Suasana di bar terasa tegang, saat Rafael dan informan itu masuk. Semua mata segera tertuju pada mereka, dan Rafael merasakan beratnya tatapan para anggota mafia yang mengelilinginya.
Rafael melangkah ke sebuah ruangan. Di sudut ruangan, Vincenzo sedang duduk menunggu kedatantannya, ekspresinya sulit dibaca oleh Rafael. Rafael tahu bahwa ini adalah momen penting—dia harus menunjukkan bahwa dia pantas berada diposisi yang sekarang. “Rafael!” Vincenzo memanggilnya, suaranya dalam dan menggelegar di antara bisikan para pengunjung bar. “Kau berhasil membawa informan itu?” Rafael mengangguk, berusaha menahan ketegangan dihatinya. “Ya, dia di sini. Dia punya informan penting yang sedang kita cari.” Vincenzo melangkah maju, matanya mengamati informan yang tampak ketakutan. “Siapa namamu?” tanyanya tajam. “Luis,” jawab informan itu, suaranya bergetar. “Saya... saya hanya ingin hidup.” Vincenzo tersenyum sinis. “Kau akan hidup, Luis, jika kau memberi kami informasi yang kami butuhkan. Kami tidak akan membiarkan pengkhianatanmu berlanjut.” Luis mengangguk cepat, tampak semakin cemas. “Saya tahu siapa yang mengkhianati kalian. Itu Marco. Dia bekerja sama dengan kelompok musuh.” Kata-kata Luis mengguncang Rafael. Nama Marco pernah ada di dokumen yang ada di kantor kerja ayahnya. Dia adalah salah satu anggota yang dihormati dalam organisasi ini dan salah satu sahabat ayahnya, tetapi memiliki reputasi yang meragukan. Rafael merasa sakit di dalam hatinya, apakah Marco salah satu yang harus disalahkan atas kematian ayahnya? “Tidak mungkin,” gumamnya, tidak percaya. “Jika kau tidak percaya, kami bisa membuktikannya,” Vincenzo berkata, suaranya penuh ancaman. “Kau punya waktu satu kesempatan untuk berbicara. Jika informasi ini salah, kau akan kehilangan nyawamu.” Luis terlihat semakin ketakutan. “Tapi saya tidak punya bukti! Saya hanya mendengar percakapan. Mereka merencanakan sesuatu yang besar.” Vincenzo menatap Rafael, seolah meminta pendapat. Rafael merasa mereka harus menyelidiki hal ini terlebih dahulu. “Kita perlu menyelidiki lebih lanjut,” kata Rafael, berusaha tenang. “Jika Marco terlibat, kita harus tahu seberapa dalam pengkhianatannya.” Vincenzo mengangguk, lalu berbalik ke arah Luis. “Kau akan datang bersama kami. Jika kau berbohong, konsekuensinya akan fatal.” Luis mengangguk setuju. Mereka segera bergerak, Rafael di depan, diikuti oleh Vincenzo dan sekelompok pengawal. Setelah beberapa saat berkendara, mereka tiba di sebuah tempat persembunyian. Rafael melihat bangunan itu tampak kosong dan terlupakan, tetapi inilah markas yang cocok untuk para mafia diluaran sana. Mereka memasuki gedung, dan suasana di dalamnya terasa mencekam. “Luis, kau harus menunjukkan tempat di mana kau mendengar informasi itu,” Vincenzo memerintah. Luis mengangguk, langkahnya gemetar. “Di ruang belakang, tempat mereka biasa berkumpul.” Saat mereka bergerak menuju ruang belakang, Rafael merasakan ketegangan meningkat. Dia tahu bahwa apa pun yang mereka temukan di sini bisa mengubah segalanya. Dia berharap mendapatkan informasi yang bagus untuk kasusnya kedepannya. Begitu mereka sampai di ruang belakang, Rafael melihat beberapa jejak yang menunjukkan bahwa tempat ini pernah digunakan untuk pertemuan rahasia. Di dinding, ada bekas-bekas percakapan yang dituliskan dengan kapur—beberapa nama, termasuk nama Marco. “Lihat,” Rafael menunjuk ke dinding. “Ini bukti bahwa mereka berkomplot. Kita harus mencari tahu siapa lagi yang terlibat.” Vincenzo mengangguk, wajahnya serius. “Kita perlu mengawasi Marco. Jika dia memang pengkhianat, kita tidak bisa membiarkannya bebas.” Luis terlihat semakin cemas. “Tapi mereka sangat kuat! Mereka memiliki banyak pengaruh. Jika kita melawan mereka, kita bisa mati.” “Demi apa kau hidup, Luis?” Rafael bertanya, suaranya tegas. “Apakah kau ingin terus hidup dalam ketakutan? Atau kau ingin melawan demi kebenaran?” Luis menatap Rafael, matanya penuh harapan dan ketakutan. “Saya ingin melawan, tetapi saya tidak tahu bagaimana.” Vincenzo menginterupsi, “Sekarang kita ada di pihak yang sama, Luis. Sekarang kita semua harus bersatu untuk menghadapi musuh kali ini.” Mereka diam-diam mencari bukti-bukti yang tertinggal di bangunan itu, guna memperjelas maksud pengkhianatan yang akan mereka alami, sekaligus mencari bukti apa benar marco berkhianat di antara mereka. Setelah mendapat bukti tersebut, mereka semua kembali ke bar tanpa seorang pun yang tahu.“Luis, kau bisa menjelaskan di sini,” Vincenzo berkata, mempersilakan Luis untuk berbicara setelah mereka kembali ke bar. Luis tampak cemas, tetapi dia tahu bahwa inilah saatnya untuk mengungkapkan semua yang dia ketahui. “Saya mendengar bahwa Marco sedang merencanakan sesuatu yang besar. Dia bertemu dengan kelompok musuh di tempat penyimpanan di pinggir kota. Mereka berbicara tentang serangan besar.” Mendengar ini, Rafael merasakan kebingungan. “Kenapa dia melakukan ini? Dia seharusnya menjadi bagian dari kita,” katanya, suaranya penuh kebingungan. Vincenzo memandang Rafael dengan serius. “Di dunia ini, loyalitas bisa dibeli dengan mudah. Marco mungkin berpikir bahwa dia bisa mendapatkan lebih banyak kekuasaan dengan beralih ke pihak lain.” Rafael merasa hatinya bergetar. Dia tidak ingin percaya bahwa Marco, yang pernah menjadi teman dan pelindung ayahnya, kini berkhianat. “Kita harus menghentikannya sebelum terlambat,” katanya, berusaha menahan emosi yang meluap. “Setuju
Mobil meluncur cepat di jalanan gelap, menghindari lampu-lampu kota yang berkilauan. Rafael merasakan ketegangan di dalam dirinya. Mereka berhasil melarikan diri dari tempat penyimpanan, tetapi ancaman Marco dan kelompok musuh masih membayangi mereka. Dalam perjalanan kembali ke bar, Rafael berusaha mencerna semua informasi yang baru saja didengarnya. Setibanya di bar, suasana terasa mencekam. Para anggota mafia lainnya menunggu, wajah-wajah mereka penuh kecemasan. Vincenzo berdiri di tengah, matanya tajam menatap Rafael dan kelompoknya. “Apakah kalian berhasil mendapatkan bukti?” tanya Vincenzo, suaranya dalam dan berwibawa. Rafael menggelengkan kepala. “Kami tidak mendapatkan bukti konkret, tetapi kami mendengar percakapan tentang rencana Marco. Dia sedang merencanakan serangan besar.” “Serangan besar? Apa yang dimaksud dengan itu?” Vincenzo bertanya, suaranya penuh perhatian. “Dia bekerja sama dengan kelompok musuh. Mereka merencanakan sesuatu yang bisa menghancurkan kita,” j
Di malam yang dingin itu, hujan deras mengguyur kota, membuat suasana kelam yang menyelimuti setiap sudut jalan di salah satu kota, di San Fransisco. Suara sirene polisi dan deru mesin kendaraan roda empat membaur menjadi satu, menciptakan simfoni kegelisahan yang menyelimuti seorang pemuda di tepi jalan tersebut. Dia berdiri diam ditempatnya, tanpa berniat beranjak dari sana, matanya menatap kosong ke arah tempat di mana hidupnya berubah 180 derajat. .... Lima bulan yang lalu, Rafael Santoro hanya seorang masih mahasiswa biasa, dengan impiannya yang sederhana bercita-cita untuk menjadi desainer grafis. Tetapi semua mimpi itu hancur dalam sekejap mata. Ketika ayahnya, yang tiba-tiba saja, ditemukan tewas dalam baku tembak di belakang bar yang biasa ayahnya kunjungin. Sejak saat itu, kemarahan dan rasa kehilangan menggerogoti jiwanya seperti hama yang tak terhindarkan. Rafael sangatmengingat dengan jelas hari itu—hari ketika ia menerima telepon dari ibunya. Suara panik ibunya, yang
Rafael terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi pelipisnya. Mimpi yang selalu datang setiap malam, tadi kembali menghantuinya—mimpi tentang hari ketika ayahnya dibunuh. Rafael sangat mengingat dengan jelas setiap detik didalam mimpi itu, yang membuat pikiran tak karuan. Dia berusaha mengalihkan pikirannya, tetapi bayangan wajah ayahnya, penuh luka dan darah, terus mengganggu ketenangannya. Dia tidak bisa melupakan setiap mimpi itu, dan kini, mimpinya menjadi pengingat betapa berbahayanya jalan yang telah ia pilih.Setelah menghabiskan beberapa jam tanpa tidur, Rafael memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur. Pagi ini, dia merasa ada sesuatu yang harus dia lakukan. Keluarganya, meski sudah hancur, masih menyimpan kenangan yang berharga. Dia harus menggali lebih dalam, mencari tahu siapa ayahnya sebenarnya dan apa yang telah dilakukannya selama ini dalam organisasi tersebut.Rafael berjalan menuju ruang kerja ayahnya. Ruangan itu dipenuhi deng
Rafael berjalan dengan cepat menjauhi gedung tua itu, hujan mulai mengguyur kota, tetapi tidak ada yang bisa menghentikan badai yang bergolak dalam dirinya. Ketika dia berlari, pikirannya dipenuhi dengan bayangan ayahnya dan kata-kata Vincenzo Marino yang terus menggema. Sementara Rafael menyusuri jalanan yang basah, di tempat lain, Vincenzo duduk di ruang bawah tanah bar miliknya, dikelilingi oleh para pengikut setianya. Dia memeriksa dokumen-dokumen yang tergeletak di meja, memastikan bahwa semua transaksi berjalan sesuai rencana. Vincenzo tahu bahwa ancaman dari kelompok mafia musuh semakin tinggi, dan dalam dunia mafia, kelemahan tidak pernah bisa ditoleransi. Vincenzo mengingat pertemuannya dengan Rafael di bar beberapa malam yang lalu. Dia melihat potensi dalam pemuda itu—sebuah keberanian yang bisa menjadi aset, atau malah kebodohan yang bisa membawa malapetaka. Keduanya bisa menjadi alat untuknya. Dia tidak bisa membiarkan Rafael terjebak dalam permainan yang lebih besar d
Rafael mengikuti Vincenzo ke ruangan yang dalam di bar, di mana dapat dilihatnya beberapa anggota mafia lain berkumpul. Suasana di dalam ruangan agak tegang; semua orang tampak serius, mereka berbicara dalam yang bisikan rendah. Rafael melihat sekeliling, merasakan aura kekuasaan yang menyelimuti tempat itu. Dia tidak bisa membantu tetapi merasa tertekan oleh realitas baru yang dihadapinya. “Duduk,” kata Vincenzo, menunjuk ke sebuah kursi di tengah ruangan. Rafael mengangguk dan mengambil tempa duduk itu. Anggota mafia lainnya menatapnya dengan rasa curiga. Dia menyadari bahwa dia harus membuktikan dirinya di hadapan mereka. Vincenzo berdiri di depan semua orang, menarik perhatian mereka. “Teman-teman, ini Rafael Santoro. Dia ingin bergabung dengan kita. Namun, sebelum kita membuat keputusan, dia harus melewati ujian.” “Ujian?” tanya salah satu anggota, seorang pria besar dengan tato ular yang melilit pedang di lengan. “Apa yang bisa dia lakukan?” Vincenzo tersenyum sinis. “Ki
Mobil meluncur cepat di jalanan gelap, menghindari lampu-lampu kota yang berkilauan. Rafael merasakan ketegangan di dalam dirinya. Mereka berhasil melarikan diri dari tempat penyimpanan, tetapi ancaman Marco dan kelompok musuh masih membayangi mereka. Dalam perjalanan kembali ke bar, Rafael berusaha mencerna semua informasi yang baru saja didengarnya. Setibanya di bar, suasana terasa mencekam. Para anggota mafia lainnya menunggu, wajah-wajah mereka penuh kecemasan. Vincenzo berdiri di tengah, matanya tajam menatap Rafael dan kelompoknya. “Apakah kalian berhasil mendapatkan bukti?” tanya Vincenzo, suaranya dalam dan berwibawa. Rafael menggelengkan kepala. “Kami tidak mendapatkan bukti konkret, tetapi kami mendengar percakapan tentang rencana Marco. Dia sedang merencanakan serangan besar.” “Serangan besar? Apa yang dimaksud dengan itu?” Vincenzo bertanya, suaranya penuh perhatian. “Dia bekerja sama dengan kelompok musuh. Mereka merencanakan sesuatu yang bisa menghancurkan kita,” j
“Luis, kau bisa menjelaskan di sini,” Vincenzo berkata, mempersilakan Luis untuk berbicara setelah mereka kembali ke bar. Luis tampak cemas, tetapi dia tahu bahwa inilah saatnya untuk mengungkapkan semua yang dia ketahui. “Saya mendengar bahwa Marco sedang merencanakan sesuatu yang besar. Dia bertemu dengan kelompok musuh di tempat penyimpanan di pinggir kota. Mereka berbicara tentang serangan besar.” Mendengar ini, Rafael merasakan kebingungan. “Kenapa dia melakukan ini? Dia seharusnya menjadi bagian dari kita,” katanya, suaranya penuh kebingungan. Vincenzo memandang Rafael dengan serius. “Di dunia ini, loyalitas bisa dibeli dengan mudah. Marco mungkin berpikir bahwa dia bisa mendapatkan lebih banyak kekuasaan dengan beralih ke pihak lain.” Rafael merasa hatinya bergetar. Dia tidak ingin percaya bahwa Marco, yang pernah menjadi teman dan pelindung ayahnya, kini berkhianat. “Kita harus menghentikannya sebelum terlambat,” katanya, berusaha menahan emosi yang meluap. “Setuju
Suasana di bar terasa tegang, saat Rafael dan informan itu masuk. Semua mata segera tertuju pada mereka, dan Rafael merasakan beratnya tatapan para anggota mafia yang mengelilinginya. Rafael melangkah ke sebuah ruangan. Di sudut ruangan, Vincenzo sedang duduk menunggu kedatantannya, ekspresinya sulit dibaca oleh Rafael. Rafael tahu bahwa ini adalah momen penting—dia harus menunjukkan bahwa dia pantas berada diposisi yang sekarang. “Rafael!” Vincenzo memanggilnya, suaranya dalam dan menggelegar di antara bisikan para pengunjung bar. “Kau berhasil membawa informan itu?” Rafael mengangguk, berusaha menahan ketegangan dihatinya. “Ya, dia di sini. Dia punya informan penting yang sedang kita cari.” Vincenzo melangkah maju, matanya mengamati informan yang tampak ketakutan. “Siapa namamu?” tanyanya tajam. “Luis,” jawab informan itu, suaranya bergetar. “Saya... saya hanya ingin hidup.” Vincenzo tersenyum sinis. “Kau akan hidup, Luis, jika kau memberi kami informasi yang kami butuhk
Rafael mengikuti Vincenzo ke ruangan yang dalam di bar, di mana dapat dilihatnya beberapa anggota mafia lain berkumpul. Suasana di dalam ruangan agak tegang; semua orang tampak serius, mereka berbicara dalam yang bisikan rendah. Rafael melihat sekeliling, merasakan aura kekuasaan yang menyelimuti tempat itu. Dia tidak bisa membantu tetapi merasa tertekan oleh realitas baru yang dihadapinya. “Duduk,” kata Vincenzo, menunjuk ke sebuah kursi di tengah ruangan. Rafael mengangguk dan mengambil tempa duduk itu. Anggota mafia lainnya menatapnya dengan rasa curiga. Dia menyadari bahwa dia harus membuktikan dirinya di hadapan mereka. Vincenzo berdiri di depan semua orang, menarik perhatian mereka. “Teman-teman, ini Rafael Santoro. Dia ingin bergabung dengan kita. Namun, sebelum kita membuat keputusan, dia harus melewati ujian.” “Ujian?” tanya salah satu anggota, seorang pria besar dengan tato ular yang melilit pedang di lengan. “Apa yang bisa dia lakukan?” Vincenzo tersenyum sinis. “Ki
Rafael berjalan dengan cepat menjauhi gedung tua itu, hujan mulai mengguyur kota, tetapi tidak ada yang bisa menghentikan badai yang bergolak dalam dirinya. Ketika dia berlari, pikirannya dipenuhi dengan bayangan ayahnya dan kata-kata Vincenzo Marino yang terus menggema. Sementara Rafael menyusuri jalanan yang basah, di tempat lain, Vincenzo duduk di ruang bawah tanah bar miliknya, dikelilingi oleh para pengikut setianya. Dia memeriksa dokumen-dokumen yang tergeletak di meja, memastikan bahwa semua transaksi berjalan sesuai rencana. Vincenzo tahu bahwa ancaman dari kelompok mafia musuh semakin tinggi, dan dalam dunia mafia, kelemahan tidak pernah bisa ditoleransi. Vincenzo mengingat pertemuannya dengan Rafael di bar beberapa malam yang lalu. Dia melihat potensi dalam pemuda itu—sebuah keberanian yang bisa menjadi aset, atau malah kebodohan yang bisa membawa malapetaka. Keduanya bisa menjadi alat untuknya. Dia tidak bisa membiarkan Rafael terjebak dalam permainan yang lebih besar d
Rafael terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi pelipisnya. Mimpi yang selalu datang setiap malam, tadi kembali menghantuinya—mimpi tentang hari ketika ayahnya dibunuh. Rafael sangat mengingat dengan jelas setiap detik didalam mimpi itu, yang membuat pikiran tak karuan. Dia berusaha mengalihkan pikirannya, tetapi bayangan wajah ayahnya, penuh luka dan darah, terus mengganggu ketenangannya. Dia tidak bisa melupakan setiap mimpi itu, dan kini, mimpinya menjadi pengingat betapa berbahayanya jalan yang telah ia pilih.Setelah menghabiskan beberapa jam tanpa tidur, Rafael memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur. Pagi ini, dia merasa ada sesuatu yang harus dia lakukan. Keluarganya, meski sudah hancur, masih menyimpan kenangan yang berharga. Dia harus menggali lebih dalam, mencari tahu siapa ayahnya sebenarnya dan apa yang telah dilakukannya selama ini dalam organisasi tersebut.Rafael berjalan menuju ruang kerja ayahnya. Ruangan itu dipenuhi deng
Di malam yang dingin itu, hujan deras mengguyur kota, membuat suasana kelam yang menyelimuti setiap sudut jalan di salah satu kota, di San Fransisco. Suara sirene polisi dan deru mesin kendaraan roda empat membaur menjadi satu, menciptakan simfoni kegelisahan yang menyelimuti seorang pemuda di tepi jalan tersebut. Dia berdiri diam ditempatnya, tanpa berniat beranjak dari sana, matanya menatap kosong ke arah tempat di mana hidupnya berubah 180 derajat. .... Lima bulan yang lalu, Rafael Santoro hanya seorang masih mahasiswa biasa, dengan impiannya yang sederhana bercita-cita untuk menjadi desainer grafis. Tetapi semua mimpi itu hancur dalam sekejap mata. Ketika ayahnya, yang tiba-tiba saja, ditemukan tewas dalam baku tembak di belakang bar yang biasa ayahnya kunjungin. Sejak saat itu, kemarahan dan rasa kehilangan menggerogoti jiwanya seperti hama yang tak terhindarkan. Rafael sangatmengingat dengan jelas hari itu—hari ketika ia menerima telepon dari ibunya. Suara panik ibunya, yang