu objek semakin membaik. Ele tersenyum puas melihat gambar kupu-kupu yang ia tangkap. Ele seketika membayangkan jika dalam 10 tahun ke depan ia bisa membuka exhibition-nya sendiri. Exhibition yang dipenuhi kumpulan foto yang sudah ia abadikan semenjak ia mendapatkan kamera kesayangannya dari Sang Ibunda satu tahun yang lalu. Ele berjalan lagi menyusuri halaman depan sekolahnya. Sekarang sudah pukul 18.00 tepat. Sekolah ini hampir sunyi di kala sore hari. Apalagi hari ini hari sabtu. Jam belajar pun usai lebih awal, begitu pula dengan jam belajar Ele. Seharusnya Ele sudah pulang ke rumah. Ia merasa kurang beruntung karena harus bertemu dengan Guru Bahasa Inggris-nya karena beliau memintanya untuk membantu men

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-25
  • Beautiful Darkness   Chapter 5: Pusat Komunitas

    Begitu mereka tiba di Pusat Komunitas, Eleanore bergegas keluar dengan membawa kado Yuna. Ia tidak mengatakan apa pun lagi setelah Van menenangkannya dari panic attack-nya tadi. Van sedikit heran mengapa serangan panik itu masih saja Ele alami. Dahulu, seingat pemuda itu, Ele juga ia mengalaminya saat bersamanya. Kejadiaannya adalah saat pertama kali mereka naik motor bersama. Responnya sama persis seperti tadi; tangan bergetar, keringat dingin mengalir, dan napas tersengal. Kenapa gangguan itu tidak juga kunjung sembuh? Van pikir setelah sekian lama Ele bisa mengatasi rasa paniknya. Ternyata masih belum. Van mengejar Ele masuk ke dalam Pusat Komunitas. Langkah Eleanore begitu ringan. Tanpa perlu diberi arahan, dia sudah bisa memasuki bangunan berwarna putih di depannya. Tepukan tangan dan nyanyian terdengar saat mereka masuk. Terdapat sekitar 20 orang berdiri mengelilingi seorang wanita yang sepertinya berumur awal tiga puluhan yang berdiri

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-25
  • Beautiful Darkness   Chapter 6: Kencan Pertama

    Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Handphone dengan hardcase putih di saku Tora bergetar. Tora menariknya keluar sebelum melihat nama yang tertera di layar kaca ponsel itu. Rupanya Ghani menelponnya. Dengan sekali sentuhan, suara sobat karibnya itu langsung menggema di telinganya. “Tora Van Beurden! Kau gila memang!” teriak Ghani lantang. Tora terpaksa menjauhkan ponselnya dari telinga. Menurut Tora, Ghani lah yang gila karena Si Bantet itu menelpon secara mendadak dengan umpatan yang menggema di telinga. “Bangsat! Bantet gila! Apa-apaan sih kau ini!” Tora balas berteriak. Tora rasa kadang-kadang temannya itu bertingkah menyebalkan, bagaikan gadis remaja yang sedang datang bulan. Ingin rasanya ia memukul kepala Ghani dengan kamus bahasa Jepangnya barang satu-dua kali. Biar dia kapok. Sedetik kemudian Tora mendengar kekehan Ghani di ujung panggilan. “Sorry, Bro. Aku cuma ingin mena

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-03
  • Beautiful Darkness   Chapter 7: Romansa Asmara

    Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Elevator yang dua insan yang tengah dibalut romansa naiki berhenti pada lantai teratas. Eleanore dan pemuda di sebelahnya berjalan keluar sambil saling melemparkan senyuman. Si pemuda menggandeng tangan Ele dan menuntunnya untuk menaiki beberapa anak tangga. Dengan tangan kirinya yang bebas, pemuda itu membuka sebuah pintu di depan mereka. Semilir angin dingin menerpa tengkuk Ele. Gadis itu merapatkan jaket milik Si Pemuda yang ia kenakan. Gadis itu melirik sosok di sebelahnya yang menyilangkan kedua tangan di dadanya. “Berjalanlah duluan,” perintah Si Pemuda. Ia memberikan senyuman yang membuat Ele menerka-nerka hal istimewa apa yang tengah disembunyikan. Ele mengerucutkan bibirnya dan berjalan mendahului Si Pemuda dengan patuh. Sedetik kemudian Ele tercengang dengan apa yang ia lihat. Dua buah kursi dan sebuah meja berukuran sedang dengan makanan yang tertata rapih sudah tersedia beberap

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-04
  • Beautiful Darkness   Chapter 8: Teka Teki Rianti

    “Apa yang kau bawa?” Van menatap kotak yang berada di pangkuan Eleanore. Tak berapa lama setelah Van dan Yuna berbincang-bincang, Eleanore datang dengan membawa sebuah kotak. Kotak yang terbuat dari anyaman bambu itu kini dipegang erat oleh Ele. “Prakaryaku,” jawab Ele singkat. “Biar ku lihat.” Van mengambil kotak itu dari Ele. “Jangan!” cegah Ele namun terlambat karena Van sudah terlanjut membuka tutup kotak itu. Pria itu mengeluarkan sebuah beanie merah yang terbuat dari wol. “Topi!” Van mengatakannya tak percaya. “Kau merajut sebuah topi?” tanya Van. Wajah Eleanore terlihat sedikit masam menderngar pertanyaan itu. “Jangan ikut campur.” Tangan Ele terulur hendak mengambil beanie itu dari tangan Van, namun dengan jahil Van menjauhkan topi itu dari jangkauan Ele. “Ini sangat keren! Kau sangat berbakat, Eleanore,” ucap Van sungguh-sungguh. Pemuda itu mengamati lagi topi rajut itu. Rajuta

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-05
  • Beautiful Darkness   Chapter 9: Kincir Angin

    Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu “Eleanore, bangun.” Sebuah tangan menggoyang-goyangkan badan Ele perlahan. Orang itu memanggil nama Ele selama berkali-kali tepat di telinganya. Sementara itu, sosok yang dipanggil memilih menarik selimut untuk menutupi kepala. Tubuhnya menggigil kedinginan kala selimut itu kembali disibak untuk membuatnya bangun. “Bangun, ayo. Kakak sudah membuatkan sarapan untukmu.” Ele mengumpulkan kesadarannya kala menangkap suara itu. Meski nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, Ele seketika terlonjak bangun dan mendapati Reynold sedang tersenyum cerah di tepi kasurnya. Sejak kapan kakaknya ada di rumah? “Kak, kau sudah pulang!” teriak Ele. Sesegera mungkin Ele mengalungkan lengannya ke tubuh kakak satu-satunya itu. Kerinduannya membuncah karena sudah berbulan-bulan ini kakaknya tidak pulang ke rumah. Sang Kakak selalu bepergian ke luar kota bahkan ke luar negeri

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-06
  • Beautiful Darkness   Chapter 10: Rayuan Tora

    Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu “Aku mau ke pantai.” Ele memakan potongan bacon dan omelet ke mulutnya secara bersamaan. Mulut penuhnya ia paksakan untuk berbicara sementara Sang Kakak menyodorkan segelas air putih untuknya. “Pelan-pelan, Ele,” tegur Reynold. Di sebuah pagi yang tenang, Eleanore dan Reynold menghabiskan sarapan bersamanya di kamar ibu. Sosok ibundanya terlihat memakan masakan Reynold dengan lahap. Ele melirik ke arah ibunya yang tertawa saat anak sulungnya menegur yang bungsu. Seingat Ele, Sang Ibu jarang sekali terseyum akhir-akhir ini. Nafsu makannya juga turun derastis. Biasanya ibunya hanya makan satu dua sendok. Itu pun dengan paksaan darinya dan perawatnya. Akan tetapi, kali ini ibundanya dengan senang hati makan dengan wajah berbinar. Ini berarti ibunya sangat senang dengan kedatangan Reynold. “Sepertinya dia pemuda yang baik ya?” tanya ibu. Ele tersenyum men

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-08
  • Beautiful Darkness   Chapter 11: Pantai

    Eleanore dan tongkatnya berjalan di antara pasir putih pantai yang terhampar luas. Van mengekorinya dari jarak lima meter di belakangnya. Meski khawatir jika salah melangkah, tapi seperti biasa, gadis itu dengan keras kepala menolak bantuan perawatnya. Dari pada ia meledak lagi, Van memilih menuruti saja kemauan Ele dan berjalan di belakangnya sambil mengawasi. Kendati Ele menolak bantuan Van, namun diam-diam ia menuruti perawat tersebut saat Sang Perawat memberikan aba-aba kepadanya. Netra pria itu terpusat gadis yang berjalan tertatih dengan rambut yang tertiup angin laut. Van memandang tubuh kurus Ele yang tertutupi sweater putih oversize. Sweater kebesaran itu membuat tangan Ele menghilang di baliknya. Membuatnya terlihat menggemaskan. Van merasakan dorongan untuk memeluknya dari belakang. “Ele, ada seekor anjing di depanmu,” ujar Van memperingatkan. Kaki Eleanore menabrak tubuh anjing kecil itu. Anjing itu menggonggong dan menji

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-09

Bab terbaru

  • Beautiful Darkness   Chapter 50: Pertanyaan Mendadak dari Nick

    “Bilang saja.”Ele mengernyitkan keningnya seiring dengan berhentinya lagu yang diputar Van. Lagu selanjutnya tak kunjung bisa Ele dengar. Mungkin Van sengaja menekan tombol pause karena katanya perawatnya ingin mengatakan sesuatu. Ele menunggu dalam diam, tapi tak ada satu patah kata pun yang terucap dari bibir Van.“Mau bilang apa?” tanya Ele.Van masih tak mau menjawabnya. Pria itu, tanpa sepengetahuan Ele, malah duduk gelisah sambil meracau dalam diam. Van menjambak rambutnya sendiri dan ia mengumpat tanpa suara. Ia dalam kebimbangan luar biasa karena separuh hatinya ingin mengatakan kebenaran, namun separuh lainnya merasa masih belum siap. Tapi sialnya ia sudah terlanjur mengatakan akan memberitahu Ele.“Van? Jangan diam saja!”Ele mulai kesal. Perawatnya seolah berubah menjadi orang gagu karena tak menyahut sedari tadi. Ia mulai memandang curiga ke arah Van.“Apa kau menyembunyikan sesuatu dari

  • Beautiful Darkness   Chapter 49: Teh yang Akan Tumpah

    “Sewaktu aku SMA, ayah memberikan banyak uang pada Kak Rey untuk merintis start up. Ayah tadinya akan memberikan salah satu anak perusahaannya pada Kak Rey namun kakakku menolaknya. Ia bilang jika ia ingin berusaha membangun sendiri perusahaannya tanpa campur tangan ayah. Akan tetapi, ayah tak tega. Ia akhirnya memberikan suntikan dana dan membiarkan Kak Rey menjalankan sendiri usahanya. Ia lalu pernah berkata padaku bahwa perusahaan yang seharusnya diberikan pada Kak Rey, kelak akan diberikan padaku jika aku sudah lulus kuliah. Sekarang perusahaan itu dikelola atas nama Agatha. Wanita itu merampasnya dariku.” “Sejak kapan Agatha menjalankan perusahaan itu?” “Setelah ia menikahi ayahku sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ele. “Semua mimpi burukku terjadi sepuluh tahun yang lalu.” “Apa saja yang terjadi sepuluh tahun yang lalu?” Van mencoba memancing Ele. Kendati ia tahu betul situasi sepuluh tahun silam yang dimaksud Ele, namun ia ingin mendengar sendiri secara langsung dari Ele. “Kau

  • Beautiful Darkness   Chapter 48: Rencana Pertemuan yang Sulit

    Ele dan Van berhasil kembali ke rumah sebelum petang. Satu jam setelahnya, Agatha dan Damian pulang ke rumah setelah menjalani perjalanan bisnis sekaligus liburan di Maldives. Kedua orang tua Ele itu tiba dengan membawa berbagai macam buah tangan baik berupa makanan atau pun barang. Ele yang kala itu tengah menyantap makan malamnya bersama Van buru-buru menghabiskan makanan di piringnya. Ia mencoba menghindari bertemu dengan orang tuanya sebisa mungkin. Sayangnya, ketika di suapan terakhir, Damian dan Agatha datang ke ruang makan untuk menahan Ele. Dengan wajah sumringah, Damian memberikan sebuah kotak yang dihiasi dengan pita berwarna putih di bagian atasnya. Ia meletakkan kotak itu di pangkuan anaknya. “Buka lah,” ujar Damian. Tanpa bergairah Eleanore membuka kotak itu. Rupanya Damian memberikan sebuah clutch berwarna marun yang terlihat elegan. Ele meraba-raba bentuk clutch itu lalu meletakkan kembali pemberian ayahnya ke dalam boks. Ia jelas tak tertarik sama sekali. “Kau suka

  • Beautiful Darkness   Chapter 47: Semesta Berpihak Padanya

    Selepas bertemu dengan Reynold, Van bergegas memesan tiket pulang. Ia berpacu dengan waktu. Setelahnya, pria itu langsung ngebut gila-gilaan menuju ke Pusat Komunitas untuk menjemput Ele. Beruntung baginya ia bisa mengandalkan Ghani, sahabatnya yang juga diundang ke Pusat Komunitas, untuk mengulur waktu. Dengan bantuan Ghani, Ele bisa sedikit lebih sibuk sehingga gadis itu baru minta dijemput pada pukul tujuh malam. Sesampainya di rumah, rupanya gadis itu kelelahan. Ele melewatkan makan malam dan memilih tidur lebih awal. Beruntung sekali lagi bagi Van, karena dengan begitu ia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal akibat perjalanan luar pulau yang mendadak ia lakukan dalam satu hari. Ia tidur dengan meminum obat pereda nyeri untuk meredakan rasa sakit akibat pukulan dan tendangan yang dilayangkan Reynold. Di pagi harinya, ia bangun dan menyiapkan segala keperluan Ele untuk ke rumah sakit. Agatha dan Damian yang masih belum pulang ke rumah menjadi salah satu hal baik yang m

  • Beautiful Darkness   Chapter 46: Perjanjian Reynold dan Agatha

    Kalimat yang keluar dari bibir Reynold membuat Van terhenyak. Ia kesulitan bernapas dan hanya mematung menatap kosong pada Reynold. Tubuhnya terasa luar biasa lemas. Bahkan saat dirinya dibawa keluar oleh beberapa waiter, dirinya hanya bisa pasrah. Van kehilangan kalimat yang sudah ia rangkai di kepala. Yang ada di kepalanya saat ini praktis tak ada. Ia terlampau terkejut setelah mendengar ucapan Reynold. Setelah mencari-cari alasan mengapa semua orang menyalahkannya atas kondisi Ele, akhirnya ia tahu juga penyebabnya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena Ele yang mengalami kecelakaan akibat mengejar mobilnya sepuluh tahun silam. Kecelakaan yang sama sekali tak ia ketahui. Tak ada satu pun orang yang memberitahu tentang kecelakaan itu. Ia merasa seperti idiot yang tak tahu menahu. “Brengsek Sialan! Kau membuatnya buta!” “Kak—" “Keluar kalian berdua!” Van merasakan tangannya diseret oleh seorang pria bertangan kekar. Tangan itu mencengkeram erat lengan atasnya. Saat ia

  • Beautiful Darkness   Chapter 45: Jawaban yang Dicari Selama Ini

    “Tora?”Sosok yang tengah duduk di tengah-tengah keramaian itu memanggil sebuah nama yang tentu tak asing di telinganya.Sosok yang selama ini dicari mati-matian oleh gadis yang ia kasihi memanggil nama itu dengan nada yang terlewat tenang. Akan tetapi, nada tenang yang mengalun dari bibir itu menyiratkan sesuatu yang lebih besar. Seolah-olah ia tengah menahan sesuatu yang telah lama ia pendam. Seperti akan ada badai yang datang setelah ketenangan tak menenangkan yang didengar itu menyapa gendang telinga Van.Yang dipanggil Tora lalu mengamati balik orang itu dengan pandangan menelisik. Terima kasih pada sekretarisnya yang telah berusaha keras untuk menemukan Reynold. Berkat kemampuan handal dan koneksi yang tersedia, sekretarisnya berhasil menemukan keberadaan Reynold yang ternyata tinggal di Bali selama pelariannya sepuluh tahun ini.Terima kasih pula pada Yuna yang mendadak mengajak Ele untuk datang ke Pusat Komunitas hari ini. Yuna bilang

  • Beautiful Darkness   Chapter 44: Harapan Baru untuk Ele

    Dokter mata…Ingatan Ele berkelana pada kenangan beberapa tahun silam. Kepalanya memutar ulang kenangan di masa sulitnya. Riuhnya suara orang-orang yang berlalu lalang sembari mendorong kursi roda. Bau menyengat khas dari tempat orang berobat. Gumaman-gumaman menyedihkan yang dilontarkan untuknya. Semuanya bagai mimpi buruk untuknya.Ia teringat bahwa hampir semua dokter yang ia temui mengatakan jika indera pengelihatannya tak bisa lagi diperbaiki. Semua jawaban yang ia terima selalu mengecewakan. Tak ada yang mampu membuatnya memupuk asa jika suatu saat ia akan kembali melihat terangnya dunia, birunya langit, atau indahnya warna daun yang gugur di halaman rumahnya.Sejak saat Ele aku menyerah dan menghapus segala kemungkinan yang ia impikan.“Ele?” panggil Van pelan.Ucapan-ucapan menyakitkan yang ia dengar bahkan dari ayahnya sendiri begitu mengusik batinnya. Apa lagi Agatha selalu memperlakukannya bak orang yang sama sekali ta

  • Beautiful Darkness   Chapter 43: Antara Ele, Van, dan Rintik Hujan

    Sekali lagi, Van kembali meludahkan darah yang menggenang di mulutnya.Setelahnya, ia kembali duduk di dapur di mana Ele tengah menunggunya dengan sekantung es batu yang dibebat dalam kain. Pria itu mengusap hidungnya yang berlumuran darah menggunakan tisu. Tisu itu ia remat dan ia lempar ke atas tumpukan tisu lain yang sedari tadi ia gunakan untuk menghapus darah di wajahnya. Ia memandang ke arah Ele yang dengan lembut memintanya untuk duduk tenang sementara gadis itu berniat mengurangi nyeri perawatnya.Ele menarik sebuah kursi dan duduk di depan Van. Gadis itu dengan perlahan mengulurkan tangannya dan mencari-cari wajah Van. Jemari Ele bergerilya sambil menekan pelan wajah perawatnya itu. Hingga saat Van mengaduh pelan, saat itu lah Ele menemukan bekas hantaman Yuna.“Bagian ini sakit?” tanya Ele pelan.“Tidak,” jawab Van berdusta.Ele lalu menekan bagian yang dimaksud dan mendengar geraman tertahan dari Van.&ldqu

  • Beautiful Darkness   Chapter 42: Amukan Yuna pada Van

    Suara Ele nyaris habis karena tertawa.Gadis itu menyerahkan microphone kepada Kiano alias Ghani yang tengah gila-gilaan menyanyi sambil berjoged bersama Yuna. Setelah mic itu ia serahkan, Ele kemudian menyerah lagi pada tawanya. Ia beringsut secara perlahan menuju ke sofa. Tangannya menyentuh tenggorokannya yang terasa gatal. Ia butuh minum atau tenggorokannya akan sekarat saat ini juga. Total sudah tujuh lagu ia nyanyikan bersama Yuna dan Kiano. Tak heran tenggorokannya sakit dan ia kelelahan sekali.Ele terkikik mendengarkan suara sumbang Yuna yang tengah menyanyikan lagu Good 4 U milik Olivia Rodrigo. Telinganya tak bisa menolerir lagi suara wanita itu. Bagi Ele, suara Yuna benar-benar payah. Ia terdengar sepertiorang yang akan digilas jempolnya dengan container. Sangat cempereng dan mengerikan, namun cukup menghibur baginya karena Yuna tak hanya menyanyi melainkan menari tanpa henti.Di sisi lain, Kiano ternyata memiliki suara yan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status