Pagi ini, Aristela sarapan pagi bersama sang ayah, walau berangkat kerjanya agak sedikit lambat di banding hari-hari sebelumnya, tapi itu tidak membuatnya terlambat pula di toko roti karena nanti dia harus ke rumah Tante Cahyani untuk menjemput Adnan, sesuai perjanjian mereka semalam.
"Tumben jam segini baru pergi, biasanya jam enam, kok bisa, Nak?" tanya Adibal, dan pria tersebut sepertinya lupa jika hari ini Aristela ingin ke rumah Tante Cahyani untuk mengantar Adnan.
"Ayah enggak inget kalau Aristela bakalan ke rumahnya Tante Cahyani buat nganterin Adnan?" Setelah memberikan pertanyaan tersebut, Adibal langsung menjitak dahinya dan mengatakan, "Astaga, Papah lupa, Nak."
"Haduh Ayah, makin berumur sih, jadi wajar, he he."
"Eits, makin berumur makin ganteng loh Papahmu ini, Nak. Ngomong-ngomong, mulai sekarang kamu manggil Ayah, pake Papah yah, enggak usah Ayah, agak kuno kedengerennya," balas Adibal dan Aristela hanya menurut dan akan terus mengingat bahwa dia akan memanggil ayahnya dengan sebutan papa mulai detik ini.
"Okey, Pah. Kalau gitu, Aristela berangkat dulu, yah."
Hal yang selalu dilakukan Aristela sebelum berangkat kerja, pastinya mengecup kedua pipi sang ayah, dan Adibal senang akan hal itu.
"Hati-hati, sayang."
"Siap!"
Di sisi lain, di kediaman Cahyani, August geleng-geleng melihat adiknya yang baru saja bangun, padahal sudah jam enam pagi dan nanti, Aristela akan datang ke rumah mereka untuk menjemput adik kebonya yang satu ini.
"Buruan mandi, lo lupa sama Aristela yang bakal jemput lo nanti?"
"Inget, Bang, santai aja ... masih jam enam lewat sepuluh, gue mah mandi cuman lima menitan doang, terus siap-siap."
"Heleh, palingan mandi bebek, jangan lupa mandi junub lo, pasti semalam lagi berbuat dosa karena ngebayangin yang enggak-enggak," balas August dan Adnan melototkan matanya, dari mana sang kakak tahu?
"Jangan ngada-ngada lo, Bang. Dasar fitnah!"
"Ngelak lagi, semalem gue kebetulan pengen minum, terus pintu kamar lo terbuka dikit, nah gue iseng tuh ngintip seperti Aristela ngintipin si Bang Abraham, eh tau-taunya gue liat bocil sangean lagi ngekuda-kudain guling," balas August, tak lupa dengan gelakan tawanya kemudian yang membuat Adnan jadi malu + keringat dingin karena tertangkap basah.
"Ya-yaelah, wajar mah soalnya gue laki, emangnya lo enggak pernah?"
"Pernah lah, tapi gue juga mikir sebelum ngelakuin itu karena ini tuh privasi, kalau sampai ketahuan mah bakalan malu, HA HA HA."
Adnan menggaruk kepalanya yang tidak gatal kemudian mendorong August begitu saja untuk keluar dari kamarnya, tak lupa meninggalkan sebuah kalimat yang berupa, "Awas lo, Bang. Kalau gue dapet, bakalan gue videoin."
"Jangan menghibur diri," balas August dengan senyum yang jahil sebelum dirinya benar-benar keluar dari kamar Adnan.
Di dalam kamar, Adnan merutuki diri yang sangat ceroboh, bukan hanya itu, dia menjadi resah ketika membayangkan August menyeritakan hal ini kepada kakak-kakaknya yang lain, tetapi ... dia masih bersyukur karena August tidak merekamnya.
Selesai mandi, Adnan pun menuju ruang makan, saat dirinya melihat jam dinding, masih ada sepuluh menit sebelum Aristela tiba di rumah.
"Ck, ck, ck, sampai terlambat bangun, padahal Aristela udah nunggu di ruang tamu loh, Nak," ucap Cahyani membuat Adnan terkejut, sementara keempat saudaranya sedikit tidak menyangka jika Aristela sepagi ini datang ke rumah mereka.
"Haduh, kalau gitu Adnan harus cepet-cepet nih makannya," balas Adnan yang panik, dia tidak mau membuat seseorang menunggu lebih lama, karena menunggu adalah hal yang menjengkelkan.
"Eh, Aristela bilang enggak apa-apa kalau Adnannya harus sarapan pagi, dia bisa nungguin kamu, tapi inget, jangan terlalu lama juga makannya."
"Mah, gimana kalau Adnan bawa bekal aja? Nanti Adnan makan pas sampai di sekolah, soalnya ini kan masih jam enam lewat dua puluh," saran Adnan dan akhirnya Cahyani setuju.
Saudara Adnan yang lainnya lebih dahulu selesai makan dan mereka sedang bersantai di ruang tamu sembari meminum teh hangat, apalagi di ruangan tersebut juga ada Aristela yang sedang berkutat dengan ponselnya.
"Lo mau minum teh enggak?" tawar Aderald tiba-tiba, tapi tawaran tersebut ditolak halus oleh Aristela. Mendapat respon itu, Aderald mengedikkan bahu dengan kode, baiklah, tidak apa-apa kalau memang tidak mau.
"Gue heran, lo baru kenalan sama adek gue tapi cepet banget akrabnya, pake jurus apa? Terus ... sampai repot-repot segala mau nganterin dia," tanya Agam tiba-tiba.
Aristela mendapatkan pertanyaan dadakan tersebut, membuatnya harus berpikir sejenak lalu menjawabnya dengan lugas, "Enggak pake jurus apa-apa, karena memang aku sama Adnan sefrekuensi, Kak. Jadi gitulah ... mudah akrab, terus masalah repot mah enggak, soalnya aku juga berangkat kerjanya pagi-pagi, malah seharusnya jam enam sih, tapi enggak apa-apa kalau lebih lambat dari biasanya, karena enggak ngebuat aku terlambat juga, sekarang udah puas?" jawab Aristela dengan lengkap dan panjang lebar, gadis itu berharap bahwa Agam maupun ketiga saudaranya tidak melayangkan pertanyaan yang lain.
"Lo kerja apa emangnya?" tanya Agam lagi.
"Kerja di toko roti sebagai karyawan, kenapa emangnya?" tanya balik Aristela dan Agam hanya berkata 'oh'
"Haish, enggak usah nanya kalau ujung-ujungnya oh segala," sebal Aristela tapi dicueki oleh Agam.
Sementara itu, Abraham tak ingin ketinggalan untuk bertanya, "Umur lo berapa?"
"20 tahun."
"Seumuran Aderald ternyata, lo enggak kuliah?"
"Enggak, mending kerja dulu baru kuliah, lagipula aku capek kalau belajar teori mulu, walau pernah pendidikan setahun buat ngejar sertifikat sih, tapi lumayan karena skill-nya pun berguna banget di bidang perkantoran sama administrasi," jawab Aristela dengan senang hati, walau dia berharap pertanyaan dari mereka segera berakhir.
"Berarti, lo sekarang bisa kuliah karena udah dapet pekerjaan, bener kan?"
"Iya juga sih, cuman gimana yah, Kak. Belum ada niat gitu," jawab Aristela lagi dan langsung dibalas oleh Abraham yang membuatnya jengkel seketika, "Bilang aja lo males, enggak usah pake alasan enggak ada niatan."
"Aduh ... ketus banget sih balasannya, dan jawabannya iyah, aku emang malas kuliah, soalnya udah kerja walau pendidikan itu juga penting banget," dengan nada malas, ditunjukkan Aristela secara terang-terangan saat membalas perkataan Abraham satu per satu.
Sekian lama melihat wajah ketus dari keempat laki-laki itu, akhirnya Aristela mampu menyaksikan senyuman dari pangeran Adibrata yang menghipnotisnya selama beberapa detik, hingga dia refleks berkata, "Kok kalian ganteng banget, sih?"
Secara tidak sadar, keempatnya pun menatap Aristela secara bersamaan dengan tatapan yang begitu lekat, bahkan Aderald sendiri semakin menyunggingkan senyumnya dan menambahkan kalimat yang bernada godaan, "Kenapa baru sadar? Kalau kamu bisa jadi wanita yang patuh sama keempat saudaramu ini, kami akan membuatmu bahagia layaknya ratu."
Aristela merasa terbang sesaat tetapi harus disadarkan oleh Adnan yang tiba-tiba datang dengan wajah yang kesal dan tidak terima atas perkataan abangnya itu.
"Keempat pangeran? Terus gue kalian anggap apa?" tanyanya cemberut.
Kompak keempatnya menjawab, "Pengganggu."
■□●○
Gimana nih chapter 9 ini? Makin seru enggak?
Kalau seru, silakan klik tombol like dan jangan lupa komentarnya juga.
Keempatnya tak dipedulikan oleh Aristela karena gadis tersebut lebih mementingkan Adnan sekarang, buktinya ... Aristela menghampiri Adnan untuk meraih tangan anak tersebut agar dia cepat-cepat bèrsiap untuk sekolah, sebelum waktu termakan lebih banyak hanya karena mendengar kelima saudara membahas hal yang konyol."Kamu udah siap, kan? Kalau gitu ayo, nanti Kakak telat kerja," ucap Aristela dan Adnan menurut."Bang minta duit dong buat jajan," pinta Adnan cengengesan dan Aristela langsung menyicingkan matanya karena perkataan Adnan tak sesuai dengan ucapannya kemarin."Iddih, katanya punya banyak duit buat jajanin Kakak tiap bulan, tapi nyatanya minta-minta," ucap Aristela dengan tawa yang mengiringi."Nih lima rebu, harus irit.""Bjir, pelit banget lu, Bang, masa dikasih lima rebu doang?""Syukur-syukurlah, lo harus hemat karena di luaran sana masih banyak orang yang s
Pita langsung tersentak dengan pertanyaan Aristela yang dirasanya sangat lancang itu, sementara menurut Aristela sendiri, dia takkan peduli jika perasaan Pita akan sakit atau teriris akan kalimat sadisnya, karena dia sudah terlanjur buruk mood-nya, ditambah lagi dengan dua wanita songon yang tambah memanas-manasinya."Kenapa diam? Apa ucapanku bener yah? Kalau memang bener, miris banget demi duit sampai segitunya mempermalukan diri sendiri, bahkan harga dirimu dapat ditukar dengan iphone," lanjut Aristela semakin sinis menatap Pita, Pita ingin membalas wanita itu, akan tetapi ... suasana di toko roti semakin ramai dengan hadirnya para pelanggan yang sedang menyaksikan adu mulut mereka.Aristela yang merasakan situasi makin ramai, segera menghindari mereka yang terus menatapnya dan memilih untuk masuk ke dapur saja agar dapat menenangkan diri sejenak."Pagi-pagi langsung disemprot sama bos, nasib ... nasib," gumam Ariste
Para karyawan yang bekerja di toko roti, tak bisa bertanya apa-apa lagi tentang nasib Asma dan Pita, karena keduanya otomatis diberhentikan atau dipecat oleh Pak Syahrul secara kejam di sana.Bahkan Asma mengeluarkan air matanya sembari memohon-mohon kepada bosnya itu untuk tidak memecatnya. Namun, Pak Syahrul tak mengucapkan apa-apa selain menunjukkan ekspresi wajah yang tidak bersahabat, sementara Pita? Wanita itu sudah pasrah dengan apa keputusan Pak Syahrul, karena perasaannya sekarang ini hanya bisa menanggung penyesalan serta emosi yang besar terhadap si Aristela itu."Untuk apa lagi kalian berada di sini? Cepat keluar dari tokoku, aku tak sudi melihat wajah kalian berdua, cepat angkat kaki!" bentak Pak Syahrul dan keduanya pun langsung pergi dari tempat tersebut dalam keadaan malu nan menunduk."HUU" sorak-sorakan dari para karyawan yang puas atas perginya mereka berdua yang akhirnya membuat karyawan-karyawan di
Saking senangnya Aristela karena dapat membantu Pak Raden bekerja, menimbulkan sesuatu yang akward, di mana gadis tersebut menabrak pria seumurannya yaitu Aderald karena tidak terlalu fokus ke depan."Sial, cokelat panasku!" desis Aderald melihat cokelat panasnya yang terbuang sia-sia karena Aristela yang menabraknya, tak hanya itu, dia pun merasa panas karena percikan air minumannya itu mengenai kaki Aderald."Ma-maafkan aku, aku terlalu gembira sehingga menabrakmu, ngomong-ngomong namamu siapa? Aku lupa." Aristela masih sempat bertanya di situasi tersebut dan Aderald memuta bola matanya malas lalu menatap Aristela dengan lekat + tajam."Namaku Aderald, lain kali hati-hati berjalan, dasar merepotkan, aku akan menuntutmu untuk menggantikan cokelat panasku, calon saudara tiri yang nakal," jawab Aderald dengan tambahan balasan yang agak jahil di akhit kalimatnya karena Aristela merinding begitu saja melihat kedipan mata pria di
Aristela POVSelesai membantu Pak Raden ada kepuasan tersendiri dalam diriku, apalagi melihat bapak tersebut semakin mudah pekerjaannya, apalagi beliau pun sudah agak tua, jadi staminanya sedikit berkurang di banding dia waktu muda.Pak Raden begitu senang menyampaikan rasa terima kasihnya dan aku membalasnya dengan senang pula bahwa aku pun menikmati kerja-kerja tadi, yang entah kenapa sikap Pak Raden tiba-tiba berubah di mana dirinya menunduk sembari tersenyum lalu pergi begitu saja, kemungkinan bapak lagi ada urusan lain jadi agak terburu-buru dilihatnya.Aku mencari keberadaan Aderald karena aku mengingat perkataan pria itu yang terlihat mulai membuka diri dan ini adalah kesempatan bagus untuk memanfaatkan agar aku dapat akrab dengannya."Aderald ke mana, yah? Enggak ketemu-ketemu orangnya, kemungkinan ada di ko-""Kenapa?"Aku terkejut, Aderald menepuk pundakku tiba-tiba dan me
Author POVSudah jam setengah dua lewat dua belas, dan di waktu itulah Adnan baru keluar dari pintu gerbang sekolahnya dan menunggu Aristela, dia pun menuju halte bersama temannya untuk nongkrong di sana."Adnan, tadi kalau enggak salah, gue liat lo lagi ngebonceng cewek cantik, lo dapet dari mana?""Rahasialah, nanti dia dateng lagi buat ngejemput gue, jangan sampai kalian-kalian ngeliat mukanya, kalau sampai, auto jatuh cinta saking cantiknya," jawab Adnan dan teman-temannya ingin menjitak si Adnan."Pelit banget lo, kasih taulah, kalau cocok sama gue, nanti dicomblangin yah," pinta pria yang bernama Garda dan Adnan langsung melarang."Heleh, enggak mau gue! Kalau dia pacaran sama lo, auto dirusakin, lo kan nafsuan tinggi sampai puncak patung mariana, dikit-dikit punya burung langsung baper, apalagi cewek yang gue bonceng tadi beningnya enggak ketulungan, mulus coy," balas Adnan.
Aristela harus berhenti di pertengahan jalan, gadis tersebut merasa lupa sesuatu dan ia terus mencoba untuk mengingatnya kembali, beberapa menit berkutat dengan memori, akhirnya Aristela menemukan jawaban, bahwa dia ketinggalan ponselnya di rumah Adnan, maka dari itu ... Aristela menghela napas karena dia harus putar balik, dia menjadi heran, padahal sebelum pulang, dirinya membahas mengenai papanya yang akan dia hubungi. Namun, namanya juga sifat lupa itu adalah manusiawi, manusia takkan bisa mengelak salah satu sifat wajar tersebut.Aristela pun sampai di rumah megah Tante Cahyani, langkahnya cepat-cepat memasuki rumah tersebut dan menuju suatu tempat di mana dirinya meletakkan ponsel tepat di ruang keluarga dan berada di samping televisi."Adnan!" panggil Aristela memanggil bocah tersebut, Adnan yang asik ganti baju, segera keluar kamar walau dia bertelanjang setengah-hanya bagian bawah saja yang ditutupi-Adnan segera ke pusat suara dan m
"Gila! Aku enggak akan mau, walau kalian mengancam untuk membunuhku, lebih baik aku harus mati," balas Aristela dengan nada yang murka, tetapi perlahan wajah marahnya berubah menjadi sendu dengan air mata yang diiringi isak yang pelan, "bukan ini yang aku mau, Kak, aku selalu mencoba terbuka kepada kalian agar kita bisa menjadi saudara yang akrab, tetapi aku selalu ragu dan takut, jadi ... aku hanya selalu berbicara dengan Adnan sahaja. Bahkan waktu sebelum diriku menjemput Adnan, diriku sempat berbincang bersama Aderald, yang kurasakan waktu itu adalah senang dan sangat bahagia, karena aku yakin, satu per satu akan mulai terbuka pada diriku, akan tetapi ... dengan kejadian yang baru ini, semua kepercayaan diriku untuk mengenal kalian lebih dekat, telah sirna," lanjut Aristela dan tangisnya pun menjadi pecah.Abraham, Agam, dan August, serta Aderald terharu mendengar kejujuran Aristela, tetapi tidak setuju dengan kalimat akhirnya, hingga sang kakak yang
Aristela resmi akan menikah bersama Zahair, para saudaranya jelas mendukung terutama Adnan yang hampir menangis pula ketika melihat sang kakak terharu, di moment itu, August tak henti-hentinya ilfeel dengan sang adik."Lebay amat, lu.""Hadeuh, udah nikah nanti, pasti enggak ada Kak Aristela di sini, yang ada malah keempat orang jomlo yang sering gangguin gue," balas Adnan dan mendapatkan jitakan dari Agam."Kalau ngomong suka bener lo.""Iyalah," sebal Adnan.Abraham sendiri bagaimana? Dia juga ikut bahagia, selama ini banyak yang menyangkanya benar-benar cemburu karena menyukai Aristela, tidak! Setelah Abraham menutup hati, dia tidak tertarik ke lawan jenis pada Aristela, tetapi sudah menyukainya dalam artian adik yang sesungguhnya. Dia hanya cemburu jika Aristela lebih akrab ke saudaranya yang lain di bandingkan dia sendiri, dan kini, sang adiknya itu akan menikah, mendahului para kakak
Orang yang ditunggu-tunggu sudah tiba, Zeline senang sekali karena papahnya sudah datang, anak itu berlari dan menarik tangan sang papah untuk bergabung bersamanya juga bersama Aristela dalam acara makan buah."Mamah boleh kupasin apel ini buat Aristela?" pinta Zeline."Boleh," jawab Aristela, kemudian mengupaskan apel tersebut dengan cutter berukuran kecil, bukan hanya mengupasnya, tetapi juga memotongnya menjadi beberapa bagian, membuat Zeline semakin gembira.Ketika Aristela memberikan buah tersebut kepada Zeline, Zeline menolaknya, membuat dua orang menjadi keheranan."Kenapa Zeline?""Zeline enggak mau makan kalau Mamah enggak nyuapin Papah dulu," jawab Zeline cemberut dan Aristela hanya bisa menuruti permintaan anak kecil ini. Aristela mengambil satu bagian dari apel, kemudian menyuapi Zahair, walau ia sedikit malu karena Zahair terus menatapnya."Nah udah, sekarang
"Astaga Bapak!" Aristela mendorong Syahrul sekuat tenaga, matanya memerah dan sedikit berlinang karena kaget serta kecewa kepada pria itu, bukan hanya matanya, tetapi wajah Aristela pun memerah juga karena terlanjur emosi."Aristela saya ha-""Hanya apa? Memberikan tanda di leher saya? Apakah itu pantas dikatakan sebagai 'hanya?' jangan membuat saya terlihat murahan untuk yang kedua kalinya, Pak!" Aristela menatap tajam Syahrul."Aristela dengarkan aku, a-""Aku tidak peduli lagi, mau Bapak bunuh keluarga saya, saya enggak peduli! Saya sudah capek dengan semuanya dan saya akan memutuskan untuk mengakhiri hidup saya sendiri dan mumpung Bapak ada di sini, jadi Bapak bisa menyaksikannya secara langsung," potong Aristela dan berujar dengan nada yang tidak main-main lagi. Keseriusannya untuk mengakhiri semuanya sudah berada di ujung tanduk, karena dia ingin mengakhir semua masalah dalam hidup, sekalian nyawanya jug
Seminggu telah berlalu, seminggu pula Aristela menanti kepastian dari seorang Zahair dan seminggu juga harus diganggu oleh puluhan nomor asing yang selalu meneleponnya, sudah dapat ditebak bahwa pria yang menelepon adalah si Syahrul itu, dia masih saja mengejar Aristela dan tidak mau berhenti, Aristela heran dengan pria itu dan kali ini dia memutuskan untuk bertemu dengannya agar dapat menegaskan bahwa sudah jengah, kesal, dan marah pada pria pengganggu itu.Di mana Aristela akan bertemu dengannya? Di toko pria itu sendiri sekaligus memberi kejutan padanya di pagi hari pada jam 9.Aristela telah sampai di sana, disambut oleh Asma, Pita, dan teman-temannya yang lain."Maaf teman-teman, aku ada urusan penting dulu sama bos kalian, kalau sudah selesai aku akan bergabung untuk menuntaskan rasa rindu bareng-bareng," ujar Aristela begitu tidak enak hati ketika dia membalas pelukan mereka begitu singkat. Namun, semuanya mengerti karena aura Aristela kali ini berbeda di ba
Seminggu telah berlalu, seminggu pula Aristela menanti kepastian dari seorang Zahair dan seminggu juga harus diganggu oleh puluhan nomor asing yang selalu meneleponnya, sudah dapat ditebak bahwa pria yang menelepon adalah si Syahrul itu, dia masih saja mengejar Aristela dan tidak mau berhenti, Aristela heran dengan pria itu dan kali ini dia memutuskan untuk bertemu dengannya agar dapat menegaskan bahwa sudah jengah, kesal, dan marah pada pria pengganggu itu.Di mana Aristela akan bertemu dengannya? Di toko pria itu sendiri sekaligus memberi kejutan padanya di pagi hari pada jam 9.Aristela telah sampai di sana, disambut oleh Asma, Pita, dan teman-temannya yang lain."Maaf teman-teman, aku ada urusan penting dulu sama bos kalian, kalau sudah selesai aku akan bergabung untuk menuntaskan rasa rindu bareng-bareng," ujar Aristela begitu tidak enak hati ketika dia membalas pelukan mereka begitu singkat. Namun, semuanya mengerti karena aura Aristela kali ini berbeda di ba
Aristela telah pulang, dirinya mencari di mana keberadaan Adnan tetapi dia tidak menemukan pria itu, hanya ada Agam dan Abraham saja di rumah, dirinya pun menghampiri kakak tertua dan menanyakan keberadaan bocah itu."Kak Abraham, Adnan ke mana, yah?" tanyanya."Di rumah kamu, dia bermalam di sana sama Aderald dan August, juga mamah sama papah," jawab Abraham."Yah ... padahal mau kuajak nonton bareng malam ini," kecewa Aristela kemudian meninggalkan Abraham."Nonton bareng? Kenapa tidak mengajak kami berdua saja?" sahut Abraham tiba-tiba, mendengar kalimat itu membuat Aristela sedikit meragu, tidak biasanya sang kakak ingin menemaninya menonton film horor bersama, biasanya hanya August, Aderald, dan Adnan saja."Eum, boleh," jawab Aristela, bibirnya pun tersenyum gembira dan segera menyalakan televisi dan memutar flm yang telah ia download di telegram melalui smart tv agar ponselnya bisa terhu
Aristela kembali ke kamar untuk melanjutkan masa bermainnya bersama Zeline, tidak lama kemudian, Zahair pun ikut masuk untuk sekadar menanyakan, siapa pria yang menelepon gadis tersebut."Aristela, mohon maaf, bukannya saya menguping atau ingin tahu tadinya, hanya saja kebetulan saya mendengar percakapan kamu bersama seorang pria yang terdengar sedikit berdebat, kalau boleh tahu, siapa dia?" tanya Zahair.Sebenarnya, Aristela ogah membahas Syahrul, tetapi karena si duren yang bertanya, dia pun rela menjawabnya dengan pasrah. "Dia pria yang paling Aristela benci, Om. Karena dia, semuanya hancur, dan aku enggak mau membahas pria itu lagi, maafkan aku, Om." Sepertinya Aristela memang tidak bisa menjawabnya, walau sebelumnya dia ingin, tapi entah kenapa dia refleks menjawab seperti itu."Maafkan saya yang terlalu ingin tahu," balas Zahair. Zahair tentu ingin tahu siapa nama pria itu, hanya itu saja jika memang Aristela tidak ingin melebihkannya, karena dia sedikit tida
Happy Reading.Aristela membuat sebuah status di snap wa-nya dengan foto punggung Zahair yang menjauh lalu fotonya bersama Zeline."Aristela, itu anaknya si om-om ganteng itu, yah?" tanya teman Aristela menunjuk Zeline."Halo, Tante," sapa Zeline, memanggil teman Aristela yang seumuran dengan Aristela sendiri.Aristela mengangguk dan tertawa ketika mendengar panggilan tante untuk Cica yang merupakan salah satu karyawan tetap di toko bunga."Jangan Tante dong, panggil Kakak yah, Kakak masih muda, namanya siapa nih Adik cantik?" tanya Cica kemudian menyubit pipi Aristela dengan pelan."Zeline Kakak," jawab Zeline dan Cica tersenyum gemas dan ingin sekali membawa Zeline pulang ke rumahnya bersama ayah anak ini. Namun, Cica mengurungkan niatnya karena pasti si om-om itu jatuh hati pada Aristela, lalu dia? Sebelum jatuh hati, pria tampan itu akan mun
"Adnan, semongko ulangannya, yah!" teriak Aristela sebelum Adnan berangkat ke sekolah."Siap, Kak!" balas Adnan yang berada di mobil sembari melambaikan tangan seiring mobil mulai berjalan.Aristela pun siap ke bagasi untuk mengeluarkan motornya, dibantu oleh Agam yang juga ingin mengeluarkan kendaraan yang sama karena hari ini dia malas bermobil untuk berangkat kerja."Makasih Kak Agam gantengku.""Helleh, baru ngakuin kalau Abang memang ganteng, padahal dari dulu udah maksimal ganteng gue," balas Agam dan Aristela mengembuskan napasnya dan membalas pula perkataan kakaknya yang mulai narsis, "Mulai lagi, pasti tertular Adnan, bener, kan?""Enak aja, malah Adnan yang ngikutin gue, cuman gue enggak seaktif dia kalau ngomong, seperlunya aja mah, tapi enggak dingin kek Bang Abraham," jawab Agam dan nama yang disebut pun berbalik menatap mereka, Aristela tersenyum ketika tatapan mereka bertemu.