Luka yang Masih Terbuka
Hujan deras mengguyur villa malam itu, membasuh darah dan keringat yang baru saja mengisi ruangan. Suara petir yang menggelegar seakan menjadi latar bagi perasaan Alvaro yang penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. Ia terduduk di lantai, menatap kosong ke arah tubuh pamannya yang tergeletak. Kata-kata terakhir pria itu terus terngiang di telinganya seperti gema yang tidak kunjung hilang."Ayahku? Bagaimana bisa?" gumamnya, hampir tidak terdengar di tengah hujan deras. Tangannya gemetar, masih memegang pistol yang dingin dan berat.
Karin mendekati Alvaro dengan hati-hati. Wanita itu tahu bahwa ini adalah momen rapuh baginya. Ia berlutut di sampingnya, menempatkan tangannya di pundaknya. "Alvaro," katanya dengan lembut. "Kita harus pergi sekarang. Mereka pasti akan datang untuk mencari kita."
Namun, Alvaro tidak menjawab. Ia memalingkan wajahnya, matanya memandang kosong ke arah jendela besar di ujung ruangan. I
Kabur dengan Harga MahalMalam terasa seperti tak berujung saat Alvaro dan kelompoknya berhasil melarikan diri dari markas ayahnya. Namun, meskipun mereka membawa bukti yang cukup untuk menjatuhkan pria itu, suasana di antara mereka penuh dengan ketegangan.Ricardo, yang masih terluka akibat insiden sebelumnya, mengamati layar laptopnya dengan penuh konsentrasi. “Kita sudah jauh dari markas, tapi mereka pasti akan mengejar kita.”Alvaro menatap ke luar jendela mobil yang melaju kencang. Pikirannya dipenuhi berbagai skenario tentang siapa yang mungkin telah berkhianat dalam kelompok mereka.Karin duduk di samping Alvaro, mencoba menyeka darah di lengan Ricardo dengan kain. “Kita butuh tempat aman untuk beristirahat. Kalau terus seperti ini, kita tidak akan bertahan.”Alvaro mengangguk. “Kita harus mengatur ulang rencana. Dan aku harus tahu siapa di antara kita yang masih bermain dua sisi.”
Gudang yang sebelumnya menjadi tempat perlindungan kini hanya tinggal kenangan. Dengan segala kekacauan dan pengkhianatan yang mereka alami, Alvaro tahu bahwa mereka harus lebih berhati-hati dari sebelumnya.“Semua ini belum berakhir,” kata Alvaro kepada timnya. “Ayahku masih mengendalikan permainan. Selama dia bebas, kita tidak akan pernah aman.”Ricardo, meskipun terluka, masih menunjukkan semangatnya. “Kita punya senjata terbesar: bukti. Sekarang, yang perlu kita lakukan hanyalah memastikan semuanya sampai ke tangan yang tepat.”Namun, Nadia memotong. “Tidak semudah itu. Ayahmu memiliki koneksi luas, Alvaro. Bahkan jika kita membawa bukti ini ke pihak berwenang, tidak ada jaminan mereka akan bertindak.”Karin menatap Nadia dengan penuh keyakinan. “Maka kita harus menciptakan tekanan. Bukan hanya menyerahkan bukti, tetapi membuatnya menjadi perhatian publik.”Alvaro mengangguk. “Ki
Alvaro duduk di sebuah ruangan kecil dengan lampu yang redup. Mereka berhasil melarikan diri dari gedung Antonio, tetapi situasi masih jauh dari kata aman. Karin, Ricardo, dan Nadia bergantian menjaga pintu sementara Ricardo memeriksa data yang berhasil mereka selamatkan.“Rekaman itu memang membuat Antonio tertangkap,” kata Ricardo dengan suara pelan. “Tapi jaringan yang dia bangun masih ada, dan mereka tidak akan tinggal diam.”Karin mendekati Alvaro, menyodorkan secangkir kopi. “Kau harus istirahat, Alvaro. Kita semua tahu ini belum selesai, tapi kau butuh energi untuk langkah berikutnya.”Alvaro mengangguk pelan. “Aku hanya tidak bisa berhenti memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Setiap langkah kita akan diikuti oleh mereka. Bahkan sekarang, aku merasa seperti kita sedang diawasi.”Nadia, yang baru saja masuk dengan peta dan beberapa dokumen di tangannya, menyela pembicaraan. “Kita perlu m
Malam itu, Selena mulai merasa ada yang aneh. Tim Alvaro tampak tenang meskipun situasi di luar semakin tegang. Alvaro, Nadia, Ricardo, Karin, dan Emilio tampak sibuk mempersiapkan sesuatu yang Selena tidak tahu apa itu.“Apa yang sebenarnya kalian rencanakan?” tanya Selena kepada Ricardo, berusaha mencari tahu.Ricardo hanya tersenyum. “Kita sedang memastikan bahwa semua berjalan lancar.”Di tempat lain, Bayangan menginstruksikan timnya untuk menyerang markas Alvaro. Dia berpikir bahwa Selena telah memberikan cukup informasi untuk memastikan keberhasilan serangan itu. Namun, Bayangan tidak tahu bahwa informasi tersebut telah dimanipulasi.Ketika tim penyerang mendekati markas, mereka disambut oleh jebakan yang telah dipasang oleh Nadia dan Karin. Gas pembius dilepaskan ke udara, melumpuhkan sebagian besar penyerang sebelum mereka sempat memasuki markas.“Kerja bagus, Nadia,” kata Karin sambil tersenyum.&
Meskipun Bayangan telah dikalahkan dan markasnya dihancurkan, Alvaro tahu bahwa perang belum berakhir. Ricardo menemukan petunjuk baru dalam sistem Bayangan yang mengarah ke jaringan lebih besar di balik organisasi itu.“Ada seseorang yang lebih besar dari Bayangan,” kata Ricardo saat mempresentasikan temuannya. “Orang ini dikenal sebagai ‘Sang Pengendali.’ Dia yang memberi perintah kepada Bayangan.”“Jadi, kita baru saja menjatuhkan pion,” kata Nadia dengan nada skeptis.Alvaro mengangguk. “Dan sekarang kita harus menemukan raja di balik semua ini.”Petunjuk Ricardo membawa mereka ke sebuah lokasi misterius di Asia Timur, tempat operasi besar Sang Pengendali diyakini berada. Namun, perjalanan ini penuh risiko. Mereka harus menyusup ke sebuah kota yang dikontrol ketat oleh jaringan kriminal internasional.Selena merasa gugup tetapi juga bersemangat. Setelah pembuktian dirinya di misi
Di sebuah vila kecil yang tersembunyi di pegunungan, tim Alvaro akhirnya menemukan waktu untuk menarik napas setelah serangkaian pertempuran yang melelahkan. Suasana malam itu begitu tenang, bahkan terlalu tenang untuk sebuah tim yang selalu berada dalam bahaya.Selena, dengan rambutnya yang terurai, duduk di teras sambil menikmati secangkir teh herbal. Tatapannya terpaku pada langit malam yang dipenuhi bintang. Keindahan itu hanya berhasil mengalihkan pikirannya sebentar dari beban yang ia pikul.“Kau tidak bisa tidur?” suara Alvaro memecah keheningan. Ia berdiri di belakang Selena, membawa jaket yang ia lemparkan ke pundaknya.Selena menoleh dengan senyum tipis. “Tidak. Aku rasa terlalu banyak yang ada di pikiranku.”“Bahkan di saat-saat seperti ini, otakmu tetap bekerja keras,” canda Alvaro sambil duduk di kursi di sampingnya.Selena tertawa kecil. “Kita baru saja selamat dari serangkaian jebakan mematik
Setelah melarikan diri dari markas Bayangan Kedua, tim Alvaro kembali ke tempat persembunyian mereka yang aman. Namun, kelelahan dan ketegangan mulai terasa di antara mereka.“Kita tidak bisa terus begini,” keluh Ricardo, meletakkan senjatanya ke meja. “Mereka selalu selangkah lebih maju dari kita.”Nadia, yang masih memulihkan diri dari luka tembak, menatap Ricardo dengan tajam. “Kita sudah sejauh ini. Menyerah bukan pilihan.”Alvaro mendengar percakapan itu dari kejauhan, pikirannya melayang pada apa yang terjadi sebelumnya. Marco, sahabatnya yang berubah menjadi musuh, sekarang memimpin pasukan yang ingin menghancurkan mereka.“Aku harus mengakhiri ini,” bisiknya.Selena, yang berdiri di sampingnya, mencoba menghiburnya. “Alvaro, kau tidak harus melakukannya sendirian. Kami semua ada di sini untukmu.”“Ini lebih dari sekadar misi,” jawab Alvaro dengan suara berat. &ld
Setelah kejadian di gedung tua, Alvaro dan timnya kembali ke markas mereka dengan keadaan fisik dan mental yang terkuras. Ricardo mencoba memperbaiki sistem komunikasi mereka yang rusak, sementara Selena memeriksa peralatan mereka untuk misi berikutnya.Namun, yang paling terguncang adalah Alvaro. Di kamarnya, ia memandangi foto lama dirinya dan Marco, merenungkan setiap momen yang membawa mereka ke titik ini.“Marco bukan hanya sahabatku,” gumam Alvaro, suaranya serak karena emosi. “Dia seperti saudara bagiku. Tapi sekarang... aku bahkan tidak mengenalinya lagi.”Nadia, yang baru saja selesai mengobati lukanya, masuk ke ruangan. “Alvaro, aku tahu ini sulit bagimu, tapi kita harus fokus. Jika kita tidak menghentikannya sekarang, banyak nyawa yang akan hilang.”Alvaro mengangguk pelan, meskipun hatinya masih terasa berat.Saat Ricardo memeriksa dokumen yang mereka ambil dari gedung tua itu, ia menemu
Alvaro berlari menembus gelapnya malam, nafasnya memburu. Suara langkah kaki terdengar memburu dari arah belakang, menggema di sepanjang lorong sempit yang berliku. Ricardo, Selena, dan Carlos masih mengejarnya dengan gigih, tidak rela melepaskannya begitu saja. Dia menyelinap masuk ke dalam gang sempit, tubuhnya menyatu dengan bayang-bayang gedung tua yang reyot. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi gentar sedikit pun. Di balik matanya, pikiran bergerak cepat, mencari cara untuk menghilang dari kejaran mereka. “Aku tidak akan berhenti sampai kau tertangkap, Alvaro!” teriak Ricardo dengan napas tersengal. Selena dan Carlos berusaha mengepungnya dari dua arah. Mereka tahu betul kemampuan Alvaro dalam melarikan diri, dan tidak ingin memberinya celah sedikit pun. Namun Alvaro sudah memperhitungkan semuanya. Dengan gesit, dia melompat ke atas tumpukan kotak kayu dan naik ke atap bangunan rendah di sampingnya. Dari sana, dia melompat ke ata
Sunyi yang mencekam masih menggantung di udara setelah Ricardo, Selena, dan Carlos menyadari kenyataan pahit itu—ada pengkhianat di antara mereka.Mata mereka saling bertautan, masing-masing mencoba membaca pikiran satu sama lain, mencari tanda-tanda kebohongan.Carlos, yang masih berlumuran darah dan lemah karena luka-lukanya, menarik napas berat. “Kita tidak bisa membiarkan paranoia menghancurkan kita dari dalam.”“Tapi kita juga tidak bisa membiarkan pengkhianat tetap bersama kita,” kata Selena tajam.Ricardo menghela napas. “Tidak ada gunanya saling menuduh tanpa bukti. Yang terpenting sekarang, kita harus keluar dari sini sebelum lebih banyak orang Konstantin datang.”Namun, sebe
Ricardo memacu truk di jalanan bersalju yang mulai tertutup kabut. Roda-roda besar kendaraan itu sesekali tergelincir di atas permukaan licin, tetapi dia tetap mengendalikannya dengan tenang. Di belakang mereka, dua mobil hitam dengan sirene pelan mulai mengejar.“Konstantin pasti tahu kita kabur dengan truk ini,” kata Selena sambil mengamati jalan di belakang melalui jendela kecil di ruang kargo. “Mereka tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja.”Carlos duduk di atas salah satu peti amunisi sambil merakit senapan serbu. “Bagus. Itu artinya kita bisa menyerang sebelum mereka sempat menyusun rencana baru.”Alvaro yang berdiri di sampingnya mendesah. “Kau benar-benar menikmati ini, ya?”Carlos menyeringai. “Bukankah
Van tua yang dikendarai Carlos melaju dengan kecepatan penuh, membelah jalanan Moskow yang masih sepi di pagi buta. Di belakang mereka, dua SUV hitam dengan logo organisasi Konstantin terpampang jelas di sisi pintunya terus mengejar, disertai suara sirene polisi yang seolah menggema dari segala arah.Ricardo memeriksa peluru di magazinnya. "Kita tidak akan bisa kabur hanya dengan kecepatan. Mereka punya kendaraan yang lebih baik!"Selena sudah membuka jendela samping, mengangkat senapan serbunya. "Maka kita harus membuatnya lebih adil."BRAK!Tembakan pertama dari musuh menghantam bagian belakang van, membuat kaca pecah dan serpihan logam beterbangan ke dalam."Kita tidak bisa hanya menghindar!" ujar Alvaro, yang mulai bersiap dengan pistol di tan
Truk yang mereka tumpangi melaju melewati jalanan Moskow yang dingin. Dari sela-sela peti kargo, Alvaro mengintip keluar. Lampu-lampu jalan berpendar di malam yang gelap, dan sesekali mobil patroli melintas, membuat mereka semua semakin waspada.“Kita akan kemana sekarang?” bisik Selena.Carlos, yang duduk di sebelahnya, menatap peta yang telah direkam dalam ingatannya. “Kita harus menemukan transportasi lain. Truk ini hanya membawa kita keluar dari bandara, tapi kita tidak bisa terus bersembunyi di dalamnya.”Ricardo, yang duduk di dekat pintu belakang, melirik arlojinya. “Kita bisa lompat keluar saat truk ini berhenti di lampu merah atau perbatasan distrik.”Benar saja, setelah beberapa menit, truk mulai melambat di sebuah persimpangan. Ricardo mengisyaratkan kepada yang lain, dan tanpa suara mereka menyelinap keluar, menyelinap ke gang sempit di dekatnya.Namun, mereka tidak menyadari satu hal—mereka telah diawasi sejak awal.Seorang pria berjas hitam di seberang jalan mengangkat t
Mobil yang dikendarai Ricardo melaju dengan kecepatan penuh di jalan pegunungan yang berliku-liku. Di belakang mereka, suara sirene dan deru kendaraan pengejar semakin mendekat. Helikopter hitam berputar di langit, sorot lampunya berusaha menembus kegelapan malam."Mereka tidak akan berhenti!" seru Selena sambil mengisi ulang magazin senjatanya. "Konstantin pasti sudah memerintahkan mereka untuk menangkap kita hidup atau mati."Carlos, yang duduk di sebelah Alvaro di kursi belakang, menatap lurus ke depan. "Aku sudah mengkhianati Konstantin. Sekarang aku tidak punya pilihan lain selain melawan."Alvaro masih ragu. "Dan bagaimana kalau ini semua jebakan? Bagaimana kalau kau hanya berpura-pura berpihak pada kita?"Carlos tidak langsung menjawab. Matanya tetap fokus ke jala
Malam itu, Alvaro tidak bisa tidur. Di dalam gudang tua yang menjadi tempat persembunyian mereka, suara deburan ombak terus menggema di kejauhan. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi yang lebih menusuk adalah perasaan di dalam hatinya.Carlos masih hidup.Bukan hanya hidup, tetapi juga bekerja untuk Konstantin.Alvaro mengepalkan tangannya. Dulu, Carlos adalah pahlawan baginya. Kakaknya adalah seseorang yang ia idolakan sejak kecil—seseorang yang mengajarinya bertarung, berpikir strategis, dan berani menghadapi ketidakadilan. Tapi sekarang, Carlos berdiri di pihak musuh.Selena duduk di sudut ruangan, memperhatikan Alvaro. “Kau belum tidur?” tanyanya pelan.Alvaro menggeleng. “Bagaimana aku bisa tidur
Malam di Laut Hitam terasa lebih dingin dari biasanya. Di atas kapal kecil yang melaju perlahan di perairan gelap, Alvaro dan timnya menatap cakrawala tempat sebuah kapal besar milik Konstantin sedang berlabuh.“Kapal itu bukan sekadar alat transportasi,” kata Ricardo sambil melihat peta digital yang ditampilkan di tablet-nya. “Ini adalah laboratorium terapung. Ada sesuatu yang mereka kembangkan di sana.”Selena menatap Alvaro. “Ini mungkin kesempatan kita untuk mendapatkan informasi langsung dari sumbernya.”Alvaro mengangguk. “Kita menyusup, mengumpulkan bukti, dan jika memungkinkan… kita hancurkan fasilitas itu.”Menggunakan perlengkapan selam, mereka berenang menuju kapal dengan hati-hati. Ricardo memandu dari jauh, mengawasi kamera keamanan dan memberi tahu mereka jalur yang paling aman.Setelah berhasil naik ke dek bawah kapal, mereka bergerak cepat. Kapal itu memiliki keamanan ketat, dengan penjaga patroli bersenjata dan kamera pengawas di setiap sudut.Selena membuka peta stru
Beberapa hari setelah penangkapan Viktor Ivanov, Alvaro duduk di ruang interogasi, memandangi pria itu dengan tatapan tajam. Meskipun Viktor kini terbelenggu, keberadaannya masih memberikan aura ancaman yang nyata.“Aku sudah memberimu nama,” kata Viktor dengan suara serak. “Apa lagi yang kau inginkan dariku?”Alvaro menggenggam meja di depannya dengan erat. “Aku ingin tahu semua. Bagaimana Konstantin Dragovich terlibat, apa motivasinya, dan bagaimana aku bisa menghancurkan dia.”Viktor tersenyum kecil. “Kau benar-benar berpikir bisa menghancurkan dia? Konstantin tidak seperti aku. Dia adalah sosok yang ada di setiap sudut dunia ini, mengendalikan semuanya tanpa kau sadari.”Alvaro terdiam sejenak. Di dalam hatinya, dia tahu Viktor tidak sedang bercanda. Jika Konstantin benar-benar sekuat itu, maka pertempuran ini belum mencapai puncaknya—ini baru permulaan.Setelah interogasi, Alvaro kembali ke ruang briefing bersama Selena dan Ricardo. Di atas meja, peta dunia terbentang dengan bebe