"Ibu kenapa?" tanya Arkan yang menatapnya seperti sang ibu berubah menjadi alien.
Bagiamana tidak Tiara meminta anak itu berjalan dengan cepat, bahkan tangannya menarik tangan Arkan untuk mempercepat langkah mereka.Tiara langsung menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan tingkah lakunya sendiri, kenapa juga dia seperti orang yang sedang ketahuan mencuri seperti ini, dia bahkan tidak mengambil apapun.Akan tetapi saat mengingat ucapan Ilham tadi dia merasa sedikit merinding. "Jika ibu bercerai dengan suami dan butuh pindah ke kota lain, saya akan membantu, ibu tahu bukan kalau yayasan kita baru saja membangun sekolah baru di Malang dan Yogya, dengan kwalifikasi ibu akan sangat menguntungkan di sana, soal tempat tinggal ibu tidak perlu khawatir saya punya aparteman di sana, yang bisa ibu tempati.""Tapi kalau ibu memutuskan tetap di sini, saya bisa membantu ibu menyingkirkan wanita yang menjadi saingan ibu itu."Tiara bukannya tak menyadari pandangan penuh rasa bersalah sang suami tertuju padanya, banyak pertanyaan yang bercokol dalam benaknya, tapi dia tidak akan menanyakan apapun pada sang suami. Di sini suaminya yang berkhianat, dan Tiara tidak sudi untuk repot-repot meminta penjelasan padanya. Tindakan suaminya sudah melewati batas dengan mengajak wanita itu ke rumah yang mereka tempati, saat Tiara tak ada di rumah. “Jadi kamu masih ingin bekerja di sini? Yakin kukumu yang dicat sempurna itu bisa digunakan untuk menceboki anak ini?” Tiara bertanya dengan tenang, senyum tak lepas dari bibirnya. Wanita ini sangat licik, dan kejam. Marah dengan membabi buta bukan gayanya sama sekali. Wanita ini masih secantik yang dia lihat pertama kali, dandanan yang terkesan mahal dan berkelas, Tiara tak ragu kalau wanita ini berjalan bersamanya akan seperti pembantu dan majikan memang, Tiara pembantunya dan Karin yang majikan. Dan Tiara juga berani menjamin akan b
Tiara selalu berpikir kalau pernikahan tidak harus tahu apapun yang dilakukan pasangannya di luar sana, cukup kita saling jujur dan percaya saja, semua akan baik-baik saja. Akan tetapi jika kejujuran itu begitu menyakitkan pantaskan kepercayaan itu diberikan sekali lagi. Karin berderap pergi beberapa saat yang lalu, setelah Farhan memintanya, sedangkan Tiara duduk menyaksikan semuanya sambil meminum air mineral yang kebetulan ada di rak kecil samping ruang tamu, ternyata bertengkar dengan wanita itu menguras banyak energi, dia haus juga lapar. “Kamu nggak sopan banget mas, mengajak orang mampir tapi tidak dijamu dengan baik,” katanya tenang saat Farhan telah menutup pintu ruang tamu. “Aku tidak mengajaknya,” kata Farhan dengan pasrah. “Ooo dia yang ikut kemari dan mas tidak bisa menolak? Iya sih siapa juga yang bisa menolak wanita secantik itu dan sudah sangat berjasa padamu,” kata Tiara masih dengan tenang, ketenangan yang membuat F
“Yah, apa spongebob itu tidak punya ayah?” tanya Araz yang sedang duduk di lantai berbulu di depan televisi bersama dengan sang ayah sedangkan Alena sudah tidur setelah menangis tadi dan Arkan yang memang kutu buku lebih memilih di kamarnya membaca buku. Tiara menghentikan langkahnya, membiarkan ayah dan anak itu untuk lebih dekat. Dengan terbata-bata farhan menjelaskan pada putranya soal kartun itu. “Ehm... itu hanya kartun, bukan kisah nyata, jika di dunia nyata harus punya ayah dan ibu.” “Jadi temanku juga harusnya punya ayah dan ibu?” tanya Anak itu yang sudah bangkit dari dudukya dan menatap ayahnya dengan mata berbinar. “Iya,” jawab farhan singkat meski Tiara yakin laki-laki itu juga tidak tahu kenapa Araz tiba-tiba membicarakan temannya. Araz diam tak lagi menimpali ucapan ayahnya, dia hanya fokus menonton film kesukaannya itu, tapi pertanyaan yang anak itu berikan berikutnya membuat Tiara ikut tertegun. “Temanku ingin sekal
“Karin menghubungiku, dia akan mengadakan pesta ulang tahun untuk Alena di sebuah cafe.” Senyum yang tadi tersungging di bibir Tiara saat melihat anak-anaknya yang masuk ke kamar mereka dengan berceloteh gembira membicaran liburan bersama mereka yang sangat langka langsung surut. “Lalu?” Farhan menghela sang istri untuk duduk di sofa. Hari memang masih sore saat mereka duduk bersama dengan penuh gembira tadi, tapi kini angin sore yang berembus lembut nyatanya lebih dingin dari pada salju yang menusuk tulang belulangnya. “Tolong ijinkan.”Farhan menatap wajah Tiara dengan penuh harap, membuat Tiara yang dari tadi dibungkam kebekuan langsung meledak dalam... tawa. Yah wanita itu langsung tertawa, tawa keras yang sarat akan kesedihan dan sakit hati. Inikah laki-laki yang katanya mencintainya? Yang katanya tak pernah menganggap wanita itu sebagai istri sepenuhnya tapi rela memohon untuk wanita itu. “Hanya kali ini, aku
“Tolonglah Alena menangis terus.” Tiara yang akan menerima suapan makanan dari suaminya mengatupkan bibirnya lagi, Alena terlihat merengek dalam gendongan wanita yang katanya ibu kandungnya itu. Farhan yang dari tadi sibuk dengan makanan di piring mereka, langsung menoleh dan menyerahkan piring pada Tiara sebelum mengambil anak itu dari tangan Karin. Saat akan makan tadi Karin memang meminta Farhan dan Alena untuk ikut dengannya untuk diperkenalkan pada teman-temannya, akan tetapi Farhan yang tahu kalau itu akan membuat bencana dalam hidupnya langsung menolak dengan alasan sedang makan bersama Tiara, jadilah wanita itu hanya membawa Alena saja. Bahkan Farhan harus pura-pura budeg saat Tiara bertanya, “Apa dia ingin mengumumkan kalau kalian bertiga adalah keluarga?” Tiara yang memang tidak mengharap jawaban dari sang suami hanya mengangkat bahu dan menerima kembali suapan makanan dari tangan suaminya. Terlihat seperti pasang
Tiara hanya berdiri diam di sana, sedikit lega dengan dukungan dari semua orang. Dia juga sebenarnya tak ingin berbuat seperti ini, bagaimanapun dia juga seorang ibu, terlepas dari bagaimana cara Alena lahir, tetap saja Karin ibu kandungnya yang mungkin saja merasakan rindu pada anak yang selama sembilan bulan ada dalam rahimnya. Yang tidak Tiara duga adalah wanita itu yang secara terang-terangan memprovokasinya dan bersikap seolah dialah korban dari semua ini. Wanita itu sekarang berdiri dengan pias di sana, bahkan Fariz yang dia cintai sama sekali tak menoleh padanya, laki-laki itu malah sengaja menjauh dari Karin dan berbicara dengan salah seorang undangan, sedangkah Farhan hanya menunduk khidmat sambil mendengar ceramah ibu dan budenya yang tentu saja tidak dikatakan dengan lirih. Mereka sama sekali tak peduli dengan Karin. Para tamu undangan yang tadi menyambut antusias undangan ini saat datang, sekarang menatap Karin dengan pandangan menghakimi. Sungguh Kasihan memang, tapi
Tiara menutup matanya dalam keheningan, berpikir andai saat ini bukan dirinya yang ada di samping Farhan, tapi wanita lain yang akan menemani sang suami sebagai istri. sanggupkah ia? Tiara tidak bisa menutup mata, rasa cinta pada sang suami itu masih sangat besar, meski dia juga tidak yakin sang suami menyimpan rasa cinta sebesar dirinya, bukatinya Farhan tidak pernah puas dengan hanya bersamanya dan anak-anak yang dia lahirkan,obsesinya membuatnya gelap mata dan melakukan hal yang melukainya. Itu suatu kenyataan yang tidak bisa dia hindari. Tiara bukannya tak berusaha untuk hamil lagi setelah kelahiran Araz. Apapaun yang disarankan dokter telah dia lakukan, berbagai makanan dan minuman, hingga apa yang harus mereka lakukan saat berhubungan sudah mereka lakukan, tapi ternyata Tuhan berkehendak lain, Farhan memang akhirnya memiliki anak perempuan dari wanita lain yang dia nikahi. Tiara tak tahu apa yang lebih membuatnya kecewa, Farhan mempunyai anak dengan wanita lain, atau Farhan y
Tiara menghembuskan napas panjang dan menatap sang suami dengan tajam, dia bisa melihat Farhan yang menatapnya dalam kebingungan dan juga... amarah. “Apa maksudmu?” tanyanya bingung. Tiara menarik napas dengan berat. “Mas tahu bukan kalau dia anak orang kaya yang memiliki yayasan tempatku mengajar, juga beberapa kampus dan bimbingan belajar, aku tidak tahu pasti berapa jumlah kekayaannya, tapi dengan aset sebesar itu, bisa disimpulkan dia bukan orang selevel kita.” Farhan terdiam, masih menunggu apa yang akan dikatakan sang istri lagi, wajah marahnya sekarang sudah berganti wajah bingung yang membuat Tiara gemas ingin mencubitnya. “Dengan latar belakang sebagus itu dan juga wajah setampan itu, apa mas pikir dia akan mau dengan wanita beranak dua sepertiku, kalaupun mau keluarganya juga pasti pilih-pilih untuk orang yang akan masuk dalam circle keluarga mereka, yang ujung-ujungnya aku akan jadi simpanan... ogah banget kalau
“Sebaiknya kita pulang, Mbak ini sudah sore kasihan anak-anak.” Tiara langsung mendongak mendengar suara Fariz, dia menatap mata kelam pemuda itu, meski ditutupi dengan baik ada sebersit rasa duka yang dia temukan di sana. Dipalingkannya pandangan pada Farhan yang masih memeluk batu nisan itu, sesekali terdengar sedu sedannya yang mendalam, lalu terakhir pandangannya jatuh pada gundukan merah yang bertabur bunga. Gadis kecil manja yang selalu berbinar saat melihatnya kini telah tiada, rasa bersalah itu terus bercokol di hatinya andai saja dia bersikeras membawa Alena ikut serta dengannya, bersama anak-anaknya yang lain ini semua tidak akan terjadi, dan andai saja dia berhasil membujuk Farhan untuk melupakan semua balas dendam konyol ini, tentu anak itu akan tetap hidup dan... astaga apa dia sudah berdosa karena mempertanyakan takdir Tuhan? “Mbak,” panggil Fariz sekali lagi para pelayat sudah meninggalkan area pemakaman ini,
“ Apa maksud kakakmu menculik Alena bukankah kita sudah sepakat kamu akan melepaskan hak atas anak itu jika aku membantumu!” Farhan mencengkeram kemudi dengan kencang sampai buku-buku tangannya memutih, tak ada suara dari seberang sana, Farhan sedikit melirik ponsel di dasboardnya, kalau-kalau sambungan itu terputus, tapi tak lama kemudian terdengar helaan napas. “Aku tidak tahu menahu tentang rencana kakakku, sepertinya dia bertekad membuatmu menghentikan semuanya,” kata suara dari seberang sana. “Benarkah?” tanya Farhan dengan sinis. Rasa kagum yang pernah dia miliki pada wanita yang telah melahirkan putrinya itu kini sirna sudah, dia sudah terpelosok terlalu dalam demi ambisinya untuk membalas dendam, tapi tentu saja sudah sejauih ini Farhan tidak bisa mundur begitu saja, dengan berbagai cara Farhan akhirnya menemukan beberapa kecurangan yang didalangi Andreas. Meski itu sama sekali tidak liear dengan tujuannya, tapi itu cukup me
“Bu Tiara mau kemana?” Seorang penjual sayur berperawakan kecil yang memang belum lama ini sering mangkal di depan rumah Tiara, menyapanya dengan ramah, dan Tiara tahu kalau orang ini juga salah satu orang yang diminta Ilham untuk menjaganya, meski sampai sekarang Tiara sama sekali tidak paham, kenapa Ilham malah meminta orang yang terlihat lemah untuk menjaganya, padahal yang lain terlihat jago bela diri. “Ah saya mau keluar sebentar,” kata Tiara berusaha senatural mungkin agar jika ada salah satu orang yang melihat interaksi mereka tidak menimbulkan kecurigaan. “Sayur pesanan ibu sudah ada apa ibu mau mengambilnya sekarang.” Laki-laki itu tak menunggu tanggapan Tiara dia langsung berjalan ke balik gerobak dan mengambil sepaket besar sayuran yang tentu saja bukan pesanan Tiara. “Sebaiknya anda di rumah saja, sepertinya keadaan semakin genting, pak Ilham khawatir mereka juga mengincar anda dan anak-anak.” Tiara mendongak setelah memb
“Bu Tiara sebaiknya dalam minggu ini anda dan anak-anak lebih berhati-hati lagi.” Pesan itu sampai satu jam yang lalu, beberapa kali Tiara menghubungi Ilham untuk menanyakan apa maksudnya? Tapi laki-laki itu sama sekali tidak mengangkat panggilannya membuat Tiara dilanda kekhawatiran. Tiara berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, hari sudah mulai pagi dan biasanya dia akan membantu anak-anaknya untuk bersiap ke sekolah, tapi karena pesan yang dikirim Ilham ini dia jadi dilema, apa dia dan anak-anak akan aman kalau meninggalkan rumah? Satu kali dua kali, tak juga ada jawaban dari ujung sana dan Tiara mulai resah, sejenak dia ingin menghubungi anak buah Ilham yang menjaganya, tapi dia ingat kalau hanya melihat wajah mereka sana, tanpa tahu nama apalagi nomer telepon. “Ah apa yang harus aku lakukan sekarang?” Tiara terus membuka dan menutup ponselnya, khwatir kalau Ilham menghubunginya dan terlewatkan, tapi lagi-lagi dia tidak mendapa
“Ada apa ini? kenapa ayah dengar ada yang bertengkar?” Ya ampun Tiara merasa seperti bocah baru gede yang ketahuan pacarnya diapelin cowok lain dan membuat keributan sehingga sang ayah harus turun tangan. Akan tetapi kali ini sedikit berbeda, bukan hanya soal remeh seperti itu yang dia hadapi tapi juga soal hidup dan matinya dan anak-anak.Ilham yang berdiri dengan tangan bersidekap langsung menurunkan tangannya dan menunduk dengan sopan, sedangkan Andreas sudah lebih dulu pergi dari rumah orang tua Tiara sambil memberikan senyum sinis penuh ancaman.“Ada apa Tiara?” tanya sang ayah dengan pandangan tajam pada dua orang di ruang tamu rumahnya. “Lho tamunya tadi sudah pulang?” sang ibu yang baru muncul bertanya heran saat menatap Ilham. “Bukannya mas ini atasanmu yang kamu bilang banyak membantumu itu, Tiara?” lanjut sang ibu lagi. Tiara hanya bisa mengangguk dengan pasrah saat sang ayah sudah mem
"Kamu kenal dia?" Tiara sedikit terlonjak saat tiba-tiba sang ibu sudah ada di sampingnya dan berbisik lirih. Tiara berdiri diam mengamati laki-laki yang duduk membelakanginya di sofa ruang tamu rumah kedua orang tuanya. Dia menggeleng dengan samar, dia merasa tidak mengenali laki-laki ini, apa dia salah satu orang yang ditempatkan Ilham untuk menjaganya? tapi dia sama sekali tidak ingat kalau Ilham meminta orang baru untuk menjaganya, meskipun dia juga tidak terlalu kenal dengan orang-,orang yang bertugas menjaganya itu. Akan tetapi satu hal yang dia tahu, orang-orang itu bekerja dalam bayangan, bukan malah bertamu terang-terangan dan membelikannya makanan mewah. "Entahlah, Bu. Aku merasa tidak mengenalnya.""Apa ibu minta dia pergi saja?" kata sang ibu yang menampakkan wajah khawatir. Tiara terdiam, dia sangat ingin tahu siapa dan apa yang diinginkan laki-laki itu.
Bagaimana mungkin ayahnya mengatakan hal semenyakitkan itu? Tiara hanya bisa berdiri mematung menatap kedua orang tuanya dengan pandangan bingung dan kesakitan, dia memang tidak terlalu dekat dengan ayahnya yang kaku dan kolot itu, tapi bagaimanapun dia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Hampir saja Tiara tersungkur karena kakinya begitu lemas hanya untuk melangkah ke kursi di depan orang tuanya, syukurlah ibunya bertindak cukup bijak dengan membimbingnya untuk duduk dan meremas tangannya dengan lembut. Itu memang hanya hal kecil, tapi bagi Tiara itu punya banyak arti, dia merasa mendapat tempat untuk berlindung. "A-apa maksud ayah?" tanya Tiara tergagap. jAyahnya memang tidak pernah membentak apalagi memukul, hanya dengan tatapan dan ucapannya yang tajam saja semua anak-anaknya sudah keder duluan termasuk Tiara. "Apa maksudnya laki-laki datang kemari mengantarkan makanan untukmu? Dia juga b
Sore itu Tiara mengendarai motornya ke pusat perbelanjaan, sesekali dia menoleh ke belakang dan melihat beberapa orang yang ditugaskan Ilham untuk melindunginya mengikuti dari jarak aman. Duh sudah seperti artis saja aku, gerutu Tiara. Jika biasanya dia bisa nongkrog di gerobak kang cilok atau kang es dawet berlama-lama hanya untuk menikmati waktu sendirinya, sekarang Tiara tak akan mungkin melakukan hal ini. dia tidak akan sok-sokan dengan memanfaatkan orang-orang yang menjaga dengan pergi sekehendak hatinya. Kali ini saja dia terpaksa pergi ke sebuah toko buku sendiri karena ada beberapa buku yang harus dia beli sekalian membeli pensil warna yang baru untuk Araz. Selama lebih dari satu bulan Tiara tinggal di sini bersama anak-anak memang tidak ada kejadian yang membuat khawatir. Pun dengan orang-orang yang ditugaskan untuk menjaganya bertindak seperti bayangan yang tak terlihat, bahkan Tiara tak yakin kalau orang tuanya tahu kalau mereka te
“itu namanya kamu tidak tanggung jawab pada pekerjaan hanya karena masalah pribadi.” Tiara langsung menunduk saat sang ayah mengatakan hal itu. Araz dan Arkan sedangdiantar ibunya bermain bersama bude Ningsih, asisten rumah tangga yang sudah bekerja pada keluarganya sejak dia masih kecil. Wajah Tiara bagai terbakar saat mendengar perkataan ayahnya. Malu. Dia akui dia memang sangat tidak bertanggung jawab pada pekerjaannya. Ayahnya adalah sosok yang kaku dan disiplin, membuat Tiara ataupun saudaranya yang lain sama sekali tidak bisa dekat dengan laki-laki yang menjadi alasannya terlahir di dunia ini. Tiara bahkan tak pernah tahu bagaiaman rasanya dipeluk oleh sang ayah, meski ibunya meyakinkan dia bahwa waktu kecil ayahnya sering melakukan hal itu pada mereka, dan membantu sang ibu jika tidak bisa menghandle anak-anaknya, ucapan yang selalu diragukan oleh Tiara karena dia tahu benar sejak adiknya lahir sang ayah tidak pernah menggendongnya, bah