Tiara masih memikirkan perkataan Keysa beberapa hari yang lalu, dia menggeleng dengan pasti, tidak mungkin jika video itu palsu atau hasil rekayasa hanya untuk diperlihatkan padanya, apa untungnya juga untuk fariz?
Tiara kembali menatap Video yang telah dia sambungkan ke ponselnya, hatinya luar biasa sakit tapi dia terus bertahan, melihat apa ada keanehan di sana, meski dia bukan ahli IT yang bisa mendeteksi video manpulasi seperti itu.“Sekarang video di medsos lucu-lucu ya, hebat sekali kalau ini memang nyata.”“Ibu kayak nggak tahu saja jaman sekarang semua serba editan, lihat saja yang wajahnya buluk di medsos bisa seperti artis korea.”“Benar juga ya bu, sekarang apa-apa jadi lebih mudah, jadi untuk menipu orang juag lebih mudah.”Tiara tersenyum mendengar pembicaraan kedua rekannya yang sedang sibuk memperhatikan ponsel dan menonton video entah apa.“Saya juga sebenarnya pengen bikin konte"Apa ada yang menganggu bu Tiara?" tanya Ilham dengan pandangan yang masih fokus pada kemudi. Sedangkan Tiara yang masih tenggelam dalam pemikirannya tersentak kaget karena pertanyaan itu, buru-buru Tiara menormalkan ekspresi wajahnya. "Tidak ada, Pak, saya hanya tidak enak hati saja merepotkan pak Ilham," kata Tiara canggung, ini bukan pertama kalinya dia naik mobil yang sama bersama Ilham, akan tetapi biasanya ada orang lain bersama mereka. "Ibu tidak perlu merasa begitu saya juga mau ke sekolah, dan saya rasa tujuan ibu juga ke sana." "Sebenarnya jam mengajar saya sudah habis," kata Tiara yang memang kenyataannya begitu, dia kembali ke sekolah bukan untuk mengajar tapi menjemput anaknya. "Oh iya, maksud saya untuk menjemput Arkan." Tiara langsung menaikkan alisnya, dia tidak menyangka atasannya yang baru beberapa bulan bekerja bersamanya sudah tahu kebiasaannya. "Saya bisa naik taksi seperti berangkat tadi," ucap Tiara yang kentara sekali ingin menghindar dari Ilham, dan dia
"Ibu kenapa?" tanya Arkan yang menatapnya seperti sang ibu berubah menjadi alien. Bagiamana tidak Tiara meminta anak itu berjalan dengan cepat, bahkan tangannya menarik tangan Arkan untuk mempercepat langkah mereka. Tiara langsung menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan tingkah lakunya sendiri, kenapa juga dia seperti orang yang sedang ketahuan mencuri seperti ini, dia bahkan tidak mengambil apapun. Akan tetapi saat mengingat ucapan Ilham tadi dia merasa sedikit merinding. "Jika ibu bercerai dengan suami dan butuh pindah ke kota lain, saya akan membantu, ibu tahu bukan kalau yayasan kita baru saja membangun sekolah baru di Malang dan Yogya, dengan kwalifikasi ibu akan sangat menguntungkan di sana, soal tempat tinggal ibu tidak perlu khawatir saya punya aparteman di sana, yang bisa ibu tempati.""Tapi kalau ibu memutuskan tetap di sini, saya bisa membantu ibu menyingkirkan wanita yang menjadi saingan ibu itu."
Tiara bukannya tak menyadari pandangan penuh rasa bersalah sang suami tertuju padanya, banyak pertanyaan yang bercokol dalam benaknya, tapi dia tidak akan menanyakan apapun pada sang suami. Di sini suaminya yang berkhianat, dan Tiara tidak sudi untuk repot-repot meminta penjelasan padanya. Tindakan suaminya sudah melewati batas dengan mengajak wanita itu ke rumah yang mereka tempati, saat Tiara tak ada di rumah. “Jadi kamu masih ingin bekerja di sini? Yakin kukumu yang dicat sempurna itu bisa digunakan untuk menceboki anak ini?” Tiara bertanya dengan tenang, senyum tak lepas dari bibirnya. Wanita ini sangat licik, dan kejam. Marah dengan membabi buta bukan gayanya sama sekali. Wanita ini masih secantik yang dia lihat pertama kali, dandanan yang terkesan mahal dan berkelas, Tiara tak ragu kalau wanita ini berjalan bersamanya akan seperti pembantu dan majikan memang, Tiara pembantunya dan Karin yang majikan. Dan Tiara juga berani menjamin akan b
Tiara selalu berpikir kalau pernikahan tidak harus tahu apapun yang dilakukan pasangannya di luar sana, cukup kita saling jujur dan percaya saja, semua akan baik-baik saja. Akan tetapi jika kejujuran itu begitu menyakitkan pantaskan kepercayaan itu diberikan sekali lagi. Karin berderap pergi beberapa saat yang lalu, setelah Farhan memintanya, sedangkan Tiara duduk menyaksikan semuanya sambil meminum air mineral yang kebetulan ada di rak kecil samping ruang tamu, ternyata bertengkar dengan wanita itu menguras banyak energi, dia haus juga lapar. “Kamu nggak sopan banget mas, mengajak orang mampir tapi tidak dijamu dengan baik,” katanya tenang saat Farhan telah menutup pintu ruang tamu. “Aku tidak mengajaknya,” kata Farhan dengan pasrah. “Ooo dia yang ikut kemari dan mas tidak bisa menolak? Iya sih siapa juga yang bisa menolak wanita secantik itu dan sudah sangat berjasa padamu,” kata Tiara masih dengan tenang, ketenangan yang membuat F
“Yah, apa spongebob itu tidak punya ayah?” tanya Araz yang sedang duduk di lantai berbulu di depan televisi bersama dengan sang ayah sedangkan Alena sudah tidur setelah menangis tadi dan Arkan yang memang kutu buku lebih memilih di kamarnya membaca buku. Tiara menghentikan langkahnya, membiarkan ayah dan anak itu untuk lebih dekat. Dengan terbata-bata farhan menjelaskan pada putranya soal kartun itu. “Ehm... itu hanya kartun, bukan kisah nyata, jika di dunia nyata harus punya ayah dan ibu.” “Jadi temanku juga harusnya punya ayah dan ibu?” tanya Anak itu yang sudah bangkit dari dudukya dan menatap ayahnya dengan mata berbinar. “Iya,” jawab farhan singkat meski Tiara yakin laki-laki itu juga tidak tahu kenapa Araz tiba-tiba membicarakan temannya. Araz diam tak lagi menimpali ucapan ayahnya, dia hanya fokus menonton film kesukaannya itu, tapi pertanyaan yang anak itu berikan berikutnya membuat Tiara ikut tertegun. “Temanku ingin sekal
“Karin menghubungiku, dia akan mengadakan pesta ulang tahun untuk Alena di sebuah cafe.” Senyum yang tadi tersungging di bibir Tiara saat melihat anak-anaknya yang masuk ke kamar mereka dengan berceloteh gembira membicaran liburan bersama mereka yang sangat langka langsung surut. “Lalu?” Farhan menghela sang istri untuk duduk di sofa. Hari memang masih sore saat mereka duduk bersama dengan penuh gembira tadi, tapi kini angin sore yang berembus lembut nyatanya lebih dingin dari pada salju yang menusuk tulang belulangnya. “Tolong ijinkan.”Farhan menatap wajah Tiara dengan penuh harap, membuat Tiara yang dari tadi dibungkam kebekuan langsung meledak dalam... tawa. Yah wanita itu langsung tertawa, tawa keras yang sarat akan kesedihan dan sakit hati. Inikah laki-laki yang katanya mencintainya? Yang katanya tak pernah menganggap wanita itu sebagai istri sepenuhnya tapi rela memohon untuk wanita itu. “Hanya kali ini, aku
“Tolonglah Alena menangis terus.” Tiara yang akan menerima suapan makanan dari suaminya mengatupkan bibirnya lagi, Alena terlihat merengek dalam gendongan wanita yang katanya ibu kandungnya itu. Farhan yang dari tadi sibuk dengan makanan di piring mereka, langsung menoleh dan menyerahkan piring pada Tiara sebelum mengambil anak itu dari tangan Karin. Saat akan makan tadi Karin memang meminta Farhan dan Alena untuk ikut dengannya untuk diperkenalkan pada teman-temannya, akan tetapi Farhan yang tahu kalau itu akan membuat bencana dalam hidupnya langsung menolak dengan alasan sedang makan bersama Tiara, jadilah wanita itu hanya membawa Alena saja. Bahkan Farhan harus pura-pura budeg saat Tiara bertanya, “Apa dia ingin mengumumkan kalau kalian bertiga adalah keluarga?” Tiara yang memang tidak mengharap jawaban dari sang suami hanya mengangkat bahu dan menerima kembali suapan makanan dari tangan suaminya. Terlihat seperti pasang
Tiara hanya berdiri diam di sana, sedikit lega dengan dukungan dari semua orang. Dia juga sebenarnya tak ingin berbuat seperti ini, bagaimanapun dia juga seorang ibu, terlepas dari bagaimana cara Alena lahir, tetap saja Karin ibu kandungnya yang mungkin saja merasakan rindu pada anak yang selama sembilan bulan ada dalam rahimnya. Yang tidak Tiara duga adalah wanita itu yang secara terang-terangan memprovokasinya dan bersikap seolah dialah korban dari semua ini. Wanita itu sekarang berdiri dengan pias di sana, bahkan Fariz yang dia cintai sama sekali tak menoleh padanya, laki-laki itu malah sengaja menjauh dari Karin dan berbicara dengan salah seorang undangan, sedangkah Farhan hanya menunduk khidmat sambil mendengar ceramah ibu dan budenya yang tentu saja tidak dikatakan dengan lirih. Mereka sama sekali tak peduli dengan Karin. Para tamu undangan yang tadi menyambut antusias undangan ini saat datang, sekarang menatap Karin dengan pandangan menghakimi. Sungguh Kasihan memang, tapi